Share

Bab 6

"Mas!" panggilku pada Mas Kenzie.

"Eh, iya ada apa, Sayang?" tanya Mas Kenzie seolah terbangun dari lamunan. Mas Kenzie yang sedari tadi melihat kepergian Anggun, kini langsung menoleh ke arahku dengan tersenyum kikuk.

"Kamu ngapain, Mas, liatin si Anggun sampai gak kedip gitu? Kamu suka sama Anggun?!" tanyaku penuh penekanan.

Jujur saja, ini kali pertama aku melihat Mas Kenzie melihat wanita dengan tatapan seperti itu. Aku merasa, Mas Kenzie seperti terpukau dengan pesona Anggun. Wajar saja, karena aku yang seorang wanita saja begitu kagum melihat wajah ayu Anggun yang begitu manis itu. Wajahnya khas wanita Jawa yang terkesan manis dan juga kalem. Cara berbicara Anggun juga begitu lembut dan juga kalem. Tapi melihat suamiku yang seolah terpesona dengan Anggun, jelas saja aku cemburu.

"Kamu ini ngomong apa sih, Sayang? Anggun kan sepupu aku, masa' aku suka sama sepupu sendiri. Lagian, istri aku aja cantik begini," jawab Mas Kenzie sambil membelai kepalaku lembut. Ku akui, aku memang jauh lebih cantik dari Anggun, tapi Anggun memiliki pesona yang berbeda dengan wanita cantik pada umumnya.

"Ya bisa aja kan, Mas. Lagian kenapa coba kamu liatin Anggun sampai sebegitunya?" tanyaku seolah tak puas dengan jawaban yang diberikan oleh Mas Kenzie.

"Aku tuh liatin dia bukan berarti aku suka, aku cuma kasian aja lihat dia sendirian gendong bayi gak ditemenin sama suaminya. Aku tuh lagi mikir, seandainya itu kamu aku gak akan biarin kamu pergi ke acara seperti ini sendirian begitu. Aku gak akan izinin kamu, pokoknya seandainya bayi kita lahir nanti, kamu gak boleh kemana-mana sendirian, ngerti!" ujar Mas Kenzie panjang lebar.

"Iya, Mas," jawabku.

Meskipun Mas Kenzie memberikan penjelasan yang seolah meyakinkan, tapi tetap saja tak membuat aku percaya sepenuhnya. Tatapan Mas Kenzie memang menurutku lain, bukan sekedar tatapan iba.

_______

Setelah acara syukuran empat bulananku di rumah mertua kemarin, kini aku dan Mas Kenzie sudah memulai aktivitas kami seperti biasa. Seperti biasa, kami mengelola usaha toko grosir di pusat pasar.

Dua bulan sudah, dan kini kandunganku sudah memasuki bulan keenam. Toko grosir kami semakin laris manis dan memiliki langganan semakin banyak. Aku dan Mas Kenzie sampai kewalahan melayani pembeli. Mungkin ini adalah rejeki anak dalam kandunganku. Karena setelah kehamilanku, usaha Toko kami selalu lancar dan semakin ramai pembeli.

"Sayang, sepertinya kita harus cari karyawan deh buat bantu-bantu kita di toko," kata Mas Kenzie setelah kami sampai di rumah. Sore ini, kami baru pulang dari toko. Karena memang pasar tempat kami membuka usaha, hanya buka sampai sore saja.

"Iya, Mas. Aku juga capek kalau ngelayani pembeli sendirian kalau kamu gak ada," jawabku.

Semenjak toko grosir kami semakin ramai pembeli, kini Mas Kenzie harus belanja 3 hari sekali. Padahal, dulu Mas kenzi belanja setiap seminggu sekali saja. Semakin ramai pembeli, semakin cepat juga barang-barang di toko kami habis.

"Iya, Sayang. Ya sudah, besok aku cari karyawan buat bantu-bantu di toko," ujar Mas Kenzie.

Setelah aku dan Mas Kenzie mandi dan membersihkan diri, kami makan malam bersama. Selama menikah dengan Mas Kenzie aku jarang sekali memasak, apalagi setelah membuka toko, aku tak pernah lagi memasak makanan untuk Mas Kenzie. Hanya sesekali saja aku memasak, itupun hanya memasak mie instan. Kami selalu membeli makanan di luar. Jika sudah kelelahan seperti saat ini, kami akan memesan makanan secara online.

Mas Kenzie sama sekali tak pernah mengeluh ataupun protes jika aku tak pernah memasak makanan untuknya. Lagi pula, uang kami masih cukup untuk sekedar membeli makanan di luar. Bagi Mas Kenzie, aku hanya cukup melayaninya saja di ranjang untuk memberikan kepuasan batin untuk Mas Kenzie. Karena hampir setiap malam, Mas Kenzie selalu minta dilayani.

Setelah makan malam bersama Mas Kenzie, aku merebahkan tubuhku diatas sofa sambil membaca novel favoritku. Tiba-tiba ponselku yang berada diatas meja berdering, tertera nama Dewi di layar ponselku memanggil. Tumben malam-malam begini Dewi menghubungiku. Setelah pertemuan waktu itu di rumah Emak Asih, aku dan Dewi memang lumayan sering berbalas pesan lewat WA. Kami selalu bercerita tentang kehamilan kami masing-masing.

["Assalamualaikum, Mbak Naya,"] ucap Dewi setelah telepon ku angkat.

"Waalaikumsalam, Dew," jawabku.

Setelah sedikit berbasa-basi, Dewi langsung mengutarakan niatnya menghubungiku.

["Mbak, aku mau tanya sesuatu,"] ujar Dewi dengan suara serius.

"Tanya apa, Dew?

["Mbak Naya kapan terakhir ke rumah Emak Asih?"]

"Sekitar tiga Minggu yang lalu, Dew. Memang kenapa?" tanyaku bingung.

["Mbak, sudah seminggu ini aku ke rumah Emak Asih, tapi rumahnya tutup terus. Orang-orang yang berobat di rumah Emak Asih juga pada bingung. Emak Asih sama sekali gak ada kabar, bahkan nomor hp nya juga gak aktif. Padahal, kandunganku udah masuk bulan kesembilan, Mbak,"] jawab Dewi dengan suara panik.

Degh!

Aku yang yang sedang rebahan seketika duduk. Tiba-tiba saja jantungku berdetak lebih cepat, jawaban Dewi rasanya membuatku ikut gugup. Meskipun selama ini perutku semakin membesar karena sudah memasuki bulan keenam, tapi tak ada tanda-tanda pergerakan janin dalam perutku, seperti perempuan hamil normal pada umumnya. Aku pernah bertanya pada Emak Asih, tapi Emak Asih selalu meyakinkanku bahwa bayi dalam kandunganku sehat dan baik-baik saja.

"Lalu, bagaimana, Dew?" tanyaku dengan suara sedikit bergetar.

["Besok, rencananya aku mau ke dokter kandungan, Mbak, sekalian mau USG. Aku takut, Mbak, aku dengar ada salah satu pasien Emak Asih yang udah USG. Katanya, kandungannya kosong. Padahal perutnya jelas-jelas besar seperti hamil sungguhan, tapi setelah USG, gak ada apapun di perut wanita itu,"] cerita Dewi.

Mendengar cerita dari Dewi tubuhku terasa sangat lemas, seketika tenagaku menghilang. Aku benar-benar takut, jika yang diceritakan Dewi tentang pasien Emak Asih itu terjadi padaku. Aku tak bisa membayangkannya, bagaimana nasibku nanti jika dalam perutku tak berisi janin bayi?

"Dew, aku takut," kataku lirih.

["Sama, Mbak, aku juga. Padahal, aku sudah sangat lama menanti bayi ini,"] kata Dewi. Terdengar isakan kecil diseberang telepon, pasti Dewi sedang menangis saat ini.

Aku tahu bagaimana perasaan Dewi saat ini, karena akupun juga merasakannya saat ini. Kami sama-sama wanita yang sudah bertahun-tahun lamanya menantikan keturunan. Baru saja, aku merasa terbang tinggi keatas awan karena bahagia, justru kini aku merasa seperti jatuh ke dasar jurang yang dalam.

["Mbak, Mbak Naya ...!"] panggil Dewi.

"Eh, iya, Dew. Gimana?" kataku setelah sadar dari lamunan.

"Ya udah, Mbak. Aku tutup dulu telponnya, kita berdoa aja ya Mbak, semoga janin bayi dalam kandungan kita baik-baik aja," ujar Dewi.

Aku mengaminkan doa dari Dewi. Setelah telepon dari Dewi ku tutup, air mata tiba-tiba sudah lolos dari pelupuk mataku. Aku mengelus perut buncitku yang sudah terlihat membesar. Aku yang awalnya yakin dan percaya dengan perkataan Emak Asih, kini jadi merasa ragu dan juga khawatir.

Sebenarnya, aku sendiri mengakui pengobatan yang dilakukan oleh Emak Asih terlalu aneh, bahkan terkesan mengada-ada karena aku tak diperbolehkan untuk periksa kandungan ke bidan ataupun dokter. Bahkan USG pun sangat dilarang keras oleh Emak Asih. Tapi jika sudah begini, aku harus bagaimana?

Semua orang sudah tahu dengan kabar kehamilanku. Bahkan, aku selalu mengaploud foto-fotoku yang tengah hamil di semua media sosial milikku. Jika benar, tak ada janin bayi di dalam rahimku, mau di taruh dimana muka ini? Belum lagi, aku dan Mas Kenzie sudah mengadakan acara 4 bulanan waktu itu secara besar-besaran, hingga membuat semua orang mengetahui tentang kehamilanku.

*****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status