POV Angga“Dewi bener-bener keterlaluan! Dia enak-enakan ke luar kota tanpa memikirkan kita!” umpat Ibu sesampai di rumah. Aku terkejut. Dewi keluar kota?“Ibu, kok tau kalau Dewi ke luar kota?” tanyaku penasaran. Ibu duduk di kursi dengan wajah memerah.“Ibu habis dari rumahnya, benar-benar nggak tau diri dia, belum juga cerai sudah berkeliaran, kan belum selesai masa iddahnya,” sahut ibu berapi-api. Dewi ke luar kota mungkin karena geram dengan kelakuan ibu, yang hutang warung sana-sini mengatas namakan dia.“Ibu, kata Bi Ijah?”“Nggak, kata tetangga, Mak Nosi. Ijah ikut di ajak ke luar kota,” jleeb, Bi Ijah di ajak? Pertanda Dewi akan lama ke luar kotanya. Terus bagaimana nasibku dan Ibu?“Bi Ijah di ajak? Pertanda lama!” li
"Kamu yakin mau cerai dari Angga?" tanya Om Heru, adik kandung almarhum Ayah."Iya, Om." Jawabku mantap. Om Heru menyandarkan tubuhnya di sofa. Terdiam beberapa saat.Bukan urusan pekerjaan aku ke luar kota. Aku sengaja cuti, menghilangkan penat. Masalah datang seakan bertubi-tubi."Kamu yakin dengan pilihanmu? Karena, Om lihat, Angga laki-laki baik dan setia," ucap Om Heru meyakinkan. Aku tau yang di maksud Om Heru. Karena selama ini aku menutupi rapat-rapat keburukan Mas Angga."Selama ini, Dewi memang menutupi keburukan Mas Angga, Om," jawabku, memang sudah waktunya terbongkar. Om Heru, bangun dari sandarannya. Duduk menatapku lekat."Apa keburukan Angga yang kamu tutupi?" tanya Om Heru. Raut wajahnya terlihat penasaran. Kuatur nafasku perlahan."Mas Angga itu sebenarnya nggak kerja," lirihku. Dengan menggeser posisi dudukku. Mencari yang lebih nyama
Aku terbangun, saat mencium aroma minyak kayu putih di hidungku. Perlahan mataku terbuka. Dengan samar-samar ku lihat Tante Tika, Om Heru, Mita dan Bi Ijah. Ku rasakan kepalaku berdenyut luar biasa. Akuu berusaha beranjak, tapi badan terasa sangat lemas. Ku pegangi kepala yang luar biasa pusing. Ada apa ini?“Syukurlah kamu sudah bangun, Wi,” ucap Tante Tika, seraya menutup tutup minyak kayu putih. Ku pejamkan mataku, terasa tak sanggup, melihat benda-benda sekitar terasa berputar. Ku pegang keningku dan memijit pelan. Tante Tika membuka kembali tutup minyak kayu putih. Mengoleskan ke keningku. Ada rasa hangat. Aromanya menguar.“Dewi kenapa, Tante?” tanyaku lirih. Merasakan denyutan kepala yang belum membaik.“Kamu pingsan, Wi.” Jawab Tante Tika.“Pingsan?” tanyaku mengulang kata itu.&ldqu
Bab 13“Mbak Dewi! ini Desa mu masuk TV karena kebakaran,” teriak Mita. Aku masih berkemas, setelah sarapan. Di bantu Bi Ijah. Dengan cepat aku lari menuju ruang TV.“Apa iya? Mana?” tanyaku. Ketika sampai di ruang TV, sudah iklan. Ternyata Om Heru dan Tante Tika, juga ikut berlari menuju ruang TV.“Yah, iklan.” Ucap Mita seakan menyayangkan kami datang terlambat.“Kamu yakin, Mit?” tanyaku, memandangnya intens.“Iya, Mit, kamu yakin?” Tante Tika juga ikutan menanyakan.“Iya, Kak, Ma. Mita yakin! Kan sudah sering, Mita main ke Desa kakak,” jawab Mita yakin. Hatiku semakin tak karu-karuan.“Ya Allah, Dewi. Tante masih berharap berita ini tidak benar,” sahut Tante Tika, memandangku iba.
Bab 14Rumah sudah sepi, orang-orang yang berkerumpul tadi, sudah tidak ada lagi. Aku berada di sofa rumahku. Entah berapa lama aku pingsan. Tante Tika dan Om Heru duduk di sofa depanku. Aku melihat ibu masih dengan gaya arogannya. Sedangkan Mas Angga ada di sampingku.“Kamu keterlaluan, Mas!” teriakku memukul-mukul dada Mas Angga.“Aku bisa menjelaskan semuanya, Dek!” sahut Mas Angga, yang pasrah ketika tanganku memukul dadanya berulang-ulang.“Kenapa kamu berbohong!!! Kamu tahu, bagaimana cemasnya aku mendengar kabar itu? Aku sampai pingsan. Aku sampai nggak bisa tidur. Mataku sampai sembab. Kamu memang keterlaluan! Kamu punya hati nggak, sih???” teriakku kasar dengan tatapan kebencian. Mas Angga hanya menunduk. Seakan pasrah mendengar makianku.“Sudah, Dewi! Tahan emosi, sabar!” Tante Tik
Benalu part 15POV Angga“Mas Angga, sudah ada duit belum?”“Saya harap secepatnya di bayar hutang ibumu!”“Kalau nggak bisa bayar jangan ngutang dong!”“Baru saja pisah sama Dewi, sudah kere aja, Ga? Berarti kamu memang pengangguran dong?”“Padahal hidupmu waktu masih sama Dewi, mewah loo, beli ini itu nggak pernah mikir harganya, sekarang? Miris amat hidup loo, Ga?”Banyak sekali umpatan yang aku terima semenjak pisah dari Dewi. Belum lagi hutang ibu yang semakin hari semakin menumpuk. Orang-orang yang dulu dekat denganku, sekarang menjauh satu persatu. Aku baru menyadari betapa nol nya aku tanpa Dewi. Tanpa Dewi aku tak bisa apa-apa. Tanpa Dewi juga, aku sudah tak di hargai orang lagi.Orang-orang yang dulu sering datang untuk minjam uang atau sekedar minta
POV AnggaAku merasa sangat merasa bersalah dengan Dewi. Memaksanya pulang dengan pemberitaan yang tak wajar. Membuat dia pingsan cukup lama. Aku sangat cemas. Saat dia tersadar, sorot matanya memancarkan kebencian. Semakin menambah rasa bersalahku. Untuk membayar hutang ibu ke Kosim, akhirnya di pinjami uang Om Heru. Rasa malu yang luar biasa menjalar di suluruh tubuh.Belum lagi tingkah dan ucapan Ibu, semakin membuatku malu. Selalu membahas pembagian harta. Aku tahu dan faham, aku tak ada hak atas harta Dewi. Terlebih saat Tante Tika berdebat dengan Ibu. Ingin membentak Ibu, tapi aku tak kuasa. Entahlah. Bingung.“Ibu nggak mau tahu, Ga. Pokoknya kamu harus minta bagian dari harta Dewi!” cerocos Ibu sampai rumah. Membuatku engap.“Bu! Sadar! Angga ini nikah sama Dewi nggak bawa apa-apa,” kesalku.“Yang namanya udah nikah itu, ya, harta bersama!&rd
POV Ibu“Mak Angga, kapan mau di bayar hutangnya? Janji mulu?” sungut Mak Wesi. Membuatku geram. Datang kekontrakan bukannya masuk salam, malah teriak-teriak di depan pintu. Bener-bener nggak punya etika.“Sabar dong, Mak Wesi. Cuma hutang segitu aja, kok.” Aku tak kalah menyungut.“Cuma? Kalau memang cuma, ya di bayar, dong!” bentaknya mengacak pinggang. Berani sekali dia membentakku.“Nggak usah teriak-teriak! Telingaku masih belum budeg,” ucapku melotot. tetangga pada berdatangan. Berkerumun saling tanya dan saling senggol. Mungkin suara kami nyaringnya, mengalahkan speaker masjid.“Lu, kalau di pelanin nglunjak! Anaknya pengangguran aja, malah fitnah Dewi.” Sahutnya malah nyangkut-nyangkut ke Dewi.“Udah bener, tu, Dewi gugat Angga. Biar kere jadi glandangan nggak bisa bayar kontrakan