David masih terbaring lemah menunggu kesembuhannya. Ia ingin sekali segera bertemu teman-teman di kampusnya untuk ‘melakukan sesuatu’ atas mahasiswi muslim di kampusnya itu jika benar ia seorang teroris, namun ayahnya selalu mengatakan bahwa dokter belum mengizinkannya untuk pulang.
Seminggu lebih di rumah sakit terasa setahun baginya. David sudah merindukan dunia di luar tembok rumah sakit itu. Suasana gereja tempat tinggalnya, aroma bebungaan taman gereja, para biarawan-biarawati yang selalu menunjukkan rasa sayang padanya, dan kehadiran Pinokio—anjing kecil kesayangannya—tentu saja.
David masih ingat bagaimana ia menemukan Pinokio yang terluka dan meraung lemah di depan gereja. Sebuah kalung bertulis ‘Pinokio’ sudah melingkar di lehernya. Keadaan itu mengingatkannya pada dirinya sendiri. Pada bagaimana ia ditemukan oleh Rushel. Bedanya, tak ada yang memasangi kalung di lehernya. Rushel lah yang menamainya David. Nama yang mengandung doa, agar kelak ia akan sesaleh David. Menjadi pelayan Kristus sepanjang hayatnya. Dan beda yang lainnya adalah … paru-paru Pinokio jauh lebih kuat dari paru-parunya karena serangan udara dingin saat ditelantarkan di depan gereja. David membutuhkan seminggu lagi untuk memulihkan kondisinya.
Dan akhirnya saat itu datang juga. Dokter memperbolehkannya pulang. David dijemput sebuah mobil hitam dengan beberapa biarawan di dalamnya. Mereka menyambut David dengan senyum bahagia penuh ketulusan. Rushel tak henti memuji nama Tuhan melihat kondisi anaknya itu yang sudah pulih. David segera mengirim pesan singkat pada teman-teman di kampusnya bahwa ia akan datang ke kampus keesokan harinya, dan menyaksikan sendiri sang Gadis Teroris itu.
Dan di pagi selanjutnya, usai menyantap sarapan roti bakar kesukaannya, David berpamitan pada Rushel untuk pergi ke kampus. Ia kayuh sepeda silvernya dengan kencang. Pinokio menyalak-nyalak mengekori punggungnya.
“Tenanglah, teman! Aku segera pulang. Jadilah anak baik, ok?!” teriak David tanpa menghentikan sepedanya. Pinokio memperlambat larinya dan akhirnya tertinggal jauh di belakangnya. Jauh di belakang Pinokio, Rushel dan seorang biarawan berdiri memandangi David yang baru saja menghilang dari pandangan.
”Bapa, apakah David benar-benar sudah sembuh?” tanya sang Biarawan pada Rushel.
”Mukjizatlah yang menyembuhkannya. Kita harus membuat David selalu bahagia. Dokternya mengingatkan, David tidak boleh stress,” kata Rushel. “Jangan khawatir. Dia memakai mantelnya dan menghabiskan sarapannya. Dia juga meminum obatnya. Jadi, dia akan baik-baik saja.”
Biarawan itu terdiam, ada keharuan di hatinya. Remaja itu adalah milik gereja, milik mereka semua. Miliknya juga.
***
David disambut teman-temannya sejak ia tiba di depan gerbang kampus. Jardon langsung keluar dari kerumunan itu dan menghampiri David yang masih berada di atas sepedanya.
“Akhirnya pemimpin kita datang!” Jardon berseru.
David menoleh pada Jardon.
“Apa sebaiknya kita ke ruangan Rektor, sekarang?” tanya David, tak sabar.
“Aku ikut apa katamu, Dave.” jawab Jardon penuh semangat.
David pun meletakkan sepedanya di parkiran kampus. Ia diikuti Jardon dan beberapa mahasiswa dan mahasiswi lainnya. Setelah itu David mengajak mereka semua untuk langsung protes ke ruangan rektor. Semua setuju. Saat mereka mulai melangkah, Jardon melihat mahasiswi berkerudung itu datang. Jardon langsung melihat ke arah David dengan cemas.
“Dave, tunggu!” panggil Jardon.
David menoleh pada Jardon dengan heran,”Ada apa?” tanya David penasaran.
Jardon mendekat dan berbisik, “Itu dia datang, Dave!” Jardon berujar sambil menoleh ke arah seorang gadis yang baru memasuki area parkiran kampus sambil menunduk.
David pun ikut menoleh melihat ke arah yang ditunjuk Jardon itu. David terperangah, matanya menangkap sesosok gadis berwajah cerah yang terus menunduk, tak mempedulikan sekitarnya. Kelopak matanya yang merunduk, hidungnya yang mancung, serta alisnya yang tebal dan nyaris menyatu membuat David diam terpaku. Dia tidak yakin kalau perempuan itu adalah teroris. Dalam bayangannya saat Jardon pertama kali mengatakan padanya bahwa di kampusnya ada mahasiwi teroris, David membayangkan mahasiwi itu berwajah masam dan bermata penuh dendam layaknya para penjahat dalam film-film yang pernah ditontonnya. Tapi saat melihat wajah seteduh dan seramah itu, dia tak yakin kalau sangkaan teman-temannya itu benar. David menoleh pada Jardon.
“Kau yakin dia orangnya?” tanya David pada Jardon.
“Lihat penutup kepalanya yang besar itu,” jawab Jardon sambil melihat ke arah Maryan.”Kau masih tidak percaya? Mungkin kau baru akan percaya saat nanti melihatnya menyembunyikan bom di baliknya.” Jardon masih berusaha mempengaruhi David.
“Aku tak mau ke ruangan Rektor sekarang,” ucap David tiba-tiba.”Aku yakin dia bukan teroris.”
Jardon terkejut. Dan teman-teman sekampusnya yang mendengar ucapan David barusan tampak terkejut juga, mereka memandangi wajah David dengan tatapan aneh. Mereka heran melihat David tiba-tiba berubah pikiran. Padahal dia baru saja begitu bersemangat mengajak mereka untuk protes pada Rektor untuk menyelesaikan urusan ‘Mahasiswi Teroris’ di kampus mereka itu.
Jardon emosi dengan sikap David yang berubah begitu,“Oh, ayolah Dave! Ada apa denganmu? Kau tidak percaya padaku? Pada kami? Dia itu teroris!” teriak Jardon meyakinkan.
Maryam terus saja berjalan dan dia tak mau mempedulikan perdebatan mereka yang tak sengaja didengarnya tadi. Tadi, saat dia melintas di hadapan David, dia sempat melihat ke arah David sekilas dan tersenyum sebelum akhirnya berlalu.
David masih memandangi punggung Maryam yang kian menjauh dari pandangan matanya.
“Dave?” teriak Jardon lagi pada David.
David terkejut lalu menoleh pada Jardon dengan marah.
“Buddies! Percayalah padaku, dia bukan teroris,” David berkata tegas. “Sekarang sebaiknya kita ke kelas saja.”
Jardon kesal bukan main mendengar kata-kata itu dari David.
“Kalau kau sampai masuk kelas untuk ikut jam perkuliahan bersama mahasiwi berkerudung itu, berarti kau bukan ketu BEM kami lagi,” ancam Jardon.
David menghela napas.
“Itu pilihan kalian. Tapi percayalah padaku, gadis itu tidak tampak seperti teroris. Aku bisa melihatnya. Dia tidak tampak seperti gadis yang akan menyembunyikan bom di balik kerudungnya,” ucap David lalu Ia pergi meninggalkan Jardon dan teman-temannya di sana. Dia ingin mengikuti jam perkuliahan seperti biasanya.
Jardon memandangi David yang mulai menjauh darinya.
“Dave!” panggil Jardon.
David menoleh padanya.
“Kalau kau tidak mau bekerjasama!” teriak Jardon,”orang tua kami sepertinya harus turun tangan! Kampus tak akan bisa berbuat banyak!”
David tak peduli. Ia kembali berbalik lalu menghilang dari pandangan mata Jardon. Dan teman-teman sekampus yang lain tampak kecewa dengan sikap David yang mendadak berubah seperti itu.
David melangkah memasuki kelas itu dengan pelan dan dengan tanya—yang sama dengan yang dilontarkan Jardon dan teman-temannya beberapa saat lalu—di kepalanya. Mengapa ia sampai berubah pikiran untuk tidak ikut campur dengan pernyataan teroris yang dituduhkan pada gadis itu?Gadis itu sedang duduk sambil membaca sesuatu saat David berjalan menuju bangkunya. David duduk di sebelahnya. Lama tak ada pembicaraan di antara mereka. Bagi David, wajah se-innocent itu tidak tampak seperti menyimpan niat jahat untuk menghancurkan kampus dengan bom. Dan seperti kata ayahnya, gadis itu wajib diperlakukan seperti warga Amerika lainnya. Justitia omnibus. David mengingatnya lagi.Maryam sendiri merasa tenang karena akhirnya ia merasa memiliki teman yang mendukungnya. Meski tak melihat wajahnya, ia yakin, mahasiswa yang masuk ke kelas itu adalah mahasiswa yang beberapa saat lalu berdebat dengan teman-temannya di parkiran kampus. Maryam ingin mengucapkan ter
David berjalan menuju kantin sambil kembali mengingat-ingat saat pertama kali dia melihat wajah gadis berkerudung itu di parkiran kampus tadi pagi.Wajah itu begitu cerah bersinar. Belum pernah aku melihat wajah yang bersinar cerah seperti itu. Walaupun Anggel adalah yang tercantik di sekolah, tapi wajah Anggel tak secerah wajah gadis itu.Pikir David. Hatinya terus bergumam, mencoba mengingat-ingat peristiwa beberapa jam yang lalu.Aku merasa tenang saat berada di kelas bersama gadis itu, tak pernah aku merasakan setenang itu. Tuhan, apakah aku jatuh cinta pada gadis itu? Aku sungguh belum pernah merasakan rasa ini sebelumnya pada gadis mana pun. Tiba-tiba saja aku seperti berubah. Berubah menjadi David yang lain. Apa mungkin Jardon benar? Aku memang tidak mengenalnya. David berdialog dengan dirinya sendiri. Ia kemudian sampai di kantin itu dan memesan makanan. Setelah kenyang kembali ke kelas. David menemukan Gadis Dubai itu sed
Maryam mengangkat wajah. Untuk kedua kalinya ia menatap mata David secara langsung setelah melihatnya di halaman sekolah pagi tadi. Wajah David yang tampan membuat Maryam bergetar. Baru kali itu ia merasakan getaran seperti itu. Di Dubai, Maryam dikuliahkan di universitas khusus perempuan sehingga ia nyaris tak pernah berinteraksi dengan anak lelaki seusianya. Hatinya mengatakan ingin sekali menaiki sepeda remaja itu, namun Maryam malu. Interaksi itu membuat hati Maryam sedikit gelisah. Ia masih menghawatirkan apakah yang dia lakukan itu adalah dosa atau tidak.“Kenapa harus meminta maaf?” tanya Maryam,”lagi pula, aku tidak mungkin menerima tawaran tumpangan sepeda anak lelaki asing.”David terdiam. Sedikit kecewa mendengar ucapan itu. Tapi kemudian ia maklum. Untuk berjalan sejajar pun tak boleh. Mana boleh bersepeda berboncengan?“Kau berjalanlah duluan,” pinta Maryam kemudian.“Tapi kau jangan jauh-jauh dariku,
Maryam masuk ke kamarnya lalu berbaring di atas kasurnya. Tiba-tiba wajah David terbayang di pelupuk matanya. Berkali-kali ia mengusir wajah itu, tapi bayangan wajah David yang tampan itu tak mau hilang juga dari matanya. Maryam lalu duduk. Dia beristigfar berkali-kali. Namun sesaat dia tersadar saat pertama kali menatap wajah remaja itu tadi ada perasaan aneh yang muncul secara mendadak. Lalu ditambah saat dia menemaninya belajar di kelas tadi dan saat dia menemani Maryam ke halte dengan alasan dia khawatir kalau mahasiswa dan mahasiswi yang tidak suka dengannya itu akan berbuat jahat padanya. Tulus sekali niat pemuda itu, pikir Maryam. Selama hidupnya baru kali itu ada seorang lelaki asing yang baik padanya.Inikah cinta seperti yang dikatakan penulis kisah seribu satu malam itu? Atau seperti yang dikatakan William Shakespeare dalam karyanya Romeo dan Juliet?Tidak, itu terlalu cepat untuk menyimpulkannya begitu. Selama ini Maryam tak pernah percaya dengan k
Saat Maryam berada di dalam bus, dia teringat obrolan ayah dan ibunya di ruang tengah dan tak sengaja ia dengarkan di kamarnya. Kedua orang tuanya itu sedang membahas hari ulang tahun ayahnya besok. Ibunya menanyakan hadiah ulang tahun apa yang ayahnya mau. Ayahnya bilang beri saja dia maninan kunci berbentuk ka’bah, agar dia selalu teringat kiblat dan benda itu akan turut mengingatkannya akan sholat lima waktu. Ibunya berjanji untuk memberika hadiah itu pada suaminya. Dan untuk alasan itulah Maryam menanyakan pada David tadi soal toko yang menjual benda-benda yang biasa dijadikan hadiah. Maryam ingin memberi hadiah itu pada ayahnya tepat di hari kelahirannya. M
“Kau belum tidur?” tanya ibunya heran. “Aku ingin mengucapkan selamat ulang tahun pada ayah, Bu,” ucap Maryam sambil tersenyum senang. Ibunya terkejut, dia baru teringat kalau malam ini suaminya itu ulang tahun. Padahal kemarin malam dia sudah berjanji untuk memberikan kado padanya. Namun dia tak menemukan hadiah yang diinginkan suaminya itu.
Sebuah Bus berhenti di halte. David dan Maryam pun turun dari sana. Sesaat gadis berkerudung itu menoleh pada David.“Terima kasih, Dave. Hari ini kau sudah membawaku untuk mengenal dunia,” ucap Maryam dengan senang.“Sama-sama. Dan aku akan selalu siap untuk menemanimu ke mana pun kau mau,” ucap David.Maryam lalu berbalik dan meninggalkan David di sana. David menatap punggung Maryam yang kian jauh dari pandangan matanya.Dan setelah itu, setiap kali pulang kuliah, Maryam meminta David untuk menemaninya kembali berkeliling kota. Maryam pun meminta David untuk menemaninya ke mall, ke toko buku dan ke tempat restoran Arab yang ada di sana. Mereka mulai saling dekat dan saling mengenal. Mereka mulai merasakan kenyamanan saat bersama.Dan saat Maryam pulang sehabis pergi bersama David itu. Hari itu ada yang berbeda dengan ayahnya. Ayahnya berdiri marah di ambang pintu menunggu Maryam pulang. Maryam berjalan ke arahnya den
Pagi itu kota Washington sangat cerah, secerah hati David. Remaja itu masih mengayuh sepedanya dengan kencang, dia tak sabar untuk segera sampai ke kampusnya. Hatinya juga tak sabar ingin bertemu dengan Maryam. Di sepanjang perjalanan di jalur sepeda itu, dia memikirkan untuk mengajak Maryam kemana lagi hari itu. Hampir dari setiap sudut di kota itu sudah dia perkenalkan pada gadis itu.Setiba di kampus, David sangat senang saat melihat semua teman-temannya sudah berada di kelas untuk bersiap menerima materi kuliah lagi hari itu. Hatinya bertanya-tanya, siapa yang menggerakkan mereka untuk datang kembali ke kampusnya. Padahal dia sudah melakukan berbagai cara untuk membujuk dan meyakinkan mereka kalau Maryam bukan seorang teroris. Apa mereka sudah menerima Maryam dengan baik? Tanya David dalam hati. Lalu seketika mata yang biru itu mengitari seisi kelas. Dia heran karena tidak menemukan Maryam di sana.Jardon yang melihat David langsung menghampirinya.&nb