Share

Adik Kakak Laknat

Seorang wanita menatap nyalang ke arah Alisa yang terjatuh di lantai sembari memegangi pipinya. Sedangkan Rahman masih mematung di tempatnya. Pasangan suami-istri itu tidak menyangka kehadiran wanita tersebut.

"Apa-apaan kamu, Nadya?" tanya Alisa memegangi pipinya yang terasa perih.

"Apa-apaan? Harusnya aku yang tanya seperti itu. Kenapa kamu bicara seperti itu kepada kakakku, ha? Dasar enggak tahu diri!" sarkas Nadya memandang sinis dan remeh ke arah Alisa.

Alisa segera bangkit dari posisinya. Lalu, dengan gerakan yang sangat cepat dia membalas tamparan Nadya.

"Makanya, Alisa. Harusnya kamu itu sopan sama aku. Lihat saja, Tuhan langsung membalas perlakuanku kepadaku. Durhaka kamu sama suami. Enggak syukur banget, sih, punya suami ganteng sempurna seperti aku."

Rahman melipat kedua tangan di depan dada. Alih-alih menolong istrinya, dia malah mencibir wanita itu. Miris. Mungkin empati memang tidak ada dalam kamus hidup pria itu, atau hati nuraninya telah mati. Entahlah.

Alisa memandangi kakak-beradik itu dengan tajam secara bergantian. Mungkin sedang merutuki dirinya kenapa bisa jatuh cinta kepada pria seperti Rahman.

"Harusnya kamu sadar diri, dong, Alisa. Kakakku ini ganteng banget. Kalau dia enggak nikah sama kamu, mungkin dia bisa jadi model atau artis terkenal dan bukannya seperti sekarang," cemooh Nadya. Tampak belum puas menghina kakak iparnya.

"Dengerin, tuh, apa yang dibilang adikku. Harusnya kamu bersyukur punya suami aku. Liat saja, anakmu jadi secantik itu karena aku bapaknya."

Lagi dan lagi Rahman menyombongkan diri atas ketampanannya.

Nadya setengah berjongkok untuk menyamakan pandangan dengan Alisa. "Tadi kamu bilang apa? Silakan angkat kaki dari rumah ini?" Heh, kamu lupa kalau ini tanah warisan dari mamaku untuk Mas Rahman? Jangan jadi kacang yang lupa kulitnya, deh! Kalau ada yang harus pergi, itu kamu, bukan Mas Rahman. Dasar istri enggak tahu bersyukur!"

Nadya mendorong dahi Alisa dengan jari telunjuknya, hingga tubuh kakak iparnya itu sedikit condong ke belakang. Sedangkan Rahman hanya tertawa senang melihat adiknya memberi pelajaran kepada istrinya.

'Aku yakin setelah ini Alisa akan jadi istri penurut yang enggak akan berani melawan lagi,' batin Rahman sembari mengulas senyum jumawa.

Nadya lantas berdiri dan memberi kalimat penyemangat kepada sang Kakak. "Jangan khawatir, Mas. Kalau istrimu macam-macam sama kamu, panggil aku saja. Akan kubuat dia enggak bisa berkutik."

Namun, tiba-tiba saja Alisa berdiri dan menjambak rambut bagian belakang Nadya. Membuat wanita itu meringis kesakitan dan memutar tubuh ke arah kakak iparnya.

"Apa-apaan kamu–"

Belum selesai Rahman melayangkan protes, sebuah tamparan yang jauh lebih keras mendarat di pipi Nadya. Bukan hanya sekali, melainkan tiga kali. Kejadiannya sangat cepat hingga membuat Rahman tidak sempat melakukan apa pun.

"Kalau dulu, mungkin aku akan diam. Tapi, sekarang aku enggak akan diam lagi menerima semua perlakuan kalian!" teriak Alisa, lalu mendorong tubuh Nadya hingga terjatuh.

Sebenarnya Alisa bukanlah wanita lemah. Selama ini dia tidak pernah melawan meski diperlakukan dengan tidak baik bukan tanpa alasan. Semua itu karena dia masih menghormati Rahman sebagai suaminya. Berharap hubungan mereka akan kembali romantis seperti saat pacaran dan awal-awal menikah.

"Alisa!" teriak Rahman dengan suara yang menggelegar. Rahangnya mengeras dengan kedua tangan yang terkepal kuat.

"Rahman!"

Alisa balas berteriak. Baru kali ini dia memanggil pria itu tanpa embel-embel "Mas". Menandakan jika wanita itu telah mencapai batasnya.

"Berani kamu teriak sama aku!"

Rahman mendekati Alisa dengan cepat dan hendak melayangkan pukulan kepada istrinya itu. Sebagai pelajaran jika apa yang dilakukannya telah melewati batas.

Namun, Alisa tidak tinggal diam. Dia menendang perut Rahman dengan kuat. Meski pria itu tidak terjatuh, tetapi cukup memberi efek rasa sakit untuknya. Sebenarnya dia pun cukup terkejut melihat suaminya mengangkat tangan kepadanya. Padahal selama ini, pria itu tidak pernah melakukan kekerasan fisik. Mungkin itu pula yang membuat Alisa bertahan hingga kini.

Baru saja Rahman akan kembali menerjang Alisa ketika ponselnya berdering dan membuat pria itu menghentikan aksinya. Itu adalah panggilan dari ibunya. Dia memang telah mengatur nada yang berbeda untuk wanita yang telah melahirkannya itu.

"Ha–"

"Ke sini sekarang juga!" tegas Ratna tanpa basa basi.

"Tapi–"

"Sekarang! Enggak pakai lama."

Setelah ucapkan apa yang diinginkannya wanita itu segera memutuskan sambungan telepon secara sepihak. Tanpa memberikan kesempatan kepada Rahman untuk menyelesaikan perkataannya.

"Kamu beruntung kali ini, Alisa. Kamu harus terima kasih sama ibu," tunjuk Rahman kepada istrinya. Lalu, memberi isyarat kepada Nadya agar mengikutinya. Sebenarnya wanita itu ingin melayangkan protes, tetapi kakaknya menatap dengan tajam ke arahnya.

Rahman segera menyambar kunci motor di atas meja ruang tamu, lalu mengambil jaket yang tersampir di sandaran sofa. Sedangkan Nadya, hanya mengikut di belakangnya.

"Awas kamu!" ancam Nadya memalingkan wajah saat berada di ambang pintu.

"Aku enggak takut! Ayo, maju sini!" sergah Alisa tanpa rasa takut.

Namun, Nadya hanya mengepalkan tangan ke udara, kemudian sedikit berlari menuju motor Rahman yang telah berbunyi. Lalu, pergi dengan kecepatan yang cukup tinggi.

Mengedarkan pandangan ke sekeliling, Alisa mengembuskan napas memandangi ruang tamu yang berantakan, bekas pertengkaran tadi. Suara tangisan dari arah kamar mengalihkan atensi wanita itu. Tampaknya Arka–anaknya yang masih berusia sembilan bulan–terbangun karena mendengar keributan tadi.

Dengan segera dia berlari menuju kamarnya. Benar saja, balita itu telah duduk di tepi pembaringan sembari menangis dengan keras sambil mengangkat kedua tangan begitu netranya menangkap sosok sang Ibu.

"Anak Mama udah bangun, ya? Kenapa nangis, Sayang, hm? Mama ada, kok. Mama enggak ke mana-mana," ucap Alisa berusaha menenangkan anaknya. Dipeluknya bocah itu dengan lembut dengan satu tangan yang menepuk-nepuk punggungnya.

Berhasil. Dekapan Alisa cukup menenangkan putranya dan membuat bocah itu berhenti menangis. Namun, justru mata Alisa yang mengembun saat memikirkan nasibnya dan sang Anak kelak jika dia dan Rahman benar-benar berpisah.

"Enggak! Aku harus kuat dan berani menghadapi kenyataan!" ucap Alisa memberi semangat kepada diri sendiri. Meski sebenarnya semua itu hanya di mulut saja.

Bagaimana tidak. Pernikahannya dengan Rahman memang terjadi tanpa restu kedua orangtuanya. Karena tidak kunjung mendapat lampu hijau, Alisa nekat kawin lari dengan Rahman. Bahkan setelah tiga tahun pernikahan mereka, wanita itu belum sanggup untuk menginjakkan kaki di rumah orangtuanya lagi.

"Kamu masih muda, Nak. Enggak usah buru-buru menikah, selesaikan dulu sekolahmu."

Kata-kata dari ibunya saat dia meminta izin untuk menikah terngiang-ngiang di telinga Alisa. Saat itu dia memang masih duduk di bangku kuliah semester tiga dan Rahman adalah teman satu angkatannya. Namun, karena cintanya terlalu membara hingga membakar akal sehat Alisa.

Ya, masa muda memnag seperti itu. Kita terkadang terlalu menggebu-gebu mengambil keputusan tanpa berpikir panjang. Hingga akhirnya menyesal di kemudian hari, seperti Alisa.

"Alisa!"

Suara teriakan dari arah pintu masuk rumah membuyarkan lamunan penuh penyesalan Alisa. Wanita itu pun mengusap air mata dan berjalan tergopoh-gopoh membawa Arka dalam gendongannyaenuju ke sumber suara.

"Siapa–"

Ucapan Alisa terhenti saat melihat tamu yang datang tidak tepat waktu itu. Matanya membulat dengan mulut yang sedikit terbuka. Tidak percaya siapa yang ada di hadapannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status