Share

2. Gara-gara Karamel Machiato

"Lil, kamu bikinin kopi buat Pak Ezekiel, gih."

Lila yang baru selesai menyortir surat-surat seabreg dan bersiap untuk dia serahkan ke masing-masing divisi, mendadak lemas. "Saya, Bu?" tunjuknya pada diri sendiri.

"Lah iya, kamu!"

Lila menoleh ke arah Yolanda yang masih berkutat dengan tumpukan dokumen, kemudian menggaruk kepala yang tiba-tiba gatal. Ketombean kali, ya. "Iya, Bu," sahutnya lirih. Sebenarnya, waktu Dirut masih Pak Septa, dia biasa bertugas membuatkan kopi. Tapi, ini Dirut baru dan ada peristiwa memalukan pula tadi pagi. Langkah Lila pun menjadi gamang.

Sepanjang perjalanan menuju pantry, badan Lila sudah panas dingin. Mampus pokoknya dia harus mengantar kopi ke ruangan Ezekiel. Bakalan disindir-sindir lagi sepertinya. Sumpah, kalau bisa memutar waktu, Lila tidak akan mengacuhkan adegan tabrakan pagi tadi di lobi.

"Duh, bikin kopi apaan tadi, ya?" Saking blanknya, sampai di pantry Lila meracik kopi hitam, persis seperti yang biasa dia buatkan untuk Pak Septa dulu. Sudah diaduk-aduk, dirapikan, dan tinggal diantar ke ruangan Dirut.

Lila menarik napas dalam-dalam sebelum mengetuk pintu di depannya. Ini pintu ruangan Dirut, kenapa jadi mirip pintu neraka. Pelan dia mengetuk dan dari dalam terdengar suara Ezekiel menyuruhnya masuk.

"Selamat siang, Pak ... saya mau mengantarkan kopi." Lila tidak berani memandang ke arah pemuda berkemeja marun di seberang meja. Tanpa dia tahu, Ezekiel menarik sudut bibirnya begitu melihat gadis yang pagi tadi bersikap ketus dan galak padanya.

"Taruh!" perintah Ezekiel, yang langsung dilaksanakan oleh Lila.

"Silahkan, Pak. Saya permisi dulu."

"Tunggu!" Lila terkesiap dan seketika menghentikan langkahnya. Kemudian memutar badannya menghadap Ezekiel, masih tidak berani memandang ke arah pemuda itu.

"Saya kan belum persilahkan kamu keluar dari ruangan ini. Biasakan diri kamu nggak asal nyelonong begitu."

"Oh, maaf, Pak." Lila menggerutu dalam hati. Nyelonong gimana, jelas-jelas sudah pamitan. Ngarang bener si bos ini.

"Saya musti cobain kopi buatan kamu."

"Siap, Pak." Lila masih setengah menunduk, meskipun dia coba-coba mengintip apa yang sedang dilakukan Ezekiel.

"Ini kopi apaan? Saya kan sudah bilang saya suka caramel machiato!"

Astaga naga bau naga. Lila benar-benar lupa. Baru ingat tadi pagi si bos sudah memberitahu kopi kesukaannya. Aduh, mampus. "Oh, iya, Pak. Maaf, maaf. Saya lupa."

"Lupa atau apa mau ngerjain saya?"

"Nggak, nggak, Pak. Saya benar-benar lupa. Maaf, Pak."

"Ya, jangan bilang maaf-maaf aja, dong. Ganti sana!"

"Baik, Pak." Tanpa pikir panjang, Lila segera mengambil cangkir dan berpamitan untuk kembali ke pantry. Mana jaraknya jauh lagi di ujung.

Di pantry ada Yolanda yang langsung keheranan melihat Lila datang dengan cangkir berisi kopi yang masih penuh, dan raut muka asem tentunya. "Nggak jadi nganter kopi apa gimana?" tanyanya penasaran.

"Salah bikin kopi aku, Yol." Yolanda melongok ke cangkir yang dibawa Lila dan meloloskan tawa.

"Ini kopi item? Kaya yang biasa buat Pak Septa?"

"Hmm." Lila mengambil tray berisi macam-macam kopi sachetan yang ada di dalam wadah penyimpanan di rak. "Bawel banget sumpah Dirut baru!" gerutunya.

"Kamu tuh gimana sih, Lil? Pak Ezekiel kan tadi pagi udah ngasih tahu dia suka kopi apa."

Lila mendecak sebal. "Kopi tuh sama aja. Item kek, machiato kek, tubruk kek, sachetan kek."

"Udah, turutin aja. Amanin posisi."

Lila membuat kopi pesanan bos dengan hati dongkol. Setelah selesai, dia minta Yolanda menunggunya kembali dari ruangan Ezekiel, agar bisa makan siang bersama. Perutnya sudah melilit minta diisi. Ini juga cacing-cacing sama bawelnya dengan si bos.

"Kopi pesanan Bapak." Lila meletakkan cangkir ke atas meja Ezekiel. Kemudian berdiri menunggu sampai pemuda itu mempersilahkannya pergi.

"Ini kopi sachet?"

"Iya, Pak." Lila ketar-ketir. Pasalnya dia lihat Ezekiel urung meminumnya, dan wajah pemuda itu jelas menunjukkan ekspresi tidak senang.

"Kamu pikir warung apa, pake kopi sachetan? Kalau saya bilang karamel machiato ya bener-bener karamel machiato. Yang diracik sendiri. Paham, nggak?"

Racik sendiri. Ini si bos gila apa gimana. Di pantry mana ada bahan-bahan buat bikin kopi yang dimacem-macemin. Dia pikir cafe kali.

"Maaf, Pak. Di pantry cuma ada kopi sachet." Sumpah, buat nelan ludah saja Lila kesusahan. Macam sedang diplonco sama kating di kampus.

"Yakin?" Ezekiel menaikkan sebelah alis. Wajahnya angkuh bukan main. "Ganti, deh. Machiato apaan ini dikasih-kasih ke saya."

Ya Tuhan, ampuni hamba. Batin Lila menangis darah. Dia segera melaksanakan perintah bosnya tanpa berani protes. Ini sih fix, dirinya sedang dikerjain. Ezekiel ini dendam sepertinya. Ya sudahlah, semoga hanya hari ini saja pemuda itu memperlakukannya secara tidak manusiawi seperti ini. Itung-itung untuk membayar ketidaksopanan Lila pagi tadi.

"Lah, kopinya dibawa lagi?" tanya Yolanda yang masih setia menunggu Lila di pantry.

"Emang di sini ada alat dan bahan bikin kopi kaya di cafe, gitu?" Lila berusaha untuk tenang sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling pantry.

"Tuh kali," tunjuk Yolanda pada satu kardus besar yang tergeletak di sudut ruangan. Lila segera membuka kardus dan benar saja, isinya sepaket mesin pembuat kopi baru.

"Busyet! Terus aku yang nggak tahu apa-apa tentang perkopian ini disuruh pake ini mesin?" Lila terperangah. Bosnya mau buka cafe apa gimana.

"Baca buku petunjuknya. Ada, kan?" sahut Yolanda sambil menyeruput kopinya.

Alhasil, siang itu Lila terpaksa mengorbankan waktu makan siang dengan trial and error membuat secangkir karamel machiato. Gondok, tentu saja. Mana tidak ada yang bisa dimintai tolong. Sebab, di lantai itu tempat kerjanya para petinggi perusahaan semua, dan jabatan Lila yang paling rendah di sana, sebagai asisten sekretaris. Mau minta tolong OB di lantai bawah, gengsi. Membuat kopi untuk bos besar adalah job desknya.

Semoga saja si bos tidak complain dengan karamel machiato buatannya yang amatiran. Kecuali, Ezekiel memang benar-benar ingin mengerjainya habis-habisan.

"Ini kamu niat bikinnya nggak, sih?" tanya Ezekiel, saat mencoba kopi buatan Lila.

"Niat banget, Pak. Saya sudah melakukan beberapa kali percobaan." Hampir saja Lila ingin melepas sepatu dan melemparkannya ke wajah sengak Ezekiel.

"Kok gini rasanya? Kamu lupa nambahin vanilla?"

"Pak, saya sudah baca resep dari g****e. Semua bahan sudah saya masukkan."

"Apaan, nih, nggak enak gini. Perlu kamu tahu ... mmm, siapa nama kamu, saya lupa?"

"Lila, Pak."

"Ah, ya ... Lila. Saya butuh minuman jenis ini untuk meningkatkan mood kerja saya. Sudah paham kan pentingnya? Jadi, kamu nggak boleh sembarangan bikinnya."

Leher Lila serasa tercekik mendengar ucapan Ezekiel. Dengan lirih dia pun berkata, "Jadi, harus dibikin ulang, Pak?" Matanya nanar memandangi cangkir di atas meja.

"Ya iyalah, pake nanya!"

Sumpah, kalau saja pemuda di seberang meja itu bukan Dirut perusahaan, saat ini Lila pasti sudah melompat ke atas meja dan mencekik Ezekiel sampai mati lemas.

"Baik, Pak," ucap Lila pasrah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status