Chapter 2
"Uuh...," erang Lavanya Leonora Callas seraya memegangi sikunya yang lecet hingga mengeluarkan darah akibat didorong oleh temannya hingga terjatuh dan sikunya mencium lantai."Mau kuantar ke ruang kesehatan?"Pemilik bola mata berwarna biru dengan bingkai hitam itu mendongak dan mendapati Dario Clooney, teman sekelasnya mengulurkan tangannya untuk membantunya berdiri."Sial! Lihat saja nanti, akan dibalas Tammy," gerutunya tanpa menerima uluran tangan temannya.Dario menekuk kakinya di depan Vanya. "Kudengar kemarin kau menyiram kepala Tammy di toilet.""Dia terus-terusan menyindirku. Jadi, kutantang untuk berbicara langsung di depanku." Vanya meniup luka di sikunya beberapa kali."Dia berani?""Tammy membawa geng sampahnya itu untuk menyerangku di toilet."Dario terkekeh sambil menggaruk pelipisnya. "Kau bisa dikeluarkan dari sekolah jika terus-terusan bertengkar dengan Tammy dan gengnya."Selama sekolah menengah atas, bukan pertama kali Vanya masuk ruangan konseling dan yang pasti sudah tidak terhitung berapa kali dia harus menjalani hukuman. Tetapi, dua bulan terakhir menjadi rekor tertingginya."Peduli amat," ucap Vanya seraya bangkit posisinya.Dario juga bangkit. "Kita sudah kelas tiga dan ujian kelulusan tinggal beberapa bulan lagi, jika kau dikeluarkan, kau akan sulit untuk....""Aku tidak akan dikeluarkan dari sekolah ini, apa pun yang terjadi," ucap Vanya dengan nada angkuh dan berjalan menuju ruang kesehatan siswa.Tentu saja tidak mungkin pihak sekolah mengeluarkannya karena ayah tirinya adalah donatur terbesar di sekolahnya. Tetapi, Vanya sama sekali tidak bangga dengan hal itu karena sejak ibunya menikah dengan pria tua itu, dirinya semakin digunjing, dan dijadikan bahan olok-olok musuh-musuhnya."Ya. Mungkin karena ayah tirimu itu, tetapi jika orang tua murid lain...."Vanya berbalik ke arah Dario dan matanya melotot. "Stop bertingkah seperti ibuku yang terus-menerus menceramahiku!"Dario mengedikkan bahunya. "Kau sepertinya semakin tidak nyaman dengan keadaan di rumahmu sekarang."Vanya melengos seraya mendengus. Kehidupannya sama sekali tidak menyenangkan semenjak dulu, semenjak dilahirkan karena ayahnya tidak memperlakukannya seperti memperlakukan Julio dan dia harus menghadapi ibunya yang diktator sendirian."Aku tidak meminta kau mengomentariku," kata Vanya."Kenapa tidak pergi saja dari rumah?""Ide yang brilian. Apa kau pikir tinggal sendirian tidak memerlukan uang?" tanya Vanya dengan nada ketus."Kenapa tidak tinggal bersama ayah kandungmu?"Seperti yang dikatakan ibunya, ayahnya hanya peduli pada kakak laki-lakinya dan sekarang ayahnya memiliki kekasih yang berasal dari dunia yang sama. Seorang wanita bernama Vanessa yang berprofesi sebagai presenter berita olahraga dan Vanya sedikit setuju sekarang dengan pendapat ibunya yang mengatakan jika ayahnya itu benar-benar tidak berguna."Ayahku sudah mati," ucap Vanya dengan ketus seraya mendorong pintu ruangannya kesehatan di sekolah.Dario berjalan ke arah tempat penyimpanan kotak obat untuk mengambil sebotol antiseptik dan kapas kesehatan. "Aku akan mencarikanmu pekerjaan agar kau bisa membayar sewa apartemen."Vanya menatap luka di sikunya. "Ibuku tidak akan mengizinkan aku pergi dari rumah dan tinggal sendirian.""Kita delapan belas tahun, kita sudah dewasa dan berhak menentukan hidup kita sendiri," ucap Dario seraya meneteskan cairan antiseptik ke atas kapas lalu mulai mengobati luka Vanya."Ibuku tidak ingin aku bernasib seperti dirinya," kata Vanya dan gadis itu meringis menahan perih karena alkohol yang disapukan oleh Dario. "Kakakku lahir saat ibuku berusia enam belas tahun dan dia masih kelas satu SMA.""Kau punya Kakak?"Vanya hanya mengedikkan bahu seraya duduk di tepi tempat tidur pasien yang berada di ruangan itu. Siapa yang tidak tahu dengan Julio Javi Callas? Pembalap berusia dua puluh tahun yang kini mewakili Spanyol di ajang bergengsi MotoGP? Tetapi, tidak seorang pun kecuali keluarga inti yang tahu jika Julio memiliki adik perempuan.Hal itu adalah aturan yang dibuat oleh Tania, wanita itu sangat menentang profesi yang digeluti Julio sehingga ia tidak ingin Vanya maupun dirinya disangkutpautkan dengan Julio maupun Leandro."Kenapa aku tidak pernah melihatnya?" tanya Dario lagi."Dia pergi bersama ayahku," jawab Vanya dengan muram kemudian bangkit dari duduknya. "Terima kasih atas bantuanmu, aku harus kembali ke kelas."Dario melemparkan kapas bekas ke dalam tempat sampah. "Kembali ke kelas? Yang benar saja.""Aku tidak ingin membersihkan kolam renang lagi," kata Vanya karena baru tempo hari dia dihukum membersihkan kolam renang.Dario terkekeh dan menyusul Vanya melangkah lalu menyodorkan sebatang rokok untuk Vanya. "Bagaimana jika menaiki motor besar ke Hutan Apel?"Vanya mengambil rokok yang diberikan Dario kemudian menyeringai. "Tunggu apa lagi!"Keduanya tertawa senang kemudian berlarian menuju tempat parkir dan menaiki sebuah motor besar lalu Dario mengendarainya menuju ke arah Taman Hutan Apel di mana keluarga Dario memiliki sebuah Villa di sana.Di sana kedua anak muda itu duduk di sebuah sofa berukuran panjang di depan televisi layar lebar dan memegangi stik PS, tertawa dan bercengkerama seraya menikmati rokok hingga tidak terasa senja telah menguning di ufuk barat.Vanya melongok ke arah jendela. "Sial! Kita harus kembali ke sekolah.""Biarkan saja tas kita di sana, lagi pula besok juga kita kembali ke tempat sialan itu.""Ponselku di dalam tas.""Kau mengunci lokermu, 'kan?""Tapi ibuku akan menanyakan di mana ponselku, dia pasti sudah menelepon ribuan kali. Aku berani bertaruh."Dario meletakkan stiknya. "CK. Ibumu benar-benar menyebalkan."Vanya bangkit dari sofa. "Sekarang kau juga harus mencarikanku alasan kenapa aku pulang terlambat."Dario menghidupkan korek api untuk membakar rokoknya. "Bilang saja kau pergi menyemangatiku bertanding bisbol."Terakhir Vanya menonton Dario bermain bisbol sebulan yang lalu, terjadi kerusuhan di lapangan dan Vanya memukul salah satu penonton menggunakan tongkat bisbol. Ibunya harus mengeluarkannya dari kantor polisi kemudian melarang Vanya bergaul dengan Dario."Ide yang payah!" ucapnya kemudian Vanya memasang sepatu.Mereka kembali ke sekolah dan pintu gerbang telah dikunci, tetapi kedua remaja itu tidak kehilangan akal untuk memasuki area sekolah dan memanjat pagar kemudian mengendap-endap menuju tempat penyimpanan barang siswa.Vanya memilih kembali ke tempat tinggalnya menggunakan bus karena jika Dario mengantarkannya, Vanya yakin khotbah ibunya akan memenuhi telinganya. Terlebih lagi Vanya tiba di rumah sudah mendekati pukul delapan malam.Vanya mendorong pintu tempat tinggalnya yang menyerupai istana dengan hati-hati dan waspada dan mengumpat di dalam benaknya. Jika bisa memilih Vanya lebih senang tinggal di rumahnya yang dulu meskipun tidak seperti istana, sayangnya ibunya menyewakan rumah itu agar Vanya tidak bersikeras menempatinya sendirian.Gadis berambut sebahu dengan warna coklat terang itu berjalan dengan santai seperti biasa selayaknya remaja pulang sekolah, tas punggungnya menjuntai ke bawah karena hanya satu tali yang dicantolkan di bahunya dan mulutnya terisi oleh lolipop yang tangkainya dipegangi."Vanya!"Suara itu menggema mengisi ruangan dan ketika Vanya mendongak, ia mendapati ibunya berdiri di tengah tangga mengenakan gaun sutra yang tentunya harganya bisa untuk membeli satu kontainer roti. Vanya mendengus dan melanjutkan langkahnya tanpa niat memedulikan ibunya."Vanya, dari mana saja kau?" tanya Tania seraya menuruni tangga."Apa kau tidak melihat aku baru pulang sekolah?" tanya Vanya dengan nada ketus."Kau bertengkar lagi di sekolah dan hari ini kau tidak mengikuti pelajaran."Vanya mengedikkan bahunya. "Mr. Stanton sudah memberitahumu?""Vanya! Bisakah kau tidak membuat masalah dalam sehari saja?"Vanya menghentikan langkahnya di depan ibunya. "Kenapa? Takut aku tidak lulus?"Tania memijat kepalanya dan menghela napasnya dengan berat. "Bisakah kau bersikap normal sampai ujian kelulusanmu selesai?"Vanya memutar bola matanya. "Jangan khawatir, aku akan lulus dengan nilai terbaik."Tania sudah bisa menebak apa yang ada di kepala Vanya. "Raul tidak akan membantumu jika kau tidak bersikap baik!""Memangnya siapa yang meminta bantuan...."Sebuah deheman pria menginterupsi ucapan Vanya dan saat menoleh ke arah sumber suara, Vanya mendapati seorang pria tampan dengan perawakan tinggi mengenakan kemeja berwarna putih dan celana panjang berbahan kain seraya memegangi cawan berisi anggur berada tidak jauh dari tempatnya berdiri.Bersambung....Jangan lupa untuk tinggalkan komentar dan Rate!Terima kasih dan salam manis dari Cherry yang manis.🍒♥️☺️Chapter 3Ares menatap Vanya beberapa detik kemudian pandangannya beralih kepada Tania seolah sedang bertanya. Tetapi, dia sama sekali tidak bersuara.Tania seolah mengerti pertanyaan Ares. "Oh, dia... Vanya, putriku." Tania memiliki anak perempuan? Alis Ares berkerut samar dan kembali menatap penampilan Vanya yang terlihat kacau dan sedikit kusam, mungkin karena musim panas dan telah berada di sekolah seharian. "Jadi, Julio memiliki adik perempuan?" tanya Ares seraya melangkah mendekati Vanya lalu mengulurkan tangannya. "Kau bisa memanggilku Ares, kita bersaudara." "Dia putra pertama Raul," imbuh Tania. "Vanya," kata Vanya dengan nada datar dan ekspresi merengut dan tidak mengindahkan Ares yang mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan.Tania mendengus dan menggelengkan kepala. "Jangan khawatir, dia sebenarnya anak yang manis. Hanya sedikit keras kepala," ucapnya kepada Ares lalu menatap Vanya. "Sayang, bersihkan tubuhmu dan tunggu Mama di kamarmu, kita harus melanjutkan pembic
Chapter 4Vanya melemparkan tas dan sepatu kepada Dario yang berada di bawah, gadis itu berdiri di atas tembok pagar rumah setinggi dua meter. Memangnya Ares bisa menghalanginya? Tentu saja Vanya memiliki seribu cara untuk membebaskan diri, keluar melalui jendela kamar dan melompati pagar adalah beberapa keahliannya. "Sial! Jangan melompat atau kakimu akan patah!" geram Dario. Vanya menyeringai. "Tenang saja, ini bukan kali pertama aku naik ke pagar." "Kenapa tidak lewat pintu gerbang saja?" Vanya benar-benar melompat dari ketinggian dua meter kemudian mengambil sepatunya dari tangan Dario. "Ada anjing baru di rumahku." "Anjing baru?" tanya Dario seraya menatap Vanya yang sedang memasang sepatu. "Kau takut anjing?" Vanya mencibir. "Aku takut anjing? Yang benar saja." "Lalu?" "Aku hanya malas saja, dia bisa menyalak." "Ayo, Wilson pasti sudah menunggu kita," kata Dario seraya berjalan menuju mobil sportnya diikuti Vanya.Lima belas menit kemudian mereka tiba di sebuah rumah be
Chapter 5Paginya Vanya bangun dan cuaca sangat cerah, gadis itu mengenakan bikini lalu masuk ke kolam renang indoor yang ada di dalam rumah.Ternyata tinggal di rumah mewah ada gunanya juga, pikir Vanya seraya berenang-renang seperti seekor lumba-lumba yang lincah dan gesit. Sepulang sekolah Tammy menantangnya berenang dan menjadikan Wilson hadiah seperti barang saja. Tetapi, bukan Vanya namanya kalau tidak menerima tantangan meskipun dia tidak tertarik dengan Wilson. Ia lebih baik menerima tantangan Tammy dari pada diejek Tammy dan kawan-kawannya, dianggap tidak berani bertarung. Enak saja, siapa yang takut?Hanya saja, karena Vanya tidak tertarik berpacaran dengan Wilson, Vanya berencana akan memperlambat kecepatan renangnya dengan ketara agar semua yang menyaksikan tahu kalau dirinya hanya mengalah di detik terakhir. Biarkan saja Tammy yang mendapatkan Wilson. Vanya terus meskipun menyadari kedatangan Ares, ia memilih mengabaikan kakak tirinya yang mengenakan setelan jas dan b
Hola, enjoy this chapter.Chapter 6Vanya mendengus dan keluar dari mobil Wilson kemudian memasuki mobil Ares, tetapi tidak duduk di jok sebelah pengemudi melainkan di jok belakang. "Ternyata kau tidak jauh berbeda dengan ibuku," ucap Vanya ketika mobil yang dikemudikan Ares meninggalkan lokasi tempat tinggal mereka. Ares melirik Vanya melalui kaca spion. "Tania selalu mengkhawatirkanmu, Vanya." Bibir Vanya mencibir ucapan Ares. "Itu hanya kekhawatiran yang dilebih-lebihkan." "Vanya... Tania benar-benar menyayangimu, dia....""Aku berbeda dengan ibuku yang sembrono dan tidak bisa menjaga diri hingga terjerumus dalam pergaulan bebas. Aku tidak seperti dia!" potong Vanya.Ares tersenyum mengejek. "Kau juga keluar diam-diam tengah malam, pergi bersama laki-laki. Apa bedanya?" "Mereka hanya teman," kata Vanya dengan tegas. "Dan aku tidak pergi ke club ataupun bar. Kami hanya mengobrol di rumah Wilson." "Kalau hanya mengobrol di rumah teman, kenapa tidak berpamitan pada ibumu? Kenapa
Hola, enjoy this chapter!Chapter 7Stepbrother Ketika Ares tiba di ruang kepala sekolah, dia tidak mendapati keberadaan kepala sekolah di sana. Hanya ada Vanya yang duduk di atas meja dengan kaki menjuntai ke bawah dan bergoyang-goyang. Telinga gadis mengenakan earphone dan mulutnya terisi lolipop, sikapnya seperti bocah taman kanak-kanak yang sedang menunggu jemputan ayahnya. Ares diam-diam menghela napas, merasa jengkel karena sepertinya hari ini telah mengambil keputusan bodoh untuk mengurus gadis bandel yang mengharuskan dirinya belajar menahan emosi. "Ayo, pulang," ucap Ares setelah berada tepat di depan Vanya. "Apa?" tanya Vanya seraya mendongak dan melepaskan sebelah earphone-nya."Pulang," kata Ares dengan nada dingin. Vanya menggeleng dan tatapannya polos seperti tidak pernah melakukan kesalahan. "Tapi, tadi kau bilang hari ini tidak boleh membolos." "Kau diskors mulai hari ini," ujar Ares."Wow, ini rekor baru," ujar Vanya dengan mata terbelalak seraya melompat turun
Hola, happy reading and enjoy this chapter!Chapter 8Ares menatap Vanya yang keluar dari ruang kerjanya bersama Leo, asistennya. Menurutnya, Vanya sangat cerdik dalam setiap tindakan bahkan terlalu licik. Salah satunya saat dengan menggandengnya di menuju tempat parkir. Vanya tentunya sudah memperhitungkan jika mereka akan menjadi buah bibir di sekolah, gadis itu bersikap dengan cara yang sangat natural hingga Ares tidak menaruh sedikit pun kecurigaan saat itu. Juga saat Vanya duduk dengan tenang dan mereka menyantap makan siang bersama, tidak sedikit pun Vanya menunjukkan gelagat kalau dirinya sedang digosipkan di obrolan grup sekolah. Gadis itu benar-benar pandai berakting, tidak ada kepanikan, apa lagi menunjukkan emosinya. Menarik, batin Ares dan dia penasaran bagaimana cara membuat seekor rubah yang licik menurut layaknya seekor poodle yang manis. Ares merogoh saku jasnya dan mengambil ponsel untuk menghubungi Leya, berharap Leya dapat memberikan solusi atas masalahnya."Kau
Hola, happy reading and enjoy this chapter!Chapter 9Ketika Leo memberitahu bahwa Vanya didorong ke kolam renang oleh salah satu siswi hingga basah kuyup, Ares sedang berada di ruang pertemuan. Melalui pesan teks ia memerintahkan Leo agar Vanya mandi dan mengganti pakaian di ruang istirahat pribadinya. Ada beberapa kemeja bersih yang terletak di dalam lemari dan tidak lupa Ares juga memerintahkan Leo untuk menyiapkan segelas cokelat panas untuk Vanya. Pukul empat sore pertemuan baru saja usai, Ares kembali ke ruang kerjanya. Sebuah paper bag tergeletak di atas meja kerjanya, Ares tidak memeriksa isinya karena yakin isinya adalah pakaian baru Vanya yang dibeli oleh Leo. Ares lalu membawa paper bag itu ke ruang pribadinya agar Vanya mengganti pakaiannya, tetapi ia justru mendapati mata Vanya terpejam dan bernapas dengan teratur. Ares bergerak perlahan mendekati tempat tidur, diamatinya Vanya yang bahkan dalam keadaan terlelap pun gadis itu berekspresi cemberut. Bibir Ares mengulas s
Hola, enjoy this chapter dan tolong bantu share cerita ini yaa....Chapter 10Vanya melemparkan bantal ke arah pintu meskipun bantal yang dilemparkan tidak mengenai pintu, hanya melayang beberapa meter dari tempat tidurnya. Memiliki kamar yang terlalu besar ternyata menjengkelkan juga, terutama saat pintu diketuk dari luar Vanya tidak bisa membukanya sambil tetap memejamkan mata atau berteriak agar orang itu berhenti mengetuk pintu. Vanya mengentakkan kakinya ke lantai seraya mengumpat kemudian membuka pintu. "Apa kau tidak melihat tulisan di pintuku?" "Ini sudah jam sepuluh, Vanya," kata Ares seraya menatap Vanya yang tentu saja cemberut. "Memangnya siapa yang peduli pada jam? Ini Sabtu dan aku ingin tidur sepanjang hari, kalau perlu sampai Senin!" bentak Vanya seraya bermaksud menutup kembali pintu kamarnya. Dia sangat jengkel karena Ares tidak membaca tulisan di depan pintu kamarnya : JANGAN GANGGU VANYA! "Tidur terlalu lama tidak bagus untuk kesehatan dan tubuhmu perlu makan,