"Semenjak anda yang menjabat sebagai pengganti Pak Brata stabilitas perusahaan kita menjadi kacau Pak Irfan. Bagaimana menangani ini? Kerugian sudah cukup banyak!" Irfan tersentak dibentak begitu. Tak disangka, Bram, lelaki tua yang merupakan petinggi dan pemilik saham terbesar kedua itu marah besar padanya. Ia pikir, sebagai pemimpin di perusahaan ini tak akan ada yang berani membentaknya seperti ini. Diliriknya Refan yang menggeleng tegas saat ia baru saja akan membuka suara. Teringatnya pesan lelaki itu sesaat sebelum masuk ke dalam ruang rapat tadi. "Di sini anda yang salah Pak. Jadi, jangan coba-coba membantah dan membela diri. Silahkan minta maaf dan akui saja kesalahan anda." Sialan! Irfan memaki dalam hati, tangannya terkepal erat karena ia juga tak tahu harus berbuat apa. Refan yang seharusnya ada dipihaknya juga tak membantunya sama sekali. Cenderung menyudutkannya. "Pak Irfan, kalau begini saya juga kecewa. Anda juga memutuskan sesuatu secara sepihak tanpa persetujuan
Bandara Soekarno Hatta Refan menunggu dengan tidak sabar. Setelah mendapat pesan di ponselnya dari Fatih. Ia langsung melesat pergi menuju Bandara tempat di mana Fatih dan Nonanya akan segera tiba. Tentu saja ia tak memakai baju kerjanya. Ia memakai baju biasa dan topi sebagai pelindung wajah agar tak diketahui orang-orang. Beberapa menit berlalu, muncul seseorang yang sangat ia kenali. Fatih, lelaki itu masih sama saat terakhir kali mereka bertemu padahal sudah dua tahun berlalu. "Refan!" panggil Fatih setelah mendekat, memeluk laki-laki itu dengan erat. "Apa kabarmu?" "Sesuai yang saya katakan di pesan yang saya kirimkan pada anda Dok. Keberadaan saya di samping Irfan sedikit banyak membuat saya pusing, ia banyak membuat masalah." Fatih terkekeh, menepuk pundaknya pelan. Setelahnya ia menyingkir menampakkan seorang wanita dengan tinggi setelinga Fatih yang berdiri di belakang. "Tenang, sekarang penyelamatmu sudah datang," tukas Fatih dengan gerakan kepalanya menunjuk wanita i
"Mas, kenapa Pak Dwi ditarik lagi ke perusahaan? Bukankah Mas memecatnya dan menjanjikan jabatan itu untukku?" tanya Ratih tak suka saat malam ini keduanya bertemu di sebuah restoran yang cukup jauh dari perusahaan. "Kamu tahu kalau beberapa hari ini petinggi dan para pemegang saham di perusahaan protes padaku dalam rapat?" Ratih mengernyit, ia memang tidak tahu urusan perusahaan beberapa hari lalu karena sedang cuti. "Itu semua karena usulmu yang sok pandai memintaku mengganti bahan pokok dengan merk lain. Hal itu membuat kerugian dan menurunkan performa perusahaan." "Loh, kenapa aku yang disalahin? Mas juga andil dalam hal itu loh. Aku juga cuma usul memecat Pak Dwi saja. Dan soal itu kalau Mas mau berpikir itu merugikan kenapa tidak tolak saja usulku," sungut Ratih kesal ia membanting sendok dan garpu yang digunakannya. "Oke jangan marah, itu juga salahku sayang. Lagipula sejak kemarahan para petinggi itu aku tak bisa berbuat apa-apa. Kau tahu, mereka mengancam untuk menarik s
Alya bergerak, meliukkan tangan dan tubuhnya sesuai arahan sang fotographer. Di tangannya terdapat produk dari perusahaan Brata yang harus ia promosikan. "Oke Elena, lihat ke kiri! Angkat dagumu!" "Senyum!" "Selesai!" Alya tersenyum, menganggukkan kepala pada sang potographer dan stylistnya. Lantas beranjak pergi dari studio karena ini waktunya istirahat makan siang. Sudah hampir seminggu ia telah menjalani pemotretan. "Anda pasti lelah Nona," ucap Refan yang sedari tadi menunggui Alya di depan studio. Ia menyodorkan sebotol air mineral dan keduanya duduk berdampingan di salah satu kursi. "Mau tidak mau, Fan. Ini salah satu cara untuk mendekati brankas yang kau katakan itu." Refan mengangguk. "Semua yang Irfan sembunyikan kemungkinan ada di sana Nona. Termasuk bukti-bukti kecelakaan Nona yang bisa membuatnya dijatuhi hukuman. Sayangnya beberapa kali saya mencoba membuka brankas itu, saya tetap tak bisa menemukan kodenya." "Tentu saja, jika itu benar-benar penting. Dia akan mer
Dari balik ruangan, Fatih menatap wanita paruh baya yang tengah tertidur di samping ranjang suaminya itu dengan lekat. Setelahnya ia menghela nafas dengan tangan terulur membuka pintu. Suara yang timbul membuat wanita paruh baya itu terbangun seketika. Wajahnya sumringah saat melihat Fatih mendekat. Seolah tak melihat laki-laki itu dalam waktu yang cukup lama. Sri, Mama Alya. Wanita yang sudah menganggap Fatih sebagai anaknya sendiri. "Fatih ... sudah lama tidak bertemu, kamu apa kabar? Selama menempuh pendidikan di Singapura tidak pernah menelpon Tante." Sri bangkit dari duduknya, menghampiri Fatih dengan mata berbinar. Menggenggam kedua tangan lelaki itu erat. Fatih menuntunnya kembali duduk. "Fatih sehat Tante, maaf tidak mengabari Tante bahkan menelpon, Fatih cukup sibuk di sana. Jadi tidak ada waktu." Fatih tersenyum pedih, melihat tulang pipi sang Tante yang sudah ia anggap sebagai Mama itu tampak menonjol. Di Singapura, beberapa kali ia memang berusaha untuk menghubungi T
"Ratih apa yang kamu lakukan?" bisik Irfan pelan sembari melirik ke arah Alya. Wanita itu tampak duduk dengan tenang menikmati perseteruan yang akan terjadi sebentar lagi di hadapannya. "Kamu sendiri apa yang kamu lakukan? Kamu makan siang berduaan sama perempuan ini? Padahal kamu bilang sama aku kalau kamu mau makan siang sama teman. Ini teman yang kamu maksud?" "Ya, Elena ini temanku. Kamu tahu, kan, dia model yang ...." "Aku tahu, tapi kenapa kamu mesti makan sama dia? Kalau aku gak tahu dari orang lain mungkin kamu gak bakalan ngaku!" seru Ratih dengan sengit. Matanya mulai berkaca karena takut Irfan akan mengkhianatinya. Satu jam lalu di kantin kantor, ia tengah menikmati makan siangnya bersama rekan kerja yang lain. Namun sebuah pesan dari nomor tak dikenal masuk ke dalam ponselnya. [Lihat! Kamu gak panas melihat kekasihmu makan siang bersama wanita lain?] Ratih langsung meradang, apalagi pesan itu disertai sebuah foto. Ia tak mencari tahu darimana pesan itu berasal. Ia lan
Irfan menghela nafas, menatap Ratih yang duduk di hadapannya namun tak mau menatap sama sekali. Malam ini Irfan sengaja menyinggahi apartemen wanita itu setelah pulang kerja. Setelah memastikan tak ada yang mengikutinya. Bisa gawat kalau orang-orang tahu. Pemimpin perusahaan Brata terlibat skandal dengan pegawai perusahaannya sendiri. "Ini semua salahmu!" tukas Irfan pada akhirnya membuat Ratih menoleh ke arahnya. "Aku? Aku yang salah di sini?" "Lalu siapa Ratih? Lagipula kenapa kamu datang saat aku makan bersama Elena dan marah-marah. Kamu tahu, itu membuat semuanya jadi berantakan. Bahkan dia sempat curiga kalau kita punya hubung--" "Hubungan? Mas dan aku? Kita memang punya hubungan kan, Mas. Aku dan Mas sudah berhubungan cukup lama. Kenapa tidak beritahu saja padanya kalau kita punya hubungan? Apa Mas malu?" "Bukan begitu, kamu tahu Elena itu tahu segalanya tentangku. Entah apa maksudnya tapi dia tahu kalau Alya telah meninggal tiga tahun lalu dan kalau aku mengakui aku puny
Fatih menatap bungkusan kecil berisi bubuk yang cukup sedikit di atas mejanya itu dengan dahi berkerut. Pikirannya diliputi perasaan bimbang luar biasa. Setelah tadi menemukan bubuk itu di pinggir bantal Brata. Ia langsung pamit pada Tante Sri. Untuk mengetahui sesuatu, dan benar saja saat ia menyelidiki di laboratorium. Bubuk itu adalah ... sianida. Membuatnya bingung, kenapa bubuk sianida itu bisa ada di samping bantal Om Brata. Dan sudah berapa lama itu ada di sana sampai Tante Sri juga tidak tahu. Apakah tidak ada petugas medis yang tahu soal ini atau sebenarnya ini ulah salah satu dari mereka yang ingin mencelakai Om Brata? Tapi untuk apa? Tok! Tok! Tok! Fatih tersentak, secepat kilat menyembunyikan bubuk itu ke dalam kantung jas putihnya. "Masuk!" ucapnya kemudian. Seorang perawat datang dengan kertas laporan di tangan. Ia tersenyum dan duduk di hadapan Fatih. "Ini laporan yang dokter minta. Berkat beberapa resep dan saran yang dokter berikan, pasien sudah dalam keadaa