Siang ini, aku sibuk berada di dapur dengan memasak makanan seadanya. Mas Arman terdengar masuk tanpa mengetuk, aku bahkan tak peduli pada kedatangan dirinya."Nisa!" serunya dari jauh kemudian menghampiriku."Ya," sahutku datar."Oh ya, Mas. Besok minggu aku mau ke reuni," imbuhku dengan santainya, sembari menuangkan air minum. Aku sengaja mengatakan hal itu dan lihatlah raut wajah tak terima itu."Apaan ikutan reuni? Yang ada ngehamburin uang," ketusnya. Padahal aku tidak pernah kemana-mana, selain untuk belanja keperluan rumah. 'Dasar pelit bin medit.' umpatku dalam hati."Sekali aja, Mas. Ada reuni SMA. Katanya sih, Anita juga bawa suaminya. Berarti aku salah sangka ya, waktu pas liat Mas sama dia." celotehku. Mas Arman seolah menyembunyikan rasa terkejutnya. "Ayolah!" rengekku."Bawel amat! Aku sibuk." ketusnya lagi."Ayolah!" rengekku lagi, walau aku tahu jawabannya."Aku bilang tidak, ya t
Malam ini, mas Arman tidak menampakan batang hidungnya. Aku tahu, ia akan bersiap untuk besok di acara tersebut. Bukan bersiap untuk pergi denganku. Melainkan untuk pergi bersama Anita. Itu berarti, ada kesempatan untukku mengambil ponsel yang disita mas Arman. Hati ini begitu yakin, ponsel itu disimpan di dalam laci mejanya, karena aku mencari keseluruh kamar dan tak ada disana dan tempat rahasia yang tidak boleh aku ganggu adalah ruang kerja mas Arman. Aku mencari kunci laci yang selalu dikunci olehnya. Sampai aku benar-benar hampir menyerah. Namun, aku teringat saat ia berusaha melepas pigura yang ada di dinding dan benar saja, pria itu menyembunyikan kunci laci di antara benda itu dan dinding. Klek , kunci terbuka. Aku melihat ponselku disana, tapi ada juga ponsel baru yang masih dalam kotaknya. Itu adalah ponsel yang mahal dan terlihat pita merah di sana. Jika aku ingat-ingat , dua hari lagi wanita itu memang berulang tahun. Aku mengabaika
Reuni SMA . Aku berdandan ke salon agar terlihat segar dan cantik. Aku memang tidak memiliki alat 𝑚𝑎𝑘𝑒𝑢𝑝 di rumah, kerena pemberian mas Arman selalu menekanku untuk berhemat. Aku tidak mungkin juga datang tanpa polesan di wajah sama sekali. Itu adalah acara penting, kan? Aku harus tampil lebih baik dari biasanya. Wajahku agak kusam karena kurang terawat, karena memang tidak ada dukungan untuk merawatnya. Mas Arman sering mengabaikanku hanya karena kami menikah disebabkan hutang nyawa ayahnya pada ayahku. Sehingga ia tidak peduli aku berdandan atau tidak. Tidak ada uang lebih sama sekali untukku. Bahkan, di acara tertentu ia lebih memilih pergi sendiri. Mungkin juga dengan Anita dan mengenalkan wanita itu sebagai istrinya. Sekarang aku punya uang itu darimana? Jawabannya adalah mama mertuaku yang baik hati, tidak pernah lupa memberi uang jajan padaku. Mungkin, itu perintah papa mertua juga. Walau, aku pun aneh juga sama sikapnya setelah percakapan waktu itu.
Aku menatap ponsel yang telah dirusak mas Arman. Aku tersenyum kecut melihat benda pipih yang sudah rusak itu."Ish, kau memang licik. Sudah ada bukti masih mau mengelak dan berusaha buat menyembunyikan bukti itu dari orangtuamu," gumamku. Sayang rasanya harga ponsel itu sangat mahal dan rusak dalam sekejap. Namun, aku tidak mau ambil pusing. Ponsel itu milik Anita bukan milikku. Mungkin saat wanita itu ulangtahun tiga hari lagi kado terindah akan diterimanya.***** Setelah keluar dari salon. Aku memilih menelpon Mala. Menyusun rencana. Beberapa 𝑓𝑖𝑙𝑒 sudah aku siapkan dalam sebuah 𝑚𝑎𝑝. Aku sengaja mencetak beberapa percakapan, foto dan memfotokopi buku nikah yang sebenarnya terasa merepotkan. Aku menunggu Mala sebelum pergi ke Kafe. Tidak jauh dari tempat yang kami janjikan. Ya, untuk membahas rencanaku pada dua sejoli itu aku harus seperti ini meskipun merepotkan. Mala adalah orang yang sangat kupercaya
Senja menyapa, angin berhembus menerpa pori-pori kulitku. Aku menatap kosong pemandangan di hadapanku. Aku tahu, dalam waktu dekat rumah ini tidak akan aku tempati lagi. Ah, rumah ini tak ada artinya bagiku. Karena istana yang sebenarnya telah hancur berkeping-keping. Wanita mana yang akan bertahan dengan seorang pria yang selalu berbohong. Walau, sebagian wanita bertahan untuk hal itu. Ya, mereka selalu bertahan demi anak walau tampak raut lelah untuk berjuang sendiri dalam hubungannya dengan suaminya, tapi apa yang bisa membuatku bertahan. Aku tidak memiliki keturunan, tapi hal itu membuatku lebih mudah untuk berpisah dengannya. Aku tidak akan pernah mempertahankan pria yang sudah melukaiku seperti ini. Pria yang seolah tanpa cela di keluarganya dan orang lain yang melihatnya. Ah, ternyata memang ia pandai bersandiwara di depan semua orang. Sehingga, orang lain menganggap akulah yang tidak tahu diuntung karena selalu berbuat ulah. Suara deru mobil terd
Aku menatap sekeliling kamar dan terpaku. Kali ini, untuk terakhir kalinya aku berada di kamar ini. Aku tidak peduli dengan yang dibicarakan tentang rumah ini. Semua akan menjadi masalah baru nantinya. Mas Arman masih uring-uringan, aku berjalan dengan koper yang berada digengaman."Mau kemana, kamu? Puas kamu buat aku tidak memiliki apapun, huh!" makinya."Aku mau pergi," jawabku datar."Kamu gak tahu diuntung. Harusnya kamu bersyukur aku mau nikahin kamu," celotehnya. Seolah ia menjadi suami yang baik bagiku."Oh ya, emmm.. Beruntung ya. Duh Mas, pikir pake otakmu. Gaji pembantu aja udah dua juta lebih. Kamu ngasih nafkah aku berapa? Kamu bilang itu beruntung," ucapku santai."Aku yakin, kamu gak bakal bisa hidup tanpa uangku," ujarnya percaya diri."Sayang sekali. Dugaan kamu salah, Mas. Aku justru akan terbebas dari pria licik sepertimu," tuturku."Jaga ucapanmu!" teriaknya. Tangan kekar itu mengangkat tapi tert
Aku menatap gedung di hadapanku. Menghela napas panjang dan membuang perlahan. Memijakan kaki untuk pertama kalinya."Maaf Mbak, ada yang bisa saya bantu?" tanya seorang keamanan disana."Saya ada panggilan 𝑖𝑛𝑡𝑒𝑟𝑣𝑖𝑒𝑤, Pak." Jawabku. Penjaga pun mempersilahkanku masuk. Dengan jantung yang berdegup kencang aku berjalan menuju ruangan yang ditunjuk salah satu pegawai. Aku mengetuk pintu, meminta persetujuan dari pemilik ruangan."Masuk!" terdengar suara perintah dari dalam sana. Klek. Aku bergegas membuka pintu."Permisi, Pak! Saya Anisa Aryani." Ucapku pada seorang pria yang berdiri membelakangiku. Padahal ia tahu ada aku disini."Apa kabar, Nisa?" tanyanya. Membuat aku terkejut dengan apa yang ku lihat."Mas Akbar." lirihku."Silahkan duduk!" ucapnya. Ia tersenyum. Namun, membuatku sangat gugup. Saat ini adalah pertemuan pertamaku dengan pria itu setelah sekian la
Kebangkrutan keluargaku dan sakitnya ayah. Membuat aku terbiasa untuk hidup secukupnya. Apalagi saat aku tinggal bersama suamiku yang perhitungan itu. Aku memulai kembali mengumpulkan apa yang aku butuhkan dengan uang yang aku dapatkan setelah aku bekerja. Saat ini, aku bersandar pada sandaran kursi. Sudah lama aku memang tidak melihat akunku yang baru itu.[Akhirnya, bayi kami lahir dengan selamat,] tutur Anita pada 𝑐𝑎𝑝𝑡𝑖𝑜𝑛 di salah satu postingan foto miliknya. Aku pun menutup kembali akun itu. Postingan itu terlihat jika ia melahirkan setelah aku pergi dari rumah selama empat bulan. Aku melihat wajah kecil itu. Sekilas memang tidak terlihat sedikit pun yang mirip dengan mas Arman, tapi untuk apa aku peduli. ----- Sebuah suara notifikasi pesan terdengar olehku."Ini, bukannya mantan mama mertua?" gumamku, saat melihat nomor yang tampil di notifikasi. Aku pun membaca pesan mama mer