Sudah lebih dari satu minggu dan setan itu terus mengikuti Aji kemanapun ia pergi. Walaupun sosok itu tidak sejahil sosok lainnya namun tetap saja ia merasa ngeri. Sosok itu selalu muncul tiba tiba. Dan setiap kali muncul tak pernah dalam keadaan bersih. Selalu ada darah.
"Akhh, please. Jangan ganggu gue, dong."
"Lo selama ini diajarin buat nolong orang nggak, sih?" sosok itu melipat kedua tangan di dada. Mencegat Aji yang hendak ke kamar mandi.
"Diajarin."
"Berarti lo harusnya bisa nolong gue." Sosok itu bedecak sembari menghentakkan kakinya. Aji ikutan berdecih.
"Kakak-kakak gue ngajarin buat nolong sesama manusia. Gue tegasin, MANUSIA!" Aji sengaja menekan kata terakhir sebelum kembali menyusuri lorong sekolah menuju kamar mandi.
"Gue kan pernah jadi manusia! Aji! AAJIII!!"
Aji tak peduli. Itu bukan urusannya. Didalam kamar mandi ada sosok lain yang sedang berdiri dengan gamang.
***Mama Juna sudah menyambut dengan celemek coklat di badannya. Tanpa ragu cewek berkaos biru itu melepas tas ransel kecilnya dan melenggang untuk menyapa Mama Juna."Mama," ucap Raina sambil memeluk Mama Juna dari belakang."Udah dateng?""Udah dari tadi, tapi berhenti di Indimaret dulu makan jajan," jawab Raina."Eh, tadi langsung kesini aja. Mama, kan, masak banyak. Bikin camilan juga.""Beli keripik tempe buat Ali." Raina berkata ringan. Tidak, sebetulnya bukan untuk alasan itu Raina mampir ke Indimaret. Hanya ingin duduk menikmati lalu-lalang jalanan yang ramai.Semalam Raina bertengkar hebat dengan Mamanya. Pasal Raina yang sudah lelah dengan sikap menyebalkan kedua orang tuanya. Raina tahu sejak lama bahwa Mamanya main belakang. Membawa pulang laki-laki lain setiap kali Papa sedang dinas keluar kota. Dan kemarin malam, lagi lagi Mama membawa laki-laki yang berumur setengah abad. Raina muak d
***Aji pamit ke Ali untuk pulang terlambat. Dia bilang akan ketemu dengan Setiaji untuk membicarakan sesuatu. Padahal itu hanya alibi karena Aji akan keluar bersama Zahra.Sore itu langit barat sedang cerah. Ada cahaya oranye yang memenuhi separuh langit meski matahari belum sepenuhnya tumbang."Kak Lino, hari ini Aji mau bilang suka ke Zahra. Bilangin ke Tuhan biar semua lancar, ya?" batin Aji ditengah ramai antrian bus. Entah ramai manusia atau ramai dengan sosok aneh, intinya sore itu sangat ramai.Zahra minta ketemuan di sebuah kafe yang tak terlalu jauh dari sekolah. Kafe yang selalu mereka datangi hanya untuk ngobrol atau mengerjakan tugas bersama kawan kawan lain. Kafe itu milik kakaknya Setiaji, jadi sekalian menjadi pengelaris.Macet jakarta selalu menjadi teman paling setia di sore hari. Bersamaan dengan pulang anak sekolahan dan pekerja kantoran. Membuat seluruh kota padat akan kendaraan atau manusi
***Raina memang sudah terbiasa dengan keluarga pak Prihatmoko. Cewek itu bahkan sudah sangat bisa diajak adu mulut dengan Mas Abim, gelud dengan Ali dan Lana atau bersekongkol dengan Setiyaki untuk membuat Sonnie ngambek. Akrabnya Raina dengan keluarga Pak Prihatmoko dimulai belum lama. Namun cara Raina mendekatkan diri dengan keluarganya terlampaui hangat. Bahkan Papi dan Mama sempat ingin mengadopsi Raina. Tapi ya masa iya. Raina bukan kucing.Seperti malam ini. Raina ikutan pusing dengan Aji yang tidak memberi kabar hingga larut malam."Tenang aja, Mah. Paling Aji kejebak di kafenya Bang Jeno sama Setiaji. Nggak akan kenapa-napa." Ali berkata santai. Masih ngunyah keripik tempe yang tadi sempat dipending karena makan malam dan main uno."Iya, kali, mah. Mamah tidur aja. Pasti capek. Biar kita yang nunggu dia pulang." Setiyaki menimbuhi. Setiyaki memang pintar memprovokasi. Entah itu untuk sisi positif atau sisi negatif. Dan Mam
***Saka baru selesai mandi ketika ponselnya begetar begitu hebat. Sampai Echan yang sedang molor terganggu dan bangun dengan wajah kucel. Telfon dari Mama Raina yang menanyakan keberadaan gadis itu. Katanya sudah semalaman dia tidak pulang dan kala dihubungi tidak bisa. Saka menebak, pasti ada pertengkaran baru diantara mereka yang membuat Raina memilih keluar dari rumah. Namun setau Saka, Raina tak pernah punya tempat tujuan. Jika tidak pulang anak itu akan berdiam diri lama di depan minimarket hingga pagi menjelang.Saka tak perlu khawatir jika ada cowok yang menganggu Riana karena Raina itu preman namun khawatir Saka adalah apakah cewek itu akan baik-baik saja dan tidak melakukan hal bodoh yang Saka takutkan."Gue cuma mau tidur, bangsat." Echan bangun langsung memaki. Sedangkan Saka melenggang santai."Lo punya kamar kos sendiri, bego. Ngapain numpang tidur disini?""Raina aja boleh masa gue kagak." Echan bangkit
***"Lo berharga buat gue, jadi tolong jangan bikin gue sakit lagi," gitu katanya. Raina terdiam. Berharga?Sejauh ini tak ada seorangpun yang pernah bilang bahwa Raina berharga. Bahkan Raina sendiri berpikir tentang hidupnya yang sama sekali tak pernah berguna.Berharga bagi Raina terlalu istimewa. Hingga terdiam adalah satu-satunya cara untuk menanggapi apa yang baru saja Juna katakan.'Berharga menurut lo itu? Yang kayak gimamana?'Namun Raina tak berani bertanya. Takut akan jawab yang tak Raina inginkan terlontar dari mulut manis Arjuna.Baru saja, sebuah desiran hangat merambat dari bibir menuju hatinya. Raina sempat terpejam sebelum akhirnya sadar bahwa rasa manis itu bukan miliknya. Bahwa bibir lembut itu hanya singgah karena sebuah kekhawatiran akan banyak hal. Dan akan menghilang jika pemilik sah-nya hadir untuk memilikinya lagi."Jangan jauh-jauh dari gue mulai sekarang." Arjuna berkata de
***Hujan sudah berhenti sejak tadi namun rasanya masih banyak air yang menetes dari langit. Entah itu secara kasat mata atau hanya lamunan Aji saja. Tetap hawa suram menguasai langit malam ini.Zahra Sulistyaningrum dinyatakan meninggal pukul 10.13 menit. Masih ditanggal dan suasana yang sama. Disaksikan kakak perempuan Zahra, Setiaji, Bang Jeno dan Aji sendiri. Gadis itu terpejam meski tangis dari kakak perempuannya menggema hebat. Seolah ia tak terganggu dan tetap terlelap dengan tenang. Pucat wajah Zahra membiru, berbeda dengan sosok Zahra yang menghilang beberapa saat lalu. Bibir itu tak tersenyum dan tangan itu, Aji enggan menyentuhnya. Karena pada akhirnya meski ia genggam erat sebuah balasan tak akan Aji dapat.Aji tak menangis sama sekali. Bukan karena dia tak sedih akan kepergian itu, namun karena dia tau Zahra benci melihatnya menangis."Aji, Setiaji. Buruan sini!" teriak Zahra hari itu terngiang lagi. Teriak yang hadir
***Di tengah lapangan upacara adalah kali pertama seorang Julia mengenal Arjuna Nayaka. Berteman terik dan keringat dalam keadaan tangan terangkat kearah bendera merah putih yang berkibar gagah. Siang pukul sepuluh, tanpa angin, seorang Arjuna datang bersama keluh kesahnya ke arah guru bk karena dihukum berdiri di lapangan upacara."Pak, maaf. Sekali aja. Lagian saya nggak pernah nakal. Ini kenakalan pertama, kan? Maaf, pak. Kali ini aja," rengek Arjuna hari itu."Yang hancurin pintu kamar mandi, kamu. Yang ngerusak gorden uks, kamu. Yang bikin lantai mushola pecah, kamu. Yang berantem sama anak kelas IPS, kamu. Masa iya saya harus sebutkan kenakalan kamu satu persatu." Guru bk berdecak sambil membawa penggaris kayu andalannya. Dengan kumis tebal dan perut buncitnya, Pak Bambang menggiring Arjuna ke tengah lapangan. "Kenakalan pertama, terus yang kemaren-kemaren itu apa? Uji coba?"Dengan malas cowok itu berjalan menuju tengah lap
Warning : 21+ mohon kebijakan pembaca. Di skip-pun nggak akan mempengaruhi alur cerita. Sekian.***Lia terbangun dengan kepala yang sangat nyeri. Dengan pakaiannya yang berantakan dan rambutnya yang bau alkohol. Cewek itu merintih dan terhuyung saat hendak berjalan menuju pantry untuk meraih beberapa minum pereda pengar disana. Namun seorang berdiri dengan celemek pink dan tangan memegang sothil."Selamat pagi, tuan putri."Lia mengucek mata. Memfokuskan pandang pada seorang yang masih kabur di depannya. "Siapa lo?""Aku masak sandwitch buat kamu. Pake daging sama telor mata sapi kesukaan kamu," ucap cowok itu sekali lagi.Lia akhirnya berdiri tegap dan menemukan sosok Arjuna tengah membolak balik roti."Juna?""Iya?""Kamu?" Lia menutup mulut. Lantas melihat bajunya yang sudah berganti. Lia coba mengingat kejadian semalam. Dia ingat saat keluar dari bar dan duduk di depan untuk