“Hah, Papa, Mama, tolooong!” jerit Amira dari ruang operasi.Beberapa saat kemudian Nyonya Kasih dan Tuan Bondan sampai. Mereka terkejut melihat bidan mati mengenaskan dengan mata terbuka dan ruangan jadi berantakan.“Cepet pergi dari sini. Sebelum kita jadi tersangka!” Tuan Bondan menarik Amira keluar dari kolong ranjang. Andai mereka berdua bukan orang tua dari permaisuri Abhiseka, mungkin nyawa keduanya akan melayang di tangan Taksaka.Setelah mereka bertiga pergi, jasad ibu bidan hilang begitu saja tanpa jejak. Jelas sekali itu ulah dari manusi harimau penunggu Gunung Kalastra. Tidak hanya sampai di sana, klinik aborsi tersebut terbakar tanpa sebab yang jelas. Amira memperhatikan kobaran api yang semakin mengganas dari dalam mobil. Ia tahu itu ulah siapa. Namun, sang permaisuri memilih bungkam.“Kita pulang dulu. Kita pikirin soal kandungan kamu besok saja!” Pak Bondan memerintahkan supir untuk terus melaju. Mereka tak tahu kalau Taksaka ikut berdiri di atas atap kendaraan. Ia ak
Tiga hari telah berlalu lagi. Pak Bondan membawa calon suami untuk Amira. Gadis itu turun dari lantai dua dengan model rambut baru. Amira memotong rambut sampai pendek sekali persis seperti laki-laki. Ia tak mau membuat siapa pun jatuh hati padanya lagi.“Amira, kenalin, ini calon suami kamu.” Pak Bondan memperkenalkan seorang lelaki pada putrinya. Taksaka hadir dalam pertemuan itu. Hanya saja dia masuk ke dalam patung yang ada di dalam rumah Pak Bondan.“Dia udah tahu, kan, kalau Amira lagi hamil,” ucap gadis cantik itu. Ia tak mau ada yang ditutup-tutupi.“Udah, Nak. Dia terima kamu apa adanya, dia ini pegawai terbaik Papa. Ternyata dia menyimpan rasa sama kamu dari dulu.”“Kamu sadar nggak, kamu dimanfaatin sama keluarga ini?” Amira memandang calon suaminya.“Saya sadar, tapi saya sudah telanjur cinta sama Non Amira,” jawab lelaki bernama Gilang. Ia terlihat seperti pemuda baik-baik.“Oke. Berarti kamu sudah siap jadi ayah? Tapi terserah, sih, mau ngakuin anak ini atau nggak ya say
“Saya izinkan kamu buat punya perempuan lain di luar sana. Ingat di luar, jangan sampai dibawa ke rumah.” Ucapan Amira membuat Gilang dan Taksaka sama-sama kaget. Mereka pikir Amira akan mengikat layaknya tuan pada seekor anjing. “Aneh kamu, biasanya perempuan nggak mau diduakan, kamu malah mengizinkan saya buat melakukannya.” Gilang memastikan terlebih dahulu apakah pendengarannya tadi salah atau tidak. Takutnya jadi senjata makan tuan, maklum orang kaya bisa berbuat apa saja. “Saya memang perempuan luar biasa. Terserah kamu mau punya perempuan dua, lima, sepuluh, itu bukan urusan saya. Tapi ingat, jangan sekali-sekali kamu bawa dia ke depan muka saya. Atau kesempatan itu akan saya gunakan untuk memecat dan menceraikan kamu tanpa pesangon apa pun!” tegas sang permaisuri. Ketegasannya ditularkan dari percampuran dengan Abhiseka. “Saya seperti seorang badut di rumah ini. Sudah diperintah ini itu oleh kedua orang tua kamu, diperlakukan tidak manusiawi pula sama istri sendiri.” Gilang
Dalam beberapa bulan Amira berubah dari gadis cantik dan periang, menjadi pribadi yang bengis dan tanpa kasihan. Mungkin karena pengaruh bayi manusia harimau yang ia bawa dalam perutnya. Yang tak sampai satu bulan lagi akan dilahirkan ke dunia.“Gilang, kamu yang sabar, ya, sama Amira. Kalau kamu perlu kenaikan gaji tinggal bilang sama saya.” Pak Bondan turut bersuara. “Kenaikan gaji harus melalui persetujuan Amira, Pa. Sebentar lagi juga Papa akan Amira gantikan. Papa, kan, mulai nggak sehat. Mending Papa istirahat,” ucap sang permaisuri tanpa direm lagi. “Amira!” tegur Nyonya Kasih.“Ma, udah, apa yang dibilang Amira itu bener, kok. Papa semakin nggak sehat akhir-akhir ini. Nanti, Nak, setelah kamu melahirkan silakan ambil semua kepempimpinan. Papa cuman ingin di rumah aja main sama cucu. Papa semakin tua.” Pak Bondan menghela napas panjang. Sejak putri semata wayangnya turun dari gunung dan kembali dalam keadaan hamil, kesehatan lelaki itu menurun drastis. Sejak kepulangan Amira
Amira menjalani operasi caesar setelah meminum racun kelabang dari secangkir teh pemberian Gilang. Taksaka di mana? Ia sedang dalam keadaan lemah. Baru saja tadi demi kelangsungan hidup keturunan terakhir sang prabu yang masih hidup, ia salurkan semua tenaga dalamnya agar janin di dalam kandungan sang permaisuri tidak mati begitu saja.Dan kini sang pengawal yang amat setia itu sedang kembali dalam wujud aslinya. Di kaki Gunung Kalastra dan menunggu sampai dirinya membaik. Racun kelabang itu bukanlah cairan yang main-main. Astina merupakan musuh abadi sang prabu sejak dahulu. Tentu saja wanita berpakaian serba hitam tersebut tahu cara menyerang Abhiseka.Sementara itu di ruang operasi para dokter sedang berjuang menyelamatkan ibu dan anak yang berada di antara hidup dan mati. Berkat tenaga yang diberikan oleh Taksaka, anak Amira dan Abhiseka berhasil lahir dengan selamat tanpa kekurangan satu apa pun.Anak perempuan, dengan mata biru persis seperti ayahnya. Tidak ada yang aneh, wujudn
Pak Bondan dan Nyonya Kasih bangun di pagi hari sambil merawat cucunya. Cahaya tumbuh layaknya bayi pada umumnya. Di hari ketujuh anak itu sudah minum susu menggunakan alat bantu yang sangat lunak. Namun, tetap saja Cahaya terlihat seperti kehausan terus menerus. Anak itu keturunan manusia harimau putih, tentu saja …“Ma, kita lihat Amira siang ini. Cahaya kasih saja sama pengasuh. Tadi malam Amira telpon sampai tiga kali nggak Papa angkat,” ucap Pak Bondan.Gilang yang baru turun dari lantai dua tertahan langkahnya mendengar Amira berhasil selamat. Masih ingat lelaki polos itu kata Ratih kalau racun itu sangat ampuh merenggut nyawa orang.“Kamu ini, ya, pantas aja Amira marah terus-terusan sama kamu. Jadi laki nggak ada gunanya, makan, tidur, gaji juga dikasih sama suami saya.”Kasih menyindir menantunya yang tidak punya empati sedikit pun atas kelahiran putri Amira. Yang di atas kertas merupakan anak Gilang. Status penting bagi keluarga Pak Bondan Argani.“Kalau tidak keberatan, sil
Taksaka menembus atap rumah setelah memastikan Cahaya tertidur lelap dengan perisai yang ia tinggalkan. Manusia harimau itu keluar dan menyambut tantangan dari Astina yang telah menunggunya di langit kota tempat tinggal gusti ratu juga anaknya.Senyum merekah dari bibir Astina. Dua makhluk gaib itu melayang di atas langit dengan kain yang beterbangan karena angin. Jika manusia biasa bisa melihatnya, pasti akan menjadi berita viral yang menyebar dalam sekejap mata.“Apa maumu?” tanya Taksaka baik-baik. Sebab perintah yang turun padanya ialah menjaga tuan putri serta gusti ratu sampai Abhiseka sadar. Namun, dalam keadaan terdesak ia diperbolehkan untuk membunuh siapa pun yang menggangu keadaan tuannya.“Aku mau kau,” jawab Astina. Jemari tangannya lentik di udara, seperti seorang penari yang siap menebarkan pesona.“Jangan mimpi kau, kelabang tak tahu diri!”“Menjijikkan isi kepalamu. Kau pikir aku ingin tubuhmu? Aku tak berselera dengan harimau yang bau seperti kalian. Aku ingin kau ma
“Dia kuat, dia akan bertahan, ada alasan mengapa dia aku pilih sebagai pengawal Gusti Prabu. Walau kalian mengalami kegagalan untuk pertama kalinya. Tetap pada pekerjaanmu, Cakrabuana. Kau harus terus memastikan api untuk Abhiseka terus hidup.”“Baik, Guru, lalu bagaimana dengan putri Gusti Prabu? Bukankah Taksaka sedang terluka?”“Taksaka, dia tidak meninggalkan Cahaya begitu saja. Dia memberikan Tuan Putri sebuah perisai yang sangat kuat. Taksaka mati baru perisai itu hilang. Cahaya, nama yang sangat indah. Aku yakin belasan tahun lagi dia akan menjadi gadis yang cantik dan siap menjadi penerus garis keturunan Gusti Prabu, andaikata beliau harus meninggalkan dunia ini.” Wirata menutup matanya kembali. Ia bertapa, sembari memerintah kerajaan yang singgasananya sedang goyah.***Taksaka merasakan sakit yang teramat sangat pada sekujur tubuhnya. Ia ingin bangun tapi tidak bisa. Ingin berdiri tapi untuk bicara saja tidak bisa buka mulut. Suara Cahaya tidak terdengar lagi di telinganya.