Share

RINDU SAMPAI DADA INGIN PECAH

Suara peringatan daya handphone lowbat merenggutku  kembali ke alam sadar. Entah berapa lama tertidur dalam posisi seperti ini, duduk menenggelamkan muka di antara dua paha. Melirik jam pada handphone yang dayanya sisa lima persen, tertera angka 03.00 dini hari.

Rasa haus mendera membuatku menimbang apakah keluar membasuh tenggorokan dengan segelas air atau tetap bertahan dalam kamar.

Bukannya ingin menyiksa diri, benci yang terlanjur menggunung memaksaku sedikit kejam. Dahaga tentu dapat di tahan, tapi hati terbakar murka kala melihat pria itu, aku tidak yakin dapat menahanya.

Setelah memastikan segalanya akan baik-baik saja, sebab pria itu tentu telah terlelap, aku beringsut meninggalkan kamar. Menoleh sejenak pada tiap kamar yang kulewati khawatir bertemu pria tersebut dengan tanpa sengaja. Ini beralasan, sebab pada film-film yang pernah kusaksikan kejadian ini hampir selalu ada.

Sepelan mungkin aku berjalan memasuki dapur berlantai semen yang dinginnya menusuk kaki telanjangku. Lampu dapur yang dibiarkan tetap menyala menerangi tungkaiku bekerja dalam redup cahaya. Seingatku semalam saat melewati ruangan ini untuk menuntaskan hajat, tidaklah seredup ini. Penasaran kutengadah, benar duganku, lampu ini menggunakan tenaga surya, pantas saja tak seterang sebelumnya.

Membayangkan semua rumah di desa ini menggunakan penerang dari tenaga surya seperti ini membuatku tersenyum. Program pemerintah untuk menghemat listrik harusnya sukses di sini.

Kuedarkan pandangan. Jika ruang tamu dan ruang tengah seluruhnya berdinding beton, maka bagian dapur hanya berdinding papan meranti yang disusun tegak lurus ke atas, lalu di beri cat hijau.

Tak ada meja makan lengkap dengan kursi seperti kebanyakan meja makan di kota, yang ada hanya meja lesehan berbentuk bulat bertaplak putih yang juga berpotongan bulat. Di bawah meja di gelar sebuah tikar rotan persegi empat berukuran 2x2 meter. Di atasnya sebuah tudung saji besi menutupi apapun di bawahnya.

Perabotan rumah ini tak terlalu banyak sehingga ruangannya terlihat luas. Netraku beralih pada kulkas yang di letakkan di samping pintu pemisah ruang dapur dan toilet, itu yang menjadi tujuanku saat ini.

Beberapa langkah lagi dahagaku segera tertuntaskan. Tiba-tiba aku membeku. Di sana seseorang tengah bersandar pada salah satu tiang penyangga dapur. Terpaku menatap kosong ke arah jendela yang terbuka. Hamparan sawah terbingkai menjelma lukisan permai di bawah pendar rembulan menjadi objek matanya.

Ku pindai ia dalam diam. Walaupun hanya sebagian, tapi bisa kulihat jelas dagu terbelahnya dalam temaram cahaya. Dagu yang membuatku tergila-gila padanya dulu. Celana pendek perkakas cokelat dan t-shirt hitam berpola garis merah yang ia kenakan terlihat pas pada tubuhnya. Tidak ada lagi pria kurus dengan rambut cepak andalan yang sering kali mengerucutkan bibirku sepulang ia bercukur karena ketampanannya meningkat berkali lipat. Kini, di hadapanku hanyalah seorang pria dewasa dengan sorot mata lelah.

Aliran darahku berdesir panas menyadari hampir saja mataku mengkhianati hati dengan memuji penampilan pria itu. Dahulu mungkin ketika melihat ia termenung seperti itu, aku dengan mengendap akan berjalan menghampiri lantas memberikan kecupan dalam pada ceruk lehernya lalu ia akan tertawa karena geli yang bibirku ciptakan. Tapi itu dulu. Sekarang, keinginanku hanya satu, jika boleh ingin sekali aku mendatanginya lalu menebas habis leher itu.

Mengurungkan niat sebab dahagaku lenyap seketika, aku berputar menuju kamar. "Kau haus?" suara bass menghentikan langkahku.

Satu detik,

Dua detik,

Tiga detik,

Hingga di detik ke sepuluh aku kembali melangkah.

"Maaf."

Satu kata, tak ayal membuatku kembali menahan diri.

"Aku rindu. Tidak. Sangat rindu. Sampai rasanya dada ingin pecah menahannya."

Entah mengapa mendengarnya mengatakan itu mendidihkan cairan merah dalam nadiku. Berbalik, menatap tajam penuh kemurkaan, aku mau ia tau rasa benciku sedang bergelora ingin mencabik-cabik mulutnya.

Di bawah temaram lampu dapur matanya sendu tertunduk. "Aku pikir kita tidak akan pernah bertemu lagi. Aku... hampir gila mencarimu," katanya masih tertunduk, kemudian menatapku sendu. Dalam hati aku mencibir, ekspresi itu tidak cocok dengannya. Pria sejahat dia sudah sangat cocok dengan ekspresi tidak pedulinya seperti saat meninggalkanku dulu untuk bersanding dengan wanita lain.

Lagi pula, apa yang dia harapkan dari kalimat sampahnya itu? Aku tersentuh? Atau aku berlari memeluknya menumpahkan segala rindu? Silahkan berharap. Tapi aku tidak akan melakukan itu.

Kulangkahkan kaki meninggalkan dirinya tanpa sepatah kata, tidak peduli ia menatapku dengan sorot memohon. Apa perduliku? Silahkan mati dalam rasa penyesalan dan rindu. Itu cara satu-satunya aku memaafkan dia, walaupun aku tidak yakin.

Sudah kukatakan benciku padanya tak lagi berwarna merah tapi telah berganti hitam. Bisa di bilang tiada maaf baginya. Kutarik napas dalam lalu menghembuskannya berlahan, aku harus tenang, kewarasanku harus tetap terjaga, malu rasanya jika tidak bisa mengendalikan amarah di depannya. Ia pasti akan mencibirku mengetahui setelah kabur berpuluh tahun masih saja menjadi Aling yang tak bisa menguasai diri.

Sesampai di kamar, aku kembali memperhatikan foto pria itu bersama bocah kecil dalam dekapannya.

Geli mengingat ucapannya tadi. Sungguh sangat kontras dengan ekspresi yang tertangkap dalam bidikan kamera di hadapanku.

Tanganku sudah bergerak ingin membanting bingkai itu. Tapi hati kecilku menjerit mengingatkan. 'Jangan Aling! Atau kau mungkin akan di tinggalkan oleh bayanganmu sendiri karena mempermalukan diri. Jangan biarkan ia tahu, kau masih tersakiti olehnya.'

Aku tau pria itu sedang menghinaku. Buktinya, ia dengan tak tahu diri membawa anak wanita itu tinggal di rumah orang tuaku. Semakin tidak habis pikir, kakak-kakakku selain kak Min, amat sangat membenci pria itu sepertiku.

Bagaimana bisa mereka membiarkan hal ini? Kemana istrinya? Apa jangan-jangan ini kamar tidur mereka? Tapi kenapa dalam frame itu hanya ada pria itu dan buah hati mereka? Atau parahnya jangan-jangan ini bukan rumah mamak tapi rumah pria? Astaga apa yang harus aku lakukan.

***

Azan dari surau di ujung desa mulai terdengar, kokok ayam jantan bersahutan, ini subuh pertamaku di desa. Kegelisahan dan kekhawatiran serta tidur yang kurang semalam membuat kepalaku pusing.

Berpegangan pada kepala ranjang berukiran klasik, aku berusaha bangkit. Sempoyongan berjalan menunju jendela kamar bertirai biru yang menjuntai sampai lantai. Kuelus sejenak sebelum menyibaknya, dari tekstur kainnya sepertinya menggunakan bahan akrilik. Pantas saja semalam aku tak kedinginan walau tak menggunakan selimut. Setahuku bahan jenis ini memang berfungsi menghangatkan ruangan ketika cuaca dingin.

Berlahan kugeser tirai itu untuk membuka jendela. Lembut hembusan angin pagi menerpa wajahku kala daun jendela terbuka. Di luar sana masih gelap. Ini masih jam lima subuh, belum banyak aktifitas yang terjadi selain beberapa orang terlihat sedang menuju surau untuk melaksanakan salat subuh. Setelah melihat-lihat sebentar, kuseret kaki menuju dapur.

Pintu kamar mandi terkuak menampilkan pria yang paling aku benci di muka bumi ini berjalan keluar sambil mengeringkan rambut dengan handuk berwarna hitam. Berhenti tepat di depan cermin yang tergantung di antara dinding pemisah kamar mandi dan toilet.

Aku berdecih tatkala melihatnya hanya menggunakan boxer. Tak berubah, masih seperti dulu, tidak pernah peduli dengan sekitarnya. Setidaknya dia harus tahu diri, ia sedang bersama wanita dan tidak sepatutnya berlalu lalang hanya dengan menggunakan celana seperti itu.

Baru saja akan berbalik ke arah kamar, aku pias tatkala pria itu berbalik dan mata kami bertemu. Cukup lama sampai ia mengalihkan pandangan, kemudian berlalu melewatiku yang masih terpaku.

Ada gelenyar amarah bertalu dalam dada. Harusnya aku yang berbalik meninggalkannya. Bukannya dia yang meninggalkanku.

"Salah satu manfaat salat berjamaah bersama pasangan adalah meningkatkan keharmonisan berumah tangga. Tidak keberatan bila salat bersamaku?" Kakiku sudah akan masuk ke dalam kamar mandi saat ia berhenti dan menoleh padaku tepat pada pintu pemisah ruang makan dan kamar mandi.

Dentuman keras pintu kamar mandi yang dibanting semoga menjawab ajakannya. Bagaimana ekspresinya? Aku tidak ingin tahu.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status