Beliau sangat bersyukur karena bisa berkumpul dengan suaminya lagi. Tadi pagi pak Herman berangkat dari rumah tapi setelah itu tidak bisa dihubungi lagi.
"Jangan terlalu menyanjung, kami tidak banyak membantu Bapak. Kebetulan saja," ucap Naya merendah."Pak, Bu. Karena keluarga Bapak sudah datang. Jadi kami pamit mau pulang," pamitku dengan menyalami seluruh penghuni kamar ini. Dan terakhir menyalami pak Herman tetapi beliau seakan tidak mau melepaskan tanganku."Kamu mau pulang kemana, Nak," tanya pak Herman."Bu, mereka mencari kontrakan," ujar pak Herman pada istrinya."Kalau belum mendapatkan kontrakan tidur di losmen saja dulu, Bay. Masalah biayanya gak usah takut. Ibu yang bayarin," saran bu Widya."Gak usah, Bu. Kami sudah banyak merepotkan," ujarku seraya berjalan menuju pintu kamar rawat inap."Udahlah, Bang. Terima saja tawaran ibu." Mereka berempat begitu kompak ingin membantu kami berdua."Kamu tidur di losmen saja, Bay. Besok kamu datang ke kantor Bapak, jangan sampai kamu ngantuk di kantor. Ini alamat kantor saya." Ujar pak Herman sambil menyodorkan kartu nama beliau. "Katamu mau mencari kerja, iya kan? Nah mulai besok kamu boleh kerja sama Bapak. Arman, besok kau ajarin Bayu ya, Nak?" Titah pak Herman sama anaknya yang bernama Arman.Ternyata pak Herman merupakan seorang direktur di perusahaan yang sangat berkembang pesat dan beliau merupakan orang terkaya di negeri ini.
"Maaf, Pak. Saya tidak mau dikira memanfatkan situasi ini. Saya tulus menolong Bapak. Tanpa embel-embel. Dan saya pun gak pernah tau Bapak itu siapa dan apa pekerjaan Bapak. Lagian bantuan saya tidak seberapa dibandingkan dengan bantuan yang Bapak berikan.""Tenang aja, Bro. Gak ada yang menuduh kamu begitu kok. Kami memang lagi memerlukan karyawan." Pak Arman menjelaskan."Abang sarjana, kan?" tanya pak Arman lagi.
"Iya, Pak. Jurusan ekonomi akutansi," jawabku pasti.
"Pas itu, Bang. Kami lagi butuh karyawan lulusan akutansi," jawab pak Arman membuat aku bisa bernafas lega.
"Terima kasih banyak. Kalau begitu, kami permisi dulu.""Oke. Jangan lupa besok pagi ya. Agak siangan dikit pun agak apa-apa. Kamu istirahat saja dulu. Besok kita jumpa," titah pak Arman lagi."Ya, Pak. Saya permisi pulang dulu. Pak Herman, bu Widya dan mbak Clara saya permisi dulu ya." Ujarku sambil sedikit menangkupkan kedua tangan sejajar dengan dada dan sedikit menunduk sebagai rasa hormatku kepada mereka.Pak Arman kemudian berjalan menyusul keluar rumah sakit mengantar sekalian mau panggil taksi online katanya."Abang naik taksi aja dan ini ada sedikit ongkos dari saya, Bang. Diterima ya." Pak Arman menyodorkan amplop coklat dan bukan berarti aku langsung serta merta akan menerimanya. Secara halus aku juga sedikit tersinggung dengan cara mereka selalu mengedepankan uang. Apakah semua itu harus dibalas dengan uang?"Abang ... tolong terima sedikit uang dari saya. Abang jangan tersinggung. Bukan maksud menghina atau merendahkan Abang. Saya tau Abang seharian belum mendapatkan pekerjaan karena mengurus orang tua saya. Dimana tanggung jawab saya sebagai anak yang seharusnya saya lah yang menjaga papa dan menunggunya dirumah sakit. Bukan Abang." Ujarnya menunduk."Hanya dengan ini yang bisa buat sebagai rasa terima kasih saya. Tolong terima uang dari saya yang tidak seberapa ini, Bang." Mohon pak Arman dengan menyodorkan kembali amplopnya."Terima kasih, Pak. Saya tidak bermaksud meminta imbalan, Pak. Saya tulus menolong pak Herman bukan karena meminta imbalan tetapi karena kasihan sama beliau. Melihat beliau teringat ayah saya yang sudah lama pergi meninggalkan kami untuk selamanya." Tak terasa air mata menetes di pelupuk mata. Secepat kilat aku mengusapnya. Aku tidak mau terlihat lemah didepan siapapun."Maafkan saya, Bang." Dan aku hanya bisa mengangguk lemah. Selama ayah pergi menghadap Ilahi rasanya beban hidupku sangatlah berat. Kadang aku ingin menyerah dengan segala beban hidup ini."Bang, jangan lupa besok saya tunggu Abang dikantor saya." Pesan pak Arman sebelum aku masuk kedalam taksi yang sudah menunggu dari tadi."Bang, tolong di antar kakak saya ke losmen ya," pesan bang Arman pada supir taksi. Pak Arman sudah menganggap kami berdua seperti saudaranya."Baik, Pak," jawab supir tersebut. Lelah dan penat seluruh tubuh ini. Ingin segera berbaring karena mata ini sangat mengantuk saat ini."Bang sudah sampai di losmen, ni," ucap pak sopir seraya menghentikan laju taksinya."Berapa, Bang.""Udah dibayar sama pak Arman, Bang. Saya digaji bulanan.""Loh, Abang kenal pak Arman?" Aku semakin kaget dan juga sangat panasaran dengan sosok pak Arman dan pak Herman."Saya kerja di perusahaan beliau, Bang. Sebagai supir tetap beliau.""Loh ini bukannya taksi ya?" Aku semakin heran dan kenapa aku gak tau jika yang aku naiki bukan taksi tetapi mobil pribadi?""Bukan taksi, Bang.""Duh." Aku menepuk jidatku sendiri."Oalah. Ya udah. Mm ... mmm ... makasih banyak, Bang." Tiba-tiba aku jadi gagap. Tubuh ini mungkin terkejut dengan segala yang terjadi hari ini."Sama-sama." Pak supir langsung melajukan kembali mobilnya dan meninggalkan kami berdua yang masih terbengong dari tadi."Terima kasih, Pak. Sudah menerima saya menjadi salah satu karyawan Bapak." ucapku sambil menangkupkan tangan di depan dada sebagai wujud rasa terima kasihku dan penghormatan atas kebaikan pak Herman."Sama-sama, Bay. Semoga kamu betah bekerja dengan saya." "Tentu, Pak. Tentu saya sangat betah kerja disini. Saya tau saya ini bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa. Pengalaman dalam bekerja pun saya sangat minim. Suatu kehormatan saya diterima disini. Sekali lagi saya ucapkan terima kasih banyak." Aku bangkit dan berdiri seraya membungkukkan tubuh ini."Bapak berharap kamu bisa bekerja dengan rajin dan tidak curang.""Tentu, Pak. Saya berjanji akan terus berusaha dan belajar. Saya berjanji tidak akan mengecewakan Bapak yang sudah menerima saya bekerja disini." Lanjutku lagi. "Harus ... kamu jangan buat saya kecewa. Walaupun belum berpengalaman kamu bisa membuktikan jika kamu lebih dari yang lain.""Baik, Pak." jawabku antusias. Jangan tanya bagaimana perasaanku saat ini, bercampur aduk a
"Mungkin dosa dia terlalu banyak dikantor ini. Denger-denger sih, pak Andre menggelapkan uang perusahaan dan juga beliau ketauan berselingkuh."Aku tidak heran dengan informasi yang diberikan bu Mita. Diri ini sering melihat Andre menghambur-hamburkan uang. Pernah terpikir olehku, dari mana kekayaan karyawan sekelas mas Andre kalau bukan dari korupsi? "Mungkin, uang perusahaan habis untuk berfoya-foya dengan selingkuhannya atau untuk menutup mulut istri sahnya, biar gak melapor ke atasan, karena kalau ketahuan ada karyawan yang berselingkuh pasti di pecat." Ujar Mita memelankan suaranya tetapi sangat jelas terdengar di telingaku. "Betulkah begitu, Bu?" tanyaku tidak percaya.Sebenarnya bukan sekali dua kali aku melihat mas Andre check in di hotel dengan wanita simpanannya tetapi entah kenapa, aku masih juga tidak percaya mendengar berita pengkhianatan itu.Lelaki berusia tiga puluh tahun itu belum juga berubah, seharusnya dia bersyukur, sangat disayangi oleh mertuanya. Beda dengan
"Nanti akan tau sendiri siapa itu Haris." ucap pak Arman tenang."Kita ke ruang meeting." titah pak Arman seraya bangkit dari kursinya dan menuju ke ruangan meeting yang berada diujung lorong.Setelah kejadian tadi pagi aku jadi merasa malu menjadi bahan gosip karyawan dikantor. Aku melangkah canggung dibawah tatapan mata banyak orang. Namun aku berusaha tampil percaya diri.Ruang meeting seluruhnya berdinding kaca dan diisi dengan sebuah meja kayu panjang berwarna coklat mengkilap dengan dua puluh kursi di masing-masing sisi menjadi bagian utama ruangan."Pak Bayu, duduk disini. Sebentar ya, kita tunggu yang lainnya masuk semua." Pak Arman menarik kursi yang berada di kepala meja.Setahuku itu kursi untuk pemimpin rapat. Kenapa pak Arman menyuruh aku duduk dikursi tersebut? Aku tidak sanggup lagi untuk berfikir, kepala ini rasanya mau meledak saja, begitu banyak kejutan-kejutan yang aku terima hari ini.Satu per satu karyawan masuk ke ruangan meeting, tidak terkecuali mas Andre. Tata
Hari ini seharian aku habiskan waktuku di kamar untuk mempelajari berkas-berkas yang diberikan oleh pak Herman. Terlalu banyak kejanggalan dalam dokumen tersebut. Ternyata banyak kecurangan yang dilakukan mereka selama ini. Pantas saja mas Andre tidak pernah kehabisan uang. Ternyata dari sini asal uangnya lelaki yang selalu dielu-elukan mertuaku. Yang konon katanya kaya tujuh turunan. Begitulah ulah maling berdasi. Hidup selalu dipuja-puji. Berpakaian selalu rapi dan bersih. Memakai dasi, berwibawa dan selalu dihormati padahal hidup dari hasil mencuri. Gaya elit, kemana-mana memakai mobil. Gak kena panas dan hujan. Dan selalu disegani dan dihormati. Siapa sangka kerjaannya dari mencuri uang negara, sangat hina dan menurutku lebih hina dari aku yang selalu di katai sebagai benalu. Walaupun uang perusahan yang di tilep tetap juga namanya tikus. Tikus kantor ini namanya. Aku tidak main-main dalam memberantas kecurangan di perusahaan yang dipinpin pak Herman. Makanya aku harus punya bu
"Nay, ayo kita pulang. Tinggalkan laki-laki yang tidak bertanggung jawab itu." Tiba-tiba saja ibu mertua sudah masuk ke kamar tanpa mengucapkan salam terlebih dahulu. Kedatangan beliau telah membuat kami berdua sangat kaget. Karena tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba saja beliau ingin menjemput Naya, istriku. "Untuk apa Naya pulang ke rumah sementara Naya punya suami, biarlah Naya disini saja. Tugas istri hanya tunduk dan patuh kepada suami. Jadi kemana saja mas Bayu pergi, Naya akan selalu ikut untuk mendampinginya, Bu." Ucap Naya berusaha membela aku sebagai suaminya. "Suami yang bagaimana sekarang yang wajib kita patuhi? Kamu menyiksa diri, Nay. Lelaki benalu seperti itu kamu bela? Naya ... Naya. Kau sudah di guna-gunai sama parasit itu. Percaya sama Ibu. Anak itu hanya menjadi sampah saja dalam rumah tangga kalian." Hinaan ibu mertua entah yang keberapa kali tetap saja ku terima dengan lapang dada. "Selama ini Naya tidak pernah merasakan jika mas Bayu sebagai sampah, Bu
"Ibu, saya berjanji akan selalu membahagiakan Naya." Janjiku pada wanita paruh baya yang telah melahirkan istriku tersebut."Jangan menggombal kamu. Emang apa yang sudah kamu berikan untuk anakku?" tanyanya dengan tatapan penuh amarah."Ibu tanya saja sama Naya. Apa yang sudah saya berikan untuknya." Kualihkan pandanganku pada wanita yang telah membersamaiku selama setahun belakangan ini."Bu, Naya sudah dewasa. Naya tau mana yang baik atau yang buruk untuk Naya. Dan Ibu lihat sendiri anak ibu bahagia hidup bersama mas Bayu," ucap Naya."Kamu sudah babak belur begitu kamu bilang bahagia, Naya? Kamu sudah kurang waras nampaknya, Nak!" cerocos mertua. Beliau mulai menyimpan semua barang di atas meja dan memasukkannya ke dalam tas."Ayo ayo pulang. Jangan melawan. Kamu harus dengar Ibu. Bentar Ibu suruh buka infus sama perawat ya?" Sesudah mengatakan itu ibu keluar dari ruangan untuk menjumpai petugas rumah sakit. Tidak lama kemudian tersengar suara beliau sedang memarahi salah satu petu
"Hmph!! Tolong!!" Walaupun mulut ini dilakban tapi aku tetap berusaha berteriak. Mana tahu ada orang lewat yang mendengar teriakanku. Walaupun itu sangat mustahil. Tapi apa salahnya berusaha. Sementara mas Bayu tergeletak tidak sadarkan diri ditanah dengan bersimbah darah. "Hphm!! Tolong!!" teriakanku rasanya sia-sia. Karena mulut ditutup lakban, suara aku pun tidak kedengaran. "Naya ... Bayu ... Tohir! Kalian dimana?" Terdengar suara seseorang memanggil namaku. "Hmph." Air mata jatuh berderai saat melihat mas Bayu sudah satu jam lebih tidak sadarkan diri. Apakah dia sudah tiada, mengingat begitu kerasnya para penjahat itu menghantam kepala lelaki yang telah membersamaiku selama setahun belakangan ini. "Bayu ..." "Naya ..." "Tohir ..." mereka terus saja memanggil-manggil nama kami bertiga. Terdengar juga suara sepatu yang sedang berpencar mengelilingi gubuk tempat dimana kami disekap saat ini. "Mungkin mereka di dalam gubuk ini, Pak." Aku mendengar seperti suara pak Arman
"Ini bayaranmu. Dan aku minta kamu segera pergi meninggalkan kota ini. Aku tidak mau kamu ditangkapa polisi dan membongkar semua rencanaku." Ujarku seraya melempar segepok uang ke arah Aris dan dia langsung saja menangkapnya. "Baik, Pak ... saya akan meninggalkan kota ini dan akan pulang kedesa. Disana saya akan membuka usaha dengan uang yang bapak berikan ini." Jawab Aris gugup karena seumur hidupnya belum pernah menerima uang segini banyaknya."Iya ... tapi kamu tunggu dulu disini, jangan keluar. Di luar masih banyak aparat keamanan yang sedang bertugas. Kamu keluar nanti aja menjelang magrib. Biasanya jam segitu mereka sedang beristirahat." Saranku pada lelaki tiga puluhan tahun itu."Baik, Pak." Jawab lelaki itu mengangguk pasti."Dan seandainya kamu tertangkap, jangan kau bawa-bawa namaku apalagi sampai mengatakan itu suruhan dari aku ya! Aku gak mau terlibat, karena kau itu sudah kuberikan uang yang banyak. Jadi tidak ada lagi sangkut paut denganmu. Dengar?" Ucapku tegas.Lelak