Udara begitu sejuk. Banyak pepohonan yang memayungi desa tua itu. Reihan, Jihan dan Alea sangat menikmati kesegaran yang mereka hirup. Maklum, di kota mana sempat menghirup udara sesegar ini? Banyak polusi udara yang disebabkan oleh asap kendaraan bermotor dan juga asap pabrik.
“Haaaahh. Sejuknya.” Kata Jihan sambil merentangkan kedua tangannya.
“Apa aku bilang? Kamu suka kan?” Tanya Reihan. Jihan menjawab dengan hanya menganggukkan kepalanya.
“Itu. Bu Rah lagi duduk-duduk di teras rumahnya. Yuk kita kesana.” Ajak Reihan kepada istri dan juga anaknya.
“Assalamualaikum, Bu Rah.” Ucap Reihan.
“Waalaikumsalam.” Jawab wanita tua tersebut.
“Gimana kabarnya, Bu Rah? Baik?” Tanya Reihan sambil mencium punggung tangan wanita tua yang ada di hadapannya itu.
“Baik.” Jawabnya singkat. Wanita tua bernama Rah itu memang tidak banyak bicara. Ia hanya akan bicara jika ada hal penting yang harus dijawab.
“Perkenalkan. Ini istri saya. Namanya Jihan.” Kata Reihan yang memperkenalkan Jihan. Jihan pun mencium tangan Bu Rah.
“Dan ini puteri saya. Namanya Alea.” Lanjutnya. Alea juga mencium tangan sang nenek.
“Hallo, Nek.” Sapa Alea. Namun Bu Rah hanya diam dan menatap Alea. Jihan merasa aneh dengan wanita tua ini. Kenapa ia diam saja? Kenapa tidak seperti orang-orang lainnya yang stiap pagi menjalankan aktifitasnya? Namun pikiran buruk telah ia buang jauh-jauh. Ia berharap dengan diperkenalkannya dengan Bu Rah, Jihan bisa mendapatkan teman untuk mengobrol di desa itu. Terlebih ia juga ingin mendapatkan informasi tentang rumah tua yang ia huni sekarang.
“Reihan. Jaga keluargamu baik-baik. Lindungi mereka dari bahaya apa saja yang akan menimpa keluargamu.” Pesan si nenek.
“Bahaya apa, Bu Rah?”Tanya Reihan penasaran.
“Apa saja yang bisa merusak keluargamu. Kita gak tahu hal apa yang akan menimpa keluarga kita.” Tutur Bu Rah.
“Baik, Bu Rah. Akan saya jalankan pesan dari Bu Rah.” Jawab Reihan.
Jihan semakin penasaran. Apakah Bu Rah sudah mengetahui bahwa keluarganya akan ditimpa masalah besar? Sehingga beliau sudah mewanti-wanti suaminya untuk berjaga-jaga melindunginya dan juga anaknya.
“Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa Bu Rah berbicara seperti itu? Ya Alloh. lindugiLah keluarga kecilku.” Gumam Jihan dalam hati. Ia sangat takut sekali dengan apa yang akan terjadi. Semuanya terasa seperti misteri. Tidak ada yang bisa menebak. Saat ini Jihan hanya bisa pasrah kepada Tuhan agar selalu menjaga keluarga kecilnya.
“Bu Rah. Saya boleh minta tolong?” Tanya Reihan kepada Bu Rah.
“Minta tolong apa?” Bu Rah bertanya kembali.
“Kalau misalkan saya lagi kerja, boleh saya nitip anak dan istri saya? Barang kali mereka kesepian. Mereka kan baru di sini. Jadi biar Jihan dan Alea lain kali bisa main ke sini.”
Bu Rah tidak menjawab dengan sepatah kata. Beliau hanya menganggukkan kepalanya. wanita tua itu wajahnya sangat putih. Rambutnya juga putih. Memakai pakaian kebaya dan memakai sewek. Rumahnya juga masih berupa gubuk reot. Beliau hanya tinggal sendiri di kediamannya.
“Ya sudah. Kalau begitu, kami pamit dulu ya, Bu Rah. Mau lanjutin jalan-jalan keliling desa ini.” Ucap Reihan kepada Bu Rah. Ia pun mencium kembali tangan wanita tua itu. Disusul oleh Jihan dan juga Alea. Namun Bu Rah lagi-lagi hanya menganggukkan kepalanya.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.” Jawb Bu Rah.
Reihan, Jihan dan Alea melanjutkan jalan-jalan paginya. Mereka merasa bebas menikmati kesejukan di pagi itu. Rumah di desa itu memang tidak berdempetan seperti di kota. Setiap rumah pasti terhalang oleh pepohonan dan juga tanaman liar lainnya. Di desa itu juga banyak rumah yang sebenarnya tidak layak untuk di huni. Terlihat seperti mau roboh karena termakan usia. Apalagi hanya terbuat dari anyaman bambu. Gedeg sesek. Begitu kata orang Jawa. Setiap mereka bertiga melewati rumah para warga, mereka bertiga berusaha ramah dan menyapa dengan menundukkan kepalanya sambil tersenyum. Namun orang-orang yang mereka jumpai hanya melihati mereka dengan tatapan tajam dan tidak ada ekspresi sama sekali. Jihan merasa aneh dengan semua penduduk di desa ini. Selain tidak ada respond saat di ajak bicara, mereka juga adalah seorang manula (manusia lanjut usia). Sungguuh desa yang aneh.
“Di sini kalau pagi berkabut ya, Mas.” Kata Jihan yang merasa dingin dan diselimuti oleh kabut yang tebal.
“Iya. Asri banget kan?” Tanya Reihan kepada Jihan.
Jihan hanya menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. Alea juga menikmati hari pertamanya jalan-jalan pagi di desa itu.
“Sepertinya kita harus jalan-jalan pagi setiap hari deh, Yah, Ma. Alea suka banget.” Kata gadis cantik tersebut.
“Iya. Kalau di kota, boro-boro bisa menghirup udara segar seperti ini. Pagi-pagi aja sudah disuguhi sama asap pabrik.” Ucap Jihan.
Reihan hanya tersenyum mendengar perkataan dari kedua wanitanya itu.
“Tapi, Mas. Kenapa warga di sini jarang ngomong? Disapapun mereka hanya diam. mereka tidak seasik tetangga kita yang ada di kota.” Tanya Jihan kepada suaminya. Namun ketika Jihan menanyakan hal tersebut, tiba-tiba seorang kakek yang mendengar pertanyaannya melotot ke arah Jihan. Jihan sangat terkejut. Ia takut dengan pandangan kakek yang membawa arit tersebut. Sepertinya kakek tua itu akan pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar.
“Mungkin baru pertama kali. Jadi mereka canggung dengan kedatangan kita. Nanti lama-kelamaan akan terbiasa juga kok. mereka semua sebenarnya ramah.” Jawab Reihan.
Jihan masih melihat kakek yang menatapnya dengan seram sembai berjalan. Begitu juga dengan kakek tersebut. Ia masih menatap Jihan secara tajam sampai pada akhirnya beliau tiba-tiba menghilang.
“Ayah. Bunga ini bagus banget deh. Aku petik ya.” Kata Alea yang menyentuh bunga kamboja yang ada di hadapannya.
“Jangan!” Kata Reihan yang menahan anaknya yang hampir saja memetik bunga tersebut.
“Loh? Kenapa, Yah?” Tanya gadis itu penasaran.
“Jangan, Sayang. Kan itu bukan milik kita. Kita tidak boleh mengambil apa yang bukan milik kita. Jadi jangan dipetik ya.” Tutur Reihan kepada sang anak.
Alea berusaha mengerti. Ia menuruti apa yang dikatakan oleh Ayahnya.
“Mas. Mata hari sudah makin tinggi tuh. Ayo kita pulang. Aku juga belum siapin sarapan buat kamu sama Alea.” Ajak Jihan.
“Iya. Aku juga mau istirahat bentar terus siap-siap berangkat kerja.” Kata Reihan.
“Alea. Yuk, Nak. Kita pulang. Besok pagi kita jalan-jalan lagi.” Ajak Jihan kepada Alea yang dari tadi berjalan mendahului orang tuanya.
“Oke, Ma. Gadis itu memang penurut. Jihan dan Reihan merasa beruntung memiliki Alea.
Mereka bertiga pun kembali ke rumahnya untuk melakukan aktifitas lainnya. Namun di tengah perjalanan, Alea terjatuh.
“Aduh.” Kata Alea merintih.
“Alea.” Jihan dan Reihan membalikkan badannya. Mendapati sang anak yang sudah duduk terjatuh sambil memegangi kakinya.
“Kamu gak apa-apa, Sayang?” Tanya sang ayah kepada puteriya.
“Gak apa-apa, Yah. Cuma sakit sedikit aja.”
“Mau Ayah gendong?” Tawar Reihan.
“Gak usah, Yah. Alea gak apa-apa kok. alea masih bisa jalan sendiri.”
“Oke. Kalau begitu ayo kita pulang.” Kata Reihan.
Reihan dan Jihan berjalan terlebih dahulu. Sedangkan Alea, ia menemukan jepitan rambut yang ia rasa bagus di depan kakinya. Ia pun mengambil jepitan rambut tersebut dan menyimpannya. Tiba-tiba matanya memerah dan memandang jahat ke arah Ayahnya. sebenarnya jepitan rambut siapakah itu? Kenapa setelah Alea menyimpannya ia berubah menjadi seperti bukan dirinya?
Pagi ini terasa biasa saja. Tidak ada yang aneh dan mengganjal. Ini hari ke dua mereka tinggal di rumah itu. Jihan menyiapkan hidangan untuk sarapan. “Ma, Alea bantu ya?” Tawar sang puteri. “Iya, Sayang. Tolong bawakan ini ke meja makan ya.” Kata Jihan sambil menyodorkan piring berisikan potongan ayam goreng. “Oke, Ma.” Gadis kecil itu pun menuruti apa yang diperintahkan ibunya. Begitu juga Jihan yang menyusul di belakangnya dengan membawa nasi dan juga sayuran. “Makanannya sudah siap. Ayo kita sarapan.” Kata Jihan. Mereka bertiga pun mulai mengambil makanan yang telah tersaji di hadapannya. Dengan lahapnya Reihan menyantap masakan istrinya itu. “Ini enak banget loh.” Puji Reihan. “Kapan kamu bilang masakanku gak enak? Perasaan kamu bilangnya enak terus, Mas.” Kata Jihan menggoda suaminya. “Karena masakan kamu memang gak pernah gak enak. Semuanya enak. Itu yang menjadikan kita sekarang bisa memiliki rumah makan kan? Ingat jaman kita dulu waktu masih susah-susahnya
“Mama.” Panggil Alea secara tiba-tiba. Belum sempat membuka buku yang diduganya adalah buku diary itu, tiba-tiba Alea memanggilnya dari belakang. Sehingga ia buru-buru menutupnya dan menyimpannya kembali ke dalam laci tersebut. “Eh. Iya, Sayang. Ada apa?” Tanya Jihan kepada puterinya. “Ma. Kapan Alea sekolah lagi? Alea bosen di rumah. Gak ada temennya. Palingan Cuma si Jeny yang nemenin Alea.” Ucap gadis imut itu. Namanya juga anak-anak. Maklum kalau dia merasa sepi tidak ada teman. Apa lagi di tempat tinggalnya tidak ada anak kecil selain dia. Semuanya sudah lanjut usia. “Sabar, Sayang. Besok Mama ajak Ayah untuk cari sekolahan buat kamu ya.” Bujuk Jihan. Gadis itu pun mengangguk pertanda ia mengerti. Jihan pun akan lebih tenang jika waktu siang hari ia meninggalkan rumah itu. Ia bisa pergi mengantar puterinya bersekolah. Namun ia harus tetap mencari tahu, misteri apa yang tersimpan di rumah in? Ia tidak mau jika keluargaya berlarut-larut dalam ketakutan karena teror yang
“Alea. Mama kira kamu kemana. Ternyata ada di sini.” Kata Jihan yang menemukan Alea baru saja keluar dari kamar mandi. “Hehe. Iya, Ma. Tadi Alea kebelet banget. Sebelum Mama salam, Alea sudah salam duluan. Abisnya sudah gak tahan, Ma.” Jawab gadis cantik itu. “Iya, Nak. Gak apa-apa.”Tok tok tokTiba-tiba pintu rumah Jihan diketuk oleh seseorang. “Iya. sebentar.” Pikirnya, mungkin itu adalah suaminya. Ternyata saat ia membuka pintu, bukanlah suaminya yang datang, melainkan seorang laki-laki pengantar makanan. “Dengan Ibu Jihan?” Tanya laki-laki itu. “Iya. Saya Jihan, Mas.” “Ini. Saya mau mengantarkan makanan yang dipesan oleh Bapak Reihan untuk Ibu Jihan. Ada martabak telur dan juga martabak manis.” Kata laki-laki itu. Jihan heran. Sebenarnya kemana Reihan? Kenapa ia sampai menyuruh pengantar makanan untuk mengantarkan pesanannya? Tapi laki-laki ini terlihat aneh. “Baik lah. Saya terima ya, Mas. Terimakasih.” Ucap Jihan kepada laki-laki tersebut.Tanpa menjawab apapun d
Tidak ada siapapun di kamar mandi itu kecuali dirinya. Reihan yang mulai merinding segera meraih handuk dan juga pakaiannya. Ia keluar dari kamar mandi dengan badan yang masih basah. Ia langsung menuju ke ruang makan untuk menemui istri dan juga anaknya. “Lho, Mas? kok masih basah semua gitu? Memangnya gak ada handuk?” Tanya Jihan yang melihat suaminya keluar dari kamar mandi, namun ekspresinya seperti ketakutan. “Ada apa, Mas? kok kamu seperti ketakutan begitu?” Tanya Jihan lagi. “Kamu tadi masuk kamar mandi gak, Sayang?” Tanya Reihan yang memastikan bahwa yang memeluknya tadi adalah Jhan atau bukan. “Tidak, Mas. Aku dari tadi di sini sama Alea nungguin kamu mandi gak selesai-selesai.” “Serius?” Tanya Reihan lagi. “Serius, Mas. Memangnya kenapa sih?” Tanya Jihan penasaran. “Gak apa-apa. Kita makan bareng aja yuk. Perutku sudah lapar.” Kata Reihan yang berusaha mengalihkan pembicaraannya. “Apalagi Alea. Alea dari tadi sudah lapar, Ayah. Nungguin Ayah gak datang-datang
TapAda tangan yang tiba-tiba memegang pundaknya dari belakang. Jihan terkejut dan langsung menoleh ke arah belakangnya. “Kamu kenapa belum tidur, Sayang?” Tanya seseorang yang menepuk pundak Jihan yang ternyata itu adalah Reihan. “Ada... ada...” Kata Jihan terbata-bata. Karena ia takut mendengar suara tangisan yang tiba-tiba menghilang itu. “Ada apa?” Tanya Reihan penasaran. “Ada suara wanita menangis, Mas.” “Dimana? Aku tidak mendengarnya.” Ucap Reihan. “Di situ, Mas. Aku tadi mendengarnya.” Kata Jihan sambil menunjuk ke arah asal suara tangisan itu. “Seperti apa suaranya?” Tanya Reihan lagi. “Ya seperti suara tangisan perempuan, Mas.” Jawab Jihan. “Apa suaranya seperti ini? Heemmm heeemmm.” Tiba-tiba Reihan yang tadinya baik-baik saja menjadi menyeramkan. Suara menangisnya sama persis seperti apa yang didengar oleh Jihan tadi. Jihan menjadi takut. Ia semakin mundur. Sedangkan Reihan semakin mendekatinya. “Siapa kamu?” Tanya Jihan yang berusaha melawan rasa taku
Reihan yang mendengar Alea berkata seperti itu langsung menoleh ke arah puterinya dan menghentikan wudhunya. “Yah. Kok ilang?” Kata Alea. “Sayang. Kamu lihat Jeny?” Tanya Jihan kepada Alea. “Iya, Ma. Tadi dia berdiri di samping Ayah.” Jelas Alea. Reihan segera melanjutkan wudhunya. Kemudian ia menunggu Jihan dan juga Alea selesai wudhu. Ia takut kalau harus pergi ke ruang ibadah sendirian.Setelah wudhu, mereka bertiga langsung menuju ke ruang ibadah untuk menunaikan sholat subuh. Suasana hening, tanpa ada aba-aba dari kokokan ayam atau pun suara kicauan burung yang menandakan pagi akan segera tiba.Reihan melantunkan surah pendek dengan baik. Pelafadzannya juga lumayan bagus. Sedangkan Jihan dan Alea mendengarkan dan mengikuti gerakan imam. Mereka bertiga terlihat khusyu saat menjalankan sholat.***Matahari mulai menampakkan sinarnya. Hari ini Reihan libur bekerja karena harus mendaftarkan Alea ke sekolahnya yang baru. “Alea. Kamu sudah siap kan belajar di sekolah yang baru
“Tidak tahu. Coba aku periksa dulu.” Reihan pun turun dari mobil. Jihan dan Alea menunggu di dalam mobil. “Ada apa, Ma? Kenapa mobilnya berhenti?” Tanya Alea kepada ibunya. “Tidak tahu, Nak. Kita tunggu Ayah sampai selesai mengeceknya ya.” Jawab Jihan.Beberapa menit kemudian, Reihan belum juga bisa menemukan kendala yang sedang menimpa mobilnya. Jihan dan Alea pun turun dari mobil. Menanyakan keadaan kendaraan yang mereka tumpangi saat ini. “Kenapa, Mas? Apa ada masalah?” Tanya Jihan kepada Reihan yang masih meneliti kerusakan yang menyebabkan mobilnya berhenti mendadak. Jihan merasa takut. Karena kondisi jalanan sangat sepi, mengingat mereka sedang berada di sepanjang jalan yang kanan kiri penuh dengan pepohonan. Ya bisa dibilang masih seperti hutan. “Aku belum menemukan kerusakannya. Sabar ya.” Kata Reihan yang berusaha menenangkan kedua wanitanya. “Hei. Kenapa kamu berlari.” Kata Alea kepada sosok yang dilihatnya. “Ada apa, Alea? Siapa yang kamu maksud barusan?” Tan
Jihan terbangun dari tidurnya. Nafasnya terengah-engah. Ia juga mengeluarkan keringat dingin. Ternyata semua itu hanyalah mimpi. Namun mimpi itu terlihat seperti nyata. Tidak hanya satu orang yang memperingatinya untuk pergi dari rumah itu. Takut. Itu yang sebenarnya Jihan rasakan. Tapi ia belum bisa memecahkan misteri-misteri yang ingin ia ketahui kebenarannya. “Sayang. Kamu kenapa? Kamu pasti mimpi buruk lagi ya?” Tanya Reihan sambil mengemudikan mobilnya. “Iya, Mas. aku mimpi buruk lagi.” Jawab Jihan yang masih dengan perasaan yang tegang. Jantungnya berdegup kencang. Rasanya seperti dikerjar hantu. “Mama kalau udah ngantuk, baca do’a tidur aja. Biar nanti kalau ketiduran aman. Gak mimpi buruk lagi.”Celetuk Alea yang duduk di kursi belakang. “Hahaha. Kamu ini ada-ada saja, Nak. Mama pasti kecapekan. Makanya ketiduran. Terus mimpi buruk deh.” Kata Reihan yang tertawa melihat kepolosan Alea. “Memangnya Ayah kalau kecapekan juga suka mimpi buruk begitu , Yah?” Tanya Alea la