✔ RATE️✔ Coment️✔️Share✔️ Happy Reading
Chapter 11
No Plan for Lover
Sidney mengira kencannya dengan Alva berakhir dengan cepat setelah Alva mendapatkan pelepasannya yang pertama. Tetapi, ia salah karena Alva ternyata menyatukan kembali tubuh mereka. Diam-diam Sidney menghela napas lega sembari berusaha membiasakan diri terhadap Alva yang memenuhinya, sesak dan masih terasa nyeri meski dibandingkan rasa sakit saat pertama Alva memasukinya kali ini ada rasa lain yang lebih menyiksanya. Perasaan menuntut di dalam tubuhnya yang berdenyut-denyut hebat.
Ia mencoba mengimbangi gerakan pinggul Alva, mencoba menyelaraskan setiap benturan tubuh mereka. Sorot mata Sidney mendamba menatap Alva yang bergerak di atasnya dengan lembut.
Erangan Sidney dan geraman Alva berbaur di udara, tidak ada lagi bayangan Gabe yang menyusulnya ke Dubai, tidak ada lagi bayangan Gerald yang akan menjadi suaminya, dan rasa sakit di dalam tubuhnya yang kini berganti menjadi kenikmatan yang baru pertama kali ia rasakan.
Sidney menggeliat hebat, melengkungkan punggungnya, dan melingkarkan lengannya ke tubuh Alva. Ia merapatkan tubuhnya seraya mengaitkan kedua kakinya di pinggang Alva dan berulang kali merintih.
Alva tersenyum penuh kemenangan, ia mendekap tubuh Sidney dengan erat seraya menambahkan tempo gerakannya. Menghunjamkan dirinya lebih dalam hingga Sydney menjerit panjang memanggilnya dengan tubuh bergetar hebat dalam pelukannya.
Ia berhenti, memberikan Sidney waktu untuk mengatur napas. "Kau sangat seksi saat memanggil namaku," ucapnya kemudian bibirnya menghadiahkan beberapa kecupan lembut di pundak Sidney.
Alva membawa Sidney turun dari tempat tidur tanpa melepaskan penyatuan mereka, ia melangkah mendekati jendela kaca tanpa tirai penutup dan memindahkan kedua lengannya di bawa lipatan kaki Sidney lalu mulai mengentakkan pinggulnya. Membuat Sidney kembali merintih dan sesekali menjerit memanggil namanya sembari berpegang erat di pundaknya.
Menghabiskan malam bersama pemain sepak bola sama sekali tidak pernah ada di dalam agenda hidup Sidney. Entah karena ia hanya terbiasa bersama Gabe atau karena Gerald, yang pasti apa yang terjadi antara dirinya dan Alva tidak pernah ada terlintas di benaknya sedikit pun.
Ia tidak pernah mengidolakan pemain sepak bola tetapi tidak juga antipati terhadap mereka, ia cukup sering menonton pertandingan sepak bola di televisi bahkan menonton secara langsung di stadion karena Gabe melakukannya. Dan meskipun banyak pemain sepak bola dengan ketampanan luar biasa dan prestasi yang gemilang, ia belum pernah menonton permainan mereka sambil berteriak memanggil nama mereka. Tetapi, malam ini untuk pertama kalinya ia memanggil nama pemain sepak bola dan itu ia lakukan di atas tempat tidur di bawah tubuh Alva.
Sekarang Sidney mengerti mengapa ribuan bahkan jutaan wanita mengidolakan pemain sepak bola. Alva membuktikan mereka layak diidamkan oleh wanita di atas tempat tidur dan Sidney yakin jika Alva belum menggunakan sepenuhnya staminanya malam ini, ia telah merasakan pelepasan berulang kali dan Alva masih belum kelelahan, pria itu masih membara dan memimpin permainan.
Pukul tiga pagi, permainan ke tiga mereka usai, Sidney merasakan jika tubuhnya benar-benar tidak mampu lagi diajak berkompromi. Ia merasakan lemas dan mengantuk. Tetapi, bayangan Gabe yang bisa saja muncul di depan pintu kamarnya besok pagi membuat Sidney berusaha mengumpulkan tenaga untuk beranjak dari tempat tidur meski faktanya ia tidak bergerak meski satu inci.
Ia menggeliat pelan saat merasakan bibir Alva kembali menjelajahi kulit punggungnya dan erangan halus terlepas dari tenggorokannya saat Alva meremas bokongnya. Sidney memejamkan mata dan menggigit bibirnya saat tubuhnya yang tidak bertenaga mendambakan Alva kembali, denyutan di pangkal pahanya terasa semakin menjengkelkan saat ujung jemari Alva membelai bagian luar kulit pribadinya.
"Sidney," panggil Alva seraya satu kakinya mengunci kaki Sidney.
Sidney hanya bergumam pelan menyahut panggilan Alva.
"Ayo, berkencan."
Sidney membeku. Tetapi, ia segera menyudahinya. "Bukankah kita sedang berkencan?"
Alva menjeda, ia tidak langsung menjawab untuk beberapa detik. "Kita lanjutkan kencan kita, bukan kencan satu malam."
"Untuk seks?" tanya Sidney sedikit sinis.
Jika untuk seks, Alva bisa mendapatkan secara gratis setiap hari. Tetapi, ia tidak begitu. Ia menginginkan Sidney sejak pertama kali ia melihat wanita itu dan setelah apa yang mereka lalui malam ini, keinginannya memiliki Sidney sangat besar.
"Jika kau ingin seperti itu," sahut Alva karena ia tidak ingin mengeluarkan ucapan yang terkesan omong kosong. Sidney akan menganggapnya sebagai bualan jika ia mengatakan ingin memiliki wanita itu.
"Aku tidak tertarik."
Ucapan Sidney singkat dan padat, tetapi benar-benar menggoreskan luka di benak Alva. Sidney terus menolaknya, entahlah. Ia tidak bisa memahami Sidney, bahkan jika ia menawarkan pertemanan sekali lagi, sepertinya itu hanya akan berakhir sia-sia. Bukan hanya harga dirinya yang terluka karena penolakan Sidney yang berulang-ulang, sekarang perasaannya juga terluka.
"Jadi, apa yang kau inginkan? Kau ingin kita berkencan karena saling jatuh cinta?" Dan faktanya, ia memang sepertinya jatuh cinta pada pandangan pertama pada Sidney, ia bahkan tidak bisa berhenti memikirkan Sidney dan sekarang ia sedang dilanda keresahan karena enggan malam berlalu. Mereka akan berpisah untuk kembali ke negara masing-masing.
"Aku juga tidak berencana jatuh cinta."
Dan bagaimana caranya jatuh cinta? Ia tidak berani memulainya karena jika ia memulai maka akan ada pernikahan yang siap memisahkan. Ia harus menikahi Gerald meski rencananya hanya untuk satu tahun. Tetapi, saat pernikahan palsu itu berlangsung ia tidak ingin menjadi istri jahat yang memelihara pria idaman lain di hidupnya karena ia tidak ingin mengambil risiko.
Mungkin jika harus menjalin asmara, ia harus menunggu hingga perceraiannya dan Gerald telah terealisasi. Betapa lucunya ia merencanakan perceraian padahal pernikahan pun belum terjadi.
"Apa kau pernah patah hati hingga mengalami trauma?"
Bagaimana patah hati? Jatuh cinta saja belum pernah, kecuali pada Gabe. Tetapi, sekarang Sidney ragu, perasannya pada Gabe mungkin bukan cinta tetapi hanya karena terlalu terbiasa dengan kehadirannya.
"Aku tidak tertarik untuk membicarakan hidupku dan kurasa kita telah cukup." Sidney berniat menjauhi Alva tetapi secara mengejutkan Alva justru memasukkan satu jari ke dalam tubuh Sidney, menggodanya dengan cara yang tidak mampu ia tolak dan beberapa menit kemudian ia membiarkan Alva memasukinya dari arah belakang.
***
Pukul tujuh pagi, untuk pertama kali dalam hidupnya Sidney benar-benar enggan untuk bertemu Gabriel. Tetapi, suara bel pintu kamarnya yang ditekankan oleh Gabe membuatnya mau tidak mau membuka matanya.
Tubuhnya terasa lunglai, tetapi demi melindungi dirinya dari kemarahan Gabe, ia meraih ponsel dan turun dari tempat tidur sambil mengusap layar ponselnya lalu menekan nomor Gabe.
"Gabe, apa kau di luar?"
"Ya, ini aku."
"Tunggu aku di restoran, aku baru saja selesai mandi," ucapnya berbohong seraya mendorong pintu kamar mandi.
Bersambung....
Jangan lupa tinggalkan jejak komentar dan RATE.
Terima kasih dan salam manis dari Cherry yang manis.
🍒❤️
✔ RATE ️✔ Coment ️✔️ Share ✔️ Happy Reading Chapter 12 Breakfast Untuk pertama kali sejak ia memutuskan tinggal di London, Sidney belum pernah merasakan marah kepada Gabriel hingga ingin mencekik sepupunya yang untuk pertama kali pula tidak mendengarkannya. Biasanya Gabe selalu mendengarkan apa pun yang Sidney ucapkan, bahkan jika Gabe berniat mengencani wanita dan Sidney tidak menyukai wanita itu, Gabe akan menjauhi wanita itu. Namun, kali ini Sidney hanya meminta Gabe untuk menunggunya di restoran dan Gabe tidak bersedia. Gabe memaksa Sidney agar membukakan pintu kamarnya dan seperti halnya Gebe yang bersikukuh dengan keinginannya, Sidney juga melakukan hal yang sama. Ia mengacuhkan panggilan Gabe dan mengguyur dirinya di bawah shower meski sedikit terburu-buru, ia tidak ingin mengambil risiko tampil di depan Gabe dengan keadaan sangat buruk te
✔️ RATE️✔ Coment️✔️ Share✔️ Happy ReadingChapter 13How EmbarasedSidney mencoba untuk tidak memikirkan Alva, tetapi usahanya sia-sia. Sepertinya.Setiap kali membuka aplikasi Instagram, secara tidak bisa dicegah oleh dirinya sendiri, jemarinya mengetik nama Alvaro Leonard dan menekan tombol cari. Kemudian saat ia membuka aplikasi pesan WhatsApp, ia juga dengan sengaja melihat percakapan mereka sebulan yang lalu.Andai tidak terlibat kencan satu malam, pastinya ia tidak perlu merasakan perasaan resah yang melanda batinnya ditambah lagi dengan tubuhnya yang bereaksi mendambakan Alva setiap kali ia mengingat bagaimana telapak tangan pria itu membelai kulitnya, bagaimana bibir Alva menjelajahi leher dan dadanya. Mengingat bagaimana kulit Alva bergesekan dengan kulit terdalamnya, bagaimana pria itu menggeram saat mencapai pelepasan.Sekar
 ✔️ RATE️✔ Coment️✔️Share✔️ Happy Reading Chapter 14 Trying with Her Finance Sidney urung melangkahkan kakinya, ia mundur dua langkah kemudian berbalik dan berjalan dengan cepat menuju halaman belakang di mana ibunya sering menghabiskan sore hari di sana bersama ayah tirinya sedang menikmati teh dan biskuit sembari berbicara santai dan bercengkerama. Kebahagiaan menyelimuti kedua orang itu, Sidney sama sekali tidak menyangsikannya. Ayah tirinya sangat mencintai ibunya begitu pula sebaliknya terlihat dari
 ✔️ RATE️✔ Coment️✔️Share✔️ Happy Reading  Chapter 15 Deal with Gerald Lima hari kemudian tepatnya Senin malam Sidney dengan anggun melangkah memasuki restoran yang dipilih untuk makan malam bersama Gerald, ia mengenakan gaun berwarna ungu berbahan satin berkualitas tinggi bertabur glitter lembut yang berkilauan. Gaun itu dirancang dengan bentuk leher V rendah, bagian perut dibuat menyerupai korset dengan lipata
 Chapter 16 That's Peoblem Sidney ragu untuk menjawab panggilan dari Alva, menekan pengunci tombol di samping ponselnya dan membuat dering ponselnya berhenti kemudian meletakkan kembali ponsel di pangkuannya. Tetapi, Alva rupanya tidak menyerah karena ponsel Sidney kembali berdering dan ia melakukan hal yang sama hingga tiga kali. Sidney menghela napas dalam-dalam, berusaha untuk menepis bayangan Alva yang menari-nari di otaknya kemudian ia meraih ponselnya kembali untuk membuka pesan yang dikirim Alva. Temui aku di Rosewood hotel sekarang. Alva berada di London? Sidney nyaris menginjak rem mobilnya dengan mendadak, bukan karen
 Chapter 17 One Night in Dubai Sidney muak setiap kali ia harus menggantikan Leonel menghadiri rapat pagi, setiap kali harus menginjakkan kaki ke Glamour Entertainment di mana semua orang yang ia jumpai akan menatapnya dengan tatapan aneh seolah-olah melihat orang asing di sana padahal ia adalah bagian dari Glamour Entertainment. Tetapi, ia tidak bisa untuk menolak permintaan Leonel karena bagaimanapun Leonel adalah saudara kembarnya dan mereka telah banyak kehilangan momen bersama, tidak ada pertengkaran masa kecil, atau memperebutkan mainan. Kehilangan masa kecil bersama saudaranya terkadang membuat Sidney berandai-andai bisa memutar waktu ke masa lalu agar kejadian mengerikan yang sebenarnya tidak mampu ia ingat tetapi a
 Chapter 18 I'm Engaged Leonel menarik kursi di samping Alva. "Apa Anda telah membaca kontraknya?" tanyanya kepada Alva. "Aku belum membacanya," sahut Alva seraya kembali ke kursinya. Leonel mengerutkan keningnya dan tatapannya mengarah kepada Sidney, ia merasa janggal karena Alva bersedia menandatangani kontrak tanpa membacanya terlebih dahulu. "Nona Johanson akan membacakannya untukku, bukan begitu, Nona?" tanya Alva diiringi senyum licik yang hanya dimengerti oleh Sidney. Sidney tersenyum manis. "Ya. Tapi, Anda mengatakan sangat percaya pada kami hingga tidak perlu membaca isi kontrak." "Aku yakin kontrak itu pasti menguntungkan kedua belah pihak," u
Chapter 19He Doesn't Deserve YouSidney menghela napasnya dengan lega karena berhasil membuat Alva keluar dari mobilnya, ia kemudian mengemudikan mobilnya menuju kantornya dan mulai mengerjakan rutinitasnya seperti hari-hari sebelumnya.Membaca detail laporan penjualan harus dilakukan dengan teliti dan tidak bisa dilakukan dengan terburu-buru, Sidney memerlukan secangkir kopi. Ia bangkit meninggalkan kursinya dan melangkah menuju pantri kantornya, di kantor yang tidak terlalu besar itu ia memang tidak memperkerjakan pegawai khusus di pantri, hanya ada bagian kebersihan yang datang setiap pagi untuk membersihkan ruangan.Ketika hendak memasuki pantri, ia mendengar suara pegawainya yang mungkin sedang menyeduh kopi sembari mengobrol. Sidney memperlambat langkahnya karena jika ia memasuki pantri, dipastikan pegawainya akan membubarkan diri dan ia merasa menjadi bos yang men