Eva melemaskan otot lehernya setelah memindahkan begitu banyak berkas seorang diri. Sebagai dokter magang yang baru bergabung di rumah sakit ini, dia harus mau disuruh apa saja. Termasuk membawa catatan fisik pasien ke ruang arsip dan mengaturnya sedemikian rupa.
"Kau lelah?" Hans menghampiri Eva dan mengulurkan soft drink dingin. Sebuah senyum terukir di bibirnya, menampilkan lesung pipi yang cukup manis dan menambah ketampanan pria itu. Dia sengaja mampir ke rumah sakit untuk melihat pujaan hatinya."Untukmu," jelasnya saat melihat Eva tak lantas mengambil minuman itu, justru menatapnya dengan pandangan heran."Ah, aku kebetulan ada urusan dengan kepala rumah sakit dan tidak sengaja melihatmu. Apa kau masih mengingatku? Kita pertama kali bertemu di kelas bahasa." Hans menunjuk keningnya yang dulu pernah mendapat perawatan Eva."Maaf," ucap Eva sebelum berbalik. Dia tidak mengenali pria di hadapannya. Namun, Hans dengan cepat kembali menghadangnya dan menjelaskan detail pertemuan pertama mereka."Namaku Hanson, panggil saja Hans," terang Hans di akhir penjelasannya.Dua detik berlalu sejak Hans mengulurkan tangannya, tapi belum ada tanda-tanda Eva akan menyambutnya. Gadis itu masih bergeming, tak bergerak, pun tak membuka mulutnya. Sedikit banyak dia ingat siapa Hanson Dirgantara, seniornya di kampus yang menjadi idaman semua wanita."Eva." Tepat sebelum Hans menarik tangan, gadis itu menyambutnya. "Maaf, aku tidak mudah mengingat wajah orang," ucapnya lirih setelah berhasil menggali ingatan.Hans tertawa hambar untuk menutupi suasana canggung di antara mereka. Padahal hatinya senang luar biasa karena bisa berhadapan dengan gadis yang membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama."Kau ada waktu? Aku ingin mentraktirmu minum kopi," cetus Hans tanpa basa basi. "Anggap saja sebagai rasa terima kasihku."Eva menggeleng tegas, "Itu tidak perlu. Aku hanya melakukan apa yang harus kulakukan. Lagi pula, itu sudah terlewat beberapa tahun yang lalu.""Ayolah, tidak baik menolak rezeki.""Maaf, Hans. Aku sedang bekerja, belum waktunya istirahat." Eva menarik tangannya dari genggaman Hans, sedikit menjauh darinya. Dari semua pria yang pernah ditemui, hanya Hans seorang yang begitu banyak bicara seperti perempuan.Hans tersenyum melihat kepergian Eva. Tidak disangka, gadis itu benar-benar menjaga jarak dari pria yang tak dikenalnya dengan baik seperti yang Felix katakan kemarin. Namun, hal itu justru membuat Hans semakin semangat untuk mendapatkan perhatiannya.Bukan Hanson Dirgantara jika menyerah begitu saja dalam sekali usaha. Dia terus mendekati Eva dengan berbagai cara, bahkan sengaja menunggu di depan pintu gerbang rumah sakit seperti sore itu. Dia datang membawa selembar undangan.“Apa ini?” tanya Eva dengan kening berkerut. Meski merasa tidak nyaman dengan kedatangan Hans yang mengusik ketenangannya, Eva masih berusaha bersikap sopan."Datanglah ke rumahku malam ini.”"Hans, kita tidak sedekat itu untuk—""Hanya acara makan malam biasa. Aku juga mengundang teman-teman yang lain. Kau akan menemukan temanmu juga di sana."Beberapa detik berlalu dalam hening. Eva belum menerima pemberian Hans, tapi juga tidak bisa menolaknya mentah-mentah. Pria itu tidak pernah melakukan sesuatu yang buruk. Hanya mengajaknya berteman.“Ah, aku harus pergi sekarang. Ingat untuk datang, ya!”Eva tidak memiliki kesempatan untuk bicara karena Hans sudah lebih dulu pergi sambil melambaikan tangan. Senyumnya begitu tulus, terasa hangat bagi Eva yang selama ini belum mengizinkan hatinya menyimpan sebuah nama. Setelah berpikir dua kali, akhirnya dia memenuhi undangan itu.Langkahnya melambat saat menyadari betapa mewahnya rumah Hans. Bagaikan langit dan bumi jika dibandingkan dengan panti asuhan tempatnya dibesarkan. Kolam renang dengan air yang tampak berkilauan menyambut kedatangannya. Meja-meja berisi makanan dan minuman disediakan untuk semua tamu yang datang. Dan yang membuatnya semakin tidak nyaman adalah sekumpulan gadis yang berdiri tak jauh darinya.Semua yang mereka pakai jelas barang mahal dan edisi terbatas, tidak bisa disandingkan dengan pakaiannya yang terlalu sederhana. Hanya dalam hitungan menit, dia menjadi pusat perhatian dan mendapat tatapan mengerikan dari gadis-gadis sosialita yang memegang anggur merah di masing-masing tangan mereka.“Siapa yang mengizinkan pelayan ikut bergabung di sini?” Seorang gadis dengan mini dress warna merah mendekat ke arah Eva, mengamatinya dari ujung kaki hingga ujung kepala.Beberapa gadis ikut berkerumun, tertawa sambil mencemooh penampilan gadis yang tidak pernah mereka lihat sebelumnya.“Maaf, di mana Hans?” Setelah berhasil mengendalikan perasaannya, Eva berani mengangkat wajahnya dan bertanya.“Hans?” Seketika tawa menggema, merasa lucu karena seorang gadis kumal berani menyebut nama pria yang menjadi incaran mereka.“Dia yang mengundangku. Biarkan aku bertemu dengannya. Aku tidak ada urusan dengan kalian.” Dengan tatapan tajam, Eva menatap satu per satu gadis yang menghadangnya. Dia ingin segera bertemu Hans untuk berpamitan dari sana. Tempat itu sangat tidak cocok untuknya yang bukan golongan kaum berada.“Berani sekali kamu berbohong. Hans tidak mungkin bergaul dengan tikus rendahan sepertimu!”Hanya dalam sekejap mata, minuman di dalam gelas berpindah membasahi wajah Eva, juga mengotori gaun putih di tubuhnya. Dia menjadi bahan tertawaan gadis-gadis sosialita yang sombong dan tinggi hati.Eva mengepalkan tangannya di samping badan. Dia bisa saja melawan penghinaan itu atau bahkan membalas dengan perlakuan yang sama—menyiramkan minuman ke wajah gadis binal di depannya, tetapi akal sehatnya tidak mengizinkan. Lagi pula, dia sendiri yang sudah mengabaikan firasat buruk di dalam hati kecilnya. Itulah awal kesalahan bermula.“Aku tidak ingin membuat masalah dengan kalian. Katakan di mana Hans. Aku harus bertemu dengannya!”“Siapa yang mengizinkanmu menatapku seperti itu, hah?!”Gadis dengan riasan tebal di wajah itu sudah mengangkat tangannya, bersiap menghadiahkan sebuah tamparan untuk Eva. Tak ada satu pun yang berniat mencegah perselisihan itu terjadi. Eva sudah pasrah, menutup matanya rapat-rapat dan berharap dia bisa pergi dari sana secepatnya.Di manakah Hans? Masih sempatkah dia menolong Eva?“Dasar gadis miskin tidak tahu diri!” Plak! Sebuah tamparan mendarat di wajah Eva, membuat rasa panas dan perih segera merayap di pipinya. Tanpa membuat kesalahan berarti, dia mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari gadis yang bahkan tak dikenalnya. Di sisi lain, dua orang pria sedang duduk santai di lantai dua saat seorang pelayan datang dengan tergesa. Langkahnya hampir seperti berlari, melewati dua anak tangga sekaligus. “Tu … Tuan Muda!” Suaranya tercekat di tenggorokan saat mencoba berbicara. Napasnya terengah-engah, kesulitan menyuarakan rangkaian kata di kepala. Felix yang pertama kali menoleh, menaikkan sebelah alisnya. “Ada apa?” Hans membenahi lengan kemejanya, mendekat ke arah pintu yang terbuka tanpa diketuk dulu sebelumnya. “Ada … ada yang bertengkar, Tuan. Anda harus segera turun.” Tanpa membuang waktu lebih lama, Hans dan Felix berlari menuruni anak tangga seolah berkejaran dengan waktu yang ada. Mereka masih harus melewati ruang tengah yang luas sebelum samp
“Sayang, Hans bicara denganmu. Apa kamu ingin membiarkannya terus berlutut seperti itu?” Berbagai pemikiran Eva segera terjeda, menatap Kuina yang kembali memeluk lengannya seperti saat mereka bergabung kembali ke tempat itu. “Tidak ada yang memaksamu menerima pernyataan cinta bocah itu, tapi setidaknya kamu bisa membuatnya berdiri,” bisiknya lebih lanjut. Hans merendahkan dirinya, mengungkapkan perasaan yang tidak bisa disembunyikan lagi. Dia ingin Eva tahu bahwa dirinya adalah seseorang yang spesial. Semua gadis yang ada di sana melihat adegan romantis di depan mereka dengan tatapan iri. Tidak sedikit yang berharap bisa bertukar posisi dengan gadis yang sampai saat ini masih bungkam seribu bahasa. Hans Dirgantara memiliki semua yang diidam-idamkan wanita. Tampan, pekerja keras, lembut, juga masa depan yang cemerlang sebagai pemilik sekaligus pendiri sebuah perusahaan multinasional. Belum lagi ayah dan ibunya yang terkenal dengan kebaikan hatinya, tidak memandang orang lain berda
"Eva, ini sudah terlalu larut. Menginap saja di asrama. Kamu bisa kembali besok pagi." Seorang dokter dengan name tag bertuliskan Arvin Faaz tampak khawatir menatap gadis bertubuh mungil di hadapannya. Sebagai senior sekaligus penanggung jawab koasisten, dia harus memastikan anggotanya tetap aman. "Anda terlalu banyak berpikir, Dokter. Lagi pula, rumah saya tidak jauh, hanya lima menit berjalan kaki dari sini. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan." "Lampu di ujung jalan rusak. Bisa saja—" "Dokter Arvin, apa Anda lupa kalau saya bukan lagi anak kecil yang takut gelap?" Pria berkacamata tebal itu tak lantas menjawab. Raut khawatir masih terlihat di wajahnya, bimbang antara mengantarkan Evalia sampai kamar kosnya atau tetap berjaga di ruang gawat darurat untuk mengantisipasi pasien yang datang tiba-tiba. "Tunggu di sini. Aku akan mengantarmu, lagi pula sedang tidak ada pasien darurat sekarang." "Tidak perlu, Dokter. Tugas Anda lebih penting di sini." "Eva ...." Sekali lagi Arvin mena
“Eva, buka pintunya! Apa kamu di dalam?” Arvin terus mengetuk pintu di depannya, berharap Eva muncul dan mengikis prasangka buruknya tentang apa yang terjadi. Namun, harapannya itu tak pernah terjadi. Pintu tak pernah terbuka, bahkan tak ada sepatu Eva yang menandakan gadis itu sudah pulang. "Astaga, apa yang terjadi dengannya?" Untuk ke sekian kali, Arvin menghubungi nomor ponsel dokter muda bimbingannya itu. Sayang, hanya operator ponsel yang terdengar berkali-kali menjawabnya. Tanpa pikir panjang, pria dengan kacamata tebal itu kembali berlari ke arah jalan pintas yang menghubungkan rumah sakit dengan perumahan padat penduduk tempat Eva tinggal. Langkahnya terhenti di di bawah lampu jalan yang rusak dan belum sempat diperbaiki oleh petugas. Dengan gemetar tangannya kembali menekan nomor ponsel Eva. Saat itulah matanya melihat sebuah benda pipih menyala, tergeletak tak jauh dari kakinya. "Ponsel milik Eva!" Arvin berlari ke arah rumah sakit dan segera melaporkan kejadian menghi
"Argh! Kenapa kepalaku sakit sekali?" keluh Hans saat tersadar dari tidur panjangnya. Rasa pening menghantam kepala, seperti ada palu godam yang membebani. Meski begitu, ada kepuasan yang tidak diketahui penyebabnya. "Kamu suka hadiah dariku, Hans?" Suara Felix berhasil membuat Hanson Dirgantara membuka matanya, mengerjap dua kali untuk menyesuaikan cahaya yang memasuki indra penglihatannya. "Hadiah?" Felix terkekeh, duduk di kursi sofa dengan begitu santai dan menyilangkan kakinya. Sebuah senyum licik juga terukir di wajah tampannya. "Untuk apa kau di sini?" Hans menatap sekelilingnya, mengamati dekorasi ruangan yang tampak asing. Namun, saat mencoba mengingat kenapa dia ada di sana, seperti ada kabut tebal yang menghalangi memorinya. "Kamu mabuk semalam," gumam Felix sambil menyerahkan segelas minuman yang terbuat dari jahe. Uap panas masih mengebul di atasnya, menguar sebelum menghilang tiga detik berikutnya. Hans menyesapnya sedikit sambil menggali ingatannya. Dia ada di kela
“Seberapa efektif obat ini untuk mencegah kehamilan?” “Apa maksudmu, Ev? Ini ….” “Tolong jawab sejujurnya, Dok. Saya mohon.” Arvin harus meneguk ludah untuk membasahi kerongkongannya. Melihat kesungguhan gadis di hadapannya, dia harus menarik napas dalam agar tetap tenang dan tidak kehilangan akal sehatnya. Semalam suntuk Arvin ke sana kemari mencari Eva, bahkan tiga kali pulang pergi ke kantor polisi untuk mencari keberadaan Eva. Pagi ini, saat dirinya berada di ambang rasa putus asa, gadis itu tiba-tiba muncul di depan klinik dan menodongnya dengan pertanyaan yang tidak terduga, menanyakan seberapa efektif obat kontrasepsi darurat di tangannya. “Mari kita bicarakan di dalam.” “Waktu saya terbatas, Dok.” “Masuk dan kita bicara di dalam atau tidak sama sekali.” Eva menggigit bibir bawahnya, ragu antara masuk atau memilih pergi saja dari sana. Terlebih, Arvin pria lajang yang tinggal sendirian. Dia takut akan menimbulkan fitnah. “Tunggu apa lagi?” Arvin kembali dan mengonfirma
"Aku akan menikahimu," ucap Hans sedikit berteriak yang membuat Eva menghentikan langkah. Telinganya dengan jelas menangkap ucapan Hans, juga berhasil membuat beberapa orang menoleh ke arah mereka. Eva tak menjawab, menggigit bibir sambil mengepalkan tangan erat-erat di samping badan. Dadanya bergemuruh, semakin muak dengan Hans yang keras kepala dan selalu menghantuinya. "Aku tidak akan melepaskan tanggung jawabku begitu saja. Dengan atau tanpa persetujuanmu, aku akan tetap mendaftarkan pernikahan kita." Hans mencengkeram tangan Eva, bersiap menariknya pergi dari pelataran rumah sakit saat sebuah tangan menahannya. "Lepaskan dia." Hans menoleh dan mendapati seorang pria dengan kacamata tebal tengah menatap ke arahnya. "Telingamu berfungsi dengan baik, bukan? Lepaskan tanganmu sekarang juga! Jangan membuat gaduh di rumah sakit dan jangan mengganggunya." Gemeletuk gigi Hans terdengar saling beradu, merasa terusik dengan kehadiran pria tak dikenal yang berusaha mencampuri urusannya
“Dia yang menyentuhmu semalam?” tanya Arvin saat tinggal berdua dengan Eva di ruang istirahatnya, lantai tiga rumah sakit Mitra Sejahtera. Eva memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam demi menjaga kewarasannya yang tak seberapa. Melihat Hans berkeliaran di sekitarnya saja sudah membuat masalah, terlebih pria itu dengan gamblang mengakui perbuatan biadabnya di depan Arvin. “Ev, aku bisa membantumu mengurus masalah itu. Meskipun—” “Tidak perlu.” “Eva, aku ikut bersalah karena tidak bisa melindungimu. Seandainya semalam aku mengantarmu, hal buruk itu tidak akan terjadi.” “Tidak ada seandainya dalam hidup ini, Dokter. Anda tidak perlu merasa bersalah untuk hal itu. Bahkan, jika Anda tetap bersama saya, mungkin sekarang Anda ikut menerima akibatnya.” Arvin melepas kacamata tebal dan meletakkannya di meja dengan sedikit keras, mulai frustrasi bicara dengan gadis keras kepala yang berwajah dingin di hadapannya. “Apa yang terjadi antara saya dan laki-laki itu, tidak ada hubungannya de