***
[Terima kasih, Sayang untuk uangnya, sudah Mas terima.]
Dinda menyeringai, kala menatap layar ponselnya yang tiba-tiba menampilkan sebuah pesan dari Arkan.
Tanpa membalas pesan tersebut, Dinda kembali memasukan benda pipih itu ke saku blazer, kedua manik matanya langsung berfokus pada salah seorang pekerja yang tidak lain adalah Nadin.
Dalam benaknya, Dinda terus bertanya-tanya mengenai sejak kapan Arkan dan Nadin mengkhianati dirinya.
"Nadin, kemari kamu!" ketua Dinda, memuat sang empunya nama sedikit terperanjat.
Nadin yang Dinda kenal sedikit polos, baik dan cukup kompeten, ternyata adalah ular yang diam-diam menusuknya dari belakang.
"Ada apa, ya, Bu?"
"Cepat masuk ke ruangan saya!"
Para pekerja lainnya sedikit berbisik satu sama lain, mereka merasa ada yang tidak beres kali ini.
Karena mereka tahu, tiap kali ada seseorang yang Dinda panggil ke ruangan, maka besar kemungkinan orang itu sedikit bermasalah.
"Ba-baik, Bu!"
***
Brak!
Nadin terperanjat dari posisi berdirinya, ketika mendengar suara yang cukup keras, di mana berasal dari beberapa berkas yang sengaja Dinda bantingkan ke atas meja.
"Apa-apaan ini, Nadin!"
"Ma-maksud, Ibu?" tanya Nadin dengan sedikit tergagap-gagap.
"Coba kamu lihat sendiri, apa ini yang di namakan dengan pekerjaan, hah!"
Dinda berteriak dengan cukup nyaring, matanya membeliak sempurna, begitupun dengan dadanya tiba-tiba naik turun secara tidak teratur.
Amarah Dinda benar-benar telah berada di puncaknya. Dia begitu muak sekaligus marah, ketika melihat wajah Nadin yang tampak begitu polos, padahal tersimpan beribu kebusukan di dalamnya.
"Ma-maafkan saya, Bu. Saya sungguh menyesal," ucap Nadin seraya menunduk dalam.
"Bawa semua berkas-berkas itu dan perbaiki hari ini juga!"
Sontak, Nadin langsung mendongak, mulutnya menganga dengan lebar, kala kedua bola matanya jatuh pada tumpukan berkas-berkas yang cukup banyak.
"Ta-tapi, Bu, ini cukup banyak, saya takut tidak bisa menyelesaikannya hari ini juga."
Brak!
Dinda bangkit dari duduk, dia mengebrak meja dengan cukup kasar. Hingga pandangan Dinda dan Nadin bertemu satu sama lain.
"Kamu mau masih mau membantah perintah saya atau kamu keluar dari sini sekarang dan jangan pernah kembali lagi."
Deg!
Nadin kembali menunduk, dia meremas tangannya dengan cukup kasar, giginya pun ikut bergemertuk.
Hingga selang beberapa detik kemudian, Nadin mengangguk, kedua tangannya mulai meraih berkas yang ada di atas meja.
"Baik, Bu. Akan saya kerjakan."
"Cepat!" balas Dinda seraya kembali menjatuhkan bokongnya ke kursi kerja.
Baru saja Nadin berbalik, hendak melangkah dari ruangan Dinda, tiba-tiba saja Dinda kembali berkata dengan penuh penekanan.
"Kalau kinerja kamu menurun, saya tidak segan-segan memecatmu dari sini. Camkan itu!"
"Maafkan saya, Bu," lirih Nadin seraya menundukkan kepala.
"Sudah, cepat sana pergi!"
***
"Ah, s*al!" hardik Nadin seraya meletakkan beberapa berkas yang dia bawa dari ruangan Dinda dengan cukup kasar, hingga membuat beberapa teman kerjanya terperanjat.
"Awas saja, Dinda. Setelah semuanya selesai, kamu tidak akan bisa berkutik lagi, sebentar lagi semuanya akan berakhir, termasuk keangkuhanmu itu, j*l*ng!" batin Nadin sembari menyeringai.
Diantar semua teman kerjanya, tidak ada yang berani menyapa Nadin ataupun menanyakan masalah yang menimpa wanita berambut pirang tersebut.
Bukan tanpa alasan, tetapi para karyawan yang bekerja langsung dengannya sudah tahu tentang sikap Nadin yang sebenarnya. Di mana wanita itu begitu pandai memakai topeng untuk menutupi jati dirinya yang sebenarnya.
Karena masih begitu kesal, Nadin pun mengambil ponselnya dari laci dan mengetikkan sebuah pesan untuk Arkan.
[Sayang, hari ini menyebalkan! Ah, aku begitu marah!]
Tidak lama kemudian, muncul balasan dari Arkan yang tidak lain adalah kekasih Nadin.
[Memangnya kenapa, Sayang?]
[Si Dinda benar-benar menguji kesabaranku. Aku tidak sabar, ingin melihat wanita itu bertekuk lutut padaku!]
[Ah, cepatlah, Sayang! Aku benar-benar sudah lelah bekerja di bawah telunjuk si j*l*ng, Dinda.]
Nadin memutar bola mata malas, dia mengepalkan tangannya kuat-kuat dengan mata yang ikut melebar sempurna.
Beberapa detik kemudian, Nadin kembali menatap layar ponsel, ketika dia mendapatkan balasan dari Arkan.
[Kamu hanya perlu menunggu aku dan Dinda resmi menikah, setelah itu semuanya akan berakhir, Sayang.]
Kedua sudut bibir Nadin terangkat ke atas, ketika membaca balasan dari Arkan. Tidak bisa dia bayangkan, kalau semuanya telah jatuh ke tangan Arkan.
[Baiklah, lakukan dengan baik, Sayang. Aku mencintaimu.]
[Aku juga.]
Namun, belum sempat Nadin membalas pesan dari Arkan, tiba-tiba seseorang meraih ponsel Nadin dan melemparkannya dengan cukup ke lantai.
"Ah, s*al*n apa yang kamu lakukan b*ngs*t!" raung Nadin secara spontan.
Hingga pada akhirnya, tubuh Nadin menegang, keringat langsung membasahi tubuhnya, ketika dia baru sadar siapa orang berdiri di depannya.
"Kamu tidak mematuhi perintah putri saya?"
***
"Bu-Bu Anjani!" ujar Nadin seraya bangkit dari duduk, dia sedikit terbata-bata. Matanya bergerak dengan cukup cepat, bibirnya pun ikut pucat pasi layaknya mayat.Bibir Nadin terlihat bergerak secara tidak teratur, tepat di bawah meja sana, kedua tangannya saling meremas satu sama lain."Ma-maafkan, saya, Bu. I-itu semua tidak seperti yang Ibu dengar, sa-saya benar-benar minta maaf." Nadin menunduk, wanita berambut pirang itu mengigit bibir bawahnya kuat-kuat.Kedatangan Anjani yang tidak lain adalah mantan pemilik perusahaan tempat Nadin bekerja, berhasil membuat semua orang melongo, termasuk Nadin sendiri.Semua orang merasa, kalau Nadin akan berada dalam masalah besar, karena secara tidak sengaja telah melontarkan kata-kata kasar pada wanita yang di kenal sebagai anak dari pemilik perusahaan tersukses tahun ini.Secara bersamaan, Dinda yang mendengar adanya suara keributan di l
"Eyang Putri!"Dinda berteriak kala melihat seorang wanita paruh baya yang tengah duduk di kursi roda seraya menikmati sebuah apel.Mega--yang tak lain adalah nama asli dari Eyang Putri, menoleh ke sumber suara, seulas senyuman terpancar dari bibirnya, ketika melihat cucu perempuan satu-satunya itu datang."Ya ampun, cucu Eyang datang, tapi gak kasih kabar dulu," ujar Mega seraya merangkul Dinda dengan penuh cinta."Maafin, Dinda, Eyang. Soalnya Dinda sama Ibu dadakan ke sininya, jadi gak sempet kabarin, Eyang."Mega menggeleng, dia mengusap rambut hitam legam milik cucunya itu dengan penuh kasih sayang."Tidak apa-apa, Sayang. Eyang, hanya sedih, karena gak bisa nyiapin makanan kesukaan kamu."Pandangan Mega pun tidak lepas memperhatikan ke arah tangan Dinda."Lihatlah, kamu sangat kurus, Dinda. Apa kamu
Malam harinya, sepulang dari kediaman Bramantyo, Arkan yang mengendarai motor matic yang diberikan oleh Dinda sebagai kado ulang tahunnya yang ke-28.Melaju dengan kecepatan penuh, Arkan membelah jalanan yang cukup ramai, bermaksud menemui Nadin yang tidak bisa di hubungi sedari siang.Sesampai di depan kosan Nadin, Arkan memarkirkan motornya secara sembarangan, kemudian dia langsung mengenakan topi dan bergegas melangkah menuju kamar Nadin yang berada paling pojok.Sesekali Arkan memperhatikan sekitar, takut ada orang yang memergoki aksinya. Apalagi Arkan tahu, kalau kosan ini banyak di huni oleh karyawan yang bekerja di kantor Dinda.Tok ... tok ....Tidak lama kemudian, pintu terbuka, Arkan terperangah ketika melihat penampilan Nadin tampak jauh berbeda dari biasanya, di mana rambut acak-acakan dan matanya tampak begitu sayu."Ada apa?" tanya Nadin tanpa b
Keesokan harinya, Dinda kembali datang ke kantor dengan seperti biasanya. Hanya saja, kali ini dia jauh lebih memperhatikan seseorang yang tidak pernah dia sangka-sangka adalah duri dalam hubungan cintanya dengan Arkan.Wanita berparas cantik yang terlihat lemah lembut itu, ternyata adalah seorang ibl*s yang menyamar sebagai manusia.B*d*hnya Dinda yang menerima Nadin bekerja tanpa merasa curiga sedikitpun pada wanita tersebut."Bu Dinda!" sahut seseorang yang membuat Dinda langsung tersadar dari lamunannya."Ada apa, Kinara?"Wanita bernama Kinara yang tidak lain adalah karyawan Dinda itu, terlihat mengigit bibir bawahnya kuat-kuat, seperti ragu ketika hendak mengatakan sesuatu."A-anu, Bu, sa-saya ...," ujar Kinara dengan sedikit terbata-bata.Namun, Dinda yang tengah memicingkan mata, seketika sadar, kalau ada sesuatu
Setelah mendapat persetujuan dari Kinara, Dinda kembali mempersilahkan karyawannya itu untuk kembali bekerja.Dinda tidak ingin, jika karyawannya yang lain akan merasa curiga, kalau dia dan Kinara mengobrol dengan cukup lama.Sepeninggalnya Kinara, Dinda pun segera meraih gagang telepon kantor, jari tangannya menekan beberapa buah nomor yang hendak dia hubungi."Iya, Bu, ada keperluan apa?" sahut seseorang dari balik telepon."Dzikri, tolong datang ke ruangan saya secepatnya. Kalau semuanya sudah selesai, bawa apa yang saya minta kemarin.""Baik, Bu!"Tidak lama kemudian, sambungan telepon terputus. Dinda kembali meletakkan gagang telepon pada tempatnya.Apa yang sudah Dinda katakan, kalau dia dan Dzikri akan bersikap profesional ketika berada di kantor, berbanding terbalik ketika berada di luar.***
"Ha-halo, ada apa, Bang?" tanya Dinda dengan sedikit terbata-bata, sesekali dia menggigit bibir, menunggu jawaban dari June."Kamu ada di mana?"Sontak, Dinda membeliak, secara spontan dia langsung menyandarkan tubuhnya pada meja kerja."Tentu saja aku ada di kantor, memangnya kenapa?""Aku akan ke sana sekarang!""Apa?!" teriak Dinda dengan cukup keras, hingga membuat Dzikri terlonjak. Dalam hati, Dzikri terus berucap syukur, karena dia tidak memiliki riwayat sakit jantung maupun darah tinggi. Kalau hal itu sampai terjadi, bisa-bisa riwayatnya benar-benar tamat gara-gara Dinda yang tidak bisa mengontrol diri."Lah, bukannya Abang ada lagi di luar kota, lantas kenapa tiba-tiba ingin bertemu denganku?" tanya Dinda yang dipenuhi oleh beribu kebingungan.Mendengar hal tersebut, Dzikri yang tengah meminum sebotol air mineral, hampir saja tersendak. Untung saja, Dinda tidak menyadari hal itu, kalau saja Dinda alias macan betina--panggilan akrab yang selalu Dzikri lontarkan pada wanita i
"Jadi, apa yang mau Abang bicarakan?"Dinda langsung membuka percakapan, ketika dirinya dan June sudah berada di sebuah kafe yang sangat sepi.Sesekali Dinda mengedarkan pandangan ke sekeliling, berharap ada tamu yang masuk ke kafe, sehingga suasana yang terasa diantara dirinya dan June tidak terlalu mencekam.Namun, seketika saja kedua bola mata Dinda membulat, kala dia melihat ada tulisan tutup yang terpampang di pintu masuk."Bang, kafenya lagi tutup, kenapa kita masuk ke sini. Ayo, kita cari kafe yang lain!"Di saat Dinda berdiri, hendak melangkahkan kaki, tiba-tiba saja June menarik tangan Dinda, hingga adiknya itu kembali terduduk di kursi."Sengaja gue sewa kafe ini, biar bisa ngobrol empat mata sama lu."Deg!Dinda menelan ludah, keringat dingin terasa membanjiri tubuhnya. Sesekali dia menggigit bibir, kala merasakan sorot tajam June mengarah langsung padanya."Memangnya apa yang mau Abang bicarakan?"June menghela napas panjang, kemudian merogoh sesuatu dari saku jaketnya. "
Waktu yang berjalan terasa jauh lebih singkat dari biasanya, hawa di sekitar ruangan terasa begitu menyesakkan dada. Sesekali Dinda mengetukkan jari telunjuknya pada meja kafe, berusaha mengusir jenuh dan ketegangan yang terus menghantui diri. Tidak ada obrolan yang terjadi diantara ketiganya, semua orang terdiam membisu, sibuk dengan pikiran masing-masing.Namun, tanpa Dinda sadari, bahwa sedari tadi June sesekali melirik ke arahnya dengan tajam."Sebentar lagi Eyang datang, kamu harus bersiap menjelaskan semuanya, Dinda," ucap June memecah keheningan.Dinda menghela napas panjang, kembali mengangguk pelan."Iya, Bang.""Tidak usah panik, aku yakin kalau Pak Bramantyo tidak akan memarahimu." Dzikri berusaha menenangkan Dinda. Dia tahu kalau gadis itu tengah dilanda rasa ketakutan."Iya, aku tahu, Dzikri.""Kamu tahu, tetapi wajahmu sama sekali tidak memperlihatkan hal tersebut," celetuk Dzikri membuat Dinda langsung menoleh, menatapnya tajam."Diam!" geram Dinda seraya menggertakka