Gilang yang sudah keluar lebih dulu karena ditugaskan Retno, terlihat mencari seseorang di kantin sekolah.
“Cindy kok nggak ketemu yah,” pikirnya bingung dan terus melangkahkan kakinya mengitari kantin tersebut.Ya, siapa lagi yang dicari kalau bukan Cindy, gadis pujaan hatinya. Semenjak cintanya diterima Cindy, jika tidak ada kesibukan masing-masing, mereka selalu melewatkan waktu jam istirahatnya bersama.“Haduh, Cindy di mana sih. Kok nggak ketemu juga daritadi,” ucapnya dan memilih mengantri dideretan siswa untuk mengambil makan siangnya.Selepas mendapat makanannya. Gilang melangkah menuju tempat duduk yang kosong berada di pojok kanan. Tidak beberapa lama, gadis yang ditunggu datang. Dia pun lekas menghampiri Cindy yang tampak lesu."Kamu ke mana sih, cantik? Dicariin daritadi nggak ada,” tanyanya bingung.Cindy tidak menjawab, dia hanya tersenyum manis menatap kekasih hatinya. Lalu pamit untuk ikut mengantri dengan siswa lain yang belum mendapatkan makanan. Setelah mendapat makanan, Cindy pun gegas menghampiri Gilang yang telah menunggunya di meja makan.Mereka berdua menikmati waktu makan siangnya sembari bergurau bersama. Walaupun waktu mereka untuk berduaan tidak lagi selama biasanya, Cindy dan Gilang benar-benar memanfaatkannya sebaik mungkin.Tanpa disadari oleh pasangan kekasih itu. Kesya menatap mereka tajam. Dia mengepal tangan kuat menahan gejolak emosi yang ada di dalam dada. Ingin rasanya dia menghantam wajah gadis yang membuat pria itu tertawa lepas, padahal mereka berada di keramaian."Enak banget yah, gembel tapi bisa ikut makan enak di sekolah,” ucap Kesya yang ternyata sudah berada di belakang Cindy.Seketika Cindy meremang, kehadiran Kesya di belakangnya, bagaikan hantu yang membuat dirinya seketika ketakutan. Sementara Gilang, dia mencebik kesal menatap wajah jutek gadis yang berdiri di belakang kekasihnya, karena waktu berduaan mereka terganggu olehnya.Kesya sedikit membungkukkan tubuhnya. Tangannya pun beraksi cepat dengan menarik rambut Cindy, membuat gadis itu menjerit tertahan, menahan rasa sakit di kulit kepalanya."Heh, Kesya, lepaskan tangan kamu dari Cindy. Kamu yah, kasar sekali jadi cewek,” ucap Gilang reflek memukul tangan Kesya keras, berusaha membantu melepaskan cengkraman kuat tangan gadis sombong itu di rambut sang kekasih."Terserah gue dong, mau kasar, mau lembut. Ini kan tangan gue, ngapain lo ikut campur," bentak Kesya murka, kesal kesenangannya diganggu.Namun, bukan Kesya namanya kalau diganggu harus pasrah dan bahkan menurut. Justru gadis itu, semakin menguatkan cengkraman nya hingga membuat Cindy semakin meringis, kulit kepalanya terasa terbakar dan seperti mau lepas saja. "Sya, lepas tidak. Cindy kesakitan," ucap Gilang panik, lantas berdiri dari tempat duduknya, mencoba melepas tangan Kesya tanpa harus melukai Cindy. Cindy meringis menahan sakit, dia hanya diam saat Gilang membantunya. Dia tak bisa melawan tindakan Kesya yang semena-mena pada dirinya. Dia memasrahkan diri, karena memang selemah itulah seorang Cindy. Merasa tangannya sakit karena Gilang mencengkeram pergelangan tangannya. Kesya pun melepas tangannya. "Dasar cewek gembel, penggoda, awas saja kamu bermesraan lagi di sini. Mati adalah cara terbaik biar hidupmu tenang," bisik Kesya kesal lantas membalikkan tubuhnya, kembali melangkah ke bangkunya. Di mana Nada dan Tahnia ada di sana. Melihat adegan yang begitu memilukan, ditambah teriakan Gilang yang mencoba menghentikan Kesya tadi. Memancing para manusia untuk melihat ke arah mereka. Semua mata pun tertuju pada mereka.Cindy diam membisu. Dia sedikit menyeka air matanya, menatap makanan di depannya dengan wajah sedih, meratapi penderitaannya saat ini yang sangat menyedihkan. Cindy merasa lelah, setiap hari dia tersiksa, setiap hari dirinya dilukai oleh orang-orang yang tidak pernah dia jahati. "Kamu nggak apa-apa kan, Cin?" tanya Gilang melihat raut wajah sang kekasih yang memerah. "Aku capek, Lang. Aku capek seperti ini terus," ucap Cindy pelan, lalu menunduk, berusaha menyeka air mata yang lolos jatuh ke pipinya. "Sabar yah, Cin. Kamu kuat, kamu gadis hebat. Kamu nggak usah masukin ke hati apa yang dia ucapkan. Oke," ucap Gilang menenangkan. "Aku wanita cantik dan hebat. Semangat ya sayang. Aku selalu ada untuk kamu," lanjutnya menyemangati Cindy. Lonceng pun berbunyi, para siswa kembali masuk ke kelas mereka untuk mengikuti pembelajaran selanjutnya.Cindy dan Gilang bangkit untuk kembali ke kelas. Di tempat duduknya, Kesya mengumpat dalam hati, dia semakin membenci Cindy yang selalu saja memiliki malaikat penolong dalam hidupnya. "Awas saja kamu, Cindy. Aku tidak akan segan untuk menyiksamu tanpa ampun," ucap Kesya dalam hati, meremas kuat tisu yang ada di tangannya.Sebuah gedung tua, berdiri kokoh di tengah hutan belantara. Seorang gadis cantik berkacamata hitam tengah melangkah memasuki gedung tersebut. Setiap ruangan dengan minim pencahayaan, dia tembus dengan langkah anggunnya. "Mr. P!!" ucapnya pada dua pria bertubuh besar yang berada di depan ruangan, menjaganya dengan ketat. Tanpa membalas, keduanya membuka pintu itu dengan lebar. Gadis itu kembali melangkah setelah sebelumnya menghentikan langkah untuk menghidupkan sebatang rokok yang dibawanya. "Haiii gadisku," ucap pria paruh baya, meletakkan gelas kopi yang baru dia seruput isinya. Gadis itu hanya mengangkat tangannya sekilas, lalu meletakkan sebuah foto di atas meja yang berada di sebelah kiri pria itu. Sembari tersenyum, dia berucap mission succes. Pria paruh baya itu tersenyum getir, melirik sekilas foto dan merasa puas dengan foto tersebut. Lantas Mr. P kembali tersenyum padanya, mengangguk kecil sembari bertepuk tangan memberi pujian."I Like You, Yuna. You're the best. Perfe
Setelah satu jam Cindy mengerjakan pekerjaannya. Dia merasa tubuhnya sangat lelah dan segera mengistirahatkannya, untung saja semua pekerjaannya sudah beres hingga dia bisa bersantai sejenak. Cindy yang memang bergantung pada pekerjaan ini, bekerja tanpa henti agar bisa digaji lebih tinggi oleh Wina, sang pemilik toko. Dia juga menjadi karyawan amanah sang pemilik toko, makanya dia sering diberikan makanan gratis oleh Wina karena jujur dan sangat membantu. Cindy menyeka keringat yang membanjiri keningnya. Kedua tangannya aktif mengibas untuk menghilangkan hawa panas di tubuhnya, setelah bekerja cukup keras. "Huufff, lelahnya," ucapnya sembari mengibas baju kausnya, menyenderkan tubuhnya di bangku kasir. Terdengar pintu kaca toko itu dibuka pelan. Cindy lekas berdiri, saat melihat pelanggan masuk ke tokonya. Dia menundukkan kepala sedikit. "Selamat datang," ucapnya sembari tersenyum ramah pada pelanggan yang wajahnya belum terlihat olehnya. Cindy begitu ramah melayani setiap pelan
Cindy panik kala pekerjaannya yang baru saja diselesaikan, justru kembali dikacaukan teman-teman kelasnya. Dia gegas menuju Kesya, untuk menghentikan kekacauan yang diperbuat mereka. Dia takut jika buk Wina nantinya marah padanya, hingga membuat dirinya harus kehilangan pekerjaan yang menggantungkan kehidupannya. "Stop, stop, hentikan semuanya. Kalian tidak boleh mengobrak-abriknya. Tolong, jangan seenaknya di sini." Cindy berteriak mencoba menghentikan. Namun, sayang, mereka yang memang sengaja berbuat demikian. Mengabaikan ucapan, dan larangan dari Cindy. Justru mereka semakin menjadi-jadi dengan kelakuan mereka. Cindy menguatkan dirinya untuk berani melawan mereka, dia memegang tangan Kesya. "Kesya, cukup. Hentikan semua ini," teriak Cindy. Sang empu nama seketika menghentikan kegiatannya. Dia melihat ada tangan mencengkram pergelangan tangannya. Lalu, mengalihkan pandangannya pada si gadis yang memegang tangannya itu. "Kamu bilang apa tadi?" tanya Kesya mendekati menatap Cind
Cindy mati kutu dibuatnya. Tatapan ketiga gadis kaya keturunan bangsawan, bangsa di atas awan itu, bak menusuk jantungnya. Apalagi, bisikan roh halus jelmaan manusia, Kesya Alvionita, berisi tentang sebuah ancaman. Membuat bulu kuduk Cindy merinding. "Jawab cepat," sentak Kesya memberi ultimatum dari tatapannya. Kesya sibuk sendiri melihat Cindy yang diam membisu. Dia sedikit takut pada Retno yang bisa saja menjadi ancamannya saat ini. Sementara Tania dan Nada hanya diam, memperhatikan di belakang Kesya."I-iya, Pak. Mereka ke sini cuma belanja kok," jawab Cindy gugup, sembari tangannya menyeka keringat yang membendung keningnya. Sadar Cindy ketakutan, Retno melirik tidak percaya pada Kesya, lalu kedua temannya yang mematung. Dia menarik nafas panjang, menghempaskannya kasar. "Ya sudah, kalau kalian sudah selesai membeli apa yang kalian mau, pulang lagi ke rumah kalian," ucap Retno dengan tegas sembari terus berdiri, berkacak pinggang memperhatikan murid-muridnya.Kesya mencebik k
Malam pun tiba, Yuuna terbangun dari tidurnya. Dia yang sebelumnya berniat berpesta ria setelah sukses dengan misinya, membatalkan semua itu, dan memilih untuk istirahat di rumahnya. Kesadarannya belum terkumpul full, Yuna kembali merebahkan tubuhnya. Tiba-tiba perutnya keroncongan, Yuna yang masih mengantuk, terpaksa bangun. Dia melihat sekeliling rumahnya gelap, hanya lampu dari luar yang merambat masuk ke celah jendelanya. "Mmmhhh." Yuna menggeliat manja, dia meraih ponselnya di atas nakas.Dilihatnya jam telah menunjukkan pukul 8 malam. "Akkkhhh sial," umpatnya dan bangkit.Yuna pun gegas turun dari kontrakan barunya untuk mencari makanan. Berjalan menyusuri gang-gang kecil, dengan sorotan lampu jalanan yang sedikit redup, dan mengerjap. Tiada rasa takut dalam dirinya akan terjadi bahaya yang menimpanya. Sudah lama Yuna berkeliling di lingkungan itu. Namun, belum juga dia dapati tempat untuk dia bisa mengisi perutnya yang sudah memberontak untuk diisi. "Arrgghh, masa di lingku
Jam menunjukkan pukul 21.30 WIB. Waktunya untuk Cindy kembali ke rumahnya. Gadis cantik itu pun bersiap-siap untuk pulang ke tempat tinggalnya, membereskan semua roti pemberian Wina padanya dengan berbagai rasa. "Bagus lah, bisa untuk beberapa hari. Lagian kadaluwarsanya masih seminggu lagi," ucap Cindy, senang bukan main.Wina tadinya hendak membuang roti yang hampir kadaluwarsa itu. Namun, Cindy yang melihatnya mencegahnya. Meminta semua roti itu untuk dia bawa pulang ke rumahnya. "Buk, Cindy pulang dulu yah, makasih banyak buk, rotinya Cindy pulang dulu," ucapnya berpamitan pada Wina yang membalasnya dengan tersenyum ramah. Cindy pun gegas melangkahkan kakinya agar sampai di rumahnya yang cukup jauh dari toko. Berulang kali Cindy menguap, matanya begitu mengantuk. Namun, dia tetap harus bertahan karena belum mengerjakan tugas-tugas sekolahnya. Dia pun menatap kantong plastik yang ada di dekapannya. "Syukurlah, roti ini bisa sampai besok sore. Lumayan, ngirit uang jajan," ucap C
Mobil sedan hitam itu berhenti di sebuah jembatan yang berada di pemukiman kumuh di pinggiran kota. El pun menghentikan mobil mereka sekitar 100 meter dari mangsanya. "Lo nggak usah ikut campur," tegas Yuna dengan tampang serius. Yuna pun turun, membiarkan El diam di dalam mobilnya, karena ini adalah tugasnya seorang. Tidak membutuhkan orang lain dalam menjalankan misinya."Sombong," ucap El dalam hati, mendengar temannya itu tidak membutuhkan dirinya. Yuna mendekati pria itu pelan dan hati-hati. Pria berjaket hitam, dengan sepatu sport yang dikenakannya, tampak menemui seorang pria paruh baya di bawah jembatan. Pria yang di kawal dua bodyguard di belakangnya, serta dua bodyguard lagi di mobil belakangnya. Clengok ke kiri dan kanan, memastikan tidak ada yang melihat transaksi mereka. Pria itu memberikan apa yang diinginkan si pria paruh baya tersebut. "Okey, pastikan setelah ini rencana kita berhasil. Kalau tidak maka ...." Kata-kata pria itu terhenti tepat saat peluru menjebol t
El panas dingin mendengar pujian dari Mr. P untuk Yuna. Dia tersenyum miris mendengarnya. Dulu, sebelum Yuna benar-benar berkecimpung di dunia kriminal mereka, dia lah yang mendapat pujian itu dari Sang pemimpin organisasi. Namun nyatanya sekarang, pria tua itu justru dengan mudahnya memuji anak lain dan membuang dia seenaknya saja. Bak sampah yang tidak berguna, habis manis sepah di buang. "El, kamu bisa keluar dulu. Ada hal yang harus saja bicarakan dengan Yuna. Hanya empat mata," ucap pria itu, mengarahkan dua jarinya ke matanya, lalu ke mata Yuna yang tersenyum menyombongkan dirinya. Mr. P pun memberi kode pada dua pria bertubuh besar di belakangnya, untuk menggiring El keluar dari ruangan itu, menyisakan mereka berdua.Sadar tidak dibutuhkan, El hanya tersenyum miris, membungkuk hormat pada Mr. P dan melangkah keluar tanpa harus di giring siapapun."Brengsek!!" umpat El menatap pintu yang langsung tertutup saat kakinya telah berada di luar ruangan. "Awas saja kau pria tua bren