BAB 3 Nyaman
Refan masih belum bisa memejamkan mata, karena kebiasaan buruk akibat segelas kopi yang diminumnya. Niat hati menahan kantuk untuk mengedit hasil jepretan dan video yang diambil saat dia traveling malah berujung insomnia.Suasana rumah sudah lengang, saat ia hendak turun ke lantai bawah. Sayup-sayup terdengar suara dari dalam kamar yang ia lewati. Kamar pengantin pikirnya, ternyata bukan. Suara itu dari kamar abangnya. Mencoba memutar knop, ternyata di kunci. Ia mengetuknya beberapa kali. Namun tidak ada jawaban. Baru saja hendak pergi, terdengar pintunya dibuka."Hmm, menyesal?" ungkap Refan dengan nada sedikit mengejek.Syila hanya tertunduk membuat Refan tidak tega melihatnya."Bang Zein nggak ke sini?" tanya Refan penasaran.Syila hanya menggelengkan kepala. Tangannya mengusap lelehan air mata yang sudah membasahi pipi. Wajahnya pasti sudah kusam dan jelek pikirnya."Sini, gue temani begadang." Kali ini Syila menurut. Ia bahkan lupa kalau keputusannya sudah seperti memasukkan serigala yang berpura-pura menjadi domba. Sewaktu-waktu bisa saja serigala itu menerkamnya.Sejatinya Syila tahu, ipar adalah godaan besar. Ia pernah mendengar cerita ustaz saat dirinya tinggal di pesantren. Namun, hatinya yang terlampau sakit membuang jauh pemikiran itu. Ia butuh teman berbagi. Ia tidak bisa bercerita pada keluarganya. Bisa-bisa ayahnya terkena serangan jantung mendadak. Mau bercerita pada ibunya jelas sudah tengah malam. Pun temannya pasti sudah terlelap karena lelah bekerja. Ia yakin Refan tidak akan berbuat melewati batasan."Duduk!" titah Refan disertai tangan yang menepuk sofa di sampingnya.Setelah Syila menutup pintu, ia duduk dengan patuh."Mau ngapain?" ujar Syila. Refan melihat penampilan Syila yang mengenakan piyama motif doraemon membuatnya tergelak."Ishh, malah ketawa," ucap Syila tidak terima."Lu maunya ngapain?" Refan menghentikan tawanya khawatir membuat Syila tersinggung."Ckk. Malah ganti nanya, lagi," decak Syila sambil memutar bola mata jengah."Maunya gue ya ayo tidur aja!" lanjut Refan santai sambil mengangkat kaki kanan ditumpangkan ke paha kiri, lantas menopang dagunya."What. Kamu sudah nggak waras, ya?!" teriak Syila."Memang," balas Refan dengan santainya.Syila mendengkus kesal. Refan justru terbahak melihat wajah cemberut Syila. Entah mengapa Refan semakin merasa senang saat melihat wajah kesal itu."Lu sudah ngantuk belum?" tanya Refan mulai serius.Syila menggeleng."Aku nggak bisa tidur." Syila menggaruk kepalanya yang tidak gatal."Ya sudah ayo main game aja!" Refan menunjukkan layar ponselnya yang berisi game pembunuh kebosanan di saat waktu luangnya."Tapi aku nggak bisa main game ini," tunjuk Syila. Obrolan mereka sudah mulai cair."Mana ponsel lu. Gue ajarin. Install dulu lewat playstore."Gegas Syila mengambil ponselnya yang ada di nakas, lalu menyodorkan ke Refan untuk diinstallkan game yang dimaksud."Betah amat berdiri. Duduk sini lah!"Refan menepuk sofa yang bisa muat untuk duduk dua orang. Syila tampak ragu untuk duduk. Namun, sedetik kemudian ia duduk juga di samping Refan."Lu takut, gue apa-apain?" lanjut Refan sambil mengedikkan alis.Syila terkesiap dengan ucapan Refan. Ia segera menggeser duduknya memberi jarak lebar. Melihat tatapan Refan, bukan tak mungkin dirinya jatuh ke pesona laki-laki playboy macam Refan."Jangan macam-macam!" Peringatan Syila membuat Refan tergelak."Siapa juga yang tertarik sama cewek galak macam lu." Sontak saja Syila melototkan matanya."Ayo, mulai. Nih sudah bisa."Syila menerima ponselnya kembali yang sudah terinstall game. Mereka akan memainkan game itu berdua."Gimana caranya?" Syila meminta Refan menjelaskan caranya. Refan dengan senang hati mengajarinya. Mudah saja bagi Syila mengikuti arahan Refan."Fan, Mbak Sania cantik, Ya?""Cantik banget malah," ucap Refan singkat."Ckk, kenapa juga Mas Zein mau nikahin aku. Lagipula istrinya cantiknya selangit. Kamu aja bilang gitu.""Trus kenapa?""Ya, aku merasa nggak bakal bisa nyaingin Mbak Sania.""Huh, dasar gadis polos.""Cantik itu dari hati, nggak cuma cantik di wajah, Syila." Refan meletakkan telunjuk ke dadanya.Syila tertegun dengan ucapan Refan. Ia menatap jari-jemari Refan lihai sekali memainkan game di ponsel. Benar adanya apa yang diucapkan laki-laki di sampingnya itu."Tapi berat melakukannya. Mas Zein mungkin menyesal kalau lihat wajah asliku tanpa make up." Syila tertunduk mengingat tindakannya yang suka memoles wajah seolah gadis buruk rupa ingin menjelma menjadi putri raja.Refan beralih fokus dari layar menoleh ke arah Syila. Ia melihat tatapan sendu di wajah Syila."Kamu yakin mau memikat hati Bang Zein?"Syila mengangguk."Tidak perlu menjadi orang lain, Syila. Jadilah dirimu sendiri. Bang Zeim memang suka wanita cantik, tapi gue tahu betul dia paling suka wanita yang cantik sekaligus baik hati. Jadi, selain wajahmu yang cantik, pastikan hatimu juga cantik.""Ckk, sama aja. Aku harus cantik dan baik hati.""Kenapa sih lu nggak pede gitu. Wajah lu memang pas pasan. Tapi lumayan lah kalau di pajang di depan umum.""Memangnya aku manekin?!" teriak Syila tak terima. Refan terkekeh melihat Syila yang murka."Ingat selalu gunakan B *** cosmetics, di depan suamimu!" Saran Refan membuat Syila sejenak terdiam dan berpikir."Kalau saja make up ini aku hapus, orang-orang pasti mencibirku," guman Syila sembari memegang pipinya yang tertutup hijab. Wajah berjerawatnya memang sedang dalam perawatan menggunakan B *** cosmetics. Ia berharap hasilnya cepat terlihat seperti yang Refan sarankan."Ah, aku harus rutin mencoba saran dari Refan."Tanpa sadar mereka sudah berjam-jam memainkan game itu sampai larut. Syila menguap beberapa kali, sementara Refan masih belum merasakan kantuk. Ia masih terjaga efek dari kopi yang diminumnya."Sudah tidur sana kalau mengantuk!" pinta Refan. Namun Syila sudah setengah sadar hanya berguman tidak jelas. Kepalanya ambruk ke bahu Refan. Pun ponselnya jatuh di pangkuan. Refan segera mengambil ponsel itu, lalu meletakkan di sampingnya. Ia memindahkan tubuh Syila ke ranjang, supaya tidak pegal jika dibiarkan tidur di sofa."Tidurlah yang nyenyak. Biarkan malam pertamamu tidak terlewat sia-sia."Refan mendekatkan wajahnya ke wajah Syila. Memindai wajah kusam yang terlalu lama menangis akibat ulah abangnya."Cantik. Sayangnya, lu terlalu polos, Syila."Jari telunjuk Refan menyusuri dahi Syila. Ia mencoba menghilangkan kerutan-kerutan di sana. Tak berhenti disitu, jarinya lalu menuju hidung dan berakhir di bibir tipis yang memancing gejolak di dalam sana. Ia pria yang normal. Sayang sekali, Syila memilih Zein daripada dirinya."Astaga. Gue bisa gila kalau lama-lama di sini." Refan segera menarik tubuhnya menjauhi ranjang. Diambilnya selimut yang terlipat rapi di sisi ranjang, lalu ditutupkan ke tubuh Syila hingga sebatas leher."Semoga mimpi indah, Arsyila Ramadanti."Refan menatap ke arah jam weker di nakas. Tepat jam setengah satu malam. Gegas ia kembali ke kamarnya. Membuka pintu dengan satu tangan menutup mulut akibat menguap, ia dikejutkan oleh Zein yang berdiri di depan pintu kamar."Abang!" Matanya yang hampir meredup seketika membelalak sempurna."Apa dia sudah tidur?" Terlihat wajah khawatir Zein seraya melongok ke dalam. Refan segera keluar kamar dan menutup pintunya."Sampai kapan Abang mau membuatnya tersiksa?"Zein tidak berniat menjawab. Ia hanya mengedikkan bahu, lalu menerobos masuk ke kamarnya."Abang mau ngapain?""Ambil baju.""Sania?" cecar Refam. Zein meletakkan telunjuknya di bibir supaya Refan tidak berisik."Sudah tidur." Zein menutup almari setelah mendapatkan piyama tidur, karena kemeja yang dipakai sebelumnya masih melekat di badannya."Ayo keluar sana!""Abang mau tidur di mana?" Refan sudah bersikap layaknya polisi yang sedang patroli."Di sana lah. Nanti Sania mengamuk kalau bangun-bangun nggak ada abang di sana.""Ckk. Kirain abang mau tidur sini." Refan terkikik pelan."Nggaklah. Tolong jaga Syila baik-baik, Fan! Selagi abang nggak bisa mengawasinya.""Pasti. Gue juga bisa menjaganya di sini sampai besok pagi, kok. Nggak masalah." Refan mengangkat alisnya ke atas, sedangkan Zein hanya mendecis."Gila kamu! Memangnya aku nggak tahu kalau singa tidak pernah menolak saat disodori daging segar?"Refan terbahak, reflek Zein segera menutup mulut sang adik lalu menyeretnya keluar.Pagi-pagi, Syila sudah memulai dengan kebiasaannya salat Subuh, lalu mandi dan menuju ke dapur. Meskipun semalam ia tidur larut entah jam berapa dirinya sudah tidak ingat. Ia masih sempat membentangkan sajadah di sepertiga malamnya. Ia berkeluh kesah pada Rabbnya.Syila tidak tahu kapan dirinya pindah ke ranjang. Pikirannya terusik, siapa yang memindahkan dirinya ke ranjang, Zein atau Refan. Malu benar rasanya jika Refan yang melakukannya.BAB 4 Sarapan"Zein, yang benar saja hari ini kamu mau ke kantor? Baru juga menikah kemarin," protes Hira yang melihat Zein sudah bersiap dengan kemeja rapinya. "Iya, kenapa harus buru-buru?" Ilyas sependapat dengan istrinya. Mereka lebih mendukung Zein menikmati bulan madu lebih dulu sebelum disibukkan dengan pekerjaan di kantor."Mi, Bi. Zein mau nunjukkin contoh yang baik ke karyawan. Zein memang bos di sana, tapi tidak mau sesuka hati mengambil libur kerja." Zein berusaha memberi pengertian pada umi dan abinya. Sementara itu, duduk di samping Zein, Syila yang hanya terdiam mencerna ucapan suaminya. Dia meneguk ludah saat melihat Sania juga rapi dengan pakaian yang cocok untuk ibu hamil ke kantor."Astaga, apa dia juga mau ikut ke kantor?" guman Syila. Ia memandang lekat penampilannya, lalu membandingkannya dengan penampilan Sania. Jelas, beda jauh. Kelihatan kalau Sani itu berkelas. Sangat elegan penampilannya mengikuti fashion."Lho, San. Kamu pakai baju rapi mau ke mana?" tanya
BAB 5 Bubur Ayam"Suaminya nggak dipesenin sekalian, Mbak?" tanya pelayan yang berdiri menanti pesanan. "What?! Suami?!" "Biar pesan sendiri. Tanya aja orangnya!" Syila masih bersikap tak acuh karena Refan selalu mengejeknya. "Bubur dan jeruk panas, Mas." "Baik silakan ditunggu dulu!" Syila terpaksa duduk bersisihan dengan Refan, karena warung bubur itu ramai di pagi hari. Banyak karyawan perusahan di ibukota yang mampir sarapan di situ. "Eh, pasangan serasi ya mereka." Syila sempat mendengar bisik-bisik wanita paruh baya yang duduk berselang satu meja dengannya. "Iya, biasanya Mbaknya yang cantik sendirian. Apa dia sudah menikah?" Syila semakin risih. Dia memang rajin sarapan di sana bersama teman kantornya sewaktu tinggal di kontrakan. "Itu mungkin suaminya. Ganteng banget kayak artis yang jadi brand ambasador kosmetik terkenal itu lho." "Komestik yan mana?" "Itu lhoh, kosmetik B ***?" "Oh, kosmetik yang lagi hitz?" Wanita satunya mengangguk dengan tatapan masih fokus ke
BAB 6A Bromo"Aku juga melayani Mas Zein dengan baik. Menyiapkan baju, menyiapkan sarapan tadi." "Bukan itu, Syila. Pelayanan plus-plus. Ini obrolan dewasa, bukan anak TK." "Apa?!" pekik Syila dengan mulut menganga. Refan justru membalas dengan kedipan alis. Menyebalkan. "Apa yang dimaksud Refan pelayanan di ranjang. Hufh, malam pertama aja kami nggak tidur sekamar. Gimana aku mau melayani." Refan menoyor kepala Syila hingga suara mengaduh Syila melengking. "Nggak usah piktor. Maksud gue apa lu pernah ciuman sama bang Zein gitu?" Syila terlonjak kaget. Ciuman, boro-boro ciuman, ngobrol bareng aja ada Sania kayak polisi sedang patroli. "Belum. Masak iya ada Sania mau ngelakuin kayak gitu." Refan terbahak mendengar kejujuran Syila. "Polos amat sih lu. Masak iya minta gue ajarin?" Refan mengedikkan alisnya. Mulailah keluar sifat playboynya. "Nggak perlu!" pekik Syila bercampur malu. "Gimana bisa cantik banget kayak Mbak Sania, Fan?"Syila menerawang jauh, bayangan Sania yang a
"Hufh, nasib mau liburan jauh-jauh dari bos dingin. Eh ketemu sama laki-laki tampang playboy gini," gerutunya dalam hati.Demi menghemat kantong biar ngga kering, Syila menyewakan satu kamarnya. Sayangnya, kamar mandi dan dapur dipakai bersama. Keduanya sepakat untuk menjadi penghuni saling asing. Artinya tidak ada dua orang di tempat yang sama. Saat salah satu menggunakan dapur, maka salah lainnya tidak berada di situ. Terdengar ribet, tapi demi keamanan bersama terutama Syila yang aslinya gadis polos lulusan pesantren. Di luarnya saja dia menjadi gadis bar-bar untuk tameng dari godaan playboy. Pria itu mengenalkan diri dengan nama panggilan Refan. Syila sempat membatin, pria itu mirip bosnya. Namun kelakuan mereka bertolak belakang. Apalagi penampilan Refan berambit gondrong, menambah kesan plaboynya.Menjelang malam, cacing di perut mulai berteriak protes. Syila mengeluarkan bahan untuk makan malam yang sudah menjadi bekal di tas. Keluar kamar dengan kerudung instan, kaos panjang d
BAB 7A Ciuman"Sudah ketawanya. Tadi aja nangis-nangis, sekarang ketawa nggak jelas. Dikira lu cantik-cantik nggak waras nanti.""Fan, tadi malam yang mindah aku ke ranjang siapa?" Syila berubah serius saat menanyakan sesuatu yang membuatnya penasaran.Refan hanya bergeming membuat Syila menoleh dan menatap lama adik iparnya."Fan.""Hmm." Refan menyunggingkan senyum, membuat Syila mendecis."Kamu maunya gue yang angkat atau Mas Zein?" Refan justru berbalik tanya semakin membuat Syila kesal."Ckk, selalu begitu kalau ditanya. Ya, jelas aku berharap suamiku yang mindahin lah. Lain kali awas ya kalau aku tidur di sofa, kamu jangan mindahin aku. Panggilkan saja Mas Zein.""Tentu saja, suami lu yang lebih pantas memindahkan." Syila menghentikan perdebatannya setelah merasa lega, bukan Refan yang memindahkan tidurnya di ranjang melainkan suaminya. Mobil akhirnya memasuki pelataran perusahaan kosmetik yang turun temurun dari keluarga kakeknya. Awal mula perusahaan itu dipegang omnya karena
Bab 7B"Pagi, Bu Syila." Seorang karyawan bagian keuangan barusan melintasinya."Selamat atas pernikahannya ya, Bu. Bos memang serasi dengan Bu Syila." Syila memandnag kesal pria di sampingnya."Terima kasih, Pak." Refan berdehem membuat karyawan itu menunduk hormat."Pagi, Bos." "Lanjutkan kerjamu!" titah Refan diangguki patuh oleh karyawan laki-laki yang berusia muda tadi. Syila hanya mengernyit, dan bertanya-tanya dalam hati."Apa mereka tidak tahu Refan kembaran bosnya?" Syila hanya mengedikkan bahunya lalu melangkah kembali menuju ruang kerjanya yang menjadi satu dengan ruang direktur. Ia lupa kalau Refan sudah memangkas rambut hingga pendek seperti Zein.Syila melangkah tanpa ragu. Ia sudah biasa mengetuk pintu, lalu masuk ke ruang Zein seperti hari biasa saat bekerja."Kayaknya yang ini lucu deh bajunya.""Iya, Sayang." Zein terlihat mencolek dagu Sania, saat Syila masuk ruang kerjanya."Ishh, nakal." Suara manja khas wanita menyapa telinga Syila saat masuk ruang Zein. Ia mel
BAB 8A Coba-coba"Mas Zei...." Bersamaan dengan bunyi lift berdenting. Pintunya terbuka, tampak dua orang karyawan berdiri terperangah di luar. Keduanya melihat adegan dewasa telah terjadi di dalam lift. Reflek Syila mendorong dada Refan sesaat setelah pintu lift terbuka. Ia menerobos dari bawah lengan Refan yang mengurungnya."Syila?! Apa yang kamu lakukan?" Refan ikut menoleh ke arah sumber suara."Hah. Maaf Bos, kami sungguh tidak melihat apa-apa. Bener, deh!" Salah satu karyawan yakni Merry sahabat Syila segera menarik tangan temannya untuk kabur dari situ. Keduanya takut dipecat karena kedapatan mengganggu kesenangan bosnya.Syila hanya melongo melihat Merry yang terbirit bersama rekan yang lain. Ia berbalik ternyata lift sempat menutup dengan Refan memberikan kiss dari jauh."Hufh, menyebalkan." Tubuh Syila merinding melihat tingkah adik iparnya. Gegas ia mencari Merry untuk berbagi cerita.Langkah Syila yang tadinya cepat berubah melambat setelah sampai di depan ruang bertuli
BAB 8B Coba-coba"Lalu, buat apa nikah sama kamu? Kasian amat kamu, Syil. Sekali menikah jadi istri kedua.""Kamu meledekku, Mer?" Merry hanya tersenyum meringis."Dah lah jangan tanya alasannya kenapa. Tahu sendiri kan, bos patah hati ditinggalin seorang wanita, sikapnya jadi dingin kayak es kutub. Eh tahu-tahu wanita itu mencarinya saat hari pernikahan kami tiba.""Iya, wanita itu katanya cinta pertamanya. Bos masih cinta kali ya sama wanita itu.""Ckk, kamu bukannya menghibur malah bikin aku sakit hati sih, Mer.""Iya, maaf. Trus gimana kelanjutannya? Kamu minta pisah?"Syila menggeleng. Janjinya pada diri sendiri juga keluarganya selama masih kuat bertahan, maka ia akan mempertahankan pernikahannya. Meskipun pernikahannya lahir dari perjodohan, ia menganggap pernikahan adalah hal yyang sakral bukan untuk dipermainkan."Lalu?""Kamu bantu aku, Mer. Gimana caranya menarik perhatian Mas Zein.""Hmm, kalau itu mah gampang. Kamu coba-coba aja menggodanya. Nanti malam, pas di kamar tuh,