“Jelaskan pada Ibu, bagaimana sekarang perkembangan kerupuk kita,” perintah Kembang.
“Oh itu. Jangan khawatir, Bu. Sore tadi aku sudah lihat di beberapa minimarket. Terlihat rak-raknya sudah mulai kosong, Bu. Saya prediksikan, minggu depan kita bisa memproduksi lebih banyak lagi.”*** Sanad melepaskan kaca matanya, lalu meletakkan buku yang dibacanya ke atas nakas, ketika Hayati baru keluar dari kamar mandi. “Mau ke mana?” tanya Hayati.“Mau bacakan dongeng buat Evan.”“Bukannya sekarang ada Tera?! Jika Evan mau dibacakan dongeng, dia akan minta bacakan pada Tera,” sahut Hayati sambil mengusap rambutnya yang basah. “Aku tak percaya perempuan itu,” tukas Sanad, lalu hilang di balik pintu.Hayati hanya bisa menghela napas. Ia menoleh ke arah ponsel yang menyala. Bibirnya langsung tersungging senyum begitu melihat pemilik pesan itu.***Tera tersentak dengan kemunculan Sanad di kamar. Ia mengelus dadanya yang terasa ingin meledak akibat debarannya.“Ke depannya, kamu harus mengetuk pintu jika mau masuk ke kamar sini!” ketus Tera, sambil memasang kancing piyama Evan.“Ini kamar anakku, kenapa harus mengetuk pintu?!” “Sekarang ada aku di sini. Kamu mau melihatku dengan pakaian seadanya?!”Sanad menatap Tera dari atas sampai bawah. Ia menggeleng kepala dengan wajah mengejek. “Apa bedanya jika aku melihat. Dengan badanmu seperti itu, orang lapar pun nggak minat.”“Kau …!” Ucapan Tera tertahan. Tangannya mengepal. Andai tidak ada Evan, mungkin wajah yang Tera yakini hasil salon itu akan memar. “Setidaknya hargai aku sebagai perempuan!” “Kenapa harus aku? Kalau kamu ingin dihargai, seharusnya kamu jaga diri.” Tera kembali tersentak. Ucapan itu benar-benar mengoyak perasaannya. Geraham menggertak. Ia berdoa, sekali saja menghatam wajah sombong itu. “Ini sekarang juga kamarku. Tempat privasi, tempat di mana aku bisa istirahat meski sebentar. Masa aku harus siaga di tempat privasiku?!”Sanad mengibas tangannya. “Terserahmu!” Ia mendekati Evan yang masih duduk di ranjang. “Bagaimana anak Papa? Baikan?”Evan mengambil kertas lalu menoleh beberapa kata. “Hari ini aku bahagia.” Tiba-tiba Sanad menghentikan bacaanya, mengingat ada Tera di dekat mereka. ‘Mama baik sekali.’ Sesaat ia mendelik ke arah Tera yang masih memasang wajah kesal.Ia membalas dengan tulisan.[Bagaimana bisa dibilang baik? Galak gitu]Evan kembali membalas.[Papa yang jahat.]Sanad mendesis. Evan makin tersenyum ceria. “Sudah waktunya tidur. Papa mau bacakan dongeng,” ucap Sanad sambil mengambil salah satu buku di rak. Tera melongo ketika melihat The Lord of the Rings. Tera merampas itu buku. Ia membuka buku itu, matanya membesar ketika melihat bahasa di dalam buku. “Kau mau membacakan dia ini?”Sanad mengangguk, dengan kening menukik.Tera menggeleng. Ia menoleh ke arah Evan yang menatap mereka. “Gila kamu, San!”“Apa? Kamu memanggilku nama?! Aku bosmu," tegur Sanad.“Bodo amat. Seharusnya kamu membacakan buku untuk seusia dia.”“Kenapa? Tuh dia ngerti. Perlu kamu tahu, meski tidak bisa bicara, secara tertulis dia sudah mengerti bahasa Inggris. Kamu tau apa?”“Setidaknya aku tau berapa usianya. Aku hanya ingin membiarkan tumbuh sesuai usianya,” sahut Tera tak sengit. “Setidaknya aku mendidiknya tidak terlalu banyak berharap padanya. Tidak seperti kamu, mungkin dia baru buka mata di dunia ini, kamu sudah menaruh banyak harapan padanya.”“KAU!!” Susah payah Sanad me-rem emosinya. Wajahnya tinggal beberapa sinte dengan Tera, tetapi gadis itu tidak sedikit pun memundurkan wajahnya, malah menatap nyalang. Sesaat ia menoleh putranya yang masih menatapnya. Ia menarik diri, lalu keluar dari ruangan. Sepeninggalan Sanad, Tera menghempaskan napasnya. Sesaat kemudian ia baru tersadar, masih ada Evan yang tak seharusnya melihat adegan barusan. Ia segera merengkuh tubuh mungil Evan. “Maafkan Mama. Tidak seharusnya kamu melihat tadi.”Evan melepaskan pelukannya. Ia tersenyum, lalu menggelengkan kepala. Tera mengerutkan kening. “Kamu tidak masalah Papa dimarahi?”Evan menggeleng. Ia mengambil kertas dan pulpen, lalu menulis.[seru] Tera tidak percaya dengan yang dibacanya. Evan mengangguk. Ia kembali menulis. [tidak ada yang berani marahin Papa, selain Mama.]Tera ingin tertawa, tetapi ia keburu menahan diri. Ia memencet pipi Evan.“Jahatnya. Tidak boleh begitu! Kamu harus membela Papamu.”Evan terkekeh. Lalu menggeleng. “Kenapa?”Evan hanya menjawab dengan gelengan.“Ish. Mama harus menghukummu.” Ia meletakkan jarinya ke pingging Evan, sehingga bocah itu menggeliat dan tertawa kegelian. *** Hayati terperanjat ketika Sanad masuk ke kamar. Dentuman pintu membahana di kamar mereka. Spontan ia meletakkan ponselnya.“Kenapa?”Sanad tak menjawab. Ia duduk di sisi ranjang lainnya sambil mengatur napasnya.“Tadi katanya mau masuk ke kamar Evan, terus datang marah-marah. Siapa yang bikin kamu begini? Tera?”“Tadi katanya mau masuk ke kamar Evan, terus datang marah-marah. Siapa yang bikin kamu begini? Tera?”“Sudahlah. Malas ngomongin perempuan itu.” Sanad naik ke atas ranjang, lalu memasukkan kakinya ke dalam selimut dan berbaring.Hayati merebahkan kepalanya di bahu Sanad. Laki-laki itu langsung menyambutnya tanpa suara. Hayati ikut terdiam. Sanad memang selalu menyambut sikapnya, tetapi ia tahu hanyalah sentuhan kosong. Hati laki-laki itu tidak pernah untuknya.*** Sambil membelai rambut Hayati, Sanad memejamkan mata. Namun, pikirannya masih tertinggal di kamar Evan. Mata nyalang, tetapi berair masih melekat di benaknya. Ia memang sengaja mengucapkan hal itu untuk melihat reaksi Tera. Namun, mengapa reaksi itu di luar dugaannya.'Kenapa harus marah? Bukankah ia pernah melakukan itu?'*** “Mama tidak mengerti, ke
Hari Minggu pagi, Evan bermain lempar bola dengan Tera. Evan sudah mandi dan mengenakan baju santainya. Tiba-tiba pandangan Evan tertuju pada Pak Agus, seorang pekerja khusus merawat halaman dan tanaman.“Evan?” Tera menatap Evan heran yang tidak lagi melempar bola di tangannya. Ia mengikuti tatapan Evan. Terlihat Pak Agus sedang mengaduk tanah. Tak jauh dari situ ada beberapa buah pot tanaman.“Evan mau mencoba itu?” pancing Tera.Evan menoleh ke belakang, lalu mengangguk. Tera tersenyum lebar. Dari gelagat, Tera tahu kalau bocah itu tidak diizinkan main kotor. Namun, ia memilih pura-pura tidak tahu. “Ayo!” Tera mengulurkan tangan, Evan menyambutnya, lalu ia membawa ke tempat Pak Agus yang lagi asik memasukkan tanah ke adalam pot. Tak jauh dari situ sebatang mawar yang sudah tinggi tergeletak di tanah.“Tanahnya mau diganti, Pak?”“Iya, Dik. Sudah lama, diganti lagi d
Ia masuk ke rumah, lalu ke dapur. Di sana Asih sedang sibuk merapikan sayuran di sebuah kulkas khusus sayur. Ini salah satu yang tidak bisa dimengerti Tera, mengapa mereka memiliki banyak kulkas. Ia paham, supaya tidak tercampur baunya. Namun, bukankah Asih hampir selang hari ke pasar? Mereka cukup membeli sekadarnya, hingga bau tidak sampai saling bertukar. Untuk apa stok banyak kalau sering ke pasar? “Sudahlah! Bodo amat!” Tera membatin. “Sih, Ibu sudah datang?” tanya Tera. “Belum,” jawab Asih. Ia mengambil beberapa biji tomat lalu memasukkan ke sebuah toples persegi yang Tera prediksikan untuk besok pagi.“Kamu sudah lama bekerja di sini?” tanyanya sambil duduk di kursi. “Baru dua tahun.” Asih duduk di kursi yang satunya. Mengelilingi meja yang biasa mereka gunakan untuk mempersiapkan bahan makanan.“Kamu tahu bagaimana perlakuan Tuan ke Evan?”
Hanya perlu beberapa detik, panggilan Hayati langsung terjawab. Seakan yang dipanggil sedang menunggunya."Dia ke mana?" tanya di seberang setelah mendengar desah napasnya. "Ke rumah sakit, bawa anaknya.""Oh.""Oh?" protes Hayati. Laki-laki di seberang tertawa. "Terus?""Iya, apa kek," rajuk Hayati. Laki-laki di seberang kembali tertawa. "Kamu tau, aku selalu menunggu ceritamu, meski kamu tidak mau mendengarkan saranku.""Kamu tau, aku sangat mencintainya. Aku lebih dulu mengenal Sanad dari Kaayat. Meski hanya mendapatkan jasadnya, inilah kesempatanku."Terdengar helaan panjang dari seberang sana. "Terserah lah." "Maaf. Aku serakah, Gilang. Dulu aku pikir dengan mendapatkan jasadnya, aku cukup bahagia. Ternyata tidak, aku menginginkan lebih. Aku menginginkan hatinya.""Dan sampai sekarang kau belum mendapatkannya," tukas Gilang."Aku akan mendapatkannya." "Selalu begitu. Kamu selalu mengeluh, tapi pada akhirnya tetap dengan pendirianmu." "Menurutmu bagaimana lagi, supaya aku me
Meski Evan terlihat tenang, Tera tidak bisa membuang kekhawatirannya. Sesekali ia melirik laki-laki itu yang sudah duduk di kursi pengemudi.***“Ya?” Sanad setelah menyentuh ikon panggilan berwarna hijau, tanpa mengalihkan perhatiannya dari dokumen. “Tuan benar!” Seketika Sanad tersentak. “Mereka sekarang di mana?”“Mereka bersama saya,” jawab Keane.“Bawa mereka ke sini!” perintah Sanad. “Baik, Tuan!”*** “Tuan menyuruh saya membawa kalian ke kantornya,” ucap Keane setelah mematikan panggilannya. Sesaat Tera dan Evan saling bersitatap. Tera menatap cemas, tetapi Evan tersenyum lebar. “Yakin dia anak buah Papamu?” Tera tidak bisa membuang kecemasannya. Sekali lagi Evan mengangguk. Tera memeluk badan mungil Evan. “Ya sudah! Sepertinya kamu sangat menyukainya? Kenapa?”
“Nanti aku beritahu,” sahutnya Sanad tanpa menoleh. “Keane, kita harus pergi ke suatu tempat. Evan, sini!”***Tera terperangah, ketika mereka memasuki sebuah gedung bertuliskan Spa Health. 'Entah berapa tahun lagi aku harus beradaptasi dengan keluarga ini? Benarkan kataku, ketampanannya karena salon.'Tanpa sadar, Tera cekikikan sendirian, tetapi seketika berhenti ketika mendapatkan tatapan tajam dari Sanad. Ia mendehem. "Kamu ingin spa di sini?" Keane membelalak. “Kamu?”"Kenapa membawa kami? Coba kalau kami dibiarkan pulang, bisa istirahat. Ya 'kan, Van?" celoteh Tera, lalu beralih ke Evan meminta pembelaan. Evan hanya tersenyum. Ia menatap Tera dan ayahnya silih berganti "Kamu yang akan di-spa," jawab Sanad dengan wajah serius."APA?!" pekik Tera. "Yang benar saja. Ngapain aku ke sini?! Orang kaya bukan, istri orang kaya apalagi. Sudahl
"Permak?""Oh." Seketika Sanad tergagap. Tanpa sadar ia telah mengucapkan sesuatu. “Mengapa?” lirih Hayati sendu. Sanad menoleh. “Mengapa kamu masih saja tertutup padaku?”Sanad membuka mulutnya, tetapi keburu tertutup akibat ponsel di dalam saku jasanya bergetar. “Ya …. Paksa, kalau perlu seret.”Hayati mengerutkan keningnya, melihat geraham suaminya yang mengeras.*** “Namamu siapa tadi? Keane?” Dari penampilan, Tera tahu Keane lebih tua darinya. Sikap Keane dari awal yang terus memaksanya, membuatnya hilang rasa segan.“Gini, Keane! Untuk apa ke sini? Aku hanya seorang pembantu. Mau dipoles pakai porselen juga tetap pembantu. Tetap saja tempat ngumpulnya sama pembantu, makannya di emper atau pojokan. Rekreasinya paling mentok ke kebun. Ngapain coba habisin banyak uang? Mendingan kita sedekahkan uangnya?”Keane menghem
[Jika ada waktu pulanglah! Ada hal penting yang harus kamu ketahui.]Spontan Rudi menoleh ketika ibunya muncul di balik pintu.“Rud, bagaimana kalau kita juga bikin kerupuk Teratai?” *** Tera menghempaskan bokongnya ke ujung ranjang Evan. Mengapa ia tidak bisa bebas dari mimpi buruk laki-laki. Dulu Arbain, sekarang Sanad. Ia mengerang frustasi.Tiba-tiba tatapannya tertuju pada sebuah cermin besar yang menempel di dinding. Ia mendekati cermin itu, lalu mematut diri. Benarkah dirinya seperti Putri Marino? Ia tersenyum mengejek. Namun, ia mengakui dirinya memang banyak berubah. Ah, mungkin telah berubah seratus persen. Kulitnya sudah pasti bukan kulit gosong lagi. Rambut pendeknya menjadi panjang, lalu dikasih warna brown black. Penampilannya jadi feminim, karena sebelumnya terbiasa memakai celana, bahkan sering mengenakan celana tiga perempat. Ia bertanya-tanya seandainya dulu sepert