ANAK YANG KUBENCI 5
Pulang KampungSetelah tiga tahun bekerja, aku mengambil cuti tahunan. Tadinya, aku hanya pulang kalau lebaran saja. Kali ini aku mengambil jatah cuti selama dua Minggu, akan kugunakan untuk pulang kampung.Sebenarnya, aku punya tujuan tersendiri di balik kepulanganku ini. Aku merasa sudah sukses sekarang. Penampilanku berbeda dengan Rita yang dulu. Kulitku kini putih, wajahku mulus dan glowing. Pakaian, sepatu, sendal, tas, jam tangan dan ponselku semuanya baru dan terkini.Apalagi ponselku ini, yang kubeli dengan harga di atas 5 jeti! Ini adalah lambang keberhasilanku! Akan kutunjukkan pada orang kampung yang dulu suka mengolok-olok aku, kalau sekarang mereka semua nggak ada apa-apanya! Cuma mulut sampah! Kubungkam mulut nyinyir kalian dengan uangku!"Eh, Mbak Rita, pulang kapan?"Bu Gofur, tetangga samping rumah menyapa saat aku melihat-lihat kebun sayur ibuku."Kemarin sore, Bu," jawabku tersenyum. Bu Gofur melihat gelang emas di tanganku. Hmm kesempatan pamer ini."Ah, anginnya kok besar, ya?" Pura-pura aku sibakkan rambut dengan tangan kiriku yang memakai gelang rante. Bu Gofur mendelik. Ape Lo, ape Lo, pasti hatinya panas. Hahaha."Wong nggak ada angin gini kok, Mbak Rita," sahut Bu Gofur sambil berlalu meninggalkan aku. Hehehe aku tertawa sendiri, sukurin lo orang sirik!Berdiri di gundukan tanah yang agak tinggi, aku memandang hamparan sayuran hijau yang ditanam Ibu. Semuanya tumbuh subur. Ngapain sih, Ibu menanam sayur sebanyak itu? Kulihat tanaman sayur Ibu banyak banget, sampai tanah pojok rumah juga ada sayurnya. Jadi orang itu mbok ya secukupnya saja."Astaghfirullah!"Aku menjerit sampai hampir jatuh. Saat aku mau pulang dan berbalik badan, ternyata ada Kayla di belakangku! Datang tidak diundang, macam Tuyul saja nih anak."Heh! Ngapain kamu?!" Bentakku jengkel. Anak sialan ini sejak kapan ada di situ? Memata-matai aku apa?"Hati-hati, Mah," katanya saat melihatku terpeleset. Menatapku tanpa dosa."Siapa mamahmu?! Dasar anak sial!" Aku memakinya dengan mata melebar lalu berkelebat meninggalkan dia. Mulutku mengomel,"dasar Kayla, masih juga memanggilku Mama. Anak bandel!"Masuk ke kamar, aku membongkar tas. Banyak oleh-oleh yang kubawa. Banyakan baju sih, buat sepupu aku, keponakan, paman dan bibi aku, juga keluarga Pakdhe. Ibu aku belikan gamis dua, jilbab syar'i enam. Ada juga aku bawa makanan, roti dan dodol.Keluar kamar, aku mencari Ibu. Di tanganku membawa gamis, jilbab dan sendal baru. Itu dia Ibu, sedang duduk di amben kayu favoritnya. Bersama, emm si anak sialan Kayla."Ibu, ini ada oleh-oleh," aku berjalan mendekat dengan senyum semringah. Pasti Ibu suka oleh-oleh dariku. Kuberikan satu persatu kepada ibu gamis, kerudung dan sepatu sendal. Ibu tampak senang beliau tersenyum sembari menjajal gamis dengan ditempelkan di badannya. Kulihat Kayla juga nampak bahagia, dia memegang-megang kerudung baru."Tunggu sebentar, ya?"Aku berjalan kembali ke kamar. Keluar lagi aku membawa tas."Ini Bu, masih banyak oleh-oleh yang lain," kataku sambil mengaduk-aduk isi tas.Ada kaos, ada kemeja, ada rok. Kutata satu-satu di amben. Kayla nampak senang melihat aku mengeluarkan banyak baju-baju baru. Matanya membulat, bibirnya tertarik ke atas. Aku meliriknya. Hehehe."Ini buat Budhe, ini Pakdhe, ini Lek Mulyati, ini Lek Anwar." Kutunjukkan pada Ibu. Kulihat Kayla mengintip baju-baju itu dari belakang bahu ibuku. Sekarang, aku mengeluarkan baju yang lain. Kaos remaja, kemeja dan rok. Ukurannya kira-kira muat dengan Kayla. Anak sialan itu sudah tersenyum lebar."Ini Sendai sama kemeja buat Retno sama Darwis ~sepupuku~ dan ini kaos pink sama rok buat Yunia~keponakan, anaknya Retno~."Selanjutnya aku menutup tas. Ibu sama Kayla terdiam."Kayla dibeliin apa, Rita?" Tanya ibuku seperti orang linglung."Kayla? Oh ...ada Kayla, ya? Ya ampun, lupa aku ... Aduh gimana, ya?" Kataku pura-pura sedih. Kulihat wajah Kayla berubah kecewa, tapi dia masih berusaha tersenyum. Dalam hati aku ngakak. Dia pikir, aku akan membelikan sesuatu? Nggak lah yaw!Ibu menatapku lama, sorot matanya marah, tapi aku tidak peduli. Aku benci sama Kayla, titik!"Jahat sekali kamu, Rita!" Suara ibuku menekan. Aku diam saja."Ambil semua gamis ini, Rita! Ibu tidak mau!" Ibu melempar gamis dan kerudung ke mukaku. Dih! Aku kaget sampai mulutku menganga."Ayo Kayla!" Ibu menarik tangan Kayla dan mengajaknya pergi. Anak sialan! Selalu usahaku untuk menyakitinya gagal! Hih!"Embah, embah, jangan marah sama Mamah, kasihan ..." Kayla menolak pergi, dia malah menatapku."Mah, maafin embah, ya?" Gadis kecil itu memunguti gamis dan kerudung di lantai, kemudian menaruhnya di amben."Kayla nggak usah dibeliin baju gapapa kok, Mah, baju Kayla masih banyak," katanya. Aku melengos. Anak sialan sok baik.Berjalan cepat, aku meninggalkan ibu dan Kayla. Niatku membuat Kayla menangis malah aku yang dimarahin Ibu. Apes.BersambungANAK YANG KUBENCI 6Anak yang baik Huh, bosen klumbrak klumbruk di rumah. Mana di kampung, sepi. Beda dengan Jakarta, selalu ramai setiap hari. Kalau libur aku jalan-jalan ke mall, belanja, atau nggak nonton bioskop, atau nggak berenang. Kangen sama temen-temen.Pagi ini aku bangun agak siang karena semalam chat-chatan sama temenku sampai larut malam. Cutiku masih seminggu lagi, tapi aku tidak akan menghabiskan di sini, paling dua hari lagi aku balik ke Jakarta. Keluar rumah, aku duduk di teras. Ibu tidak ada, kalau Kayla mungkin sekolah. Anak sialan itu sudah kelas empat SD. Nggak terasa, cepat besar dia. Wajahnya lebih mirip Richard dari pada aku. Kulit putihnya, garis wajahnya bila tersenyum, hidung, bibir, mata, semuanya mirip bapaknya. Hanya rambut dan alis matanya yang tebal, mirip denganku. Masih untung cantik, kalau jelek udah aku buang ke laut tu anak. Mau ngapain ya? Sekarang kok, aku merasa asing di rumahku sendiri. Saat mau kembali masuk rumah, seseorang memanggilku. "
ANAK YANG KUBENCI 7Dimarahin Embah "Ibu pergi dulu, Rita," Memakai seragam ngaji, Ibu berpamitan padaku. Hari ini Kamis pasaran Pahing jatahnya Ibu mengaji kampung. "Iya, hati-hati, Bu," Masih jam setengah dua siang. Aku yang tidak terbiasa tidur siang merasa bosan bermain HP melulu. "Assalamualaikum," Kudengar suara Kayla mengucap salam, anak itu baru pulang sekolah rupanya. Kulihat jam lagi di HP, jam dua kurang sepuluh. Aku bergegas keluar kamar. Kayla sedang mengambil minum. "Heh! Jam segini baru pulang, dari mana?" Tanyaku. "Dari sekolah," gadis kecil berseragam SD itu menjawab. Satu gelas penuh air putih dia teguk sampai tandas. Wajah Kayla berkeringat seperti habis berolahraga. "Pasti kamu habis main, anak SD itu pulangnya jam satu. Ini sudah jam dua!" Mataku mendelik. Anak bandel ini pasti habis bermain dan menghabiskan uang saku dari embahnya. "Beneran pulang sekolah, Mah, kan sekolahnya lumayan jauh, Kayla jalan kaki," jawabnya sembari mengusap keringat di dahiny
ANAK YANG KUBENCI 8ARIA"Rita, selamat ya, sudah diangkat jadi Supervisor," kata Mbak Ratih, mantan supervisor-ku. "Sama-sama, Mbak. Kalau bukan rekomendasi dari Mbak Ratih, aku juga masih Jahit kerah, hehehe," Senangnya aku sudah dinaikkan jabatan menjadi supervisor. Tanggung jawabnya lebih besar karena membawahi line. Gapapa lah, yang penting sebanding dengan gajinya. Aku semakin yakin, bahwa semakin jauh dari Kayla, keberuntunganku semakin mendekat. Sekarang aku diangkat jadi Supervisor, gajiku naik hingga aku bisa pindah ke kos-kosan yang tergolong mewah. Coba masih di kampung, bakalan jadi tukang derep di sawah aku. Kayla memang pembawa sial. Lebih baik, aku jauh-jauh darinya. **Hari ini, kami para supervisor dipanggil untuk meeting oleh manager produksi. Mereka bilang ada buyer yang mau inspeksi. Kebetulan, yang mengerjakan pesanan tersebut termasuk line yang aku kepalai. "Rita, sampai mana progres-nya?" Pak Amir, kepala produksi bertanya padaku. "40 persen sudah di
ANAK YANG KUBENCI 9Jatuh Cinta Lagi?Keluar dari mobil, aku berlari kecil menerjang rintik hujan. Memasuki pagar, aku merasa mobil Aria belum bergerak. Tak sengaja, aku menoleh ke belakang. Benar, mobilnya masih diam di sana. Nunggu apa, sih? Atau dia sedang mengawasiku?"Sampai malam, Rit?" Wina, teman sebelah kamarku menyapa, di tangannya membawa semangkuk mie instan rebus yang masih mengepul. "Eh, iya, tadi mampir dulu ke supermarket terus kehujanan," jawabku sambil tengak-tengok ke jalan. Untung saja sudah pergi mobilnya. Males aku kalau ditanya-tanya sama Wina. Dia itu kepo. Menaruh belanjaan di meja, aku duduk di tepi tempat tidur. Kok rasanya berdebar dan gugup begini sih? Padahal aku sudah bukan anak muda lagi. Bibirku senyum sendiri. Apa karena sudah lama aku tidak bergaul dengan laki-laki? Maksudku jatuh cinta lagi gitu ... hmm.Jujur saja, selama tinggal di Jakarta aku belum pernah mempunyai teman dekat. Semua teman biasa aja, kalau jalan juga ramai-ramai. Aku sendiri ju
ANAK YANG KUBENCI 10Gimana dong Kuketik nomor rekening ibuku, lalu kukirim uang sebesar lima ratus ribu. Setiap bulan, aku rutin mengirim uang untuk Ibu, meski beliau tidak pernah meminta. Ibu tahu, aku akan marah dan mengomel bila Ibu meminta uang untuk Kayla. Terakhir, Ibu meminta kiriman uang untuk biaya masuk SMP Kayla, tapi aku tidak memberinya. Dari saat itu, Ibu tidak pernah lagi meminta uang untuk Kayla. Memang Kayla anakku, anak yang tidak kuharap kehadirannya di muka bumi ini. Tidak kewajibanku untuk membiayai dia. Hidupku sudah susah dari saat hamil hingga melahirkan dia. Yang aku heran, apakah Richard tidak ingat dengan anaknya ini, ya? Dulu dia pergi meninggalkan aku dalam keadaan hamil dan dia tahu itu. Kalau seorang laki-laki bisa dengan santainya meninggalkan tanggung jawab, kenapa aku tidak? Bikinnya berdua, suka sama suka tapi, kenapa hanya aku sendiri yang menanggung malu dan susah? Seandainya aku tahu di mana Richard, akan kukirim Kayla bersamanya. Biar Richar
ANAK YANG KUBENCI 11Tidak Jujur Ini baju yang ke tujuh yang aku coba, semuanya salah. Aku merasa nervous hingga gonta-ganti baju. Aku bingung harus pakai baju apa untuk bertemu dengan Pak Aria? Duh Gusti, kenapa aku jadi seperti ini?Ponselku berdenting, pesan WA baru masuk. Cepat kuraih benda pipih dari kasur. Astaga! Pak Aria sudah sampai dan dia menunggu di depan gerbang. Bagaimana ini, sedangkan aku belum selesai juga memilih baju! Emang mau ke mana sih, kok aku nggak nanya. Akhirnya, aku memilih memakai rok dengan bawahan model payung. Sepatu flat warna putih membalut kakiku. Rambut yang panjang sebahu kubiarkan tergerai. Insha Allah sudah cantik.Meski usiaku sudah kepala tiga, tapi body aku masih tetap langsing lho, nggak kalah sama yang umur dua puluhan. Walau aku sudah pernah punya anak, tapi tidak ada yang berubah dari bentuk tubuhku. Tidak ada yang tahu aku punya anak di kampung. Latifah, temanku yang tahu rahasiaku juga sudah resign dari pabrik. Latifah pulang kampung k
ANAK YANG KUBENCI 12Kabar dari Kampung Aku tidak tahu, hubungan seperti apa yang kini tengah aku jalani bersama Pak Aria. Kami semakin akrab, aku tidak sungkan lagi menegurnya bila dia berkunjung ke pabrik. Nggak pernah ke line sekarang, Pak Aria lebih sering di office. Kupikir, gedung 1 ~di sini ada beberapa gedung dan disebut dengan menggunakan angka~ dengan penghuni sekitar seribu orang ini sudah tahu semua tentang gossip aku dan Pak Aria. Gimana nggak, aku karyawan lama di sini, hampir semuanya dari Satpam sampai OB, dari penjahit sampai ke bagian packing, tahu semua tentang aku. Itu menurutku sih, hehehe. Mimpi indahku untuk membina rumah tangga kembali hadir. Aku layak bahagia setelah perjalanan panjang penuh tekanan dan kesialan. Deritaku saat hamil Kayla masih terasa perih hingga kini. Sendiri dengan perut yang semakin membesar, takut, khawatir, bingung, semua jadi satu. Tak ada orang yang kuajak bicara saking takutnya. Apalagi saat Richard dan keluarganya pindah entah ke
ANAK YANG KUBENCI 13PoV AuthorYang tidak diketahui Rita "Kayla, ini sangunya, Nduk," Gadis kecil yang sudah mengenakan seragam sekolah itu mendekat dan mengambil uang sejumlah lima belas ribu di meja makan. "Terima kasih, Mbah," ucapnya tersenyum, dimasukkannya uang itu ke dalam saku. Setelah itu, tangan mungilnya dengan cekatan menutup tepak makan berwarna pink dan mengambil botol minuman. Menutup resleting tas, Kayla lalu menggendongnya di punggung. "Kayla berangkat dulu, Mbah," Meraih tangan keriput sang nenek, Kayla kecil menciumnya. Selalu begitu setiap pagi. Embah mendesah pelan, diamati seragam rok Kayla yang sudah cingkrang. Bukan maksud sang nenek membiarkan cucunya memakai rok yang sudah kecil itu, tapi dia memang belum punya uang buat membeli kain dan menjahitkan yang baru. Sepatu Kayla juga hanya satu-satunya, tapi masih agak bagus karena nenek membelinya saat Kayla naik kelas enam. "Kay, bajunya udah mau selutut ya? Embah menunjuk kaki Kayla. Dengan baju lengan pa