"Masa kamu nggak tahu cilung sama es cekek, sih?" sungutku tak habis pikir."Cilung itu makanan?" Dia balik bertanya."Yaiyalah. Jajanan yang sering ada di depan SD. Masa belum pernah coba?" Aku mulai sewot."Di sekolah saya dulu nggak ada itu."Aku menepuk dahi. Pantas saja hal ini terjadi, dia terlahir sultan, jadi tak mungkin merasakan sekolah umum negeri."Argghh ...." Aku menggeram, kesal sendiri. Kuempaskan tubuh ke sandaran kursi, lalu melipat tangan dan tak mengatakan apa pun lagi.Dari sudut mata kulihat Khalid mengusap wajah berkali-kali. Wajar, puasa pertama, tengah hari, dan aku meminta keinginan yang aneh-aneh lagi."Tapi kita bisa cari." Menanggapi responsku yang begini, dia tiba-tiba membujuk. "Kamu cukup kasih tahu saya gimana bentuknya Cilung sama Es Cekek."Aku tersenyum lebar, lalu mulai menjelaskan tak sabar."Cilung itu aci digulung, terus dibubuhi taburan bawang halus yang gurih. Sementara es cekek itu es di Mamang-Mamang gerobakan yang diplastikin terus dikasih
"Mau?" Khalid menawariku saat kutemani dia makan menu sop iga bakar di ruang tamu.Aku menggeleng pelan. "Nggak, udah kenyang.""Maaf kalau tadi cilungnya nggak ketemu. Lain kali kita cari lagi, atau kalau perlu bikin." Dia masih terlihat bersalah, padahal aku tahu seberapa keras usahanya seharian ini."Nggak apa-apa, lagian aku cuma pengen keliling sambil jajan aja tadi.""Yakin?"Aku mengangguk pelan. "Iya, palingan nanti anakmu ileran.""Nindi ....""Bercanda, Ganteng."Khalid memejamkan mata sesaat, dan mulai makan tanpa suara. Bersamaan dengan itu ponselku berbunyi. Panggilan video dari Roy tampak di layar."Apa?" sungutku begitu wajah lelaki berambut pirang itu memenuhi layar."Angkat telepon udah kayak Kang Jagal. Halo-halo dulu, kek. Atau ucap salam.""Lo tahu siapa gue, Roy!""Iya, tahu. Lu, kan cewek sinting," sahut Roy yang membuatku sontak tertawa nyaring."Lagi di mana, lo?" tanyaku setelahnya."Tebak, gue di mana?"Eh, Si Kampret malah minta main tebak-tebakkan."Pasti d
Selesai membersihkan diri, aku yang bingung mau apa hanya bisa mondar-mandir di sekeliling kamar. Menonton TV, membaca buku, bahkan hanya sekedar rebahan sudah kulakukan. Namun, sama sekali tak mampu mengusir bosan. Lain dengan saat jalan-jalan bersama Khalid keliling Batam. Berjam-jam waktu ditempuh tak ada jenuh yang dirasakan.Sedikit ragu, aku melangkah keluar. Menatap lama pintu kamar Khalid yang persis ada di seberang. Terdengar samar suara orang yang mengaji. Akhirnya kuberanikan diri menghampiri.Lelaki itu tengah bersila beralaskan sajadah, kitab suci dia genggam erat di pangkuan. Memang tak semerdu para tilawah Qur'an, tapi suara cukup menenangkan.Sadar diperhatikan, Khalid menoleh. Sejenak dia menyisir rambut yang masih menyisakan sedikit jejak wudhu, kemudian memanggilku."Duduk di sini!" Khalid mengubah posisi sajadahnya. Yang semula lurus vertikal, ke horizontal. "Tadinya setelah tarawih saya mau langsung ke ruang tamu, tapi tiba-tiba ingat kalau hari ini belum sempat n
Bila sekolah punya kelas untuk membedakan nilai akademi. Begitu juga dengan kami. Aku dan Naya punya status yang sama tapi kami berada di level yang berbeda. Status sebagai istri seolah tak berarti bila hanya salah satu yang dicintai. Keadilan hanya sanggup diucapkan, kewajiban tak benar-benar dijalankan. Dan selembar kertas seolah menjadi penghalang yang mutlak ditekankan.Bahkan saat dia pertama kali datang menawarkan komitmen yang dibalut kesepakatan aku tak pernah berharap lebih dari pernikahan ini. Hanya demi uang aku rela melakukan, hanya demi kebebasan, rahim kupinjamkan. Benih sudah ditanam, hanya menunggu kurang lebih tujuh bulan semua yang pernah terjadi dianggap tak berarti. Semuanya akan hilang hanya sebagai histori. Namun, kenapa malah timbul sesuatu yang sulit kumengerti."Nindi!" Panggilan Khalid menginterupsi. Dari balik pintu mobil yang sudah terbuka dia berdiri membungkuk menatapku. Rupanya kami sudah tiba di tempat yang dituju.Kupeluk diri saat dinginnya malam meny
"Mbak Nindi!" Sebuah panggilan menginterupsi. Kualihkan pandangan dari benda pipih dalam genggaman, lalu menatap wanita renta yang berdiri membawa nampan berisi minuman dan camilan.Aku mengernyitkan dahi. Sepertinya dia asisten baru di sini, ini pertama kali aku melihatnya setelah beberapa kali ke mari.Hanya yang membuat heran kenapa dia bisa langsung menyebut namaku?"Eh, iya, Mbok. Makasih."Dia menatapku cukup lama setelah meletakkan nampan di atas meja. Nanar dan sayu, tatapan itu seolah menyiratkan sesuatu."Boleh simbok duduk di sini!" Dia menunjuk tempat kosong di sebelahku."Eh, oh. Iya, boleh!" Sedikit ragu aku mempersilakan."Kenalkan nama simbok Warmi. Simbok sudah lama sekali bekerja dengan Pak Budi dan Non Naya. Kalau ndak salah kita pernah bertemu di panti dulu. Saat simbok anter Non Naya pulang saat itu."Aku mengernyitkan dahi, berusaha mengingat-ingat. Terlalu banyak memori buruk yang terekam dalam otakku, hingga tak menyisakan sedikit ruang apalagi untuk seseorang
Sepuluh tahun lalu ....Suara deru kendaraan terdengar di depan halaman panti, dari balik tilas jendela aku melihat anak-anak berlarian keluar memburu pemilik yayasan dan sang istri yang biasa datang tiap seminggu sekali. Setiap kali mengunjungi, keduanya selalu membawa serta banyak makanan dan mainan entah dari sumbangan maupun dana pribadi."Kak Nin, nggak nyamperin Pak Budi sama Bu Siksa? Nanti nggak kebagian jatah, loh." Bocah tujuh tahun berambut ikal itu berdiri di ambang pintu kamarku, menjilati es krim yang hanya seminggu sekali bisa kita nikmati."Nggak apa-apa. Kak Nin udah gede, mending buat kalian aja." Aku tersenyum lebar menatap Dodi, bocah tujuh tahun yang masih berdiri memakan es krim di sana. Sesekali menelan ludah mencoba menahan keinginan untuk mencicipi bagaiman es krim yang dingin dan segar itu menjalari tenggorokan panas-panas begini."Yakin? Atau mau cobain dikit punya Dodi." Bocah itu menawarkan, seraya menyodorkan es krim stik di tangan kanannya.Sekali lagi
Perutku tiba-tiba berbunyi saat tengah membasuh piring. Dari balik jendela dapur kulihat anak-anak tengah bermain dengan Pak Budi seraya menyantap Baso Malang yang biasa lewat tiap siang menjelang.Aku hanya bisa menelan ludah, sembari menahan perih di ulu hati. Sejak seringkali melewatkan makan, penyakit magh menyerang. Rasanya kadang menyiksa bila harus menghadapi tanggung jawab yang menunggu ditunaikan.Tiba-tiba terdengar suara derap langkah di belakang. Bunyinya seperti hak sepatu tinggi yang beradu dengan ubin.Aku menoleh, dan mendapati Bu Siska berjalan mendekat sembari menenteng mangkuk di tangan. Dari mulutnya masih ada sisa baso yang kemudian dilepehnya lagi."Mau?" tanyanya sembari menyodorkan baso bekas yang bentuknya sudah tak layak konsumsi.Namun, daripada magh-ku lebih parah bila dibiarkan lebih lama lagi, akhirnya aku mengiyakan."Nih!" Mangkuk tersebut ditelengkan hingga membuat kuahnya sedikit tumpah. Belum sempat aku meraih, seperti sengaja dia langsung menyiram s
Aku terbangun di dalam kamar. Sebuah infusan terlihat di salah satu lengan. Pusing berkunang-kumang masih bisa dirasakan dengan mata perih dan mulut yang sedikit pahit. Hampir dua hari sejak kejadian yang kuanggap mimpi itu terjadi, besoknya aku langsung meriang dan demam, lalu dirawat selama sehari di rumah sakit. Yang paling menghawatirkan dari semua itu jelas adalah janin ini.Namun, beruntung dokter mengatakan bahwa dia baik-baik saja dan dalam keadaan sehat. Asupan nutrisi juga terpenuhi. Bu Sarah dan Pak Ali sempat datang untuk memastikan keadaan, begitu pula dengan Pak Budi dan Bu Siska.Tak ada sorot bersalah yang digambarkan ibu kandung Naya itu bahkan setelah apa yang dia lakukan selama ini. Sementara sang suami, Pak Budi, besar kemungkinan sampai detik ini lelaki paruh baya itu masih belum tahu tentang statusku setelah dua puluh lima tahu berlalu. Kalau pun tahu kuyakin semua tak akan berakhir seperti ini."Sudah, baring saja! Kamu masih sakit." Kurasakan tangan besar menah