Aku membulatkan mataku karena tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar.
Yoon Seonghwa, dengan santainya mengizinkan para perampok itu untuk bersenang-senang denganku. Amarahku mendadak menyentuh ubun-ubun. Iblis di dalam tubuhku pun meraung, merasa tidak terima dengan ucapan kakak satu darahku itu.
“Yoon Seonghwa,” panggilku, merasa terkhianati dan dia tetap bergeming, bahkan dia tak menoleh kepadaku ataupun melirikku. Menyebalkan.
“Ini pelatihanmu. Aku yakin kau bisa bela diri jika dilihat dari pakaianmu yang kau pakai saat pertama kali Aquilla membawamu kemari.” Akhirnya dia bersuara namun tetap saja menyebalkan di mataku.
Aku mendengus kesal, mengarahkan mataku untuk melihat salah satu dari mereka, para perampok itu, mendekatiku dengan senyuman nakalnya. Mungkin pria gendut dengan tangan yang diselimuti oleh kotoran itu berpikir kalau anak perempuan ini lemah.
Tapi, pemikiran kolot itu benar-benar tidak sesuai sama prinsip hidupku.
Begitu dia berada dalam jangkauan seranganku, aku langsung melayangkan bogem mentah ke dagunya. Sekeras mungkin hingga terdengar suara retakan dibalik desis kesakitan. Sepertinya ada beberapa giginya yang patah dan juga tulang rahangnya bergeser sedikit.
Aku sendiri sedikit terkejut. Pukulanku biasanya tidak menyebabkan kerusakan separah itu. Apa karena faktor aku sekarang bukan lagi manusia, staminaku bertambah? Kalau itu benar, hebat sekali!
Karena serangan mendadak itu, sisa gerombolan perampok itu meradang. Berdiri dengan amarah yang mencapai ubun-ubun, menggenggam senjata mereka yang berupa kapak penuh karatan, pipa besi, dan sebuah pasak kayu. Satu lawan empat, dan mereka bersenjata. Ini tidak adil walaupun aku sekarang bukan seorang manusia.
“Keparat!” Salah satu dari mereka mengumpatiku sembari mengacungkan kapak berkarat itu ke udara. Berlari hendak menerjangku.
Secepat kilat aku menghindar, melompat beberapa senti ke samping kemudian melayangkan tendanganku pada punggung rapuh pria kurus kering itu. Tak memberiku waktu untuk sekedar menegakkan kembali tubuhku, sisa perampok lainnya menyerangku secara bersamaan. Dan tentunya mereka semua dengan mudah dikalahkan olehku.
“Sisakan satu di antara mereka untuk terus hidup. Percayalah, meminum darah manusia yang sudah mati itu sama saja kau memakan daging kadaluwarsa.” Seonghwa bersuara, menginterupsi kegiatanku saat melihat satu persatu dari perampok itu tumbang.
Aku mengangguk, menyengir lebar hingga gigi taringku berkilauan di bawah sinar bulan. Dapat kulihat preman di depanku gemetar ketakutan, menjatuhkan pasak kayunya karena terkejut atas jati diriku.
“Vampir!” jeritnya yang terdengar nyaring membelah keheningan malam. Iblis dalam tubuhku menertawai ketakutannya.
Aku menerjang tubuh kurus itu saat preman itu hendak mundur, berlari menjauhkan diri dari monster yang ada di hadapannya itu. Aku menangkapnya dengan begitu mudah, membuka secara paksa perpotongan lehernya hingga membuat preman ini mengerang kesakitan. Sepertinya aku tak sengaja membuatnya cedera.
Iblis di dalam tubuhku meraung, mendorongku untuk langsung menancapkan taringku yang semakin mencuat keluar. Mengoyak lapisan daging itu untuk mendapatkan lebih banyak darah yang mengalir di pembuluh darah.
“Hanya empat teguk.” Seonghwa kembali bersuara. Sepertinya dia menangkap keraguanku dalam menentukan seberapa banyak yang harus kuminum, “Itu cukup untuk menahan rasa laparku selama sebulan. Jika kau melewatinya, kau terancam akan berubah menjadi Vampir.”
Ancaman yang bagus dan terdengar menakutkan bagi mereka yang tidak tahu kengerian menjadi seorang Vampir. Aku hanya mengangguk untuk membalas ucapan Seonghwa barusan. Kemudian bersiap-siap untuk menancapkan gigi taringku ke leher preman ini.
Suara cekikan dan geraman yang terdengar seperti suara seekor tikus terjepit pintu terdengar saat gigi taringku menusuk bongkahan daging tipisnya. Tenggorokan dibanjiri panasnya darah yang terasa nikmat, hingga membuatku tak sadar terus menyedotnya dan bahkan mengoyak sedikit gumpalan daging itu untuk memuaskan dahagaku.
Aku melupakan sudah berapa teguk darah yang kuminum, terjebak dalam euforia yang kurasakan saat merasakan darah. Hingga semuanya berakhir saat Seonghwa menarik paksa kepalaku untuk lepas dari batang leher preman ini yang lemas tak berdaya.
“Hampir saja kau terjun bebas dari batasanmu.” Seonghwa menatapku dengan rahang yang mengeras, sepertinya dia marah karena aku melanggar perintahnya.
Aku melepaskan tubuh preman itu yang meluruh begitu saja seperti tidak memiliki tulang. Wajahnya pucat pasi, kehilangan banyak darah yang membuatnya sekarat dan akan mati untuk beberapa waktu lagi.
Apakah kalian bertanya apa aku merasakan sebuah rasa penyesalan yang mendalam karena memangsa manusia?
Jawabannya adalah... aku tidak tahu.
“Kau tidak merasa bersalah?” tanya Seonghwa saat melihat wajahku yang datar-datar saja saat melihat jasad preman tersebut.
Aku menggeleng pelan, “Aku tidak tahu. Aku tidak bisa mendeskripsikan perasaanku saat ini dengan untaian kata.” Aku berucap jujur karena aku menyadari kalau aku tidak bisa membedakan jenis-jenis perasaan yang sedang kurasakan. “Apa kau juga takjub denganku karena ini?”
Seonghwa menatapku dengan tatapan tidak percayanya kemudian mengangguk, “Dari semua Seraphie dan bahkan Vampir muda pun, baru kali ini aku bertemu dengan seseorang sepertimu.” Dia mendongak menatap horizon yang berwarna biru gelap, “Pelajaran selanjutnya. Kau akan mendapatkan alarm secara otomatis ketika fajar akan tiba sebentar lagi. Dan itu adalah waktu yang tepat untukmu mempersiapkan diri untuk tidur.”
“Tidur? Kita benar-benar makhluk nokturnal?” tanyaku menatapnya terkejut. “Aku pikir Seraphie bisa beraktivitas di siang hari karena lebih unggul dari Vampir. Ternyata sama saja, ya?”
“Beda cerita jika kamu dirasuki oleh Rasi Bintang itu sendiri.” Seonghwa lekas menjawab pertanyaanku tanpa memberiku jeda waktu, “Atau, kau bisa beraktivitas di siang hari jika usiamu sudah tua. Dan itu juga diperlukan pelatihan secara intens selama ratusan tahun untuk bisa menjadi makhluk yang tak memerlukan tidur.”
Aku mengangguk, memberikan sinyal mengerti kepada Seonghwa yang mengajakku untuk kembali ke bangunan tua, tempat di mana kami tinggal saat ini.
Kami kembali berjalan melewati hutan, kemudian melintasi padang rumput yang luas untuk sampai di bangunan tua itu. Tanpa obrolan tak berguna, hanya sesekali Seonghwa menjelaskan tata krama para makhluk immortal yang ada di dunia ini.
“Seonghwa,” panggilku saat kami berhasil melewati luas padang rumput, “Kenapa kau mau menjadi seorang Seraphie?”
Kulihat dia berhenti berjalan, terlihat terkejut dengan pertanyaanku yang terduga dan terkesan mendadak. Atau mungkin ia sudah menduga pertanyaan tersebut akan terucap dariku, adik satu darahnya itu.
Dia menoleh, melirikku dari balik bahu kokohnya yang terbalut oleh jubah berwarna hitam. “Memangnya ada alasan kenapa aku menjadi Seraphie selain berusaha untuk mengakhiri penderitaan yang dialami oleh dunia ini? Aku punya dendam, pada Zhou Yanchen. Dan untuk membalaskan dendamku, aku harus sekuat dia dan menjadi Seraphie adalah satu-satunya jalan untuk mencapai tujuanku.”
Aku terdiam. Sedikit tertegun dengan tekad yang terselip di setiap ucapannya barusan. Aku bisa merasakan seberapa besar kebenciannya terhadap pria yang bernama Zhou Yanchen. Aku ingin bertanya, siapa Zhou Yanchen itu. Tapi, kuurungkan karena sepertinya Seonghwa terlihat enggan untuk menjawab.
“Pertemuan kita sampai di sini dulu, Adik.” Dia berbalik dan memberiku sebuah senyuman lembut yang terlihat tulus kali ini. “Aku harus pergi ke arah Tenggara. Pelajaran selanjutnya akan disampaikan oleh Aquilla sendiri. Dan kau bebas bertanya tentangku kepadanya.”
Seonghwa mendekat padaku, memberikan sebuah usapan lembut di puncak kepalaku kemudian secara tak terduga dia tiba-tiba saja berlari, secepat angin hingga aku kesulitan melihatnya yang bergerak seperti sebuah bayangan hitam tersapu angin.
To Be Continue.
Sedikit mengentakkan kakiku dengan sengaja karena kesal, Aku melangkah menuju Aquilla. Kuharap pria tampan itu masih berada di ruangannya.Seonghwa benar-benar pergi, tanpa memberikanku sebuah kesempatan untuk menyusulnya karena rasa penasaran yang melambung tinggi ke atas langit. Alhasil, aku merasa kesal seperti seorang anak kecil yang ditinggal kakak tercintanya.Dan itu membuatku merinding.Aku terperanjat terkejut saat pintu coklat yang hendak kubuka tiba-tiba terbuka dengan sendirinya. Menampilkan wajah dingin Aquilla yang melemahkan sedikit otot wajahnya. Baru kali ini kulihat wajah terkejutnya itu.“Fajar masih lama, cepat sekali kau kembali,” ucapnya segera menutup kembali pintu coklat tersebut dan kami berdiri saling berhadapan. Sial, tinggi badanku hanya sebatas tulang selangkanya saja. Dan itu membuatku harus mendongak untuk menatap tepat di mata ungunya.
Aku melompat dan terbangun di malam berikutnya karena sebuah suara gaduh dari luar gudang ini.Sebuah gudang yang tak tersentuh oleh cahaya matahari sedikit pun dan aku memutuskan untuk tidur di sini setelah mengucapkan selamat tidur kepada Aquilla. Dan benar saja, aku membutuhkan waktu yang cukup panjang untuk terpejam.Aku beranjak dari posisiku, duduk meringkuk di sudut gudang. Keluar dari tempat ini untuk memeriksa apa yang sedang terjadi di luar sana. Lorong gelap dan berbau apak. Berantakan. Kertas-kertas berjamur yang berserakan di seluruh lantai kayu yang berderit setiap kali kuinjak. Dan terkadang aku mencium aroma darah yang sudah disamarkan oleh bau jamur yang entah pusatnya di mana.Aku menengok di balik tembok berjamur dan retak, mendapati sosok Yoon Seonghwa yang sedang berhadapan dengan seorang pria yang tak kukenal di ruang terbuka di bangunan tua ini. Pria itu bersurai hitam kec
Lusinan kilometer sudah kami lewati ketiak tengah malam tiba.Melewati padang rumput, hutan kecil, dan juga reruntuhan bangunan. Aquilla membimbing kami semua menuju ke arah timur tanpa istirahat ataupun sekedar berbelok untuk berburu darah. Perjalanan kami sesekali terhenti karena pertikaian antara Jake dan Seonghwa yang selalu berakhir dengan baku hantam.Awalnya mereka saling melontarkan ejekan, kemudian memaparkan semua dosa-dosa mereka masing-masing, saling menyalahkan atas dosa tersebut, dan berakhir mereka saling berbagi bogem mentah . Aquilla sendiri hanya sesekali memberi peringatan pada mereka, tanpa berniat melerai.“Apakah kalian berdua bisa berhenti berdebat seperti itu?!” Aku bertanya untuk ke sekian kalinya. Belum genap setengah jam baru saja saling memukul, kedua kakak satu darahku itu kembali berdebat. “Terlalu banyak luka yang kalian ciptakan walaupun sembuh d
Dua hari melakukan perjalanan dengan mereka bertiga membuatku menyadari suatu hal begitu sampai di tempat yang kami tuju.Dunia ini tidak ada bedanya dengan dunia asalku.Bekas-bekas peradaban yang maju, adanya Reptilian Sangmixta, serta keegoisan manusia-manusia yang melekat sejak dilahirkan.Bahkan aku juga bertemu dengan Ghoul, makhluk yang sama seperti di duniaku. Mereka kurus kering, pucat, mata yang memutih serta mulut penuh busa dan air liur, mereka membungkuk, dan juga agresif.Satu malam sebelum akhirnya kami berhasil menapaki tanah sebuah perkemahan, sekumpulan Ghoul menghadang jalan kami. Menggeram dan berdesis kelaparan kepada kami karena mungkin mereka mengira kami adalah sekumpulan manusia bodoh yang berkeliaran pada malam hari.Tentunya kami dengan mudah mengalahkan mereka walaupun sempat menderita luka cakaran ataupun gigitan yan
Membuka mata dan sebuah pemandangan batu-batu granit tertangkap oleh mataku. Matahari belum lama ini tenggelam, membiarkan bulan dan bintang menguasai langit Kota Durham. Membiarkan makhluk nokturnal seperti kami berkeliaran menjelajahi dunia.Aku kembali teringat tentang kisah masa lalu Yoon Seonghwa dan itu membuat merinding.Yoon Seonghwa kembali tepat sebelum beberapa jam fajar tiba. Memberitahukan kepada kami bahwa ada sebuah gua yang gelap dan juga bercabang yang cocok untuk tempat kita tidur malam ini. Yoon Seonghwa bersikeras untuk tidak menguburkan diri ke dalam tanah hanya untuk tidur.Beranjak dari posisiku untuk mencari ketiga teman perjalananku. Membersihkan debu yang menempel di celana, aku melangkah menuju ke bibir gua, mendapati Aquilla berdiri di sana. Seorang diri dan tampak sedang asyik memperhatikan sesuatu di langit.“Aquilla,” panggilku namun ia teta
Kami akhirnya sampai di London di malam berikutnya. Padahal, Aquilla mengatakan hanya butuh waktu kurang lebih enam jam untuk sampai di London.Keterlambatan ini terjadi karena beberapa kali Aquilla harus mengendarai Van ini dengan kecepatan lambat bahkan terasa seperti sedang merayap. Hal tersebut dikarenakan jalan yang kami lalui dipenuhi oleh bangkai-bangkai mobil yang berserakan hingga tidak bisa dilewati begitu saja dengan kecepatan tinggi.“Yeah, aku jadi bisa membayangkan betapa hebohnya pada saat virus itu mewabah ke seluruh Inggris.” Jake berkomentar setelah ia keluar dari Van. Mata tajamnya yang berwarna emas itu menatap horizon. “Berusaha menghindari kota yang dipenuhi oleh wabah dengan mobil, bertemu dengan para Ghoul di tengah perjalanan dan berakhir menjadi mangsa. Meninggalkan onggokan besi itu seorang diri di jalanan dingin nan sepi itu.”Aku mengernyit, b
Fajar hampir tiba namun Yoon Seonghwa belum aja datang untuk menemui kami. Hal tersebut sukses membuat Jake mengumpat, dan Aquilla hanya terdiam dengan wajah tenangnya. Namun, aura yang dikeluarkan oleh Aquilla membuat tidak nyaman siapa pun yang berada di dekatnya.Dan sedari tadi, insting Seraphieku terus mengeluarkan peringatan untuk bergegas mencari tempat persembunyian yang aman untuk tidur. Tapi, aku tidak bisa tenang begitu saja untuk tertidur ketika salah satu dari kami menghilang.“Apa sebaiknya kita pergi mencarinya?” Jake akhirnya menanyakan sebuah pertanyaan yang selalu aku pikirkan selama lusinan menit yang lalu. Dia menatap kesal pada Aquilla, terlihat bertolak belakang dengan pertanyaannya. “Ini hanya dugaanku, sepertinya ada sesuatu di kota ini.”Aku mengangguk setuju karena memikirkan hal yang sama seperti pendapat Jake. Aku menoleh pada Aquilla yang berd
Kali ini ada sedikit perasaan aneh pada saat terbangun di malam berikutnya.Mungkin karena ini adalah pertama kalinya aku tidur dengan menguburkan diri ke dalam tanah, ada sebuah rasa ketidaknyamanan yang menggerogoti tubuhku. Tapi anehnya, aku masih dapat tertidur dengan nyenyak,Melesak untuk keluar dari gundukan tanah dan kemudian membersihkan sisanya pasir yang menyangkut di rambut dan juga jubahku, aku menatap sekitarku. Sunyi, hanya ada suara angin yang berembus dan samar-samar suara desisan para makhluk kurus kering dari arah kota sana. Mataku kembali mengitari sekitarku, mencari-cari keberadaan dua laki-laki yang menjadi teman perjalananku saat ini.Aku sendirian di sini. Tidak mengetahui dengan pasti keberadaan Aquilla dan Jake yang sedang tertidur di mana. Walaupun begitu, aku dapat merasakan sebuah tarikan, tidak, ada tiga tarikan yang salah satunya dari arah yang berlawanan. Mungkin