Share

6. Roller Coaster

Jakarta, 7 Februari 2018

"Langsung pulang, Ra. Jangan keluyuran. Sudah malam."

Andra terhenyak mendengar suara parau yang menyapa pendengarannya. Gadis itu menoleh ke arah si empunya. Lelaki itu sedang menatap lurus ke pintu lift.

Mereka hanya berdua saja di dalam. Berdiri bersisian dengan jarak sehasta.

Kebetulan, seluruh karyawan lantai 7 memang sudah membubarkan diri. Termasuk staff yang tadinya masih tersisa di procurement. Begitu pula dengan karyawan di lantai lain.

Dalam hati, gadis itu bertanya-tanya. Apa gerangan yang ada di benak lelaki itu? Mengapa dia jadi perhatian begini? Bukankah tadi, Bram menahan Andra di ruangannya? Seperti tidak mau tahu bahwa gadis itu sudah penat.

"Iya, Pak. Saya juga sudah mengantuk," jawab Andra tanpa tedeng aling-aling.

Bram malah terkekeh. Matanya terpaku pada Tag Heuer chronograph dengan steel strap yang melingkar di pergelangan tangannya. Pukul 20.50. "Baru jam segini sudah mengantuk."

Lagi-lagi, Andra menengok. Dalam hati, gadis itu mendongkol. Apa maunya bos menyebalkan ini? Rasanya, baru beberapa saat lalu dia membuatku besar kepala. Sekarang, mulai menyindir lagi.

Bram bergeming dengan gesture-nya semula. Lelaki itu memasukkan sebelah tangan ke saku celananya. Sementara, tangan yang satu lagi menjinjing tas laptop.

Andra menghela napas, lalu balas tertawa kecil. "Nggak tahu, nih, Pak. Belakangan ini energi saya cepat habis."

Ucapannya membuat Bram tertohok dan berpaling. Didapatinya Andra sedang menunduk. Menatap layar telepon genggamnya.

Dalam hati Bram bertanya-tanya. Apakah gadis itu berkata jujur atau sedang menyindir. Memang, sudah dua bulan ini, Bram melimpahkan tambahan pekerjaan pada Andra. Toh, dia juga sudah mengajukan kenaikan gaji untuknya. Ketika Andra menilik rekening akhir bulan nanti, hatinya pasti berbunga-bunga.

Bram tahu, dia dikenal sebagai atasan yang semena-mena. Seakan senang merampas seluruh waktu para anak buahnya. Namun, itu semua sepadan dengan kompensasi yang diberikan. Lagipula, bukan keinginan Bram menyusahkan mereka. Kebutuhan perusahaan yang mengharuskan begitu.

"Makanya, kalau pagi olah raga. Jangan tidur lagi sehabis subuh," tukas Bram. Tepat ketika lift mencapai loby.

"Iya, Pak." Andra menyahut singkat. Gadis itu sudah kehabisan motivasi untuk mendebat Bram.

Pintu lift terbuka. Bram mempersilakan Andra keluar lebih dulu. Lelaki itu segera menyusulnya.

Lobi masih dipenuhi oleh puluhan orang. Sebagian duduk di sofa yang tersedia. Sebagian berdiri di beberapa area. Sebagian menunggu hujan reda. Sebagian menunggu jemputan.

Bram tidak sadar kalau kota ini dilanda hujan sejak satu jam lalu. Lelaki itu terlalu larut dalam pekerjaannya.

"Kamu pulang naik apa?" Pertanyaan Bram menghentikan langkah Andra. Tadinya, gadis itu bermaksud menuju pelataran.

"Sudah pesan taksi, Pak."

"Batalkan saja!"

Mulut Andra menganga mendengar perintah lelaki itu. Sekarang mau apa lagi makhluk tampan ini? "Tapi, Pak...?"

"Kamu mau sampai kos jam berapa kalau menunggu taksi datang?"

"Nggak sampai satu jam biasanya."

Beberapa pasang mata mengawasi mereka. Menatap iri pada kedekatan gadis berponi dan bertubuh mungil pada Bram. Siapa pun tahu lelaki itu adalah salah satu incaran para karyawati lajang di kantor ini.

"Coba saya lihat!" Bram mengulurkan tangan. Meminta gawai yang dipegang Andra.

"Nggak perlu, Pak. Lima belas menit lagi taksinya datang."

Andra jadi tidak nyaman. Baru kali ini ada orang yang memaksa ingin melihat isi ponselnya. Terlebih, orang itu bukanlah keluarga atau pasangannya.

"Saya mau bicara dengan driver-nya." Bram merendahkan nada suaranya.

Setelah berpikir sejenak, Andra memberikan telepon genggamnya. Meskipun jengah, Andra juga penasaran. Ingin tahu apa yang bakal disampaikan oleh lelaki itu.

"Pak Bram mau minta driver-nya jadi pembalap?" tebak Andra.

Bram tidak menyahut. Lelaki itu langsung menghubungi si pengemudi melalui aplikasi.

"Maaf, saya batalkan, ya, Pak. Sudah ada yang menjemput saya," tukas Bram begitu tersambung. Tak lupa, lelaki itu menekan menu "cancel" setelah percakapan usai.

Andra kembali dibuat terperangah dengan ulah lelaki itu. Seenaknya saja membatalkan taksi online yang dipesannya. Sudah ada yang menjemput katanya. Jemputan dari alam gaib?!

"Lho, Pak, kenapa di-cancel? Saya pulangnya gimana?" protes Andra sengit.

Sekarang, gadis itu sudah tidak peduli lagi dengan posisi mereka sebagai bos dan anak buahnya. Andra tidak terima dengan apa yang dilakukan Bram. Apa lelaki itu tahu kalau Andra susah payah memperoleh taksi? Sudah empat driver menolaknya.

Bram tidak menggubris omelan Andra. Dikembalikannya gawai gadis itu sambil berkata, "Jangan panik begitu, dong, Ra. Kamu pulang bersama saya."

Tanpa berbasa-basi lagi, Bram langsung beranjak menuju pintu keluar. Lelaki itu tidak bisa memikirkan cara lain untuk memastikan Andra pulang bersamanya. Andra pasti menolak dengan berbagai alasan. Bram sudah letih untuk berbantah-bantahan hari ini.

"Ya, Tuhan. Masih berapa banyak cobaan yang harus hamba lalui hari ini?" Andra mengadu dalam hati.

Dengan lesu, gadis itu mengekori Bram menuju tempat parkir di halaman gedung. Mirip seorang anak yang baru saja dimarahi sang ayah karena mendapat nilai buruk di sekolah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status