Sepagi ini Lisa telah tiba di peron terminal. Tadi malam, Sarita banyak bercerita tentang isu pergantian beberapa staf pemegang brand. Dalam isu tersebut, nama Lisa termasuk yang akan memegang brand terbaru. Itu artinya kinerjanya mendapat hasil yang baik, dan diberi kepercayaan menangani produk yang pertama kali akan dijual di Indonesia. Isu itu membuatnya sulit tidur. Awalnya ia hanya mendengar bahwa perusahaannya akan menjual beberapa brand baru, namun kabar tentang staf yang akan memegang produk baru tersebut tak pernah ia dengar sebelumnya.
“Kalau isu itu benar, kita akan berpisah. Jangan lupakan aku, ya.” Lisa tertawa. “Itu baru isu. Aku belum dipanggil oleh Bu Tari.” “Semoga benar, Lis.” Dan pagi ini, Lisa duduk di pojokan peron, memerhatikan orang-orang yang lalu lalang sambil menunggu. Ada seorang ibu dengan anak lelaki berusia kira-kira tiga tahun. Terlihat ia kelelahan mengejar anaknya yang begitu aktif, penuh rasa ingin tahu. Sempat anak tersebut mendekati Lisa sambil tertawa-tawa lalu kembali berlari. Peron seperti tempat bermainnya. Sedang sang ibu dengan sabar mengejar. Hingga bus tujuannya tiba, sang ibu menggendong anaknya dan masuk ke dalam badan bus. Lisa mengalihkan pandangan ke arah pintu masuk peron. Gadis berpakaian modis itu juga telah tiba. Kali ini ia mengenakan kemeja putih, celana panjang abu-abu dan blazer dengan warna sama. Tote bag warna peach di pergelangan kiri, berikut sepatu berwarna senada dengan tas. Wajahnya cerah, sapuan blush pink muda menambah fresh wajahnya. Dengan cepat ia menulis, ‘Tote bag milik gadis modis itu cantik. Seleranya bagus. Sampai sekarang aku menyukai pilihan tas yang dikenakannya. Sayangnya, meski aku pun menyukai keseluruhan penampilan gadis itu, aku masih belum bisa berhigh heel di dalam bus. Bagaimana jika aku keserimpet karena buru-buru masuk ke dalam bus dan terjatuh? Ah, tak mampu membayangkan.’ Lisa menggelengkan kepala. Sepertinya cukup high heel ia kenakan di kantor saja. Di kantor, ia menyediakan dua pasang sepatu. Satu berwarna hitam, satu lagi berwarna krem. Keduanya setinggi lima senti. Ia mengenakannya saat meeting, bertemu klien atau menemani Bu Tari ke toko. Tapi kalau tak ada meeting atau keluar kantor, ia lebih suka mengenakan sepatu tanpa hak. Lisa bangkit dari duduk lalu berdiri memandang keluar peron. Orang-orang sudah banyak berdatangan, memasuki terminal dan mengantri untuk masuk peron. Sebentar lagi ia akan menaiki bus tujuannya. Namun, matanya tertuju pada seseorang yang berjalan santai menuju peron. The bastard! Ia berjalan pelan dengan langkah lebar. Seperti kemarin-kemarin. Wajahnya muram, dingin dan tanpa ekspresi. Sedikit kepulan asap keluar dari mulutnya. Penampilan yang tak jauh berbeda dari yang sudah-sudah. Kali ini ia mengenakan jeans hitam dan kemeja hitam yang licin, minim kerutan. Tanda disetrika dengan sempurna. Lisa mengapresiasi pakaian lelaki itu, lalu timbul penasaran, apakah ia juga…hmmm…wangi parfum. Atau, dominan bau asap rokok. Mata Lisa mengikuti arah jalan lelaki itu. Hingga di depan pintu peron, lelaki itu masuk. Lisa pun mengeluarkan buku tulis, ‘Dia membuatku penasaran, sewangi apa, ya? Mungkin aku bisa menebak parfum apa yang ia pakai. Baiklah, tantangan berikut: melewati the bastard.’ Lisa bersiap-siap. Bus yang akan dinaiki sedang mengantri. Masih ada waktu, pikir Lisa. Jadi dia bisa pura-pura mendekati lelaki itu. Pelan gadis itu berjalan menuju tempat the bastard berdiri. Jaraknya agak jauh dari tempat bus tujuan Lisa, tapi tak apa. Setidaknya lelaki itu berdiri di tempat para pengantri. Sedikit lagi gadis itu mendekat. Sekitar dua meter jarak mereka berdua, Lisa mempercepat langkah, namun lelaki itu malah menjauh, memberi jarak pada Lisa. Mungkin lelaki itu mengira Lisa akan mengantri. Dan tepat di saat itu bus tujuannya tiba. Lisa menghela nafas pendek. Waktunya berangkat. Setengah kecewa, Lisa memasuki badan bus. ***Sarita yang menyambut Lisa pertama kali saat gadis itu tiba di kantor. Ia mengajaknya ke toilet bersama. ”Dandan yang cetar, Lis. Siap-siap bertemu Bu Tari.” Ujar Sarita sambil mengeluarkan blush on dari dalam tas make up miliknya. Senyumnya mengembang. “Apa udah ada kepastian?” “Dandan aja dulu. Masalah pasti atau tidaknya itu belakangan.” Lisa memandang refleksi dirinya di cermin. Ia jadi teringat gadis modis pelanggan bus way. Sangat percaya diri. Sedang Lisa hanya mengerti dasar make up. Dan sekarang, Sarita telah berada di depannya, mengeluarkan alat make up yang bahkan belum terpikirkan oleh Lisa untuk dibeli. Kegiatan dandan ini memakan waktu kurang lebih lima belas menit. Sarita memandang hasi
Sore telah menghiasi langit. Beberapa teman Lisa telah pulang, termasuk Sarita. Lisa masih menyiapkan berkas-berkas yang akan diserahterimakan saat hand phone miliknya berbunyi. “Lisa, apa kabar?” Suara berat Rio menyapa. “Hai, Rio. I am good, trims.” “Akhirnya dijawab juga teleponku setelah lama kamu cuekin aku.” Ujar Rio, lalu, “Apa sekarang aku tak bisa lagi mengajak kamu untuk sekedar makan malam?” “Aku sedang banyak pekerjaan. Bisa jadi pulang larut malam ini.” “Aku akan merindukan kerja bareng kita.” “Maksud kamu?” “Kapan kamu akan pindah divisi?”Bahkan Rio sudah mengetahui sebelum 24 jam. “Kok tahu?”Rio tertawa kecil. “Hal-hal yang berkaitan de
Buku tulis tebal dengan hard cover sebagian sudah penuh oleh tulisan iseng Lisa saat menunggu bus datang. Kadang jika tak ada inspirasi menulis, ia hanya membaca hasil tulisan tangannya. Kebanyakan tulisannya diambil dari pengamatan saat menunggu bus. Ternyata banyak inspirasi yang mudah dilihat dalam rutinitas sehari-hari yang bisa ditulis. Sering ia tersenyum sendiri melihat hasil tulisannya karena teringat bagaimana tingkah manusia sangat aneh dan lucu. Dan bisa jadi ia juga aneh, senyum-senyum saat membaca tulisannya sendiri. Tapi hari ini cukup aneh. Beberapa orang tersenyum padanya termasuk seorang perempuan yang pernah menjadi bahan tulisannya. Mungkin karena mereka adalah sesama penumpang bus yang rutin menunggu pada jam yang sama. Lisa membalas senyum mereka. Ada yang salah dengannya, hingga di satu titik, Lisa merasakan jantungnya seakan berhenti berdetak dan mukanya memerah. Saat m
Entah bagaimana ia muncul dan menyeringai ke arah Lisa. Dan, entah bagaimana gadis itu merasakan kesenangan sekaligus rasa malu. “Simpan rasa malu kamu.” Suara beratnya berbisik.Bagaimana ia… “Muka kamu memerah. Tanda kamu ingat kejadian kemarin saat melihatku.”Lisa melirik ke arah kakinya. “Bagaimana kabar kamu hari ini?” Ia bertanya. “Tebak.” “Senang?” “Apa tandanya?” “Wajahnya kamu memerah jambu, senyum kecil dan menghindar kontak mata denganku. Tandanya kamu senang saat kamu tahu orang yang kamu cari sudah ada di sini.” Ia kembali menyeringai. Lelaki itu, seperti kemarin-kemarin, tak berg
Di ujung senja, Lisa masih berkutat dengan pekerjaannya. Ia merasa akan terlambat dengan janji bertemu, atau sama sekali tidak datang. Dan lucunya, mereka berdua tak ingat bertukar nomor. Lisa tersenyum dan menggelengkan kepala. Mungkin besok mereka akan bertemu di tempat yang sama, dan Lisa bisa jadi akan melihat wajah sebal Didit. Menjelang malam, messenger berbunyi. "Hei Lisa, ini Didit. Jangan lupa dengan janji kita.' Pesan disertai emo senyum. Huft, dia mencariku juga di media sosial. 'Hei. Aku masih sibuk di kantor.' Dan enter. Lalu ia melanjutkan pekerjaannya. Tak lama balasan masuk. 'Baiklah.'Hanya itu? Baiklah. Lalu apa lagi setelahnya? Huft. Ada sedikit kecewa karena Didit tak bertanya lebih jauh. Berbeda dengan Rio. A
Lisa mematut diri di depan cermin. Hari Senin sangatlah sibuk di kantor. Seperti biasa, awal pekan banyak laporan yang harus ia kerjakan. Sejak pertemuannya dengan Didit seminggu lalu, mereka hanya berhubungan lewat chat. Lisa menolak jika Didit ingin menghubungi lewat video call. Nanti saja, saat bertemu pasti akan melihat langsung, begitu alasannya. Namun sejak Didit hadir, Lisa menjadi terbiasa memberi kabar pada saat malam sebelum tidur dan pagi sebelum berangkat ke kantor. Saat makan siang, Lisa lebih sering mengirim gambar menu makanannya. Hah! Sangat biasa pada orang-orang yang sedang menjajaki suatu hubungan. Sedang Didit lebih sering mengirim video kegiatannya. Ah…jadi begini rasanya sebuah rindu, pikir Lisa. Dulu, saat bersama Rio, Lisa tak pernah merasa rindunya terbalas. Hubungan mereka hanya sebatas kebutuhan lelaki itu belaka. Rio butuh Lisa karena pekerjaannya yang sangat memerlukan jasa perusahaa
Lisa bergegas keluar kamar. Pagi ini Ia akan berangkat bersama Sarita yang rutenya searah dengan letak rumah kos gadis itu. Lisa menunggu di depan jalan rumah. Hanya menunggu sekitar lima menit, mobil milik Sarita tiba. Gadis itu melambaikan tangan sambil tersenyum lebar. “Hei, Lisa. Aku lupa beritahu kamu. Tiga hari lalu Rio meneleponku. Ia kesulitan menghubungi kamu. Katanya ada pemesanan barang yang mandeg. Aku bilang itu bukan pekerjaan Lisa lagi.”Lisa tersenyum. “Ignore him, Ta. Itu cuma alasannya saja.”Sarita mengerti. Ia yang paling tahu kisah Lisa dengan Rio. Dari awal, Sarita melihat Rio bukanlah lelaki yang tepat bagi Lisa, tapi ia tak bisa menahan perasaan temannya. “Untunglah kamu dipindahkan menangani brand baru jadi tak lagi berurusan dangan bastard itu.”Lisa menoleh ke arah Sarita l
'Lisa, bagaimana kabar kamu? Kamu suka buket yang kukirim?''Lisa? Kok nggak ada balasan? Aku telepon kamu juga tak mengangkat?' Lisa menghela nafas. Entah, bagaimana ia akan membalas pesan-pesan Rio. Haruskah ia bertanya tujuannya mengirimkan buket bunga, hanya untuk membuatnya kecewa. Bahkan dirinya tak lagi mengharap kehadiran Rio. Dipandanginya buket tersebut. Rio sebenarnya lelaki baik, sangat perhatian dan yang menarik adalah, lelaki itu mampu membuat hati Lisa menunggu penuh harapan meskipun kenyataannya ia hanya bisa berharap. Gadis itumenggelengkan kepala. Kartu ucapan yang tadi dipegang kemudian dikembalikan ke tempat semula dan meletakkan buket tersebut di bawah meja kerja. Ia akan membuangnya nanti saat pulang. Pandangan Lisa beralih pada makan siangnya. Seporsi mi kangkung ditata dan ia mulai mengambil foto, lalu dikirim ke Didit berikut caption ‘Untuk kamu. Maafkan aku.’Ia tak meng