Suka sama bacaan ini? Alangkah baiknya kirim support dengan cara simpan buku di rak, review ceritanya yang bagus, dan kirim hadiahnya ya.
“Oh, mulutmu ini keterlaluan sekali, Bu! Nggak takut sama kita? Jaga mulut!! Apa?!! Suami kita sering bayarin cewek di kafe? Wah, hati-hati kalo ngomong, Bu!!” Mursia angkat bicara. Jemari telunjuknya melonjak tinggi, dengan dua bola mata mencolot visus, menajam. “Kenapa emangnya?? Kenyataannya!!” Cantika berteriak sekencangnya dengan perlawanan kata yang menyayat hati si ibu-ibu itu. Akhirnya kuku yang mungkin tajam menghantam dengan cepat ke arah Cantika. Ibu mertuaku berteriak keras dari rumahnya. Dari ketiga ibu itu seakan kerasukan setan karena tidak terima dari ucapan mulut harimau ibu mertuaku.Dari arah rumah, aku pun terlonjak dan tanpa sadar kalau si Elvina sudah tertidur di atas karpet ruang tengah. Aku sudah tak peduli lagi, sehingga membawa pelarian cepat ini keluar dari rumah. Aku mendengar suara-suara lantang dari wanita yang mengamuk dari arah depan. Dan pelarianku benar-benar sampai tepat di muka pintu rumah ibu mertua. Mataku terbelalak tegang, melihat tiga lawan s
Dalam satu wilayah kampung. Tidak pernah ada kata tidak bergosip. Hampir di setiap anggota keluarga menampung seratus ribu pembicaraan tentang orang lain dalam sehari.Tepat ketika Minggu tiba. Pastinya semua kalangan bersekolah libur.Sialnya, motorku diberhentikan oleh beberapa ibu-ibu gendut. Ketiganya, di beberapa hari yang lalu.“Ada apa lagi, Bu? Aku mau buru-buru balik ke rumah.” Garis keningku mengapit hampir menyatu, sedangkan napas berembus sempit nan panjang.Masing-masing menawarkan wajah memelas sambil merapatkan tangan mereka di bawah perut. Dan tingkahnya itu, seperti anak berusia lima tahun yang baru saja dimarahi oleh ibunya.“Ngomong aja langsung, Bu.”Embusan terakhir, benar-benar resah. “Begini—“ Dimulai dari mulut ibu gendut bernama Mursia. Sambil melepaskan genggaman tangannya, “Kami cuma prihatin sama kamu, kenapa kamu sampe betah ya sama si Abbas?”“Iya, Haira, jangan tersinggung dulu, soalnya kami kelihatannya risih lihat tingkah lakunya si Abbas.”“Terus?”
Di atas tempat tidur seukuran satu orang dewasa. Kamar yang tidak seberapa luasnya.Ibu mertua yang cerewet malah membaringkan tubuhnya di atas sana.Bukan karna lelah atau merasa malam. Tapi, kelelahan setelah dia mengeluarkan emosi berlebih. Setelah marah-marah yang terlalu berlebihan.“Bu, makan bubur dulu, Bu.”Tanganku menggamit sendok diisi penuh dengan butiran bubur lembek.Kepala ibu mertuaku hanya menggeleng-geleng ringan. “Nanti.”Sesingkat itu, dia berkata setelah menggelengkan kepala.Mataku tak berhenti melamunkan diri sendiri di atas kursi samping tempat tidur.“Ibu mau makan apa?”“Ibu mau tidur.”Suara ibu mertua yang hanya terlihat sendu lagi lusuh. Jengkel, hanya bisa menahan diri.Aku menaruh mangkuk yang masih berisi penuh bubur, tepat di atas meja rias dekat ujung dinding rumah.“Kalo gitu, Haira mau cuci baju mama dulu.”“Nggak usah, nanti kalo sembuh ibu bisa.”“Nggak apa-apa, Bu, aku bisa nyucinya.”Seperti biasa, ibu mertua selalu merobohkan diri dengan tidak
“Ada yang bolos, siapa?”Elina, rekan kerjaku yang menjadi wali kelas 6b di tingkat paling atas. Sementara diriku hanya sebagai guru yang mengajar kelas bawah, yakni muridnya masih sangat lucu, kelas 2a.“Maaf ganggu kelasnya sebentar,” ucap Elina mendekatiku yang masih duduk di meja pengajar.Elina mendekatkan bibirnya ke telingaku yang diselimuti oleh hijab panjang.“Anak kelas aku, Ra, cuma aku hari ini ada urusan jadi aku mau minta tolong sebentar.”Elina menegakkan kembali kepalanya setelah bisikan itu terdengar kelas di telingaku.“Jadi, maksud kamu harus aku yang awasi anak itu di kelas?”“Hm, begitulah, aku sekalian mau bikin surat buat orang tua anak itu.” Elina menyodorkan ponsel yang berisi banyaknya teks berbasis word. “Tolong isi materi kelas, ya.”“Lah, bukannya kalo kosong bisa diisi sama ibu kepala sekolah?” Aku mulai mengerutkan kening, rasanya kurang yakin karna jarang sekali guru kelas meminta bantuan kepada guru honorer seperti diriku.“Aku udah minta izin, daripad
“Maaf, Bu Kepala Sekolah, saya sangat menghargai anda sebagai kepala di sini.” Dengan nada penuh tanggung jawab tanpa rasa takut, “Tapi saya sudah bertahun-tahun mendidik anak-anak di sekolah ini, bukan seperti itu cara mendidik murid yang benar!”Lantas, nadaku yang penuh emosional ini pun mulai mengecam tanda hijau kuning untuk ibu kepala sekolah.Wanita gemuk tinggi yang tanpa hijabnya itu, masih memendam kekesalan namun kehabisan kata-kata.Aku pun bergegas pergi tanpa ragu. Tak lama setelah aku mencaci maki atasan sendiri.Satu bulan kemudian, kepala sekolah terjerat kasus korupsi.***Lagi-lagi kenangan buruk menghantuiku dalam kelas. Tak begitu lama pelajaran telah usai.Semua murid berserakan untuk mengatur baris. Mereka dipimpin oleh ketua kelas agar keluar sesuai perintah guru.Aku mulai menindaklanjuti ketegasan ketua kelas.“Assalamualaikum warrohmatullahi wabarakatuh!”Suara yang menjerit bukan tanda marah. Itu teriakan dari sekumpulan murid dalam satu kelas.Begitu antus
Seakan menikam mental dalam sekali entakan. Ini pertanyaan penuh darurat.Rupa Abbas yang senantiasa menjadi sirene maupun rambu-rambu, selalu diperhatikan dengan hati-hati.Napasku mendadak tertahan sesaat. Lalu mengembusnya secara perlahan sambil menjawab, “A-Apa yang kau tanyakan, Bang? Bukankah kau yang sendiri bilang kalau kedua orang tuaku bangkrut.”Abbas memiringkan kepalanya, berdengus napas kecewa. Kemudian dia kembali melenggak tegas sambil memainkan tangan.“Aduh, bangkrut sih bangkrut, Haira.” Sedikit berpikir, “Tapi kan siapa tahu dia punya simpanan lain.”“Nggak mungkin kan orang bangkrut kehilangan segala hartanya secara nihil.”Abbas menahan posisi tangan ditegakkan ke hadapanku.Dia berharap agar aku meneruskan kalimatnya, yang sehingga mendorongku untuk mencegah atau mengungkap rahasia besar.“Ah, kau ini mengada-ngada!”Tanganku melambai ringan, sebaiknya aku melangkah untuk keluar dari ruang kamar.Ditinggalkan sang suami duduk termenung. Akhirnya aku benar-benar
“Oh, ini ya orang tuanya Fathan!” Suara nyaring menggusur suasana tenang di balik pintu masuk ruang para guru. Setibanya seorang wanita berpostur tubuh gendut mulai memberi aba-aba sambil membawa kemarahan. Di lengannya ada tas tangan bergelantungan. Wanita yang memakai setelan celana standar panjang dengan kemeja seperempat lengan menghampiri kami berdua. Alisnya memuncak tegang, tanpa memberi salam bahwa dirinya mencari wali murid bersangkutan. Tak hanya diriku yang terperanjak, tetapi semua guru ikut terlongong-longong. “Mohon tenang dulu, Bu Meli, di sini ada banyak pendidik murid, tidak baik bersuara tidak sopan di sini.” Ibu yang sesekali menatapku ketus lantas mencoba mengatur napas. Emosi yang terlihat jelas bahwa dia tidak baik. “Duduk dulu, Bu.” Guru kelas Fathan menyodorkan kursi untuk si wali murid. Tubuhnya tak berhenti menggeliat karena tiba celetuknya cukup kasar. “Khusus wali orang tua murid, mohon dipersilakan memasuki ruang kepala sekolah.” Terdengar suara
Meli, wali teman pertengkaran anakku—Fathan. Matanya menyorot singkat, lalu mengempaskan tanganku sehingga dia tak lagi terjerat kesalahan.“Oke!” kataku tegas.Meli berhenti bergerak, baru saja tangannya menempelkan telapak tangannya ke tangan buah hatinya tersebut.“Saya akan mengaku sebagai orang tua yang salah, tapi tidak kepada anakku—Fathan. Untuk anakmu yang tidak bersalah itu bisa dipindahkan ke kelas lain.”“Bagus! Saya terima kalau keputusannya begini. Saya jadi lega.”Garis kerut kening Meli bergerak-gerak naik turun. Alangkah puasnya ketika dia mendapatkan keinginan tanpa manusiawi.Sungguh terlena karena ketamakannya selama dia inginkan. Dia sengaja mendidik anak menjadi salah besar.Bukan karena diriku terlihat baik, tetapi rasanya tidak merasa puas ketika terhina di tempat kerja sendiri—sebagai guru.Meli kembali ke posisi awal. Di atas meja, bapak kepala sekolah sudah memberikan lembaran kertas untuk ditandatangani.Dua anak saksi dan dua anak pelaku pertengkaran. Mere