Share

Keluar dari rumah

Mas Revan baru saja berangkat kerja. Aku yang sedari tadi sibuk berkemas, memasukkan barang-barangku dan punya Manaf ke dalam koper ukuran sedang.

 

 

Aku sudah diminta keluar dari Istana yang sudah lima tahun kami tempati. Segala kemewahan dan kenyamanan itu bakal aku tinggalkan.

 

 

Semua sirna bertepatan dengan jatuhnya talak. Kisah cinta kami harus berakhir cukup sampai di sini.

 

Semua sudah beres, tinggal aku telepon Sinta_sahabatku. Aku ingin meminta tolong padanya untuk dicarikan tempat tinggal untuk kami.

 

 

Sebenarnya Mas Revan sudah membelikan  kami rumah, tapi aku gak mau menerimanya. Bukannya aku sombong atau gengsi, tapi aku gak mau mengenang semua tentangnya, terlalu sakit hati ini karenanya.

 

Aku ingin pergi sejauh mungkin agar tidak ada kesempatan untuk bertemu dengannya lagi.

 

Hanya Sinta yang bisa menolongku, karena aku tidak punya keluarga atau saudara. Sedari kecil aku tinggal di panti asuhan, dan tidak tahu siapa orang tuaku, karena Ibu panti tidak pernah bercerita.

 

Aku malu kalau harus balik ke panti, aku gak mau merepotkan dan membuat susah orang-orang di panti.

 

Mereka sudah terlalu baik padaku. Jangan sampai karena masalahku, mereka jadi ikut menanggung beban hidup kami.

 

Aku mencari nomor telpon Sinta di deretan kontak ponselku. Kugeser tombol hijau untuk memulai panggilan.

 

Aku memulai obrolan dengan mengucapkan salam, dan Sinta pun membalasnya. Aku langsung memulai inti pembicaraan.

 

 

“Sin, boleh gak aku minta tolong,?” tanyaku agak sedikit malu.

“Iya, ada apa, In? Kenapa suaramu serak gitu? Kamu nangis y?” dia mencecarku dengan penuh iba.

 

 

“Aku ke rumahmu sekarang, ya, nanti aku cerita semuanya.” Ujarku dengan suara parau.

 

“Ya sudah ke sini saja, aku tunggu ya!” balasnya cepat.

 

Panggilan telepon aku matikan, aku bergegas keluar dari rumah ini setelah semua rapi.

 

Aku harus terima kenyataan pahit ini, meninggalkan rumah ini dan segala kenangannya. Mengabaikan semua mimpi yang pernah diukir berdua.

 

Pernikahan kami harus kandas dan tak bernilai lagi di matanya. Semua sudah kuperjuangkan untuk mempertahankan  keutuhan rumah tangga.

 

Berbanding terbalik dengan dia, yang tak mau mempertahankannya. Berjuang sendiri akan terasa percuma dan sia-sia belaka.

 

Segala upayaku untuk memberikan yang terbaik serupa dengan tanah yang tandus dan gersang, mengharapkan turunnya hujan. Hanya sakit dan perih yang dirasa.

 

Kaki ini berat untuk melangkah pergi, tapi mau gak mau  aku harus pergi. Kukunci rumah ini dan kuletakkan di bawah keset, lalu aku keluar dari gerbang rumahnya dan menunggu angkot lewat yang akan membawaku menuju terminal bus.

 

Sinta dan ibunya begitu baik dan ramah menyambut kedatanganku. Sinta langsung menghambur memelukku.

 

“In, kamu kenapa ke sini bawa koper? Apa yang terjadi denganmu?” tanyanya penasaran.

“A- aku sudah ditalak sama Mas Revan,”  dengan suara parau dan linangan air mata.

 

“Kenapa In, apa yang terjadi dengan rumah tanggamu?” Sinta mencecarku dengan tatapan penuh iba.

 

“ Mas Revan kembali lagi sama mantan kekasihnya, yang sudah mapan dan mandiri. Berbeda denganku yang cuma ibu rumah tangga,” jawabku dengan deraian air mata.

 

“Kurang ajar banget suami kamu! Lihat saja nanti, dia bakal menerima karmanya! Kamu yang sabar ya, badai pasti berlalu. Kamu harus kuat dan semangat demi anakmu.”

 

“Iya, Sin, terima kasih ya, kamu sudah menguatkanku.”

 

“Iya, pokoknya aku akan membantumu melewati masalah ini. Aku gak akan membiarkanmu melewati semua ini sendiri, karena kita sudah jadi keluarga,” ujarnya membuatku tenang.

 

Sinta ini sahabatku dari kecil, aku mengenalnya sewaktu tinggal di panti asuhan yang lama. Rumahnya yang begitu dekat dengan panti membuat kami sering bertemu, kemudian kami jadi akrab. Namun, kami harus terpisah karena panti asuhan harus dipindahkan ke kota, dan aku sendiri tak tahu kenapa di pindah.

 

Sinta kemudian memberikan alamat rumah dan nomor telepon untuk kami terus berhubungan.

 

Hubungan baik ini berlanjut sampai sekarang, dan aku berharap agar persahabatan ini bisa sampai menua bersama.

 

Aku dan Manaf masuk ke kamar yang sudah di sediakan, kami istirahat dulu untuk menghilangkan penat.

 

Selepas Magrib, Sinta dan ibunya sibuk di dapur menyiapkan makan malam. Aku merasa gak enak hati kalau cuma diam saja di kamar tanpa  membantu mereka.

 

“Ehhmm, Sin, Ibu, lagi pada bikin apa?” suaraku membuat mereka menengok dan menatapku dengan senyuman.

 

“Ini, Ibu lagi masak opor, goreng kerupuk dan tempe,” ujar Ibu dengan suara yang lembut.

 

“Ya, sudah, aku bantuin ya!” aku menawarkan bantuan kepada mereka dengan tulus.

 

“Tidak usah, kamu jagain Manaf saja takut dia nangis dan nyariin kamu,” jawabnya serentak.

 

“Sin, Ibu, maaf ya kalau kehadiran kami jadi merepotkan dan jadi beban kamu dan Ibu.”

 

“Jangan ngomong begitu, kami di sini sudah  menganggapmu saudara dan bagian dari keluarga kami. Tidak ada yang merepotkan dan direpotkan.

 

“Terima kasih ya Sin, Ibu, sudah mau menerimaku di sini. Kalau tidak ada kalian, aku bingung harus kemana, aku di sini tidak punya keluarga.”

 

“Iya, In, sama-sama. Kamu jangan sedih ya, kami ada untuk kamu dan Manaf.” Aku memeluk Ibu dan Sinta berbarengan, terharu aku di buatnya.

 

Kadang terbesit dalam pikiranku, kemana orang tuaku? Kenapa mereka meninggalkanku sendirian di panti tanpa perasaan? Apa aku anak yang tak di inginkan?

 

Menurut Ibu panti, aku ditemukan tergeletak di depan gerbang panti. Tanpa identitas, dan tanpa bekal apa pun, hanya baju yang melekat di tubuhku.

 

Terkadang takdir terasa pahit untuk di jalani, dan terasa berat untuk dilalui.

 

Dia akan datang tanpa peduli. Banyak yang kita tak mau dan banyak pula yang kita tak suka. Tapi itu sudah menjadi ketetapan-Nya. Tidak ada yang sia-sia, dan yakinlah dalam setiap ujian dan cobaan pasti ada hikmah yang terkandung.

 

Selepas kami makan malam, dan Manaf pun sudah tertidur pulas, Ibu juga sudah masuk kamar.

 

Aku dan Sinta duduk di teras depan rumahnya sambil ngobrol dan curhat.

 

“Sin, tolong carikan aku kerjaan ya, tapi yang bisa bawa anak!” ujarku dengan penuh harap.

 

“Eee, kalau kerja yang full time, kayaknya gak bisa, mungkin kalau paro waktu bisa,” balasnya dengan nada penuh penyesalan.

 

“Kalau kerja paro waktu, kerja apa? Aku sih mau aja, kerja apa pun yang penting halal buat menyambung hidup,” balasku.

 

“Ya, paling buruh cuci gosok, beberes rumah di perumahan-perumahan. Kalau kamu mau nanti aku ajak kamu ketemu orangnya, dia Ibu Dian namanya. Soalnya dua hari yang lalu aku ketemu sama Bu Dian di jalan, dan dia meminta tolong untuk dicarikan orang yang mau kerja di rumahnya. Soalnya ARTnya berhenti mendadak.

 

“Ya, aku mau Sin. Alhamdulillah kalau ada mah,” jawabku girang sambil loncat-loncat kecil.

 

“Oke, besok aku antar kamu ketemu sama Ibu Dian ya.”

 

“Oke, siiiip.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status