Nayla tidak menyadari jika Alvaro telah membukakan pintu untuknya. Tatapan wanita cantik dengan memakai jas Alvaro itu masih bergeming di tempatnya dengan tatapan mata yang entah.“Ayo, turun! Udah mulai hujan, nih!” sentak Alvaro membuyarkan lamunan Nayla.Sungguh Nayla tidak nyaman dengan nada bicara Alvaro. Benar saja hari mulai hujan. Hembusan angin dingin mulai menerpa kulit Nayla meski telah tertutup jas tebal Alvaro.Namun, itu semua tidak berpengaruh apa-apa. Justru ucapan Alvaro lah yang menjadi hawa dingin untuk wanita itu. Nayla terus saja mengumpat kenapa pria itu berubah sedingin itu.Nayla turun dengan Alvaro memayungi kepalanya menggunakan telapak tangan kekarnya. Keduanya berlari pelan menuju teras rumah.“Mas, kamu sudah pulang?” tanya Nayla kepada pria yang tidak lain adalah Alvin, suaminya.Pria itu telah pulang beberapa waktu lalu tanpa memberitahu Nayla. Apalagi? Tujuannya adalah ingin memberi kejutan kepada sang istri.Namun, entah kenapa kepulangan Alvin yang te
Nayla kini menjadi salah tingkah. Dia sesalkan keinginan yang terlontar begitu saja kepada Alvin. Sungguh jika diberi cermin, sudah pastilah akan memerah kedua pipi wanita itu.Alvin terkekeh mendapati sikap manja yang ditunjukkan sang istri. Permintaan itu justru membuatnya semakin senang.“Permintaanmu sungguh sangat lucu, Sayang. Tapi tidak apa, mungkin ini permintaan dari calon anak kita yang ingin lebih dekat dengan uncle-nya.” Pria yang tak lama lagi akan bergelar ayah itu mengusap perut Nayla pelan. “Tapi aku justru senang mendengar permintaan itu. Tidak apa …, tidak masalah jika kau ingin duduk di sampingnya.” Dengan penuh hati-hati tangan kekarnya menuntun sang istri untuk menempati kursi kosong di samping Alvaro “Kak, jaga anakku. Dia ingin lebih dekat denganmu sebagai uncle-nya. Tapi, jangan ajarkan dia memiliki sikap dingin dan tidak berperikemanusiaan!” canda Alvin setelah Nayla berhasil duduk di samping pria itu.Alvaro tersenyum miring. “Tenang aja, Vin. Anak itu pinta
Hari berlalu. Seperti biasa Nayla bersiap-siap untuk pergi ke kantor. Blazer berwarna abu tua serta celana dengan warna senada dia pilih sebagai busana kerja kali ini.Wanita yang memang telah memiliki kecantikan alami mematut diri di depan cermin hanya untuk membubuhkan riasan tipis yang tidak terlalu mencolok. Hal itu hanya untuk wajahnya agar terlihat semakin segar.Nayla terlonjak ketika sebuah tangan kekar melingkar di perutnya. Wajahnya refleks tersenyum, dia mengingat malam itu saat bersama Alvaro.“Selamat pagi cantikku, Sayang.” Ucapan Alvin membuyarkan lamunan Nayla. Perlahan senyum wanita itu sedikit memudar.“Mas, kamu sudah bangun?” tanya Nayla menutupi kecanggungan. Entah apa yang wanita itu pikirkan. Kenapa dia justru mengharapakan jika Alvaro yang akan melakukan hal manis pagi ini?“Sudah, dong, Sayang. Malahan Mas tidak kalah wanginya dengan tubuh candumu ini.” Alvin memuji sembari mencium puncak kepala sang istri. Dagunya masih setia bersandar di pundak Nayla.Menden
Nayla membeliak. Raut wajahnya berubah sangat terkejut. Alvaro cuti? Kenapa tiba-tiba seperti ini? Nayla bergeming sembari hatinya terus meracau tentang kepergian Alvaro.“Emm …, apa kamu tahu kenapa dia cuti, Ras?" tanya Nayla canggung.Wanita yang sedang sibuk memilah beberapa dokumen itu menghentikan pekerjaannya. Dia menoleh ke arah Nayla sekilas.“Apa Bu Nayla tidak diberitahu soal ini? Kita ‘kan sama-sama sekertarisnya, Bu.” Nada bertanya Laras terdengar sangat terkejut. Sorot matanya memicing menatap Nayla.Nayla yang sedang duduk di kursinya mengembuskan napas pelan. Dia dorong sedikit kursi kerjanya ke belakang untuk melonggarkan jarak dengan meja. Jujur saja bila terlalu lama duduk tegak dia akan merasakan sesak, terutama di bagian perutnya.“Maka dari itu. Aku tidak tau akan rencana cuti dia, sebab dia tak memberitahuku,” pungkas Nayla.Terlihat wanita dengan rambut sebahu itu kembali melanjutkan pekerjaannya. Mulutnya membulat sembari kepalanya yang mengangguk.“Menurut em
Nayla merebahkan diri di atas ranjang. Wajahnya dia tenggelamkan pada sebuah bantal di atas wajahnya.Wajahnya terlihat sangat lelah sekali meski seharian tak ada pekerjaan berarti baginya.Air matanya telah lolos membanjiri pipi tanpa diminta. Hatinya merasa sedikit lega setelah menyampaikan semua yang menjadi beban di dalam dada. Namun, tetap saja dia tak bisa menahan Alvin agar tetap bersamanya. Suaminya itu sungguh sangat egois, lalu untuk apa dia dulu melamar kemudian menikahinya jika Nayla hanya menjadi istri pajangan saja. Seorang istri yang hanya untuk melengkapi status Alvaro pada kartu identitasnya.Di saat kesedihan melanda seperti ini. Wanita cantik yang masih lengkap dengan pakaian kantor yang melekat pada tubuhnya itu biasanya akan melampiaskan kekesalannya kepada Alvaro. Entah dia akan memarahi tanpa sebab pria itu, ataupun hanya meminta dirinya untuk berkeliling kota sampai rasa kesal dalam hatinya sedikit mereda.Akan tetapi, kali ini sungguh sangat berbeda. Alvaro p
Nayla bangun dengan terburu-buru ketika melihat matahari mulai meninggi. Rupanya semalaman dia tertidur di sofa. Laptop Alvin pun masih setia menyala seperti saat sebelumnya.Untung saja hari ini hari libur. Sehingga wanita itu tidak perlu meminta izin ke pihak kantor sebab keterlambatan dirinya yang sungguh sangat tidak disengaja.Nayla kembali teringat akan niatnya semalam. Seharusnya dia mendatangi Viona malam tadi untuk meminta klarifikasi. Namun, rupanya rasa lelahnya mengalahkan segalanya.“Aku harus segera pergi ke apartemen itu. Aku harus memastikan jika inisial V itu adalah Viona atau bukan?”Setelah membersihkan diri. Dengan cepat, Nayla menyambar tas selempangnya. Wanita itu segera menuju apartemen Viona dengan menggunakan jasa sopir.Bukan tanpa sebab Nayla menggunakan sopir rumah Alvin. Biasanya wanita itu selalu pergi sendiri, tanpa bantuan siapapun.Namun, berbeda kali ini. Entah kenapa, perutnya kala itu mengalami sedikit kram. Tumben sekali calon anaknya itu seolah re
Seorang pria berhidung mancung dengan model rambut sedikit kribo itu telah bersandar di ambang pintu ruang kerja Alvaro.Tatapannya seolah mengejek ditambah dirinya yang sedang mengunyah permen karet.Vano, nama orang tersebut. Dia adalah keturunan dari keluarga Orlando. Salah satu rival bisnis keluarga Rayes.Vano perlahan berjalan lebih dekat ke arah Alvaro. Dengan salah satu tangan berada di saku celananya. Tatapannya tidak berubah, meski telah mendapat balasan lebih sengit dari Alvaro.“Anda tidak diizinkan untuk masuk ke ruangan ini!” cegah Daniel dengan memajukan salah satu tangannya ke arah Vano.Tanpa sedikitpun merasa takut, pria dengan iris mata cokelat terang itu menatapnya remeh.“Seorang Alvaro Rayes, pengusaha muda yang terkenal akan kesuksesannya hanya mampu membayar pegawai kelas bawah seperti ini?” Vano menghina Daniel dengan menatapnya dari ujung kepala hingga ujung kakinya.Daniel hanya menatap penuh siaga terhadap tamu Alvaro yang tidak diundang itu. Dalam hatinya
Nayla masih setia berada di depan pintu kamar itu. Setelah memencet bel beberapa kali, penghuni kamar tersebut tak kunjung menampakkan diri.Hatinya kembali dibuat gusar. Dia mondar mandir menunggu sang pemilik kamar tersebut.Tidak lama, pintu yang berwarna putih keperakan itu perlahan terbuka. Wajah seorang wanita cantik yang terlihat sangat kelelahan itu menyembul di sela pintu.Nayla merasa sangat senang ketika mengetahui pemilik kamar tersebut adalah benar orang yang dia cari.Mata keduanya sempat beradu pandang. Berbeda dengan sorot mata yang ditampilkan Nayla. Viona tampak terkejut mengetahui istri Alvin itu berada di depan kamar apartemennya.Lidahnya mendadak kelu dengan tubuh yang mematung.“Na-Nayla?” ucapnya terbata. Bulir keringat kini telah membanjiri keningnya.“Hai! Senang bertemu denganmu,” balasnya Nayla dengan raut wajah ceria.“Kamu sedang apa di sini? Apa kamu juga membeli salah satu unit di sini? Kau akan tinggal di sini.” Tanpa jeda, Viona memberondong begitu ba