Pagi menjelang. Tepat pukul 07:30 WIB, Darren sudah tiba di loby kantor. Perusahaan yang bergerak dalam bidang properti itu banyak dipenuhi karangan bunga serta karpet merah menjadi alas di tangga depan. "Pagi, Mbak," sapa Darren kepada resepsionis. "Mau ada acara apa?""Loh, memangnya Tuan Bagas tidak memberitahu Anda?".Darren mengernyit. "Tidak. Ada apa memangnya?""Penyambutan Tuan Sadewo, pemilik perusahaan ini. Setelah dua tahun di negeri orang mengurus bisnis, hari ini beliau kembali."Darren mengangguk-anggukkan kepalanya. "Oh. Jadi, selama beliau tidak ada, siapa yang memegang kendali?""Tentu saja orang kepercayaannya.""Kenapa tidak putranya?"Sang resepsionis hanya mengangkat kedua pundaknya tertanda tidak tahu. "Mari, kita berbaris, Tuan."Semua petinggi berjajar dari mulai tangga masuk sampai ke dalam loby. Selang beberapa menit, mobil hitam nan mewah datang. Dialah Sadewo dan Bagas. "Selamat datang kembali, Tuan.""Lama tidak berjumpa, Tuan.""Apa kabar, Tuan?"Berb
Sepeninggal Marisa, Sadewo memberondong Bagas dengan berbagai pertanyaan mengenai dokumen. Walhasil, jawaban Bagas tidak sesuai dengan hasil revisi. "Kapan kau bekerja dengan serius, hah?!" bentak Sadewo. "Lihatlah asistenmu! Dia lebih pintar darimu bahkan dialah yang lebih cocok menjadi seorang manager!"Bagas bergeming. Rahangnya mengeras sambil menatap tajam ke arah Darren. Hal yang paling Bagas benci sedari kecil kembali menyapa. Dimana Sadewo selalu membandingkan dirinya dengan orang lain. Tanpa kata, Bagas berlalu. Pun dengan Darren yang berpamitan untuk kembali bekerja.Menuruni beberapa anak tangga dan melewati lorong menuju ruangan. Dari kejauhan, Darren melihat pria yang mengaku berhubungan dengan Marisa itu masuk ke dalam ruangan Bagas. Langkah Darren terhenti saat melewati ruangan itu. Terdengar suara pecahan kaca. Mungkin Bagas melempar barang, pikirnya. Lagi, pintu yang tidak tertutup rapat membuat Darren dengan leluasa menguping. "Darren sialan! Awas saja kau!" teria
Darren dan Sadewo sudah kembali ke kantor. Baru saja masuk ruangan, ponsel Sadewo berdering. Rupanya Abimanyu menghubungi perihal foto tak senonoh itu. Abimanyu mengatakan jika Bagas berhasil meyakinkan dirinya. "Bagas datang ke sana?" tanya Sadewo. "Iya, tadi dia ke sini dengan pacarnya Marisa," jawab Abimanyu. "Putramu berhasil membuktikan jika dirinya tidak bersalah. Jadi, perjodohan tetap berlanjut," sambung Abimanyu. "Tentu. Semoga ke depannya tidak ada lagi masalah.""Sepertinya kita harus hati-hati dengan pemuda bernama Darren."Mendengar nama Darren membuat Sadewo mengernyit. "Darren?""Iya. Asisten Bagas."Abimanyu juga mengatakan bahwa Bagas mencurigai Darren. Sikap Thalita berubah setelah putrinya itu mengenal Darren sewaktu kuliah di luar negeri. Abimanyu meyakini jika Darren akan merusak hubungan Bagas dan Thalita."Bisa jadi si Darren itu mendekati putriku karena harta.""Tidak mungkin," sanggah Sadewo."Aku lihat anak itu baik, bahkan aku mempercayakan dia untuk mem
Tiba saatnya Darren pergi ke Surabaya. Dua koper besar sudah siap ia bawa. Satu yang membuatnya bernapas lega, yakni seminggu lalu Rossi sudah menempati kios yang sudah lengkap dengan peralatan dan perlengkapan kiriman darinya berikut lima orang karyawan. Koper sudah masuk bagasi mobil. Ya, Sadewo memberinya fasilitas berupa satu unit mobil sebagai inventaris untuk Darren pakai selama di Surabaya. Darren menarik napas dalam dan mengembuskan perlahan. Kedua tangannya menggenggam stir. "Semoga perjalanannya lancar."Ponsel berdering. Gegas ia meraih benda pipih itu yang disimpan di dasbor.Bibirnya menyunggingkan senyum saat melihat nama yang tampak di layar. "Halo, Sayang, ada apa?""Sudah mau berangkat?""Iya, ini tinggal jalan.""Hati-hati di jalan. Kalau sudah sampe, kasih kabar.""Siap, Tuan Putri.""Satu lagi, emm ...,""Apa?""Di sana, Kakak harus jaga mata, jaga hati."Darren kembali meyakinkan bahwa cintanya hanya untuk Thalita setelah Rossi.Percakapan usai. Saatnya Darren
Tiga hari setelah kejadian, Sadewo meminta Darren serta Bagas untuk kembali ke Jakarta. Pagi itu Sadewo mengadakan rapat dengan semua pemilik saham, kontraktor, serta pihak berwajib yang menangani penyelidikan, pun dengan Darren dan Bagas turut hadir. Sadewo membahas perihal penyebab robohnya bangunan. "Hasil penyelidikan pihak berwajib adalah adanya kegagalan konstruksi," imbuh Sadewo. "Saya tidak mengerti kenapa ini bisa terjadi. Kita sudah menjalin kerjasama bukan satu atau dua tahun. Tapi, puluhan tahun. Kenapa pengerjaan hotel ini tidak sesuai dengan spesifikasi sebagimana disepakati dalam kontrak kerja?"lanjutnya kepada kepala kontraktor."Maaf, Tuan. Kami bekerja selalu memegang teguh pada prinsip. Anda tahu sendiri dimana pekerjaan kami dibatasi oleh waktu penyelesaian, biaya, dan hal-hal yang harus diselesaikan sesuai kontrak."Sang kepala kontraktor terus menjelaskan perihal isi dari surat kontrak. Dimana awal biaya yang digelontorkan oleh PT. Aji Jaya Grup sebesar serat
Satu minggu telah berlalu. Setelah Sadewo menjebloskan Darren ke dalam penjara, justru tidak membuatnya tenang. Hampir setiap malam ia tidur dalam gelisah. Tidak hanya Darren yang masuk bui, tetapi beberapa orang dari pihak kontraktor pun berstatus tersangka karena dianggap lalai. "Papi kenapa, sih? Mami perhatiin seperti ada beban. Seperti ada masalah. Coba cerita sama Mami," kata Olivia.Wanita paruh baya itu beranjak untuk mengambil minuman dingin di kulkas yang ada di kamar. Sadewo bangun dan duduk bersandar. "Entahlah, aku merasa bersalah kepada Darren."Olivia terbelalak. "Sejak kapan Papi peduli dengan nasib orang yang memang bermasalah?""Sejak aku bertemu dengannya. Kau tau ... dia mirip sekali denganku. Kata orang lain pun begitu. Bahkan ada yang bilang dia lebih pantas menjadi putraku daripada Bagas."Uhuk! Olivia tersedak. Dalam hatinya bermonolog, "Apakah dia putra dari ... ah, tidak mungkin!? ""Ck! Hati-hati kalau minum."Sadewo mengembuskan napas kasar, lalu berkata
Sadewo dan Olivia menyambut menantunya dengan suka cita. Pesta kecil mereka persembahkan. Sadewo berjanji akan mengadakan pesta yang mewah jika masalah proyek selesai. Kini, dua keluarga tengah menikmati jamuan makan malam. "Kalian akan tinggal di sini, kan?" tanya Sadewo. "Tidak, Pi. Kami akan tinggal di rumah yang dulu Papi kasih," jawab Bagas. "Gak pa-pa, kan?" lanjut Bagas bertanya kepada Thalita. "Tidak masalah," jawab Thalita malas. Bagas meminta Helena untuk tinggal bersamanya. Selain jarak yang dekat ke kampus, pun bisa menemani Thalita di rumah. Helena menyanggupi, begitu juga dengan Thalita yang tidak merasa keberatan. "Tapi, aku ke sana sekitar dua minggu lagi, ya?" kata Helena. "Oke, tidak masalah."Sedari tadi Angelina tidak mengeluarkan sepatah kata. Ia hanya mengangguk dan tersenyum menanggapi. "Sudah larut, lebih baik kita pulang," ujarnya kepada Abimanyu. "Lita ikut!" seru Thalita. "Loh, kamu, kan, baru saja menikah. Ini rumahmu," kata Abimanyu. Thalita men
Jarum jam masih menunjuk pada angka lima. Bagas sudah terbangun. Gegas ia membersihkan diri. Di bawah kucuran shower, Bagas tersenyum puas mengingat kejadian semalam. Entah mengapa, ia merasa puas jika menyiksa Thalita terlebih dahulu. Dirinya merasakan sensasi lain. Tiga puluh menit berselang, ritual mandi selesai.Bagas membuka lemari miliknya. Sedikit tercengang, karena beberapa pakaian Marisa masih berada di sana. Gegas tangannya meraih dan membawanya ke luar. "Bi, tolong buang pakaian ini! titah Bagas kepada Inah --asisten rumah tangga. "Baik, Tuan." Inah pun berlalu. "Tunggu!" cegah Bagas, membuat Inah kembali menghadap. "Di kamar ada istri saya. Tolong layani dia dengan baik. Dan yang terpenting adalah jangan biarkan dia ke luar rumah!"Mendengar kata istri membuat Inah bengong. Bagas mengerti dengan sikap Inah. Pun Bagas mengatakan jika nanti akan ada paket yang ditujukan untuknya. "Berikan kepada istri saya!""Iya, siap, Tuan."Bagas pergi meninggalkan rumah. Tepat pu