Share

Ketegasan Rama

Ketegasan Rama

"Pak Ra-ma?" Tangan Brian bergetar mendengar ucapan Mas Rama yang langsung bilang memecatnya begitu saja.

"Apa salah kami, Pak Rama?" tanya Mei.

"Hh, apa kalian bodoh atau pura-pura bodoh?"

"Tidak bisa Bapak memecat kami begitu saja." Brian menyahut.

"Siapa bilang tidak bisa, memangnya kalian siapa, disini aku pemilik Rama Corps." Mas Rama mengangkat wajahnya.

"A-apa hanya karena karyawan baru ini Bapak sampai memberhentikan kami semua?" lanjut Mei tak terima, menunjuk ke arahku.

"Kalian keterlaluan!" Mas Rama menggenggam tangannya erat. Barangkali ia hendak meninju orang yang mengiraku karyawan itu. "Wanita yang kalian bully ini, yang kalian cekoki mulutnya dengan minuman ini, adalah ... istriku."

"Apa?" Brian terbelalak.

"Hah?" jerit beberapa orang dalam ruangan itu serentak. Sementara Mei langsung ternganga dan menutup mulutnya dengan telapak tangan.

"Istri? ... jadi?" si manajer gelagapan tak dapat mengeluarkan kalimat lagi dari mulutnya. Tangannya bergetar. Haha, rasakan sensasi gempa bumi sembilan skala ritcher itu, Brian. Sangat menyenangkan, bukan?

"Beraninya kalian menyakiti istriku! Kalian tahu, setetes air mata yang keluar dari matanya bagaikan sungai luka di hatiku. Kalian tahu 'kan siapa aku dan apa yang kulakukan dengan orang yang menyakiti keluargaku?"

"Sa-saya m-min-ta maaf, Pak Rama." Suara Brian bergetar. Celananya tiba-tiba basah entah karena apa. Yang pasti bukan karena minuman bir.

"Maaf? Kalau sudah bersalah baru minta -"

"Mas," potongku, "udah, lihat tuh Brian udah ngompol juga denger ancaman kamu." Aku memegang tangan Mas Rama.

"Nggak bisa, Lov. Kalau dia menyakitiku aku bisa memaafkan. Tapi kalau sudah orang yang sangat kucintai, sampai dia jadi gelandangan dan makan sampah pun aku takkan berhenti."

"Mas, jangan terbawa dendam."

"Mereka harus jadi contoh untuk karyawan lain agar tak macam-macam dengan kamu lagi, Lov."

"Iya, tapi cukup kita perkarakan sesuai hukum yang berlaku. Tolong Mas, jangan menambah musuh. Ingat, Nabi saja memaafkan Yahudi yang selalu mengumpatnya tiap pagi."

"Aku kan bukan Nabi."

"Iya, iya. Yang penting maafkan mereka, tentang konsekuensi yang harus mereka tanggung, serahkan ke polisi. Hatimu jangan sampai dikotori dendam dan kutukan, Mas, hiduplah bahagia tanpa membenci orang lain."

Mas Rama memejamkam matanya dua detik. "Baiklah. Biar polisi saja."

Pandanganku santai menatap Brian yang tertunduk lesu dan masih dengan kaki yang bergetar.

"Kami masih terikat kontrak dengan perusahaan, kalau kami dipecat secara sepihak, Bapak harus bayar denda." Wanita bernama Mei mencoba mengancam.

Mas Rama masih saja cool, suka banget sama gayanya yang tak hirau dengan ancaman musuh. Mas Rama merogoh sakunya dan mengeluarkan ponsel. Ia lalu menelpon seseorang.

"Assalamu'alaikum," tegur Mas Rama. "Ini saya, Panorama Angkasa."

Aku tak dapat mendengar orang yang berbicara di ujung telepon. Intinya, Mas Rama ingin menemuinya untuk mengurus soal hukum pemutusan kontrak kerja perusahaan pada karyawan. Agaknya yang di telepon Mas Rama adalah seorang pengacara. Tak lama kemudian Mas Rama menutup teleponnya.

"Jangan berhentikan kami, Pak, saya mohon," bujuk Brian. Pria itu mendekati Mas Rama.

Ruangan rapat lantas riuh dengan orang-orang yang memohon pada Mas Rama.

"Kami tidak tahu kalau wanita ini istri Bapak, bahkan kami hanya tahu kalau Bapak belum menikah."

"Kami memang menikah tiba-tiba karena suatu hal," ujar Mas Rama seraya meraih tanganku dan menggenggamnya. "Harusnya sekarang jadi bulan madu yang menyenangkan, tapi gara-gara kalian semua berantakan.”

Mas Rama menggandengku dan beranjak dari ruangan rapat itu. Sesampainya di mobil, Mas Rama langsung tancap gas.

Pernikahan kami memang begitu mendadak, dan banyak pihak yang tidak mengetahui. Termasuk Ibu dan kakak-kakakku. Hanya Bapak dan Rindu yang tahu kalau aku menikah, itu pun memang karena permintaan Bapak yang khawatir tak sempat menimang cucu perihal sakit jantungnya yang sudah bertahun-tahun itu.

Pun mengapa aku malah pergi ke kota kecil ini dan membatalkan bulan madu ke Singapur, selain memang karena mengurusi usaha Mas Rama yang terendus masalah di dalamnya, juga untuk menemui ibu dan kakakku yang tinggal di kota ini.

Sejak Ibu bercerai dengan Bapak dan menikah lagi dengan pria yang memiliki jabatan, mereka selalu mencibir dan menghinaku. Aku yang lebih memilih ikut sama Bapak yang akhirnya menikahi janda pula, di mata mereka seperti selalu hidup susah bahkan kuliah pun mengandalkan donatur.

Mobil meluncur menuju sebuah desa di pinggir kota yang tak lain adalah rumah ibuku dan suaminya. Kakak-kakakku pun tinggal bersama mereka.

Apa yang mereka pikirkan ya kalau aku membawa Mas Rama yang terkenal kaya ke hadapan mereka?

"Jangan kamu bilang aku ini Panorama Angkasa pemilik imperium bisnis terbesar di kota ini ya, Lov?"

Aaah. Baru saja aku ingin unjuk ke-superioranku, Mas Rama malah tidak ingin dikenali. Menyebalkan.

"Memangnya kenapa sih, Mas?" tanyaku.

"Kamu mau di rumah nanti diserbu sama wartawan dan penggemarku?"

"Masa sih, Mas?"

"Iya, aku males lho puasa-puasa gini nemuin mereka. Apalagi kalau mereka minta foto segala. Bisa seharian aku berdiri aja kerjaannya."

Mas Rama memang mantan bintang film. Dulu waktu usianya 20 tahun, tepatnya delapan tahun lalu, ia pernah bermain film dengan artis terkenal. Meski aku kadang tak percaya dengan cerita-ceritanya itu karena aku tak pernah melihat wajahnya dulu. Mungkin karena delapan tahun lalu aku masih dua belas tahun.

Namun Mas Rama menunjukkan sebuah poster film jaman dulu yang ada dirinya di salah satu foto pemeran, aku jadi percaya. Aku tak menyangka, selain menikahi konglomerat, aku juga menikahi selebriti. Bahkan saat kuperiksa I*******m Mas Rama, ternyata pengikutnya hampir sepuluh juta. Barangkali memang benar.

Mobil yang kami naiki tiba-tiba bergoyang aneh. Mas Rama lekas menghentikan mobil itu di pinggir jalan.

"Ada apa, Mas?" tanyaku.

"Sepertinya ban kempes," jawabnya, "aduh, mana di tempat seperti ini lagi."

"Apa aku minta jemput Ibu aja, udah nggak jauh kok, kalau mau jalan kaki setengah jam juga sampai."

"Jalan kaki? Bisa lepas lututku."

"Ada ban cadangannya, Mas?"

Mas Rama nyengir, lalu menggeleng.

"Yah, gimana dong?"

"Ya jalan kaki aja deh."

"Haha." Aku tertawa. "Katanya ntar lepas lutut."

"Ya gimana lagi."

Tiba-tiba, beberapa orang mendatangi mobil kami. Dua lelaki bercelana jeans bolong-bolong dan berjaket hitam. Salah satu lelaki mengetuk-ngetuk kaca mobil.

"Ada apa, Pak?" tegur Mas Rama seraya membuka kaca mobil itu.

"Keluar!" ucapnya agak bengis.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
effy
aku sokong pak rama
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status