Share

BAB 9

Senja berjalan menuju kamar Gauri untuk mengatakan sesuatu yang tidak sempat terucapkan saat pagi tadi karena Dipta menariknya menjauh dari kamar Gauri.

Saat ini sudah pukul delapan malam, semoga waktu yang tepat, pikir Senja. Ia tidak ingin menunda membahas permasalahan yang terjadi. Ia ikut berandil didalamnya.

Senja mengetuk pintu kamar dan pintu kamar terbuka menampakkan wajah Trisma.

“Mbak Senja? Mbak mau—”

Senja menganggukkan kepalanya. Sepertinya Senja dan Trisma memiliki ikatan telepati karena tanpa Trisma menyelesaikan kalimatnya, Senja sudah tahu apa maksudnya.

“Sudah kamu sampaikan pada Gauri?” tanya Senja.

Trisma langsung menganggukkan kepalanya, tersenyum lebar dan mengangkat jari jempol kanannya kearah Senja.

“Non, Mbak Senjanya udah datang,” Trisma memberitahu kedatangan Senja pada Gauri. “Semoga berhasil, Mbak,” ucap Trisma sambil berlalu keluar kamar.

Senja berjalan masuk kedalam kamar Gauri dan menemukan Gauri duduk diatas kasur sambil membaca buku.

“Waktumu lima menit,” ujar Gauri tanpa menoleh kearah Senja berdiri.

“Apakah Nona membenciku?” tanya Senja langsung to the point.

Gauri berdengus kecil seakan mengatakan ‘pertanyaan bodoh yang tak perlu ditanyakan.’

“Kalau iya kenapa?” Gauri balik bertanya tanpa melihat Senja.

“Aku minta maaf karena mencampuri urusan keluarga kalian.”

Gauri menutup bukunya secara kasar dan melirik tajam kearah Senja.

“Sudah permintaan maaf yang keberapa itu? Aku bosan mendengarnya. Kalau kamu benar-benar merasa bersalah, keluar dari rumah ini sekarang juga!”

“Aku nggak bisa keluar, Non.”

“Nggak bisa atau nggak ada usaha? Itu dua hal yang berbeda.”

Senja dibuat tersentak oleh ucapan Gauri. ‘Tidak ada usaha,’ pikir Senja membenarkan perkataan Gauri. Senja belum pernah mencoba berusaha berbicara dengan Eyang Chandra mengenai kontrak kerja. Walaupun pada kontrak kerja tertulis Pihak Kedua tidak boleh membatalkan kontrak dengan Pihak Pertama, artinya Pihak Pertama bisa membatalkan kontrak, bukan? Ia akan meminta Eyang Chandra untuk membatalkan kontrak kerjanya karena itu pilihan terbaik untuk semuanya, Eyang Chandra, Gauri, Senja dan Dipta. Setidaknya Senja tidak berada diantara mereka. Ia akan kembali pada tempatnya semula.

“Kalau aku sudah berusaha dan tetap tidak bisa, apakah Nona masih membenciku?”

“Tergantung, apakah kamu bisa diajak kerjasama denganku atau tetap berkerja sebagai orang suruhan Eyangku.”

Senja termangu sesaat. Memikirkan perkataan Gauri barusan. Jawaban apa yang akan dia berikan?

“Bagaimana? Apa jawabanmu?” tanya Gauri.

“Aku akan berada di pihak kalian bertiga. Kamu, Eyang Chandra dan Tuan Dipta. Aku akan melakukan apa yang menurutku benar untuk dilakukan,” jawab Senja pada akhirnya.

“Perkataan terlucu yang pernah aku dengar,” sindir Gauri dengan tertawa hambar. “Keluarlah, waktu lima menitmu sudah habis.”

“Sebelum keluar, ada yang mau aku katakan, Non.”

“Kata apa lagi? Minta maaf lagi?”

Senja mendekat pada kasur yang ditempati Gauri dan berlutut dilantai marmer.

Gauri terperanjat. “Apa yang kamu lakukan?”

“Jangan pernah berpikir untuk melukai diri sendiri, Non. Saya harap kejadian kemarin adalah pikiran untuk yang terakhir kali.”

Gauri melirik tangan kanan Senja yang terluka. Seharusnya dirinyalah yang terluka dan bukan dia. Mendadak perasaan bersalah hinggap di hatinya. Secepat kilat perasaan itu diusirnya, agar ia tetap bisa membenci Senja.

“Kamu mengasihaniku?” tanya Gauri.

Senja menggeleng. “Bukan, Non. Aku nggak mengasihani siapa pun, justru aku mengasihani diriku. Walaupun begitu, aku nggak pernah mau melukai diriku sendiri, karena orang lain sudah melakukannya. Orang lain itu adalah keluargaku sendiri, dia selalu—”

“Cukup,” Gauri memotong perkataan Senja. “Aku nggak mau mendengar curahan hatimu. Kamu pikir kita sudah sampai ke tahap itu?”

Senja tersenyum lalu berujar, “aku harap kita akan sampai pada tahap itu.”

“Teruslah bermimpi! Sebelum hal itu terjadi, kakakku akan membuatmu pergi dari rumah ini.”

“Aku akan terus bermimpi, Non. Karena mimpi itu ‘kan gratis,” gurau Senja dengan cengar-cengir.

“Banyak sekali kamu mengorupsi waktu,” keluh Gauri. “Keluarlah sekarang sebelum aku menyuruh pengawal untuk menyeretmu.”

Senja berdiri dan pamit keluar dari kamar Gauri. Sebelum Senja sampai ke kamarnya, seseorang dengan setelan serba hitam menghampirinya dan berkata, “Ikuti saya.”

*~*~*~*~*

“Bagaimana perjalanannya? Menyenangkan?” tanya Dipta pada Gerka yang jiwanya masih tertinggal di Bali.

“Gila, gila, gila…” Gerka masih tidak percaya pada apa yang baru saja dia alami. “Kenapa setelah sekian lama berteman, kemampuan hebatmu itu baru dipergunakan?”

Dipta mengedikkan bahunya sebagai jawaban. Ia mengambil kotak rokok merek Hyans dari saku jaketnya, mengambil sebatang rokok dari dalam kotak, memantik api menggunakan pemantik Zippo pada ujung rokok, menghisap rokoknya dan mengeluarkan asap dari bibirnya.

Gerka memang selalu berpergian kemanapun menggunakan pesawat kelas atas seperti Sky Air, IndoPlane, ataupun Maharaja. Ketiga nama pesawat terbaik di Indonesia. Nomor tiga dipegang oleh Maheswara Group. Tetapi ia tidak pernah menggunakan salah satu dari ketiga pesawat kelas atas tersebut secara pribadi untuk dirinya sendiri. Keluarga Gerka belum sanggup untuk melakukan hal itu. Berbeda cerita dengan sahabatnya Yohan dan Dipta. Mereka berdua bisa melakukan apa saja.

“Tampar aku, Han,” suruh Gerka pada Yohan yang sedang serius melihat proposal kerja di hp Samsung Z Foldnya. “Apa aku sedang bermimpi?”

Yohan Bramasta, sang CEO gila kerja, mengalihkan pandangan dari handphonenya kearah Gerka. “Berapa kali?” tanya Yohan. “Sepuluh kali cukup?” candanya.

“Kamu kira wajahku itu ring tinju?” ucap Gerka kemudian melirik layar handphone Yohan yang menampilkan surat proposal kerja. “Ayolah, Han! Ini hari minggu, Bro.”

“Justru karena hari minggu, Ka. Aku harus tetap kerja,” jawab Yohan yang disambut gelengan kepala kedua temannya.

“Kamu contohlah temanmu si pengangguran hebat banyak gaya itu,” tunjuk Gerka dengan matanya yang mengarah pada Dipta secara terang-terangan. “Karena hal sepele dia memesan pesawat terbang kayak memesan nasi padang.”

Dipta membalas, “karena temanmu si pengangguran hebat banyak gaya ini,” tunjuknya pada diri sendiri. “kamu bisa merasakan naik pesawat terbang layaknya raja dari kayangan.”

“Ya…ya…aku akui itu,” ucap Gerka mengakui bahwa dirinya tadi terlalu norak saat dijemput pesawat terbang itu layaknya raja semalam.

“Jadi hal penting apa yang sangat mendesak sampai kamu memesan pesawat khusus untuk Gerka?” tanya Yohan.

“Iya, Ta. Sebenarnya ada apa?”

“Bantu aku untuk mengurus seseorang,” kata Dipta sambil mematikan puntung rokoknya yang tinggal seperempat bagian.

“Siapa?” tanya Gerka dan Yohan secara bersamaan.

“Bidari Senja,” jawab Dipta dengan seringai khasnya yang mengerikan.

*~*~*~*~*

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status