"Orang kayak Mbak ini emang suka banget nyusahin, ya? Sifat ketergantungan Mbak ternyata gak hilang meski kalian sudah berpisah. Kenapa sih Mbak gak bisa sendiri aja urus hidup Mbak? Pantes Mas El ninggalin Mbak." Perkataan Faye yang menohok membuat aku menghela napas lelah. Aku sudah menduga wanita ini akan membahas hal ini saat kami tinggal berdua. Jujur, aku tidak kaget pada Faye yang menuduhku seenaknya karena dari sejak dulu dia memang begitu. "Pertama, saya gak minta Mas El buat nolong saya, kedua Mas El sendiri yang inisiatif buat membawa saya ke sini dan ketiga asal kamu tahu saya yang meminta diceraikan jadi bukan Mas El yang ninggalin," jawabku sambil menatap Faye sedatar mungkin. Aku mencoba menyandarkan badan ke ranjang karena kepalaku terasa lebih sakit dan berdenyut hanya karena gara-gara melihat Faye.Faye menjatuhkan bokongnya di kursi yang ada di samping bed dengan sikap jumawa. "Tapi yang aku lihat gak kayak gitu. Mas El sengaja meninggalkan Mbak yang memang beda k
Iza sudah bisa pulang ke rumah. Setelah tiga hari di observasi dan menjalani tes EEG kabar baiknya dokter mengatakan Iza normal untuk bisa pulang. Semua kondisi membaik hingga kami bisa beraktivitas seperti biasanya. Sayang, di antara kabar baik terselip satu keganjilan yang sampai sekarang masih belum bisa aku lerai yaitu tentang berbedanya sikap El setelah kejadian di UGD.Entah mengapa, selepas percakapan tempo hari itu, sikap El jadi lebih dingin dari biasanya. Dia seolah menghindar dan bahkan tak menampakan batang hidungnya di depanku. Namun, meski El seakan menjaga jarak, siapa sangka ketika keluar dari rumah sakit aku baru mengetahui kalau El sudah membayarkan biaya rumah sakit Iza.Di situ aku sangat terkejut dan bingung. Jujur, aku bahkan tidak tahu apa yang kurasakan lagi setelah mengetahui El yang ternyata tetap membantuku meski aku menolak.Menerima itu, aku tentu merasa gak nyaman apalagi ketika melihat El tampak marah pas mendengar percakapan aku, Neo dan Faye.Padahal j
"Bunda mau kan nikah sama Pak El? Pak El mau juga kan jadi ayahnya Iza?" Alina merasa hatinya seolah bergetar saat mendengar pertanyaan Iza, apalagi ketika melihat tatapan penuh harap dari Iza. Wanita muda nan cantik itu menggigit bibirnya gugup, dia rasanya tidak sanggup memberikan jawaban apa pun pada anak satu-satunya itu. Dia harus mengakui kalau permintaan Iza terlalu mustahil dirasa saat ini.Tidak. Ya, tidak mungkin rasanya Alina kembali bersatu dengan El karena hal itu sangat membahayakan bagi mereka berdua.Perlahan, Alina melirik ke arah El untuk mengetahui ekspresi dan reaksi pria itu ketika ditanya oleh Iza. Ternyata El pun sama mematungnya dengan Alina. Dan yang bisa pria tampan itu lakukan hanya berdiri menatap ke arah Alina dengan tatapan yang ... entah.Melihat kedua orang dewasa di depannya hanya bisa diam, Iza menggembungkan pipinya."Kok gak dijawab sih? Iza kan nanya. Bunda mau kan kalau Pak El jadi ....""Sudah Iza, jangan nanya yang aneh-aneh, ah. Kamu ini ada-a
Bu Rosa tersenyum sumringah. "Kenapa Ibu harus bilang untuk datang ke sekolah yang dipimpin anak Ibu sendiri?" tanya Ibu berwajah ayu itu seraya berdiri tepat di depan El yang langsung menyalami wanita setengah baya itu sopan. "Ya, bukannya apa-apa sih Bu, tapi kan kalau tahu Ibu mau ke sini El bisa sekalian jemput. Oh ya, ayo silahkan duduk di sini Bu," ujar El seraya menarik kursi yang ada di depan meja kerjanya. Lalu, Bu Rosa pun tanpa sungkan duduk di sana. "Makasih ya El. Oh ya, El, sebenarnya alasan Ibu datang ke sini itu untuk memastikan apa kamu kemarin jadi ke toko perhiasan teman Ibu?" tanya Bu Rosa seraya menatap anaknya lekat.El mengangguk. "Iya Bu, jadi. Tapi, katanya masih belum bisa diambil. Hem ... sebenarnya buat siapa cincin ini, Bu? Bukannya seminggu yang lalu juga Ibu baru membeli cincin dari kenalan Ibu? Jangan bilang kalau Ibu mau memberikannya pada kawan arisan Ibu lagi," desis El curiga karena sikap ibunya yang terlalu royal pada sahabatnya yang wajahnya opo
Waktu jam pemanggangan pantat budak korporat sepertiku akan berakhir, tapi aku masih duduk di kantin kantor dengan kopi hitam yang tinggal setengahnya. Usai kejadian tadi pagi di sekolah Iza, seharian ini aku jadi tak bisa berkonsentrasi sehingga memilih cepat-cepat mengerjakan tugas dan buru-buru ngopi di kantin untuk meleraikan penat. Sungguh. Saat ini, rasanya pikiranku melanglangbuana dan hatiku merasa buruk. Aku tidak tahan berada di balik kubikel karena setiap berada di balik laptop bayangan El yang menatapku tadi pagi terus saja berputar bagai kaset kusut hingga sore menjelang. Oh Tuhan, mengapa aku harus bertemu dengannya setelah delapan tahun ini? Bukankah aku dan Iza sudah baik-baik aja meski tanpa El?"Bun, Iza mau punya ayah kayak Pak El.""Astaghfirullah." Aku reflek beristighfar saat ingatanku tertuju pada kejadian tadi pagi, di mana Iza tetap memintaku untuk menikah dengan El meski saat itu kami sudah ada di depan kelasnya.Jujur, permintaan Iza itu sangat mengganggu
"Alhamdullilah, ya Allah, perut ini lega juga."Aku menepuk-nepuk perut dengan lega setelah pada akhirnya diri ini berhasil mengeluarkan hajat yang paling berat di dunia yaitu sampah hasil metabolisme.Bibirku akhirnya bisa tersenyum setelah sejak tadi menangis gara-gara keingetan masalah dengan mantan.Setelah memastikan gak ada yang tertinggal dan selesai dengan urusan aku pun memutuskan untuk keluar bilik. Tapi, baru saja membuka pintu ternyata seorang pria yang ada di depan kaca wastafel terlihat kaget melihatku. Sontak saja aku terkejut sehingga sempat membeku sebentar karena gak nyangka ada pria yang aku kenal tengah berdiri membelakangi ku.Astaga! Itu kan ...."Mas El? Ngapain Mas ada di sini?"Demi Tuhan. Nyatanya dunia ini emang sempit, orang yang tadi aku pikirkan kini ada di hadapan dan dia bahkan sudah berganti kostum dengan setelan jas bukan lagi setelan guru kayak biasa. Aneh. Kenapa dia bisa bareng ada di sini? Terus untuk apa pria itu ada di toilet wanita? Apa dia m
Canggung, frustasi dan tegang. Mungkin itulah tiga kondisi yang dapat mengekspresikan keadaanku sekarang. Siapa sangka, doaku nyatanya gak terkabul karena semakin aku berdoa dan berniat menghindar aku malah dipertemukan dengan El lagi yang sekarang menjadi investor sekaligus klien di perusahaan tempatku bernaung. Bodohnya, pertemuan ke sekian kami ini harus diwarnai dengan kebodohanku yang telah menuduh El salah masuk toilet padahal aku yang gak peka liat tanda. Asal masuk aja akibat kebelet mau BAB. Alhasil, sekarang akulah yang malu, apalagi Bos Bre--Bos Bre melihat semua kejadian itu.Ya Tuhan. Mungkin inilah yang dinamakan sudah jatuh tertimpa tangga juga. Apes! Lagian, aneh banget sih El kenapa juga harus berinvestasi pada perusahaan tempatku bekerja? Bukannya dia sibuk jadi kepsek? Kok malah jadi pengusaha juga? "Eh, anj*r kok lo gak bilang mantan suami lo hot marihot begitu? Wah, gila sih kalau gue mah langsung minta rujuk aja, rugi gue udah disakitin eh dianya kawin sama ya
Sesuai keputusan rapat perusahaan yang tidak bisa diganggu apalagi digugat, dengan sangat-sangat malas aku harus berakhir di Bandara untuk pergi ke Padang. Jujur, aku emang gak pernah pergi sejauh ini untuk melakukan tugas kantor, sehingga harus menitipkan Iza pada Nek Omi dan Bik Ratih yang memang sudah sangat kupercaya. Sebenarnya, Bik Ratih adalah adik dari Ibuku yang masih baik sama kami sampai saat ini jadi aku merasa sangat tenang. Namun, mengingat kalau perjalanan ini akan dilalui bersama El dan Pak Agus yang pernah memintaku menjadi istri keduanya sebagai perwakilan finance membuat kepalaku mendadak pening tujuh keliling. Bukan. Bukan hanya karena orang yang pergi bersamaku tapi selain itu aku juga punya semacam phobia pada ketinggian. Makanya aku takut terbang, tapi sialnya aku gak bisa kasih tahu itu pada siapa pun. "Wah, saya senang sekali loh bisa pergi bareng Alina. Udah lama ya kita gak ketemu, Lin?" Bertemu di ruang tunggu bandara, belum apa-apa Pak Agus--pria ganje