Wadah yang terikat cangkang mulai bergolak, dua kekuatan telah bersatu seutuhnya menjadi satu kesatuan yang tidak akan terlepas. Dan itu menjadi milik Ajiseka seutuhnya, pedang pusaka Nogoweling tidak lagi berwujud pedang, mustika buaya pun bernasib sama. Kini, kekuatan mutlak berada di diri Ajiseka. Bahkan, pedang pusaka yang menjadi rebutan kalangan hitam, terlebih sekte Kembang Kenongo telah berakhir.Ajiseka menjadi pemilik sahnya manakala pertempuran besar terjadi antara dirinya dengan Roro Palupi juga Sewunyowo. Pasalnya tanpa di sadari oleh Ajiseka, setiap pertempuran terjadi, wadah digdaya leluhur di dirinya selalu mengalami peningkatan. Berlaku pula untuk pusaka yang sedang dalam proses penyatuan pemilik dan energinya.Nyatanya peningkatan energi Ajiseka menciptakan aura yang mengerikan untuk dua lawannya. Bahkan, selama menjadi pimpinan padepokan, Roro Palupi tidak pernah bersinggungan dengan aura aneh yang terpancar seperti dari tubuh Ajiseka. Roro Palupi menoleh ke arah Sew
Satu orang lebur menjadi abu dan dua tewas, beruntung lawan terakhir tidak bernasib sama dengan Roro Palupi yang menjadi mayat tanpa kepala. Dalam satu pencarian dua orang terdekat pimpinan pusat, sekte Kembang Kenongo tewas mengenaskan. Beruntung Ki Lodra menguburkan jasad-jasad itu, setidaknya jenazah tidak terbengkalai begitu saja di pinggiran hutan.“Ada hubungan apa dirimu dengan Janudoro, Nak Mas. Apakah kau Putranya?” tanya Ki Lodra setelah Ajiseka ikut ke padepokannya.“Aki mengenal Lik Janudoro? Saya muridnya, Ki.” Jawab Ajiseka sembari tersenyum.“Pantaslah, jurus dasar yang kau gunakan mirip dengan jurus yang kami pelajari dahulu. Dimana dia sekarang, Nak Mas”“Ada di wilayah perbatasan utara, Ki. Beliau sedang sibuk menata kehidupan warga bersama Romo saya,”“Ah, rupanya dia menepi. Aku pikir dia akan melanglang buana seperti yang lainnya.” Pada akhirnya perbincangan yang terjadi berubah topik. Ajiseka mengajak Ki Lodra bersatu bersama padepokan aliran putih lainnya untuk
Perdebatan kecil terjadi manakala Dewi Wengi menanyakan mayat Roro Palupi yang tidak berada di lingkungan padepokan, dirinya malah semakin mencurigai jika ada unsur kesengajaan dari Sewunyowo. Tetapi Dewi Wengi mengabaikan pikiran negatifnya, sebab dirinya lebih memikirkan bagaimana cara memberangus musuh baru yang sangat meresahkan untuk kelompoknya itu.“Jangan biarkan kursi pimpinan kosong terlalu lama, Ki. Baiknya segera kukuhkan nama pengganti,”“Dalam hal ini saya tidak berwenang, Nyai. Terlebih, padepokan Lowo Ireng memiliki banyak sesepuh kebatinan yang tersebar di berbagai tempat. Saya khawatir ada pergunjingan di padepokan jika keputusan di ambil secara sepihak. Walau bagaimanapun padepokan ini lebih berfokus di bidang kebatinan, Nyai.” Ucap Sewunyowo.“Baiklah, baiknya kumpulkan segera sesepuh-sesepuh itu. Saran saya, cari mayat Nyai Roro Palupi, Ki.”“Jika hanya tubuhnya, saya rasa tidak menjadi masalah, Nyai. Sebab Telik sandi padepokan masih memantau wilayah pertempuran
Nahas, Suryo Mentak menggelepar akibat hantaman telak energi yang terlontar. Sedangkan Brojolewo sendiri langsung mendekatinya. Memegang pundaknya, lalu menatap tatapan Suryo Mentak yang kian meredup. Tindakannya tidak lain adalah menyerap energi kehidupan Suryo Mentak, hal yang paling disukai oleh sosok jahat di dalam raga Brojolewo.“Mue he he he, rupanya energi seorang pendekar lebih nikmat daripada warga biasa. Aku menyukainya ....” gumam Brojolewo. Lelaki sepuh itu pergi meninggalkan Suryo Mentak yang masih menggelepar pelan.Sedangkan salah satu warga yang melihat kekalahan Suryo Mentak langsung mengabarkan hal itu kepada Haryo Wicaksono di desa sebelah, desa yang juga menjadi pusat perkumpulan sekte Kembang Kenongo. Ia datang ke desa pun tidak melewati jalan besar, sebab di desa itu cukup banyak warga yang juga menjadi kelompok Kembang Kenongo. Bahkan, dirinya harus berhati-hati berucap jika berpapasan dengan warga.Pada akhirnya ia sampai di kediaman Haryo Wicaksono, ia lantas
Tepi Timur wilayah Punden.Danuseka menghentikan aktivitasnya manakala tiba-tiba telinganya berdengung dan hatinya berdebar. Seketika ia menajamkan Indera pendengarannya, menyaring informasi yang berasal dari relung hatinya. Setelah memastikan asal-muasal suara, Danuseka tidak membuang waktunya.Ia bergegas bertindak menggunakan ilmu melipat bumi yang ia miliki.“Kang Haryo, ada angin apa sampai-sampai Kakang memanggilku, hem?” Ucap Danuseka setelah berada di depan Haryo Wicaksono. Kedatangan Danuseka membuat Haryo Wicaksono terhenyak sekaligus senang. Pasalnya dirinya tidak menyangka jika akan secepat itu Danuseka muncul. Bahkan di padepokan Bayu Putih tidak pernah mengajarkan digdaya seperti yang dimiliki oleh Danuseka.“Danuseka! Ah, aku tidak menyangka usahaku berhasil. Apa kabarmu, Danuseka? Bagaimana, apakah nak Ajiseka sudah menyampaikan salamku?” tanya Haryo Wicaksono.“Ajiseka?” raut wajah Danuseka tampak kebingungan saat Haryo Wicaksono menyebut nama putranya.“Bukankah Nak
Ketika sandikala terlewati dan gelap malam mulai merayap, Jerit tangis tersaji gamblang di telinga kedua manusia yang masih khusyuk berkecumik melantunkan doa-doa. Ya! Tidak di pungkiri perkampungan itu dipenuhi dengan arwah yang belum ikhlas meninggalkan raganya, hal itu membuat Danuseka dan Haryo Wicaksono begitu lama berada di tempat itu. Bahkan, ketika doa berakhir tangisan pilu masih terdengar menyayat.Bahkan, terkadang suara-suara aneh juga terdengar. Seolah menceritakan begitu bengisnya tragedi yang terjadi di perkampungan siang tadi. Kedua lelaki itu hanya menggeleng manakala suara benturan pintu terdengar begitu nyaring, begitu juga rintihan-rintihan kesakitan yang setiap saat terdengar.“Baiknya segera tinggalkan tempat ini Kang, disini terlalu banyak energi tidak baik,” ujar Danuseka.“Memang seharusnya begitu, Danuseka. Lagi pula perkampungan ini sudah tidak ada lagi kehidupan.” Jawab Haryo Wicaksono.Danuseka segera mengajak Haryo Wicaksono pergi meninggalkan tempat itu
“Saudaraku sekalian, tewasnya Nyai Roro Palupi merupakan pukulan telak terhadap sekte Kembang Kenongo. Sebagaimana kita ketahui, padepokan Lowo Ireng memiliki begitu banyak tetua jalur kebatinan dan juga Kanuragan. Namun, senyatanya masih tidak dapat menemukan potongan tubuh Nyai Roro Palupi yang seharusnya mudah di temukan. Saya menduga hal ini terjadi karena ada pihak lelembut yang turut andil, oleh sebab itu saya menghimbau semua anggota. Khususnya para pimpinan dan tetua agar lebih keras menggembleng murid yang memiliki potensi lebih, terutama di jalur kebatinan. Sebab hanya dengan itu kita dapat memanfaatkan makhluk lain, atau menambah kedigdayaan diri.” Ucap pimpinan pusat sekte Kembang Kenongo yang sesungguhnya.Rupanya padepokan Kembang Kenongo yang berada di wilayah Selatan bukanlah pimpinan pusat. Hanya namanya saja yang sama dan statusnya adalah sebuah padepokan se level padepokan Lowo Ireng. Dan, tujuan menyamakan nama tidak lain hanya untuk mengecoh musuh yang setiap saa
“Bed*bah! Apa yang terjadi? Kenapa perempuan-perempuan ini mati? Wongso! Wongso!” Teriak seorang lelaki tua yang tak lain Brojolewo.Ia memanggil bawahan yang selalu mengikuti dirinya, tetapi jawaban tidak kunjung di dengar olehnya. Brojolewo terus memanggil bawahannya, hingga akhirnya ia melihat Wongso tegah terlelap di sudut pos penjagaan. Hal itu membuat Brojolewo geram, pasalnya wanita-wanita itu hasil jarahannya dari dukuh yang di kepalai oleh Suryo Mentak.Bugh!Brojolewo menendang tubuh Wongso yang tengah meringkuk pulas.“Bangun bod*h!” sentaknya.Wongso terperanjat, ia kaget bukan kepalang manakala sebuah kaki mendarat keras di perutnya. Perutnya terasa mual, tetapi ia tidak berani berucap manakala melihat pelaku yang tidak lain Brojolewo. Lelaki itu beringsut dan segera memperbaiki posisinya.“Bod*h Kau! Sekarang siapkan lubang besar untuk menguburkan mereka!” titah Brojolewo.“Ada apa, Ki. Siapa yang di kubur?” tanya Wongso. Raut wajahnya tampak kebingungan manakala dirinya