Kania berjalan dengan langkah gontai setelah keluar dari rumah Sean Sagara. Setelah diusir dari rumah Sean, ia tidak tahu lagi harus kemana ia melangkahkan kakinya.
Kania mengusap air matanya berkali-kali merasakan kepahitan yang baru saja menimpanya. Ia harus bagaimana setelah ini?Kania mengusap perutnya. Ia lapar dan haus. Padahal ia sengaja mengosongkan perutnya untuk menunggu Sean datang. Ia jadi menyesal karena tidak mengganjal perutnya terlebih dulu."Kamu pasti lapar ya Nak," gumam Kania sedih.Air matanya kembali mengalir membasahi pipinya yang putih. Namun, Kania menggelengkan kepalanya dengan cepat lalu menghapus air mata itu. Tidak ada gunanya ia kembali menangis, ia harus mencari cara untuk mendapatkan makanan untuk dirinya dan juga anak yang tengah dikandungnya.Kania segera mengambil ponselnya lalu menempelkan benda mungil itu ke arah telinga. Tidak ada pilihan lain, untuk sementara ia hanya bisa meminta bantuan kepada keluarganya. Satu-satunya keluarga yang ia punya setelah kedua orang tuanya meninggal, saudara laki-lakinya.****"Yang benar saja Mas! Dia akan tinggal di sini? Keluarga kita sudah serba kekurangan, bagaimana bisa kamu berpikir untuk menambah beban keluarga ini?""Tapi Zea, dia adikku. Adikku satu-satunya. Dia sedang ditimpa kemalangan, bagaimana mungkin aku tidak menolongnya?""Dia itu pernah jadi istri orang kaya, seharusnya dia memiliki simpanan. Kenapa harus minta tolong kepada kita yang jelas-jelas tengah susah?"Kania hanya bisa terpaku mendengar perdebatan antara Arshad, Kakaknya dan juga Zealine, istrinya. Dugaannya ternyata benar, Zealine sama sekali tidak menyukai kehadirannya di sini untuk meminta bantuan. Tidak hanya sekali, Zealine memang sering kali menunjukkan ketidaksukaannya pada Kania semenjak menikah. Entah karena iri atau apa, Kania sendiri tidak tahu.Kania menghela nafasnya dengan berat. Sepertinya tinggal di sini bukanlah pilihan yang bagus mengingat kakak iparnya sama sekali tidak menyukainya.Kania mengangkat tasnya lalu beranjak. Ia harus mencari cara lain daripada membuat pernikahan kakaknya menjadi berantakan."Loh Dek, mau kemana?" ujar Arshad heran saat melihat Kania melangkah pergi ke arah pintu."Aku akan cari tempat tinggal lain, Kak,"Kania segera berjalan kembali meski Arshad terus memanggilnya sementara Zealine terlihat membuang wajah."Dek, tunggu. Tunggu sebentar,"Langkah Kania terhenti saat Arshad berhasil menyusulnya. Arshad menarik tangan Kania lalu memberikan beberapa lembar uang kertas ke arah tangannya."Apa ini Kak?" ujar Kania merasa enggan menerima uang dari Arshad."Kamu pegang saja uang ini,""Tapi Kak, nanti Kak Zealine marah. Lagipula Kak Arshad dan Kak Zealine pasti membutuhkannya.""Tidak apa-apa. Ini sisa uang dari lemburan Kakak, kamu pegang saja.""Apa tidak apa-apa?" ujar Kania masih merasa enggan menerima uang itu."Tidak apa-apa."Arshad mengacak rambut Kania dengan sayang. Sebenarnya Arshad merasa iba dengan kehidupan Kania, namun bagaimana lagi? Ia tidak bisa berbuat apa-apa. Kehidupannya bisa dibilang serba kekurangan, wajar jika Zealine tidak setuju mereka menampung Kania."Biar Kakak antar kamu, tunggu sebentar disini. Jangan kemana-mana."Kania hanya mengangguk kecil mendengar ucapan Arshad. Namun, saat Arshad menghilang dari hadapannya, ia segera mengambil langkah. Tidak, ia tidak mau merepotkan lagi kakaknya. Tatapan sinis Zealine tadi sudah membuatnya kikuk. Lebih baik ia pergi daripada membuat Arshad semakin terbebani. Dengan langkah yakin, ia berjalan meninggalkan rumah Arshad. Ia akan berusaha sendiri tanpa merepotkan orang lain lagi.****"Terimakasih Bu,""Kalau ada apa-apa, kabari ibu saja, Neng."Kania tersenyum dengan ramah mendengar ucapan pemilik rumah kontrakannya, Ibu Lia. Ia merasa sangat bersyukur karena uang pemberian dari Arshad bisa ia pakai untuk mengontrak sebuah rumah sepetak untuknya. Meski kecil dan terkesan kumuh, tapi sepertinya masih layak.Kania segera bergerak. Ia mulai merapihkan tempat itu dan membersihkannya dengan cepat.Peluh-peluh mulai bercucuran, tubuh Kania terasa sangat lemas. Ah benar, ia belum memakan apapun sejak tadi. Sebaiknya ia mulai mencari makanan terlebih dulu.Kania memilih berjalan ke arah pasar yang menurut pemilik kontrakannya tidak jauh dari sini. Dengan semangat, Kania mulai berjalan ke arah tempat yang dituju. Ternyata memang benar, pasar itu tidak jauh dari tempat tinggalnya.Setelah membeli beberapa bahan sayuran dan juga makanan jadi untuknya, Kania berjalan kembali pulang. Namun, langkahnya terhenti saat melihat satu mesin jahit yang dipajang di depan toko kain bertuliskan dijual di sana. Secara tiba-tiba Kania memiliki ide, bagaimana jika dia menjual jasa menjahit di tempat ini?"Berapa harganya, Bu?" Tawar Kania."Satu juta Neng,"Kania tertegun mendengar nominal mesin jahit itu. Satu juta? Darimana ia bisa mendapatkan uang sebanyak itu sekarang? Sudut matanya tiba-tiba terhenti pada cincin yang melingkar di jari manisnya. Apa sebaiknya ia menjual cincin ini saja?"Bagaimana Neng? Mau?"Mendengar desakan itu, Kania tidak berpikir panjang kembali. Ia segera melepaskan cincin emas itu dari tangannya lalu berkata dengan nada yakin, "Jadi Bu, sebentar nanti saya kemari lagi."Kania berjalan menuju toko emas terdekat. Pernikahannya dengan Sean sudah berakhir dan pria itu sudah membencinya, jadi untuk apa lagi ia mempertahankan cincin pernikahan yang sudah tidak ada artinya lagi? Hatinya masih teramat nyeri. Ia akan menjual cincin ini untuk menghidupi anaknya.****"Mana Sean? Mana pria pengecut itu?"Langkah Sean terhenti saat mendengar keributan di hadapannya saat ia tiba di kantor. Ia menghela nafasnya dengan lelah saat melihat sosok Arshad di sana tengah mengamuk sambil memanggil-manggil dirinya."Ada apa ini?" Tanya Sean tidak terima. Seluruh pegawainya terlihat berkumpul dan menonton keributan yang dibuat oleh Arshad. Ia tahu ini pasti berkaitan dengan Kania."Pengecut kamu!"Arshad bergerak, merangsek maju ke arah Sean lalu menarik kerah bajunya."Bagaimana bisa kau malah mengusir istrimu sendiri, hah? Dia sedang hamil, lelaki macam apa kau ini?" Teriak Arshad dengan geram.Sean segera menepis tangan yang mencengkram lehernya dengan kasar."Kania yang berselingkuh dariku, kenapa aku harus memaklumi perbuatan hinanya itu?""KANIA TIDAK MUNGKIN BERSELINGKUH! Dia wanita terhormat yang sangat menghormati dirimu!" Arshad kembali berteriak, kali ini teriakannya sangat kuat hingga membuat semua orang semakin berkumpul.Sean melirik tidak senang saat keributan di sana semakin membesar. Apa Arshad sudah tidak waras? Kenapa malah membuat keributan yang membuat dirinya merasa malu?"Aku tidak punya waktu untuk ini, Arshad. Semua bukti sudah aku pegang dan memang benar Kania berselingkuh. Maafkan aku, jika kau hanya ingin membuat keributan, sebaiknya kau pergi dari sini.""Aku tidak akan pergi dari sini, semua pegawaimu harus tahu bagaimana dirimu sebenarnya."Mendengar kekeraskepalaan dari Arshad, Sean segera memberi isyarat kepada pihak keamanan. Ia harus mengusir Arshad dari sini secepatnya, "Usir dia dari sini." Perintah Sean."Kau mengusirku? Keterlaluan!"Sean memilh bergeming lalu melangkahkan kakinya. Melihat Sean yang mulai beranjak, Arshad kembali berteriak, "Kau akan menyesal karena sudah mengusir Kania, Sean! Anak yang dikandungnya adalah anakmu. Kau pasti akan menyesalinya!"Langkah Sean terhenti mendengar teriakan itu. Sejenak ia mulai terhasut dengan perkataan Arshad. Hatinya yang mulai terpaut pada Kania membuat Sean merasa ragu. Apa benar ia akan menyesalinya? Apa Kania tidak pernah berselingkuh?Namun Sean kembali menggeleng kuat. Pengkhianatan tetaplah pengkhianatan. Meski hatinya bersikeras bahwa Kania tidak mungkin melakukan itu, tapi semua bukti yang ibunya bawa telah mematahkan segalanya. Kania memang berselingkuh dan ia tidak akan pernah memaafkan pengkhianatan itu."Bu Devina nanti inginnya desain seperti ini. Detailnya memang tidak terlalu banyak, tapi cukup rumit. Hati-hati saat kalian menjahitnya. Ini untuk seragam geng arisannya, jangan sampai ada kesalahan karena Bu Devina sangat teliti. Kalian paham kan?""Baik Bu,"Kania berjalan berkeliling mengawasi tiga karyawannya yang tengah menjahit pesanan yang ia sudah jelaskan. Sesekali ia akan menegur lalu memberitahu mereka jika ada sesuatu yang salah di jahitannya. Sudah tujuh tahun semenjak ia menjalani bisnis ini dan sekarang bisnisnya sudah cukup berkembang. Dari seorang penjahit kecil-kecilan kini Kania sudah memiliki tiga orang karyawan yang membantunya dalam menyelesaikan pesanan para pelanggannya. Dari satu pelanggan tetap kini pelanggannya bertambah hingga puluhan orang. Banyak yang menyukai hasil jahitannya karena dinilai rapi dan selesai dengan cepat.Kania berjalan ke arah meja kerjanya setelah dirasa para karyawannya telah mengerti apa yang ia maksudkan. Para karyawan hanya bertuga
Kania tidak mampu berkata-kata saat melihat Sean di hadapannya. Tenggorokannya mengering seketika dan tubuhnya terasa lemas. Setelah bertahun-tahun berlalu ia tidak menyangka akan bertemu dengan Sean kembali. Seperti dirinya, Sean juga sepertinya ikut terkejut. Ya, pertemuan ini memang bukan pertemuan yang menyenangkan bagi keduanya."Bu Kania, ayo beri salam."Kania seketika tergeragap mendengar ucapan Bu Astuti untuk ke sekian kalinya. Ia segera bangkit berdiri lalu mengulurkan tangannya kepada dua sejoli di depannya. Wanita yang bernama Sheline ini seakan tidak asing di telinga, namun Kania tidak yakin pernah melihat paras Sheline selama ini. Ia tidak menyangka Sean akan bersanding dengan wanita secantik ini setelah bercerai dengannya."Saya sering mendengar nama Anda, senang bertemu dengan Anda, Kania. Apa boleh saya memanggil Anda dengan nama saja? Sepertinya kita seumuran."Kania mengulas senyuman canggungnya mendengar perkataan Sheline, "Ya, panggil nama saja.""Ini tunangan sa
Kania segera bergegas ke ruang guru. Ia menghela nafasnya panjang saat melihat sosok Devan yang tertunduk bersama dengan Bi Minah. Di sampingnya terlihat seorang ibu paruh baya dan seorang anak yang memandang Devan tidak senang."Anda ibu dari anak yang bernama Devan itu, bukan? Akhirnya Anda datang juga. Lihat apa yang dilakukan putera Anda kepada putera saya."Wanita paruh baya itu seketika berdiri sambil menunjuk ke arah luka anak yang berada di sampingnya. Kania tersentak melihat luka yang ia lihat sekarang, ada luka robek yang terlihat di sudut pipi bocah lelaki itu. Kenapa Devan sampai melukai temannya seperti ini?Devan terlihat hanya menunduk tanpa sedikitpun menatap ke arah Kania. Devan selalu bertindak seperti itu jika merasa dirinya bersalah.Kania menghela nafasnya panjang, ia menundukkan kepalanya sebagai permintaan maaf atas perlakuan puteranya."Saya minta maaf atas apa yang dilakukan oleh putera saya. Pasti ada alasan kenapa Devan bertindak seperti ini. Saya akan berbi
Devan akhirnya membuka pintu, Kania menghela nafasnya dengan lega. Ia menarik tangan Devan lalu membawanya ke ruang keluarga. Kania mengulurkan potret Sean yang sudah ia bawa lalu berkata, "Ini Papa,"Devan menelusuri potret itu dengan alisnya yang terangkat, "Tapi kenapa fotonya begini, Ma?" Tanya Devan bingung.Kania segera mengambil foto dari Devan, "Mama takut merindukannya jika fotonya terlalu jelas. Sudahlah, kamu sudah melihatnya, bukan? Sekarang kita makan." Kilah Kania dengan cepat.Namun, bukannya beranjak dari duduknya, Devan kembali menarik tangan Kania, "Papa itu orang seperti apa, Ma?"Kania tertegun. Ia menatap manik mata Devan. Manik mata itu terlihat berbinar, sepertinya Devan sangat ingin tahu tentang ayahnya. Kania menghela nafasnya, apa yang harus kita ia katakan? Tidak mungkin ia mengatakan pada Devan bahwa ayahnya mengusir mereka."Papa orang yang baik, ya sangat baik, dia sangat perhatian. Dia selalu membuat Mama merasa sangat dicintai. Meski sedang sibuk, Papa
"Kita akan mengikuti kontes ini."Dewi, Isa, dan juga Lana terlihat berpandangan mendengar ucapan Kania. Raut wajah mereka terlihat bingung melihat pamflet yang ditunjukkan oleh Kania ke hadapan mereka. Dewi yang lebih berani dan banyak bicara dari ketiga pegawainya terlihat mengangkat tangan, "Kita ikut lomba, Bu? Tapi bukankah selama ini kita tidak pernah ikut lomba? Apa Ibu yakin kita bisa ikut lomba ini tanpa mengganggu pesanan yang lain?" Tanya Dewi merasa sangsi.Kania menghela nafasnya dengan kasar. Ya selama mereka bekerja pada Kania, tidak pernah sekalipun ada kabar berita butiknya akan mengikuti kegiatan lomba atau kontes apapun. Ditambah lagi pekerjaan mereka yang saat ini sedang menumpuk, mungkin mereka menganggap Kania sudah gila karena mengambil keputusan ini. Kania sepertinya memang sudah gila. Ia merasa otaknya sebentar lagi akan meledak karena sering bertemu dengan Sean."Justru karena kita belum pernah mencobanya. Kita usahakan untuk tidak mengganggu pesanan yang lai
"Ada apa Ma?" Tanya Sheline saat melihat wajah Catherine menegang di sampingnya.Catherine segera menggelengkan kepalanya dengan cepat, "Ah tidak, Mama hanya ingin tahu bagaimana rupa orang yang mendesain gaunmu.""Ah begitu."Catherine mengangguk dengan cepat, ia kembali ke arah kursinya, "Sudahlah, sebaiknya kita kembali makan. Setelah ini kita ke tempat lain,"Sheline balas mengangguk, "Baik Ma,"****Sepulangnya Catherine dari berbelanja, Catherine terlihat gelisah. Ia bergerak kesana kemari di rumahnya. Ia tidak menyangka Kania akan kembali bertemu dengan Sean. Padahal sudah tujuh tahun mereka tidak pernah bertemu kembali, tapi kenapa wanita rendahan itu harus muncul disaat yang penting? Ia tidak bisa membiarkan hal ini, bagaimana jika Sean kembali goyah karena kehadiran wanita itu? Ia sudah merasa senang karena Sean akan menikah dengan Sheline, wanita yang sederajat dengan mereka. Ia tidak akan membiarkan Sean kembali pada wanita itu.Catherine segera mengambil ponsel yang berad
"Aku memang masih hidup, kenapa? Apa kau kecewa?""Tidak, saya malah merasa bersyukur Anda masih hidup, jadi Anda bisa melihat bagaimana kerja keras saya setelah pengusiran yang Anda dan putera Anda lakukan."Catherine terlihat bertepuk tangan, "Wah wah wah hanya sampai di tahap ini, kau sudah besar kepala Kania. Kau masih bukan apa-apa, di mataku kau hanya seorang wanita kampungan."Amarah Kania seketika menggelegak, kepalan tangannya semakin menguat di samping tubuhnya. Tidak, ia tidak boleh terpancing emosi dengan hinaan kecil ini."Jika Anda kemari hanya untuk menghina saya, silahkan keluar."Dengan penuh amarah, Catherine mendekat ke arah Kania, ia menjambak rambut Kania dengan kasar, "Tundukkan pandanganmu di depanku, wanita rendahan. Aku tidak suka cara melihatmu itu."Kania meringis menerima jambakan yang dilakukan oleh Catherine, namun dengan cepat Kania menarik tangan Catherine lalu memelintir tangan mantan mertuanya. Memangnya ia pikir, Kania akan diam saja setelah dianiaya
Sean yang masih belum beranjak dari samping Kania tersenyum puas. Rencananya untuk mempermalukan Kania rupanya tidak main-main. Benar, dialah yang membuat model yang Kania sewa mengundurkan diri tepat sebelum acara dimulai. Biar saja Kania kebingungan saat ini karena rencananya berantakan. Ia tidak terima melihat Kania baik-baik saja setelah mengkhianati seluruh cintanya. Merasa yakin bahwa tidak akan ada jalan keluar bagi mereka, Sean mulai melangkahkan kakinya. Setelah ini Kania pasti merasa malu karena hasil karyanya tidak bisa ditampilkan. Ah, Sean jadi tidak sabar, bagaimana wajah Kania saat mengaku kalah padanya?Sekeras apapun Kania memutar otaknya, ia tidak dapat mendapat jawaban. Waktu berjalan begitu cepat selagi ia memikirkan solusinya. Sial, apa yang harus ia lakukan? Tidak mungkin ia mengundurkan diri setelah sampai di tahap ini."Saya sendiri yang akan menjadi modelnya." Jawab Kania dengan cepat.Mata Dewi melebar mendengar ucapan Kania, "Ibu mau jadi modelnya sendiri?"