Share

Bab 5. Keluarga Yang Baik

"Assalamualaikum." Seorang wanita paruh baya dan seorang wanita masih muda berhamburan memeluk pak Herman yang sedang tergolek lemas diranjang pasien. 

"Papa kenapa bisa terjadi begini. Huhuhu." Wanita berjilbab maroon memeluk dan menangis terus seakan tidak mau melepaskan Pak Herman. Kurasa beliau istrinya.

"Papa ... mana yang sakit, Pa." Wanita muda berambut golden brown juga ikut menangis sambil terus meracau entah apa yang dikatakannya. Kaki pak Herman dipijat.

"Ini sakit, Pa?"

"Gak, Nak. Papa tidak mengalami cedera kok. Cuma syok aja. Untung aja ada nak Bayu yang menolong Papa. Kalo gak entah bagaimana nasib Papa sekarang." Kata pak Herman sambil berusaha bangkit dari tidurnya dan bersandar di dinding ranjang pasien.

"Bayu. Naya. Sini, Nak!" Pak Herman melambaikan tangannya kearah kami berdua yang masih duduk diatas sofa kamar pasien. 

Sebenarnya aku tidak suka terlalu berlebihan dipuja puji begini. Aku jadi salah tingkah dengan segala sanjungan dari pak Herman.

Empat pasang mata semua tertuju kearah kami berdua. Satu orang lelaki mungkin seumuran denganku berjalan mendekati disaat tubuh ini mulai beranjak bangun dan berjalan kearah pak Herman.

"Makasih banyak, Bang. Berkat Abang, Papa kami selamat." Pujinya lagi dan tangannya menyalami dan menggenggam tanganku sangat kuat.

"Bukan karena saya, bapak anda selamat. Tetapi karena Allah yang telah mengirim kami berdua untuk membantu beliau." Sergahku. 

"Abang jangan begitu. Kami sekeluarga sangat berterima kasih karena Abang telah mengorbankan diri Abang untuk membantu Papa kami." Wanita muda yang belakangan aku tau bernama Clara ikut menimpali.

"Bagaimana kejadiannya, Bang!" tanya lelaki yang bernama Arman meminta penjelasan bagaimana kami membantu pak Herman disaat pingsan.

Kemudian aku bercerita panjang lebar bagaimana saat beliau kelaparan dan sempat jatuh dan pingsan.

"Nak ... makasih banyak. Semoga Allah membalas kebaikan kalian berdua," ujar istri pak Herman dengan berderai air mata.

Beliau sangat bersyukur karena bisa berkumpul dengan suaminya lagi. Tadi pagi pak Herman berangkat dari rumah tapi setelah itu tidak bisa dihubungi lagi.

"Jangan terlalu menyanjung, kami tidak banyak membantu Bapak. Kebetulan saja," ucap Naya merendah.

"Pak, Bu. Karena keluarga Bapak sudah datang. Jadi kami pamit mau pulang," pamitku dengan menyalami seluruh penghuni kamar ini. Dan terakhir menyalami pak Herman tetapi beliau seakan tidak mau melepaskan tanganku.

"Kamu mau pulang kemana, Nak," tanya pak Herman.

"Bu, mereka mencari kontrakan," ujar pak Herman pada istrinya.

"Kalau belum mendapatkan kontrakan tidur di losmen saja dulu, Bay. Masalah biayanya gak usah takut. Ibu yang bayarin," saran bu Widya.

"Gak usah, Bu. Kami sudah banyak merepotkan," ujarku seraya berjalan menuju pintu kamar rawat inap.

"Udahlah, Bang. Terima saja tawaran ibu." Mereka berempat begitu kompak ingin membantu kami berdua.

"Kamu tidur di losmen saja, Bay. Besok kamu datang ke kantor Bapak, jangan sampai kamu ngantuk di kantor. Ini alamat kantor saya." Ujar pak Herman sambil menyodorkan kartu nama beliau. 

"Katamu mau mencari kerja, iya kan? Nah mulai besok kamu boleh kerja sama Bapak. Arman, besok kau ajarin Bayu ya, Nak?" Titah pak Herman sama anaknya yang bernama Arman.

Ternyata pak Herman merupakan seorang direktur di perusahaan yang sangat berkembang pesat dan beliau merupakan orang terkaya di negeri ini.

"Maaf, Pak. Saya tidak mau dikira memanfatkan situasi ini. Saya tulus menolong Bapak. Tanpa embel-embel. Dan saya pun gak pernah tau Bapak itu siapa dan apa pekerjaan Bapak. Lagian bantuan saya tidak seberapa dibandingkan dengan bantuan yang Bapak berikan."

"Tenang aja, Bro. Gak ada yang menuduh kamu begitu kok. Kami memang lagi memerlukan karyawan." Pak Arman menjelaskan.

"Abang sarjana, kan?" tanya pak Arman lagi.

"Iya, Pak. Jurusan ekonomi akutansi," jawabku pasti.

"Pas itu, Bang. Kami lagi butuh karyawan lulusan akutansi," jawab pak Arman membuat aku bisa bernafas lega.

"Terima kasih banyak. Kalau begitu, kami permisi dulu."

"Oke. Jangan lupa besok pagi ya. Agak siangan dikit pun agak apa-apa. Kamu istirahat saja dulu. Besok kita jumpa," titah pak Arman lagi.

"Ya, Pak. Saya permisi pulang dulu. Pak Herman, bu Widya dan mbak Clara saya permisi dulu ya." Ujarku sambil sedikit menangkupkan kedua tangan sejajar dengan dada dan sedikit menunduk sebagai rasa hormatku kepada mereka.

Pak Arman kemudian berjalan menyusul keluar rumah sakit mengantar sekalian mau panggil taksi online katanya.

"Abang naik taksi aja dan ini ada sedikit ongkos dari saya, Bang. Diterima ya." Pak Arman menyodorkan amplop coklat dan bukan berarti aku langsung serta merta akan menerimanya. Secara halus aku juga sedikit tersinggung dengan cara mereka selalu mengedepankan uang. Apakah semua itu harus dibalas dengan uang?

"Abang ... tolong terima sedikit uang dari saya. Abang jangan tersinggung. Bukan maksud menghina atau merendahkan Abang. Saya tau Abang seharian belum mendapatkan pekerjaan karena mengurus orang tua saya. Dimana tanggung jawab saya sebagai anak yang seharusnya saya lah yang menjaga papa dan menunggunya dirumah sakit. Bukan Abang." Ujarnya menunduk.

"Hanya dengan ini yang bisa buat sebagai rasa terima kasih saya. Tolong terima uang dari saya yang tidak seberapa ini, Bang." Mohon pak Arman dengan menyodorkan kembali amplopnya.

"Terima kasih, Pak. Saya tidak bermaksud meminta imbalan, Pak. Saya tulus menolong pak Herman bukan karena meminta imbalan tetapi  karena kasihan sama beliau. Melihat beliau teringat ayah saya yang sudah lama pergi meninggalkan kami untuk selamanya." Tak terasa air mata menetes di pelupuk mata. Secepat kilat aku mengusapnya. Aku tidak mau terlihat lemah didepan siapapun.

"Maafkan saya, Bang." Dan aku hanya bisa mengangguk lemah. Selama ayah pergi menghadap Ilahi rasanya beban hidupku sangatlah berat. Kadang aku ingin menyerah dengan segala beban hidup ini.

"Bang, jangan lupa besok saya tunggu Abang dikantor saya." Pesan pak Arman sebelum aku masuk kedalam taksi yang sudah menunggu dari tadi.

"Bang, tolong di antar kakak saya ke losmen ya," pesan bang Arman pada supir taksi. Pak Arman sudah menganggap kami berdua seperti saudaranya.

"Baik, Pak," jawab supir tersebut.

 Lelah dan penat seluruh tubuh ini. Ingin segera berbaring karena mata ini sangat mengantuk saat ini.

"Bang sudah sampai di losmen, ni," ucap pak sopir seraya menghentikan laju taksinya.

"Berapa, Bang."

"Udah dibayar sama pak Arman, Bang. Saya digaji bulanan."

"Loh, Abang kenal pak Arman?" Aku semakin kaget dan juga sangat panasaran dengan sosok pak Arman dan pak Herman.

"Saya kerja di perusahaan beliau, Bang. Sebagai supir tetap beliau."

"Loh ini bukannya taksi ya?" Aku semakin heran dan kenapa aku gak tau jika yang aku naiki bukan taksi tetapi mobil pribadi?"

"Bukan taksi, Bang."

"Duh." Aku menepuk jidatku sendiri.

"Oalah. Ya udah. Mm ... mmm ...  makasih banyak, Bang." Tiba-tiba aku jadi gagap. Tubuh ini mungkin terkejut dengan segala yang terjadi hari ini.

"Sama-sama." Pak supir langsung melajukan kembali mobilnya dan meninggalkan kami berdua yang masih terbengong dari tadi.

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Hardianto
masalah pakaian saja dibahas sampai 1 bab nanti lagi bab gelas kosong lagi dibahas sampai 2 bab memang cerita sangat lembek dan tidak berkualitas
goodnovel comment avatar
Trinagi
buka kunci. bisa dengan nonton iklan
goodnovel comment avatar
Ozy Defauzi
bagiman bisa kelanjutan membaca
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status