Pertemuan dengan Aluna
"Wajahmu itu tidak bisa bohong. Kamu sedang tidak baik-baik saja." Satya mengurai kalimatnya yang pertama saat mobilku berada pada kendalinya. Aku memilih mengabaikan kalimatnya dengan memandang ke luar kaca mobil. Rintik-tintik hujan yang perlahan turun membuat suasana hatiku makin tak menentu.Entah apa yang sedang kurasakan, nyatanya semakin tenggelam menyelami rintikan hujan itu membuat jiwaku makin tersentil, seolah mereka tengah menertawakan kondisiku saat ini.Nyatanya hampir enam tahun ini aku menghilang dari kehidupan lamaku, rasa rindu pada sosok di masa lalu itu sering muncul. Dalam anganku, ingin sekali melihat sosok ceria yang hanya tahu bagaimana beratnya menggapai cita-cita. Gadis penuh semangat yang mendewakan senyum ayahnya. Rasanya sesak setiap kali mengingat akulah satu-satunya yang harus disalahkan karena gugurnya sosok Rindu yang dulu."Aku tahu, ada banyak sesal yang ada di hatimu. Tetapi sampai kapan? Kumohon lepaskanlah semuanya, Rindu. Tataplah Bintang, disanalah masa depanmu berada. Jangan hukum dirimu seperti ini."Lelaki di sebelahku nampaknya belum menyerah memberi siraman embun yang kuharap mampu mendinginkan hatiku yang membara akibat pertemuanku dengan Giandra untuk ke sekian kali setelah perpisahan kami di masa lalu. Sementara Bintang, nampaknya dia belum mengetahui siapa laki-laki yang baru ditemuinya di mall tadi. Anak lelakiku memilih tertidur pulas di jok mobil belakang."Berdamai dan maafkanlah, Rindu."Kutatap seraut wajah tampan di sebelahku. Tatapannya yang tenang dengan wajah penuh kehangatan yang entah berapa kali kutolak perasaannya. Meski aku tahu dalam dekapannya tak mungkin ada luka yang sengaja dia torehkan nantinya, tetapi tetap saja aku meragu. Bukan meragu padanya, aku meragu dengan diriku sendiri.Aku ragu luka yang belum sembuh ini membuat Satya kecewa. Aku takut membuatnya menyesal dengan diriku yang belum selesai dengan masa lalu. Berkali-kali Satya meyakinkan semuanya akan baik-baik saja. Bahkan aku mampu melihat istana yang sudah dia bangun untukku dari mata coklatnya.Entah apa yang membuatku tidak bisa benar-benar membuka hatiku untuknya. Hati dan wajahnya benar-benar seirama. Hampir tak ada cacat dalam dirinya. Apakah aku takut keluarganya menentang kami?Tidak.Aku tahu selama ini Satya hidup sendiri. Entah dimana orangtuanya, aku pun tak pernah berusaha mencari tahu selain apa yang dia ceritakan. Sama seperti aku padanya. Dia tak pernah berusaha mengorek masa lalu selain yang kuceritakan padanya."Mobil kamu bawa saja dulu. Besok pagi ke restoran aku naik taksi online. Tak perlu menjemputku, ingat itu." Aku memberi ultimatum padanya. Tentu saja aku tahu apa yang ada di benaknya. Lihat saja besok, apakah dia berani menentangku seperti yang sudah-sudah."Baiklah," ucapnya sambil tersenyum lebar. Entah dia serius atau tidak lihat saja besok."Aku tak suka melihatmu terpuruk. Aku tak suka melihatmu menghukum dirimu sendiri seperti ini. Kau layak bahagia setelah apa yang kau lewati selama ini, Rindu."Hari ini aku sengaja mencari gaun yang akan kukenakan di acara pesta pernikahan salah satu temanku. Aku bertemu dengan Gina saat sama-sama merintis usaha kuliner beberapa tahun lalu. Kebetulan kami mengikuti pelatihan salah satu motivator bisnis kuliner yang diadakan di salah satu hotel cukup terkenal. Dari sanalah hubungan baik kami terjalin hingga kini, saat usaha kebab fenomenalnya memiliki puluhan cabang di kota ini.Kuparkirkan mobil di halaman depan butik langgananku ini. Selain harganya yang pas di kantong, aku cukup suka dengan rancangan gaun pemilik butik ini. Saking seringnya aku mempercayakan gaunku disini, pemiliknya—Mba Dena, sampai kenal baik denganku. Aku tak tahu apakah itu bentuk keramahan pemilik butik pada customernya. Yang jelas aku nyaman berkonsultasi mengenai rancangan yang kuinginkan. "Hai, sendirian? Mana bodyguard kesayanganku itu?" Mba Dena mencium pipiku kanan kiri sambil meledekku dengan membahas Satya setiap pertemuan kami yang tanpa diikuti lelaki itu.
Dunia yang Sempit"Hai Lun? Kapan sampai?" Mba Dena menuju ke arah Aluna yang masih berdiri di depan pintu. Matanya tak bisa berbohong, dia masih syok saat mendapatiku tengah berada di ruangan yang sama dengannya. Aku yang masih punya janji dengan Mba Dena untuk melihat koleksi bajunya memilih bertahan di tempatku duduk. Kuambil katalog design produk yang lain demi membunuh rasa canggung yang tak bisa kuhilangkan dalam sekejap. Kulihat Aluna masuk meski dengan langkah yang ragu. "Minggu kemarin, Mba. Beres-beres rumah dulu baru sempat kemari," ucapnya berusaha menampilkan senyum pada Mba Dena yang memeluknya erat. Sementara aku memilih membuka kembali katalog yang lain lagi untuk mengalihkan perhatianku. Tetapi dari ekor mataku aku bisa melihat Aluna masih memandangku dengan tatapan yang sulit kuartikan. "Jadi ambil rumah yang di Residen itu?" Pertanyaan Mba Dena pada Aluna membuat kedua alisku bertaut. Perumahan Residen? Hatiku mulai dilanda tanda tanya. Perumahan Residen di kota
"Aduh, maaf malah jadi lupa, Ndu. Bentar kuambil brownies dulu di dapur. Titip buat Bintang." Mba Dena berlalu dari ruangan yang hanya diberi pembatas kaca. Kulihat langkahnya buru-buru, mungkin karena tak enak telah membuatku menunggu beberapa saat. "Jadi selama ini kamu bersembunyi di sini?" Aluna membuka kalimatnya saat Mba Dena sudah tak terlihat. Aku menoleh, membalas tatapan matanya yang menghujam seolah di hadapannya adalah musuh lama yang baru ditemukan. Aku tersenyum hanya dengan menarik salah satu sudut bibirku. Kulihat tangan Aluna meremas tas di pangkuannya. Bahkan aku masih hafal perangainya jika hatinya tengah gusar. "Bersembunyi? Siapa yang tengah kutakuti hingga harus bersembunyi?" Kujawab pertanyaannya dengan kalimat tanya yang pasti tak dapat dijawabnya."Aku tak melakukan kesalahan apapun. Jadi tak pernah terbersit dalam pikiranku untuk bersembunyi," lanjutku. "Kau memang pandai memainkan kata, Rindu. Apakah kau melahirkan anak itu?" tanyanya dengan suara bergetar
Hanya Aku dan Bintang Aku datang ke restoran jam sebelas siang. Sebelumnya aku sudah meminta izin Satya untuk datang agak telat karena ada urusan di sekolah Bintang. Hari ini acara pembagian raport, jadi mau tidak mau aku harus menyempatkan diri mengambil laporan hasil belajar anakku selama setengah tahun terakhir. Tak mungkin aku meminta Mba Tini untuk mengambilkannya, hingga pengasuh anakku itu kuminta istirahat hari ini. Sedangkan Bintang sendiri kuajak ke restoran karena beberapa kali dia memintanya demikian. "Sepagi ini sudah ada yang ngapel. Apaan banget sih, Ndu!" ucap Satya dengan sorot mata penuh penghakiman namun dengan mimik yang dibuat lucu. Aku menautkan kedua alisku bermaksud mempertanyakan kalimatnya. Dengan gerakan dagunya dia menunjukkan salah satu sudut dimana seorang laki-laki duduk. Tentu saja membuatku sedikit bertanda tanya siapa yang sudah mendatangiku sepagi ini. "Bukan customer biasa, Sat?" tanyaku meletakkan tas selempang di ruanganku. Dia menggeleng sambi
"Anakmu?" Dia menoleh ke arah Bintang yang tengah memainkan ponsel Satya, kebiasaan buruk yang berulang kali kucegah. Anakku dan Satya memiliki kebiasaan buruk yang susah kuingatkan. Mereka akan kompak memainkan perasaanku dengan sengaja menentang aturan yang kubuat. "Bodoh. Anak itu memang mirip dengan ayahnya. Kurasa dia akan benar-benar gila dengan rasa bersalah yang menghantuinya setelah ini." Mas Enggar tersenyum getir tanpa menatap mataku. Aku tahu baru saja dia mengumpat Giandra. "Laki-laki itu menemuiku. Dia yang mengatakan telah bertemu denganmu di kota ini. Awalnya aku tak percaya, Rindu. Tetapi dia meyakinkanku hingga mengirimi fotomu saat berada di depan restoran ini. Kurasa diam-diam dia mengambil gambarmu untuk meyakinkanku bahwa dia telah benar-benar menemukanmu." Aku mencengkeram ujung meja saat mendengar penjelasan Mas Enggar. Dari tadi aku ingin menanyakan dari mana dia mengetahui keberadaanku di sini. Bukan tanpa sebab, karena tak seorang pun dari keluargaku tahu
Dunia yang SempitSesuai rencana hari ini aku akan kembali meninjau lokasi pembangunan di kawasan Baturraden. Sejak pertama aku ke kota ini, rasanya sulit sekali tak jatuh cinta pada tempat ini. Lokasinya yang berada di kaki Gunung Slamet membuat hawa sejuk mudah sekali dinikmati. Belum lagi lokasinya yang tak jauh dari pusat kota kabupaten Banyumas yang membuatnya menjadi tempat wisata yang cukup strategis. Oleh karenanya aku sangat serius untuk membuka kafe dengan konsep yang sudah kumatangkan betul apalagi saat aku bertemu investor yang siap menggelontorkan dananya untuk pembangunan kafe ini. Aku menekan tombol-tombol di ponselku untuk kembali menghubungi Satya. Entah sudah berapa kali aku menghubunginya dan belum sekalipun dia mengangkat panggilanku. Padahal kami sudah sepakat untuk bertemu di restoran taman tak jauh dari lokasi yang akan kami tinjau ulang. Sedangkan Pak Rama sendiri, dia sudah berkata dalam perjalanan ke tempat itu. Tak mungkin membuatnya menunggu. "Apakah dia
Senyumnya yang mengembang sempurna bertolak belakang dengan diriku. Menarik sudut bibir pun aku tak mampu. Bukan aku tak tahu rasa apa yang dia simpan di dalam hatinya untukku. Semua terpancar dengan begitu nyata. Bahkan orang-orang yang baru pertama melihat kami pun akan dengan mudah menebaknya. "Sat, kau tahu bukan apa yang akan kukatakan? Berapa kali aku harus mengatakan hal yang sama padamu?" Aku menunduk, memainkan jemariku yang justru seketika dingin melihat tatapan hangat lelaki itu. "Aku siap menunggu, sungguh." Aku menggeleng. Rasanya apa yang akan dia lakukan hanya sia-sia. Aku tak mau membuatnya menghabiskan waktu untuk hal yang tidak ada gunanya sama sekali. "Tidak. Jangan, Satya. Aku sudah tahu ujung cerita ini kemana. Hanya kecewa yang akan kau temui di sana. Jangan membebani hidupmu dengna mencintai orang yang salah.""Kau bukan Tuhan, Rindu." "Maaf, jangan membuatku mengambil keputusan lain. Aku bisa saja memilih pergi daripada membuat hidupmu yang sudah banyak me
Bisakah Hati Memilih? "Maaf, Mbak Rindu. Aku tak tahu kau jadi datang, oleh karenanya kedua teman lamaku ini kuminta duduk bersama denganku," ucapnya lagi. Aku berusaha tersenyum meski begitu canggung. "Kenalkan, ini Giandra, dia adik sepupu sahabatku. Belum lama dia bertugas di sini. Dan ini istrinya, Aluna. Kebetulan sekali kami bertemu di sini." Pak Rama lanjut memperkenalkan kedua orang yang sejatinya sudah amat kukenal. "Kudengar dia tinggal di komplek perumahan Permata. Bukankah kau juga tinggal di sana , Mbak Rindu?" Pertanyaan Pak Rama membuatku terkesiap. Begitu pula dengan kedua manusia itu. Kurasa wajah mereka pun lebih pucat dari wajahku. Aku berusaha tersenyum. "Benarkah? Kalau begitu kita tetangga." Aku berusaha bersikap sewajar mungkin. Kulihat Aluna, wanita ular itu, meremas tas mahalnya. Entah mengapa aku mulai menikmati pemandangan ini dan merasa wajah-wajah pucat itu cukup menghiburku. "Baiklah. Kau tak keberatan bukan mereka ikut bergabung di meja kita? Kurasa