Share

Memberitahu Dias

Pagi ini Soraya menguatkan diri untuk berangkat kuliah. Orang tuanya bisa-bisa menyeretnya ke dokter kalau ia tidak pergi sekolah lagi. Ia ingin mengulur waktu selama yang ia bisa. Soraya merasa ia masih punya kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Semalam, ia mencari tahu di internet tentang bagaimana cara mengatasi mual di trimester pertama kehamilan. Maka, ia memilih untuk sarapan dengan roti tawar dan selai juga teh hangat ketimbang nasi dan kawan-kawannya. Soraya juga menolak sarapan di meja makan dengan alasan ingin menikmati keindahan bunga-bunga di taman depan rumahnya. Padahal ia tidak tahan dengan bau nasi goreng buatan ibunya.

“Aku berangkat, ya, Bu!” pamit Soraya pada Tanti. Ia mengambil tangan ibunya dan menciumnya sebelum memasuki mobil sang ayah. Tanti mengikutinya dan bersandar di jendela mobil yang terbuka.

“Kalau nanti kerasa nggak enak badan lagi, telpon ibu, ya? Nanti ibu jemput.”

Soraya mengangguk singkat. “Beres, Bu!” Tangannya lincah memasang sabuk pengaman. Ia ingin cepat sampai ke sekolah.

Perjalanan ke sekolah kali ini terasa sangat berbeda. Jantung Soraya berdebar kencang. Otaknya sibuk merancang rencana terbaik untuk memberitahu Dias. Kelas atau kantin jelas bukan tempat yang tepat. Lalu di mana? Soraya memikirkan semua tempat yang memungkinkannya bicara berdua tanpa gangguan dari siapa pun. Ia merasa semua tempat di sekolah tidak aman. Tanpa sadar ia berdecak kesal dan menghela napas.

“Kenapa, Ra? Lagi mikirin apa?” Suara ayah Soraya membuat Soraya kembali dari keruwetan dalam kepalanya.

Soraya menggeleng dan tersenyum sedikit. “Nggak apa-apa, Yah.”

Dedi masih fokus ke jalanan, tapi ia bisa menangkap kalau putrinya menyembunyikan sesuatu.

“Cerita aja! Siapa tahu ayah bisa bantu,” kata Dedi ringan. Jujur ia penasaran dengan Soraya. Akhir-akhir ini putrinya agak berubah.

Soraya melirik ayahnya yang masih terlihat berkonsentrasi dengan padatnya jalanan Jakarta. Dulu ayahnya tidak sebaik itu. Dulu dia seperti kebanyakan ayah di negeri ini, yang merasa sudah cukup menjalankan tugas dengan bekerja dan tidak peduli dengan anak-anaknya.

Dedi pikir, anak adalah urusan istrinya, sedangkan urusannya adalah membiayai kebutuhan keluarga. Ia tak pernah bermain dengan Soraya dan Wiliam, memberi nasihat pada mereka, atau membacakan dongeng sebelum tidur. Ia juga perokok aktif yang sering merokok di dalam rumah. Dedi tidak percaya dengan berbagai peringatan tentang bahayanya asap rokok bagi kesehatan orang lain. Sampai suatu hari Tuhan menamparnya sangat keras. Putra kecilnya sakit, bahkan meninggal karena asap yang ia embuskan setiap hari. Sejak saat itu ia berubah, tak lagi menyentuh rokok. Ia juga berusaha mendekatkan diri pada Soraya, menjaganya sepenuh hati. Penyesalan memang selalu datang terlambat.

Sayangnya bagi Soraya, penyesalan orang tuanya terasa mencekik lehernya. Ke mana ayahnya saat ia dan adiknya butuh perhatian dulu? Kenapa ibunya lebih suka mengobrol dengan tetangga dari pada mendengar cerita Soraya dan Wiliam? Lalu, saat akhirnya Wiliam pergi, mereka baru menyadari kesalahan yang diperbuat. Terlambat. Penyesalan orang tuanya tidak akan pernah mengembalikan adiknya yang begitu baik dan ceria.

“Aku cuma kangen Wili, Yah.”

Topik mengenai Wiliam adalah hal yang sebisa mungkin Soraya hindari. Ia masih sangat kecewa dan sedih. Jauh di dalam hatinya, Soraya menyalahkan ayahnya atas apa yang terjadi pada Wiliam.

Dedi tertegun mendengar putrinya mengungkit tema yang sensitif. Ia sadar diri, jika putranya meninggal karena kebodohan dirinya yang keras kepala.

“Ayah juga kangen banget. Ayah menyesal ....” Dedi menggantung kalimatnya. Tenggorokannya tercekat, seiring rasa sedih yang mulai bergumpal di dadanya.

Soraya tak mengatakan apa pun. Ia tak mau mood-nya semakin berantakan. Ia memilih menyalakan radio dan tenggelam dalam lagu-lagu yang mengalun dari sana.

Ayah Soraya juga sudah tidak bersemangat mengobrol dengan putrinya. Ia kembali teringat akan rasa bersalah yang membebani hatinya. Andai bisa memutar waktu, ia akan melakukan apa saja untuk menebus dosanya pada Wiliam. Tapi itu tidak mungkin. Ia hanya bisa memohon ampun di antara sujudnya sekarang.

Sesampainya di gerbang kampus, Soraya langsung turun setelah mencium tangan sang ayah. Ia sedikit berlari menuju ruang kelasnya di lantai dua.

“Udah sembuh, Ra?” sapa Zia yang sedang duduk-duduk bersama teman-teman di dalam kelas. Stela juga ada di sana, sedang mengobrol dengan Dias dan gerombolannya.

“Udah, Zi. Lagi pada ngomongin apa?” Soraya ikut duduk di sebelah Zia. Dias yang baru menyadari pacarnya datang langsung tersenyum sekilas pada Soraya, lalu kembali larut dalam keributan teman-temannya.

“Kita lagi bahas mau bikin video khusus jurusan kita, buat kenang-kenangan. Entar kalau beberapa tahun lagi kita reuni, video itu bisa diputar. Lagi pada bingung, tuh, mau gimana konsep videonya,” jawab Zia menjelaskan. Soraya mengangguk saja. Ia masih memikirkan cara menyeret Dias pergi dari situ supaya bisa bicara empat mata. Namun, melihat situasi sekarang, sepertinya tidak mungkin ia bisa mengajak Dias melipir berdua. Bisa-bisa mereka jadi bahan bulan-bulanan satu kelas.

"Ah, baru juga pada mau nyusun skripsi, udah mau bikin video jurusan aja," ucap Soraya tersenyum kecut.

“Muka lo masih kelihatan pucat, Ra?” Kali ini Stela yang bertanya. “Kalau belum sembuh bener mendingan istirahat dulu, deh, Ra.”

“Nggak apa-apa, kok. Gue malah tambah pusing kalau di rumah terus, nggak bisa main sama kalian,” ucap Soraya manis.

“Hiliih! Main sama kita apa main sama Dias? Bohong banget, si Sora!” ejek Zia.

Soraya langsung membalas ejekan Zia dengan serangan cubitan ke lengan dan pinggang gadis itu. Stela tertawa melihat dua sahabatnya saling cubit.

Hari itu mereka begitu sibuk membahas tentang tugas akhir. Soraya yang tadinya galau jadi lupa sejenak dengan masalahnya. Ia merasa antusias mendengar ide-ide kreatif teman-temannya yang ajaib. Ada juga yang sudah berencana melanjutkan studi S2 ke luar negeri menggunakan beasiswa. Semangat yang memancar dari teman-temannya membuat Soraya ikut larut. Ia benar-benar lupa dengan masalahnya sampai akhirnya perkuliahan berakhir.

Hari yang begitu seru dan menyenangkan itu telah sampai di ujung waktu. Zia dan Stela mengajak Soraya pergi ke mall, tapi Soraya menolak. Ia beralasan harus cepat pulang karena ibunya masih khawatir. Padahal, ia sudah mengirim pesan pada Dias untuk menunggunya di taman belakang perpustakaan.

Soraya segera bergegas menuju ke sana setelah dua sahabatnya menghilang di ujung jalan. Di sana, Dias sedang bersandar di motor gedenya sambil memainkan ponsel.

“Sory, lama, Yas!” Soraya sedikit terengah-engah karena berlari. Pipinya jadi kemerahan. Dahinya basah oleh keringat. Namun di mata Dias, Soraya terlihat menggemaskan.

“Nggak apa-apa, Sayang. Nungguin kamu sampai tua juga aku sanggup,” kata Dias merayu.

Soraya tersenyum geli dengan gombalan pacarnya. “Lebay!”

Sesaat Soraya lupa dengan tujuannya. Lalu, ketika ia teringat kembali, ia jadi ragu-ragu. Akankah Dias akan tetap semanis ini setelah mendengar kabar yang akan dikatakan Soraya?

“Ehm, Yas ... aku pengin ngomong sesuatu ...,” ucap Soraya sembari melihat sekitar. Keadaan di sana cukup sepi. Memang masih ada orang yang lalu lalang, tapi jaraknya lumayan jauh. Mereka tidak akan bisa mendengar percakapan Soraya. “Duduk di sana dulu, yuk!”

Dias mengangguk dan mengikuti Soraya ke bangku di bawah pohon besar.

“Mau ngomong apa, sih? Serius banget? Jangan bilang rindu, ya? Rindu itu berat, biar aku aja ...,” canda Dias menirukan Dilan. Andai dia tahu sebentar lagi hidupnya akan terguncang, dia tidak akan bisa bercanda.

Soraya mengabaikan lelucon Dias. Ia menunduk, mencoba mengatur degup jantungnya yang tak karuan. Ia gugup sekaligus ragu luar biasa.

“Kamu ... ingat waktu kita ke rumahmu dua bulan lalu?” tanya Soraya pelan.

Dias terdiam. Tentu saja dia ingat. Saat itu adalah saat paling mendebarkan dalam hidupnya. Pertama kalinya ia melihat dan memegang tubuh perempuan.

“Ingat. Kenapa?” balas Dias lembut. Sekelebat bayangan tentang betapa bergeloranya sore itu membuat gairahnya naik.

“Kalau ... aku bilang aku hamil, kamu percaya?” Soraya memandang Dias dengan mata berkaca-kaca. Ia merasa malu, takut, dan gelisah, semua bercampur jadi satu.

Dias terbelalak kaget ketika mendengar kata hamil. “Hamil?”

Soraya menunduk semakin dalam. Air matanya mulai menetes turun sampai ke dagu.

“Kita, kan, cuma main-main! Apa mungkin kamu bisa hamil hanya karena itu? Kita bahkan nggak sampai ...,” Dias memotong kalimatnya dengan erangan putus asa. Ia memegangi kepalanya seakan-akan benda itu bisa lepas. “Kamu nge-prank aku, ya? Ngaku!” Dias tersenyum lebar sambil menarik tangan Soraya. Namun, wajah Soraya yang tidak berubah, melunturkan dugaannya.

Gadis itu membuka resleting depan tasnya dan mengambil bungkusan kecil yang dibalut dengan tisu. Ia meletakkannya di tangan Dias.

“Bukalah! Itu buktinya,” ucap Soraya lirih.

Dias membuka bungkusan itu. Ia bisa melihat dengan jelas testpack bergaris dua di telapak tangannya. Ia sempat mematung beberapa detik, sebelum melemparkan benda itu.

“Nggak mungkin! Bercandamu keterlaluan, Sora!” desis Dias tajam.

“Aku nggak bercanda, Yas! Aku hamil, gara-gara kamu!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status