Share

3. Awal Kesalahan Bermula

Eva melemaskan otot lehernya setelah memindahkan begitu banyak berkas seorang diri. Sebagai dokter magang yang baru bergabung di rumah sakit ini, dia harus mau disuruh apa saja. Termasuk membawa catatan fisik pasien ke ruang arsip dan mengaturnya sedemikian rupa.

"Kau lelah?" Hans menghampiri Eva dan mengulurkan soft drink dingin. Sebuah senyum terukir di bibirnya, menampilkan lesung pipi yang cukup manis dan menambah ketampanan pria itu. Dia sengaja mampir ke rumah sakit untuk melihat pujaan hatinya.

"Untukmu," jelasnya saat melihat Eva tak lantas mengambil minuman itu, justru menatapnya dengan pandangan heran.

"Ah, aku kebetulan ada urusan dengan kepala rumah sakit dan tidak sengaja melihatmu. Apa kau masih mengingatku? Kita pertama kali bertemu di kelas bahasa." Hans menunjuk keningnya yang dulu pernah mendapat perawatan Eva.

"Maaf," ucap Eva sebelum berbalik. Dia tidak mengenali pria di hadapannya. Namun, Hans dengan cepat kembali menghadangnya dan menjelaskan detail pertemuan pertama mereka.

"Namaku Hanson, panggil saja Hans," terang Hans di akhir penjelasannya.

Dua detik berlalu sejak Hans mengulurkan tangannya, tapi belum ada tanda-tanda Eva akan menyambutnya. Gadis itu masih bergeming, tak bergerak, pun tak membuka mulutnya. Sedikit banyak dia ingat siapa Hanson Dirgantara, seniornya di kampus yang menjadi idaman semua wanita.

"Eva." Tepat sebelum Hans menarik tangan, gadis itu menyambutnya. "Maaf, aku tidak mudah mengingat wajah orang," ucapnya lirih setelah berhasil menggali ingatan.

Hans tertawa hambar untuk menutupi suasana canggung di antara mereka. Padahal hatinya senang luar biasa karena bisa berhadapan dengan gadis yang membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama.

"Kau ada waktu? Aku ingin mentraktirmu minum kopi," cetus Hans tanpa basa basi. "Anggap saja sebagai rasa terima kasihku."

Eva menggeleng tegas, "Itu tidak perlu. Aku hanya melakukan apa yang harus kulakukan. Lagi pula, itu sudah terlewat beberapa tahun yang lalu."

"Ayolah, tidak baik menolak rezeki."

"Maaf, Hans. Aku sedang bekerja, belum waktunya istirahat." Eva menarik tangannya dari genggaman Hans, sedikit menjauh darinya. Dari semua pria yang pernah ditemui, hanya Hans seorang yang begitu banyak bicara seperti perempuan.

Hans tersenyum melihat kepergian Eva. Tidak disangka, gadis itu benar-benar menjaga jarak dari pria yang tak dikenalnya dengan baik seperti yang Felix katakan kemarin. Namun, hal itu justru membuat Hans semakin semangat untuk mendapatkan perhatiannya.

Bukan Hanson Dirgantara jika menyerah begitu saja dalam sekali usaha. Dia terus mendekati Eva dengan berbagai cara, bahkan sengaja menunggu di depan pintu gerbang rumah sakit seperti sore itu. Dia datang membawa selembar undangan.

“Apa ini?” tanya Eva dengan kening berkerut. Meski merasa tidak nyaman dengan kedatangan Hans yang mengusik ketenangannya, Eva masih berusaha bersikap sopan.

"Datanglah ke rumahku malam ini.”

"Hans, kita tidak sedekat itu untuk—"

"Hanya acara makan malam biasa. Aku juga mengundang teman-teman yang lain. Kau akan menemukan temanmu juga di sana."

Beberapa detik berlalu dalam hening. Eva belum menerima pemberian Hans, tapi juga tidak bisa menolaknya mentah-mentah. Pria itu tidak pernah melakukan sesuatu yang buruk. Hanya mengajaknya berteman.

“Ah, aku harus pergi sekarang. Ingat untuk datang, ya!”

Eva tidak memiliki kesempatan untuk bicara karena Hans sudah lebih dulu pergi sambil melambaikan tangan. Senyumnya begitu tulus, terasa hangat bagi Eva yang selama ini belum mengizinkan hatinya menyimpan sebuah nama. Setelah berpikir dua kali, akhirnya dia memenuhi undangan itu.

Langkahnya melambat saat menyadari betapa mewahnya rumah Hans. Bagaikan langit dan bumi jika dibandingkan dengan panti asuhan tempatnya dibesarkan. Kolam renang dengan air yang tampak berkilauan menyambut kedatangannya. Meja-meja berisi makanan dan minuman disediakan untuk semua tamu yang datang. Dan yang membuatnya semakin tidak nyaman adalah sekumpulan gadis yang berdiri tak jauh darinya.

Semua yang mereka pakai jelas barang mahal dan edisi terbatas, tidak bisa disandingkan dengan pakaiannya yang terlalu sederhana. Hanya dalam hitungan menit, dia menjadi pusat perhatian dan mendapat tatapan mengerikan dari gadis-gadis sosialita yang memegang anggur merah di masing-masing tangan mereka.

“Siapa yang mengizinkan pelayan ikut bergabung di sini?” Seorang gadis dengan mini dress warna merah mendekat ke arah Eva, mengamatinya dari ujung kaki hingga ujung kepala.

Beberapa gadis ikut berkerumun, tertawa sambil mencemooh penampilan gadis yang tidak pernah mereka lihat sebelumnya.

“Maaf, di mana Hans?” Setelah berhasil mengendalikan perasaannya, Eva berani mengangkat wajahnya dan bertanya.

“Hans?” Seketika tawa menggema, merasa lucu karena seorang gadis kumal berani menyebut nama pria yang menjadi incaran mereka.

“Dia yang mengundangku. Biarkan aku bertemu dengannya. Aku tidak ada urusan dengan kalian.” Dengan tatapan tajam, Eva menatap satu per satu gadis yang menghadangnya. Dia ingin segera bertemu Hans untuk berpamitan dari sana. Tempat itu sangat tidak cocok untuknya yang bukan golongan kaum berada.

“Berani sekali kamu berbohong. Hans tidak mungkin bergaul dengan tikus rendahan sepertimu!”

Hanya dalam sekejap mata, minuman di dalam gelas berpindah membasahi wajah Eva, juga mengotori gaun putih di tubuhnya. Dia menjadi bahan tertawaan gadis-gadis sosialita yang sombong dan tinggi hati.

Eva mengepalkan tangannya di samping badan. Dia bisa saja melawan penghinaan itu atau bahkan membalas dengan perlakuan yang sama—menyiramkan minuman ke wajah gadis binal di depannya, tetapi akal sehatnya tidak mengizinkan. Lagi pula, dia sendiri yang sudah mengabaikan firasat buruk di dalam hati kecilnya. Itulah awal kesalahan bermula.

“Aku tidak ingin membuat masalah dengan kalian. Katakan di mana Hans. Aku harus bertemu dengannya!”

“Siapa yang mengizinkanmu menatapku seperti itu, hah?!”

Gadis dengan riasan tebal di wajah itu sudah mengangkat tangannya, bersiap menghadiahkan sebuah tamparan untuk Eva. Tak ada satu pun yang berniat mencegah perselisihan itu terjadi. Eva sudah pasrah, menutup matanya rapat-rapat dan berharap dia bisa pergi dari sana secepatnya.

Di manakah Hans? Masih sempatkah dia menolong Eva?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status