Hari masih sangat pagi. Daffa tidak memiliki kegiatan apa pun kecuali berkeliling di sekitar pesantren sesekali telinganya harus mendengar cemohan para santri yang menceritainya. Ia ingin sekali menegur anak anak itu karena mengumpat orang lain bukanlah suatu perilaku terpuji namun, ia khawatir jika ia menghampiri para santri itu mereka menganggap ia sedang membela dirinya dan menutupi kesalahanya. Cukup lama Daffa berkeliling namun, tak juga di temukanya ustad Henry. Kemana pria itu?. Di perjalanan Daffa sempat saling berpapasan dengan mertua Arisha namun, dua orang itu membuang arah pandangan wajah mereka kearah lain saat Daffa melemparkan senyuman. Ustad muda itu tidak terlalu mengambil hati. Ia mengerti perasaan mereka sekarang. Orang tua mana yang tidak akan marah ketika mengetahui menantunya tengah berduaan bersama pria lain. Daffa benar benar tidak memiliki teman saat ini. Biasanya saat berkeliling seperti ini akan banyak santri yang menyapa kini yang menegurnya dapat di hitu
Selepas isya Daffa baru kembali ke pesantren dengan tubuh dan wajahnya yang di lumuri keringat. Henry yang sedang berada di depan gerbang pesantren menatap heran pada pria itu. Ia segera mengahampiri Satpam yang membukan gerbang untuk Daffa. "Dari mana kamu Daffa?" tanya Henry memperhatikan penampilan ustad muda kesayangannya dari atas hingga bawah dengan seksama. Hal yang sama juga di lakukan oleh satpam penjaga pesantren. "Saya baru saja pulang dari pasa Ustad!" jawab Daffa tertunduk malu. "Ada keperluan apa kamu ke pasar?" tanya Henry mulai mengintogasi. "Untuk mengisi kegiatan saya selama di non aktifkan dari pesantren saya bekerja di pasar Pak Ustad sebagai kuli panggul untuk tambahan uang bulanan si Mbok!" jujur Daffa. "Sebenarnya saya salut sama kamu. Kamu anak yang pekerja keras dan berbakti sama orang tua kamu tapi, saya juga sudah kecewa sama kamu. Bagaimana bisa kamu terciduk bersama putri saya tengah berduaan!" ujar Henry memegang pundak kanan pria itu. Kiara dan Zik
Sama seperti sebelumya Daffa pagi pagi sekali sudah berangkat ke pasar. Sebelum Roni bangun ia sudah lebuh dulu meninggalkan kamarnya. Ia beranggapan semakin ia subuh keluar semakin banyak pula rezeki yang dapat di kumpulkanya. Benar saja sesampainya di pasar, banyak pedagang yang membutuhkan tenaganya mereka meminta Daffa membantunya menganggkat barang barang mereka turun dari mobil. Upah yang di prolehnya juga lebuh besar dari pada yang di dapatnya dari pembeli. Satu pedagang saja ada yang memberikanya tiga puluh ribu. Tak sengaja mata Daffa melihat seorang gadis yang tengah membuka warungnya. Wanita yang di lihatnya itu mirip sekali dengan anak gadis ustad Henry. Lelaki itu menepis semua pikiranya itu dari kepalanya dan kembali melanjutkan pekerjaan. Secara logika saja tidak mungkin Arisha berdagang di pasar sedangkan ia memiliki suami yang harus di urusnya. Ngapain ia capek capek bekerja di pasar sedangkan abinya termasuk orang terpandang dan terkaya di kampungnya, suaminya ju
Waktu memasuki zuhur Arisha memutuskan untuk salat sejenak di mushola yang tak jauh dari pasar. Selesai dengan kegiatan wudhu Arisha masuk kedalam ruangan sholat. Saat akan memakai mukenanya Arisha mendengar dengan jelas suara orang yang melantunkan azan yang begitu merdu di telinganya. Senyum terbit begitu mendengar lantunan azan itu terdengar sangat merdu dan syahdu di telinga. Tak dapat menahan gejolaknya, Arisha mengintipnya dari balik tirai yang menjadi pembatas antara perempuan dan leleki dan benar saja pria idamanya itu yang telah melantunkan azan. "Merdu banget suaranya. Ya Allah boleh ngk hamba mu yang satu ini jadi milik hamba. Hamba sangat mencintainya ya Allah tapi, hamba juga tidak ingin mengubah kodrat hamba sebagai wanita!" lirihnya. "Mbak tirainya bisa di tutup?" ujar wanita yang sepertinya usianya tidak terpaut jauh dari Arisha yang duduk di sebelahnya. "Bo.. boleh Mbak!" gugup Arisha merasa malu. Selesai solat Arisha sengaja berlama lama melipat mukenanya aga
"Siapa yang sudah lantang membuang foto Salsa?" Suara keras dan mengelagar berhasil membangunkan Kiara dari tidurnya. Matanya masih menetralkan cahaya yang masuk kedalam matanya. Ia menatap ruangannya masih tetap kosong dan kembali merebahkan tubuhnya di atas kasur. "Bibi!" panggil Ziko keras. "Siapa yang sudah membuang foto Salsa ke tong sampah bukankah saya sudah sering katakan jangan pernah sentuh barang pribadi saya dan barang barang yang bersangkutan dengan Salsa?" marah Ziko membeludak pada Narsi yang baru saja menemuinya. "Maaf Tuan!" lirih Narsi tertunduk takut. "Bibi mau saya pecat?" Narsi mengeleng. "Terus kenapa Bibi lancang?" "Aku yang membuang!" ujar Kiara yang kini sudah berdiri di belakang Narsi dan melangkahkan kakinya berhadapan dengan Ziko dengan gaya khas premanya. "Lantang kamu ya?, siapa yang sudah menyuruhnya meletakan fotonya di tong sampah?" "Sudah Bi, pergilah kembali pada pekerjaan Bibi biar aku yang selesaikan masalah ku dengan suamiku!" pinta
Mata Narsi mengarah pada sebuah meja yang tak jauh dari tempatnya. Ia melihat ada buku disana tampa pikir panjang, segera di hampirinya. "Saya tidak bisa menolong mu lebih, berjalanlah terus hingga ke akhir ruangan, disana kamu akan menemukan sebuah lubang dan keluarlah dari sana. Saya mohon jangan memberitau hal ini kepada siapa pun dan robek kertas ini hingga bagian terkecil agar tuan Ziko tidak mengetahui hal yang telah saya lakukan ini!" Selesai menuliskan pesan itu, Narsi kembali ke pintu gudang dan ia menyelipkan kertas itu dari bawah pintu setelah berteriak kecil dan memberikan Kiara isarat setelahnya ia bergegas meninggalkan gudang dan kembali melanjutkan pekerjaanya seolah olah tidak mengetahui apa pun. Kiara membaca secarik kertas yang di berikan Narsi padanya dan mengikuti perintah artnya itu. Benar saja ia menemukan jalan untuk melarikan diri dari ruangan tampa celah ini. Tak lupa ia juga melaksanakan amanah Narsi agar tidak memberitau hal ini kepada siapa pun dengan
Sungguh pemandangan yang merusak penglihatan Ziko. Tanpa aba aba ia berlari tampa suara dan membalikan tubuh Avandra serta memberikan serangan mendadak pada pria itu tepat di bagian wajahnya. Avandra yang masih kaget hanya terdiam dan menerima perlakuan kasar itu sedangkan Salsa segera menarik tubuh Avandra menjauh dari Ziko. Plakkkkk Penglihatanya yang kurang matang, Ziko malah menghantam bagian punggung Salsa hingga wanita itu terjatuh kelantai dan tidak sadarkan diri. Avandra segera langsung membopong tubuh kekasihnya. Ziko juga tidak tinggal diam, ia mendorong tubuh Avandra menjauh dan langsung melarikan Salsa kemobil. Avandra mengikuti jejak mobil Ziko dari belakang. Ziko tidak sejahat dugaanya, lelaki itu membawa kekasihnya kerumah sakit. Dengan sabar dan rasa panik, Ziko menunggu di kursi yang berada di depan ruangan Salsa di rawat bersama Avandra yang duduk di kursi sedangkan Ziko gelisah tak menentu memikirkan kondisi mantan kekasihnya. "Jika ada sesuatu buruk terjadi pad
Dengan penuh amarah dan dendam yang mengingat dalam tubuhnya. Ziko kembali kerumahnya dengan emosi yang membelundak. Ia melempar kunci mobilnya kesembarang arah setelah sampai di kediamanya. Hal pertama yang di hampirinya adalah gudang tempat ia mengurung Kiara. Didapatinya ruangan itu kosong. Ia mulai mencari keberadaan istrinya disetiap sudut ruangan tatapi, nihil ia tidak menemukan keberadaan orang yang dianggapnya bernama Arisha itu.Emosi Ziko semakin membelundak saat ia menemukan sebuah kertas yang memberitaukan jalan keluar dari ruangan gelap ini. Tampa bertanya pun Ziko sudah tau siapa pengirim surat ini. "Bibi!" panggil Ziko dengan nada kerasnya dari tempatnya."Iya Den!" ujar Narsi ketakutan, ia hanya dapat menundukan kepalanya melihat puncak kemarahan majikanya. "Ini apa?" tanya Ziko menatap tajam Narsi dan melemparkan kertas yang ditemukanya kelantai. Narsi diam seribu bahasa ia tidak dapat mengeluarkan kalimat apa pun dari bibirnya. "Jawab Bi!" bentak Ziko lebih keras.