Beberapa kali bertemu Doni membuat diri semakin sering memikirkannya. Ada hasrat untuk selalu memandang wajah yang teduh.
Dari aura yang terpancar, kelihatan sekali kalau Doni pemuda yang sholeh. Bikin betah gitu kalau lama-lama memandang. Aku berpikir, bila itu sebuah dosa, setelah memandangnya, aku mengucap istighfar yang banyak.
Doni benar-benar berbeda jauh dari Umar. Entah mengapa, saat melihat cowok aneh itu, perutku selalu mulas. Bahkan, baru melihat melihat bayangannya saja, rasanya aku ingin ke toilet. Tapi, bukankah kriteria pendamping hidupku kelak, dia harus lulusan S2? Sedangkan Doni sepertinya cuma lulusan SMA. Dinda, kawan baikku pasti akan tertawa sambil menari di pelaminan.
Mungkin, ini sudah menjadi nasib gadis yang selalu memasang selera tinggi.
“Lelaki yang sholeh hanya untuk perempuan yang sholeh, Fani … dan kamu tuh harusnya sadar diri, jangan berharap yang tinggi-tinggi, kalau kamu-nya aja masih rendah …,” celetuk Dinda main begitu saja saat malam kami tengah makan nasi goreng di teras kost. Dia sudah aku beritahu sesuatu hal tentang lelaki yang aku taksir.
“Tubuh aku tingginya standar ya, Din. Gak pendek-pendek amat. Pendekan juga kamu …,” jawabku sewot.
“Bukan itu maksud aku, Fani. Kalau kamu mau punya pasangan hidup yang kamu kasih kriteria setinggi itu, kamu harus lebih dulu memantaskan diri. Perbaiki tingkah laku, bicara yang sopan, lemah lembut, jangan petakilan. Ya kali, Pak Arya mau ngelirik kamu, orang kamu minim adab gitu ….”
Terasa menghujam ulu hati apa yang dikatakan Dinda. Seburuk itu juga-kah iriku di hadapan para lelaki yang aku suka? Seketika, mulut ini berhenti mengunyah nasi goreng. Rasanya sudah hambar, sehambar hidupku yang belum pernah merasakan kasih sayang laki-laki selain Bapak.
“Baik, Din! Aku akan berubah. Tapi, jangan GR, ini bukan karena omongan kamu,” ucapku berapi-api.
“Terus karena apa?” Dinda memasang muka serius.
“Because of, someone … ah, sudahlah, aku udah selesai. Mau ke rental mau print.”
Usai berkata demikian, aku bangkit dan berjalan masuk ke dalam kost yang banyak penghuninya. Menyusul di belakangku, Dinda dengan membawa sendok dan piring bekas kami makan.
“Kamu jadi ke rental, Fan?” tanya Dinda saat melihatku bersiap dengan tas laptop.
“Iya, Din …,” jawabku lembut. Dinda yang sedang meletakkan sendok di rak piring kecil berhenti sejenak, memandangku dengan tatapan aneh. “Kenapa?”
“Gak gitu juga kali, Fani! Horor tahu gak, takutnya kamu kesambet setan jembatan.” Dinda masih menatap aneh padaku.
Tak kuhiraukan sahabat satu kamarku itu, segera kusambar jilbab instan dan memakainya cepat. Menyambar tas laptop yang tadi kuletakkan di atas kasur dan mengalungkan di pundak. “Dah ya, kamu gak usah ikut. Jagain kamar kita ya, anak manis?”
Aku berjalan cepat, sebelum Dinda ceramah.
Sampai di rental komputer, segera kuberikan laptop pada pegawai di sana. Dan netra ini menangkap seseorang yang juga tengah melakukan hal yang sama. Memberikan laptopnya pada pegawai lain.
“Pak Arya?” sapaku histeris. Beliau menoleh tersenyum.
Dan lagi, aku terpana. Ah, aku bingung pada hati ini. Sebenarnya ingin berlabuh pada siapa ….
“Eh ada Fani. Mau ngeprint juga?” Pak Arya bertanya sembari mendekat pada diriku.
“Iya, Pak .…”
Duh, hati kenapa berbunga-bunga? Tidak! Pak Arya sudah membuatku sakit hati. Tidak akan aku biarkan meluluhlantakkan pertahanan yang telah susah payah aku bangun. Tekadku dalam hati.
“Sudah pernah mencoba es buah depan warung bakso?” tanya Pak Arya kemudian.
“Kenapa, Pak? Mau ntaktir?” jawabku penuh harap.
Tuh kan, mulut keceplosan lagi. Ah, dasar aku. Padahal sudah janji tidak akan memberikan harapan pada hati ini lagi.
“Kamu itu ya?” Sebuah sentilan jari mendarat di kening ini. Kok, rasanya ada yang berbunga, ya? “Ayo,” ajakan dari pria yang sangat aku idolakan membuat kaki ini seakan dihipnotis untuk ikut berjalan.
“Fani!” Sebuah panggilan dan tepukan keras menyadarkan diriku. Yuda komting rese ternyata ada di sini juga. Dan, aku melihat Pak Arya bukan Saloka masih berdiri di sana, bersama pegawai rental. Apakah itu artinya tadi aku berhalu? Ya Allah … separah itukah stress yang melanda diri ini?
“Eh, Yud. Eh, kenapa kamu pegang-pegang aku?” protesku sambil melotot.
“Kamu ngapain lihatin pak Arya seperti tadi?” bisik Yuda di telinga membuatku menghindar.
“Jangan dekat-dekat napa?” Aku berseru memberi peringatan pada cowok yang sebenarnya tampan itu.
“Lebih baik aku deketin kamu, biar kamu gak kelihatan nelangsa karena gak pernah punya cowok. Eh lupa, kamu kan kemarin kencan sama Joko ya?” tanya Yuda sambil menyeringai. Kadang aku bingung sama dia, hobi sekali menggoda diriku yang masih suci ini.
Kaki ini melangkah meninggalkan Yuda yang masih melemparkan senyum ejekan. Dan berjalan menuju tempat dimana laptop aku berada. Di samping meja dimana Pak Arya berdiri. Kali ini, aku menundukkan pandangan, agar tidak terjadi lagi hal memalukan seperti sebelumnya.
“Fani ….” Sebuah suara memanggil dengan nada lembut. Namun, aku tidak menoleh karena yakin itu hanya halusinasi semata
“Fani ….” Lagi, suara mirip Pak Arya bukan Saloka terdengar lebih jelas. Segera kututup telinga menggunakan kedua telapak tangan. Aku benar-benar takut akan bersikap memalukan seperti tadi. Ya, aku yakin ini hanya halusinasi saja.
Selang beberapa menit, aku melepas telapak tangan yang menutup telinga. Menoleh mencari Pak Arya bukan Saloka tapi tidak ada. Yuda masih bersandar pada lemari etalase sambil tertawa terpingkal.
“Kenapa kamu?” bentakku kasar. Sebal rasanya melihat dia yang selalu mengejek.
“Kamu yang kenapa, Fani? Tadi dipanggil Pak Arya berkali-kali, malah menutup telinga?” Yuda berkata seraya berjalan mendekat.
“Apa tadi kamu bilang? Pak Arya bukan Saloka memanggilku?” tanyaku kaget.
Yuda mengangguk dan tersenyum. Sebenarnya, Yuda itu manis tapi, karena sering mengejekku jadi kelihatan tidak menyenangkan sekali di mata ini.
“Jadi, aku tidak berhalusinasi tadi?”
Yuda memicingkan mata, menatap heran. Sedetik kemudian, telapak tangannya ia tempelkan ke dahi. “Gak anget kok, Fan ….”
“Jangan pegang-pegang!” larangku. Aku berkata sambil menatap Yuda dengan tatapan sengit.
“Jangan terlalu membenci, nanti jadinya kamu suka aku lho, Fan!”
“Ih, kagak bakalan ….”
“Yakin? Cinta sama benci beda dikit lhoh!” ucap Yuda penuh percaya diri.
“Ya kali, kamu yang suka sama aku …,” ujarku sewot.
“Kalau iya?” Yuda bertanya sambil menyunggingkan sebuah senyuman yang sulit aku artikan.
“Ih, amit-amit! Apaan sih, Yuda?” teriakku membuat beberapa orang di sekitar menatap heran.
“Daripada sama si Joko?”
Usai berkata demikian Yuda tertawa lepas. Untung saja, tugasku sudah selesai diprint. Segera kuulurkan uang pada pegawai toko dan berlalu pergi meninggalkan Yuda.
“Fani ….”
Ternyata Yuda mengejarku. Aku menoleh.
“Jangan berhalu lagi, ya?”
Aku mendengkus kesal dan segera berlari pulang ke tempat kost.
Suatu ketika, aku harus berangkat bersama Doni ke kampus. Karena harus membawa banyak barang dagangan. Terkadang aku merasa, kalau diriku lebih mirip pembantunya Mbak Nia. Ketimbang adiknya. Bagaimana tidak? Demi mendapatkan rupiah, aku harus membantu berdagang."Jadilah wanita yang mandiri, Fani! Belajar dari sekarang. Agar kelak, kamu bisa menghadapi kerasnya hidup. Kamu harus banyak mengambil pelajaran dari hidup Mbak dulu. Agar suatu ketika saat kamu menikah dan suami tidak bisa memenuhi kebutuhan, kamu bisa mencari uang sendiri," kata Mbak Nia suatu hari."Ya kali, aku dapat suami macam Agam. Enggaklah, Mbak! Jangan Mbak wariskan hidup Mbak yang sengsara sama aku," sahutku kesal."Mbak cuma kasih nasehat Fani!" ujar Mbak Nia menerangkan."Mbak gak kasih nasehat, Mbak itu lagi nyumpahin aku."Jadilah kami berdebat. Begitulah aku dan Mbak Nia. Kami benar-benar berbeda. Dia selalu membicarakan hal-hal yang menderita, sementara aku, sebaliknya. Su
Ilma tersenyum manis sekali. Aku tidak bisa kalau disuruh untuk bertanding dengan senyumannya itu. Wajahnya teduh. Membuat nyaman siapapun yang memandang. Aura keshalihan jelas terpancar. Sementara aku?Tiba-tiba, Yuda menggeret lengan ini dengan kasar. Membuatku sedikit terhuyung."Temani aku ke ruang dosen! Mau tanya jadwal bimbingan skripsi," ucapnya tanpa merasa bersalah."Lepasin ah, Yud! Tanganku sakit!" teriakku kencang. Tapi, Yuda tidak peduli. Hingga akhirnya, pegangan tangannya ia lepaskan saat kami sudah di depan ruang dosen."Apaan, sih?" protesku kesal."Kamu jangan jadi penguntit! Mereka berdua sedang berduaan. Ngapain di belakang mereka tadi?" tanya Yuda serius."Dih, apaan juga? Tadi itu, cowok yang bersama Ilma yang antar aku. Dia sopir kakak iparku!" jelasku sewot.Yuda nyengir kuda. Membuat diriku sebal dan langsung meninggalkannya menuju kelas.Aku dan beberapa teman lain memang mengambil jadwal skripsi lebi
Mulai hari itu, aku mencoba merubah sikap. Dari yang semula urakan menjadi pendiam.Jangan ditanya bagaimana beratnya! Aku sungguh tersiksa dengan ini semua.Apalagi, saat Yuda menggodaku dengan berbagai macam kalimat yang menjengkelkan. Sungguh! mulut ini rasanya ingin berteriak. Terkadang malah terlanjur teriak walaupun cuma satu kata. Namun, urung karena sadar harus merubah diri demi mendapatkan hati Doni.Apakah aku mampu menaklukkan hati Doni?Pertanyaan itu selalu hadir menghantui pikiran.Suatu ketika, aku berada di perpustakaan. Mencari referensi buku untuk daftar pustaka skripsi. Di sana masih sepi.Namun, ada sesosok mahluk yang membuat bulu kudukku merinding.Dia duduk dengan anggun menghadap setumpuk buku. Menyadari ada suara langkah yang mampir di telinganya, makhluk itu menatapku. Senyum tersungging dari bibir tipisnya. Ah,
Karena pekerjaan Doni sebagai sopir pribadi Pak Irsya yang saat ada acara keluarga selalu diajak, membuat Fani semakin sering bertemu dengan bujangan alim itu.Segala gerak-gerik Doni tidak lepas dari tatapannya. Sikap sopan pada Pak Irsya dan juga Nia, membuat kekaguman Fani semakin lama semakin bertambah.Pak Irsya dan Nia sadar, kalau adik mereka memendam sebuah rasa pada sopir yang sebentar lagi bergelar Master itu.Namun, Fani sendiri masih menyembunyikan. Meski begitu, tetap saja, Doni tahu jika adik dari majikannya itu menaruh sebuah rasa. Hal itu membuat Doni menjadi merasa tidak enak."Fani sering memperhatikan kamu, Don!" ucap Pak Irsya kala mereka bersama dalam satu mobil.Doni yang berada di balik kemudi hanya menanggapi dengan senyuman."Ah, mana mungkin, Pak. Saya ini cuma sopir. Sedangkan Fani, dia adik Bu Nia, istri Bapak, majika
Part 9Doni ragu, antara masuk atau tetap menunggu di luar.Akan tetapi, bila dirinya tidak ikut mendampingi Fani yang masih dalam tahap observasi oleh dokter.Dengan ragu, pemuda itu masuk ke dalam ruangan dengan dominasi warna putih.Di salah satu bed terbaring Fani dengan didampingi Nia juga Dinda.Sementara Pak Irsya berdiri di luar sekat pemisah antara pasien IGD dengan yang menunggu. Melihat Doni datang, pria yang tengah mondar-mandir jadi berhenti."Pak, saya minta maaf," ujar Doni setelah mereka berdua saling berhadapan.Pak Irsya menghela napas panjang."Dokter mengat
Part 10Doni termenung di dalam mobil yang terparkir di jalan depan kost Dinda dan Fani, hingga adzan Ashar terdengar berkumandang, menyadarkan pria itu dari segala pikiran yang menerka terhadap apa yang Fani alami."Benarkah, sakitnya Fani ada hubungannya denganku, juga Ilma?" gumamnya lirih, sebelum akhirnya, menginjak gas mobil dan menjalankan kuda besi milik majikannya, menembus jalan yang mulai basah oleh gerimis.Tidak ada sesuatu yang terjadi di luar kuasa Allah. Bahkan, sehelai daun yang jatuh-pun atas ijin dari Sang Pemilik Hidup. Jadi, apapun yang menimpa Fani--terlepas ada hubungan dengan dirinya maupun Ilma--atau tidak, itu sudah menjadi takdir dari Allah. Begitu yang Doni pikirkan saat selesai berdzikir.Pemuda i
Part 11Dengan sikap Fani yang seolah menolak, tidak membuat Ilma berubah. Gadis itu masih saja menyunggingkan senyum ramah."Mau makan buah, Fan? Aku kupasin, ya?" tawar Ilma sambil mengulurkan tangan pada parsel cantik yang ia letakkan di atas nakas.Fani bergeming tak menjawab."Sakit apa, Mbak Faninya?" tanya Ilma lagi, tatapannya kini beralih pada Nia yang duduk di tikar yang ia gelar di lantai. Di tangan Ilma sudah ada apel merah, juga pisau untuk mengupas."Typus. Karena jarang makan jadi seperti itu," jawab Ibu Fani langsung. Perempuan itu nampak terkesima de
Fani masih berdiri seperti patung. Tidak menyangka sama sekali, bila Ilma yang selama ini ia kenal sebagai gadis alim, menjelma menjadi seorang gadis yang tidak memiliki belas kasihan.Hanya karena seorang lelaki yang belum tentu menjadi jodoh siapa, dirinya tega menghancurkan jerih payah yang telah ia jalani selama berbulan-bulan.'Apakah benar dugaanku bila dia dalang dibalik dibatalkannya skripsi aku?' ragunya dalam hati.Ada sebuah pertanyaan yang kemudian menjadi misteri. Bila iya, Ilma yang menyebabkan semua ini, bagaimana bisa dia melakukannya?Fani pulang dengan langkah gontai. Menapaki jalan yang tertutup paving dengan perasaan sedih.Sampai di tempat kost, dirinya segera mengambil air wudhu untuk menunaikan shalat Ashar. Setelahnya, membaringkan tubuh dan menarik selimut hi