"Lil, kamu bikinin kopi buat Pak Ezekiel, gih."
Lila yang baru selesai menyortir surat-surat seabreg dan bersiap untuk dia serahkan ke masing-masing divisi, mendadak lemas. "Saya, Bu?" tunjuknya pada diri sendiri."Lah iya, kamu!"Lila menoleh ke arah Yolanda yang masih berkutat dengan tumpukan dokumen, kemudian menggaruk kepala yang tiba-tiba gatal. Ketombean kali, ya. "Iya, Bu," sahutnya lirih. Sebenarnya, waktu Dirut masih Pak Septa, dia biasa bertugas membuatkan kopi. Tapi, ini Dirut baru dan ada peristiwa memalukan pula tadi pagi. Langkah Lila pun menjadi gamang.Sepanjang perjalanan menuju pantry, badan Lila sudah panas dingin. Mampus pokoknya dia harus mengantar kopi ke ruangan Ezekiel. Bakalan disindir-sindir lagi sepertinya. Sumpah, kalau bisa memutar waktu, Lila tidak akan mengacuhkan adegan tabrakan pagi tadi di lobi."Duh, bikin kopi apaan tadi, ya?" Saking blanknya, sampai di pantry Lila meracik kopi hitam, persis seperti yang biasa dia buatkan untuk Pak Septa dulu. Sudah diaduk-aduk, dirapikan, dan tinggal diantar ke ruangan Dirut.Lila menarik napas dalam-dalam sebelum mengetuk pintu di depannya. Ini pintu ruangan Dirut, kenapa jadi mirip pintu neraka. Pelan dia mengetuk dan dari dalam terdengar suara Ezekiel menyuruhnya masuk."Selamat siang, Pak ... saya mau mengantarkan kopi." Lila tidak berani memandang ke arah pemuda berkemeja marun di seberang meja. Tanpa dia tahu, Ezekiel menarik sudut bibirnya begitu melihat gadis yang pagi tadi bersikap ketus dan galak padanya."Taruh!" perintah Ezekiel, yang langsung dilaksanakan oleh Lila."Silahkan, Pak. Saya permisi dulu.""Tunggu!" Lila terkesiap dan seketika menghentikan langkahnya. Kemudian memutar badannya menghadap Ezekiel, masih tidak berani memandang ke arah pemuda itu."Saya kan belum persilahkan kamu keluar dari ruangan ini. Biasakan diri kamu nggak asal nyelonong begitu.""Oh, maaf, Pak." Lila menggerutu dalam hati. Nyelonong gimana, jelas-jelas sudah pamitan. Ngarang bener si bos ini."Saya musti cobain kopi buatan kamu.""Siap, Pak." Lila masih setengah menunduk, meskipun dia coba-coba mengintip apa yang sedang dilakukan Ezekiel."Ini kopi apaan? Saya kan sudah bilang saya suka caramel machiato!"Astaga naga bau naga. Lila benar-benar lupa. Baru ingat tadi pagi si bos sudah memberitahu kopi kesukaannya. Aduh, mampus. "Oh, iya, Pak. Maaf, maaf. Saya lupa.""Lupa atau apa mau ngerjain saya?""Nggak, nggak, Pak. Saya benar-benar lupa. Maaf, Pak.""Ya, jangan bilang maaf-maaf aja, dong. Ganti sana!""Baik, Pak." Tanpa pikir panjang, Lila segera mengambil cangkir dan berpamitan untuk kembali ke pantry. Mana jaraknya jauh lagi di ujung.Di pantry ada Yolanda yang langsung keheranan melihat Lila datang dengan cangkir berisi kopi yang masih penuh, dan raut muka asem tentunya. "Nggak jadi nganter kopi apa gimana?" tanyanya penasaran."Salah bikin kopi aku, Yol." Yolanda melongok ke cangkir yang dibawa Lila dan meloloskan tawa."Ini kopi item? Kaya yang biasa buat Pak Septa?""Hmm." Lila mengambil tray berisi macam-macam kopi sachetan yang ada di dalam wadah penyimpanan di rak. "Bawel banget sumpah Dirut baru!" gerutunya."Kamu tuh gimana sih, Lil? Pak Ezekiel kan tadi pagi udah ngasih tahu dia suka kopi apa."Lila mendecak sebal. "Kopi tuh sama aja. Item kek, machiato kek, tubruk kek, sachetan kek.""Udah, turutin aja. Amanin posisi."Lila membuat kopi pesanan bos dengan hati dongkol. Setelah selesai, dia minta Yolanda menunggunya kembali dari ruangan Ezekiel, agar bisa makan siang bersama. Perutnya sudah melilit minta diisi. Ini juga cacing-cacing sama bawelnya dengan si bos."Kopi pesanan Bapak." Lila meletakkan cangkir ke atas meja Ezekiel. Kemudian berdiri menunggu sampai pemuda itu mempersilahkannya pergi."Ini kopi sachet?""Iya, Pak." Lila ketar-ketir. Pasalnya dia lihat Ezekiel urung meminumnya, dan wajah pemuda itu jelas menunjukkan ekspresi tidak senang."Kamu pikir warung apa, pake kopi sachetan? Kalau saya bilang karamel machiato ya bener-bener karamel machiato. Yang diracik sendiri. Paham, nggak?"Racik sendiri. Ini si bos gila apa gimana. Di pantry mana ada bahan-bahan buat bikin kopi yang dimacem-macemin. Dia pikir cafe kali."Maaf, Pak. Di pantry cuma ada kopi sachet." Sumpah, buat nelan ludah saja Lila kesusahan. Macam sedang diplonco sama kating di kampus."Yakin?" Ezekiel menaikkan sebelah alis. Wajahnya angkuh bukan main. "Ganti, deh. Machiato apaan ini dikasih-kasih ke saya."Ya Tuhan, ampuni hamba. Batin Lila menangis darah. Dia segera melaksanakan perintah bosnya tanpa berani protes. Ini sih fix, dirinya sedang dikerjain. Ezekiel ini dendam sepertinya. Ya sudahlah, semoga hanya hari ini saja pemuda itu memperlakukannya secara tidak manusiawi seperti ini. Itung-itung untuk membayar ketidaksopanan Lila pagi tadi."Lah, kopinya dibawa lagi?" tanya Yolanda yang masih setia menunggu Lila di pantry."Emang di sini ada alat dan bahan bikin kopi kaya di cafe, gitu?" Lila berusaha untuk tenang sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling pantry."Tuh kali," tunjuk Yolanda pada satu kardus besar yang tergeletak di sudut ruangan. Lila segera membuka kardus dan benar saja, isinya sepaket mesin pembuat kopi baru."Busyet! Terus aku yang nggak tahu apa-apa tentang perkopian ini disuruh pake ini mesin?" Lila terperangah. Bosnya mau buka cafe apa gimana."Baca buku petunjuknya. Ada, kan?" sahut Yolanda sambil menyeruput kopinya.Alhasil, siang itu Lila terpaksa mengorbankan waktu makan siang dengan trial and error membuat secangkir karamel machiato. Gondok, tentu saja. Mana tidak ada yang bisa dimintai tolong. Sebab, di lantai itu tempat kerjanya para petinggi perusahaan semua, dan jabatan Lila yang paling rendah di sana, sebagai asisten sekretaris. Mau minta tolong OB di lantai bawah, gengsi. Membuat kopi untuk bos besar adalah job desknya.Semoga saja si bos tidak complain dengan karamel machiato buatannya yang amatiran. Kecuali, Ezekiel memang benar-benar ingin mengerjainya habis-habisan."Ini kamu niat bikinnya nggak, sih?" tanya Ezekiel, saat mencoba kopi buatan Lila."Niat banget, Pak. Saya sudah melakukan beberapa kali percobaan." Hampir saja Lila ingin melepas sepatu dan melemparkannya ke wajah sengak Ezekiel."Kok gini rasanya? Kamu lupa nambahin vanilla?""Pak, saya sudah baca resep dari g****e. Semua bahan sudah saya masukkan.""Apaan, nih, nggak enak gini. Perlu kamu tahu ... mmm, siapa nama kamu, saya lupa?""Lila, Pak.""Ah, ya ... Lila. Saya butuh minuman jenis ini untuk meningkatkan mood kerja saya. Sudah paham kan pentingnya? Jadi, kamu nggak boleh sembarangan bikinnya."Leher Lila serasa tercekik mendengar ucapan Ezekiel. Dengan lirih dia pun berkata, "Jadi, harus dibikin ulang, Pak?" Matanya nanar memandangi cangkir di atas meja."Ya iyalah, pake nanya!"Sumpah, kalau saja pemuda di seberang meja itu bukan Dirut perusahaan, saat ini Lila pasti sudah melompat ke atas meja dan mencekik Ezekiel sampai mati lemas."Baik, Pak," ucap Lila pasrah.Lila terpaksa makan di ruang kerja sambil menyiapkan dokumen-dokumen yang akan dipakai rapat oleh si bos siang ini. Yolanda pun ikut kena imbasnya. Sama-sama kehilangan jam istirahat gara-gara menunggui Lila membuat karamel machiato untuk Ezekiel, sampai bos mereka itu puas dengan rasanya. Namun, keduanya sudah sangat bestie, jadi Yolanda tidak kesal sama sekali. Justru prihatin dengan nasib Lila."Lila, aku barusan ditegur sama Pak Ezekiel." Bu Ana masuk ke dalam ruangan dengan wajah kesal.Astaga, cobaan apa lagi ini. Lila sudah menduga wanita itu akan memberitahukan sebuah berita buruk. "Ada apa lagi, Bu?" cicitnya."Kamu lelet bikin kopinya. Mana nggak enak katanya. Itu bikin mood Pak Ezekiel hancur, Lila.""Aduh, saya udah berusaha keras bikin karamel machiato, Bu. Mana Pak Ezekiel nggak mau yang sachetan. Tanya Yolanda deh, Bu." Yolanda di meja samping mengangguk-angguk."Ya, intinya Pak Ezekiel nggak mau tahu, itu sudah jadi tugas kamu, Lil.""Duh, ribet bener sih tuh orang. In
Ini akhir pekan, dan Lila hanya ingin rebahan saja di kamar kosnya. Palingan keluar cuma beli makan, atau kalau terlalu malas, dia bisa pesan makanan melalui layanan antar makanan. Namun, Yolanda tiba-tiba menelepon dan minta ditemani ke pesta nikahan temannya.Sudah ditolak mentah-mentah, eh, Yolanda malah mendatanginya ke kos sambil sujud-sujud memohon-mohon. Kasihan juga, tapi malas. Acara kondangan lagi. Untuk jomblo akut kaya Lila, itu penyiksaan namanya melihat pasangan menikah. Boro-boro ada yang diajak nikah, pacar aja nggak punya.Ngomong-ngomong Yolanda juga member JJKBC (Jomblo-jomblo Kurang Bahagia Club) seperti dirinya, sih. Terus ini dua jomblo akut pergi ke pesta nikahan orang saling gandengan tangan gitu, sementara yang lain datang berpasang-pasangan pamer pacar, pamer bini, pamer laki, dan semacamnya."Dasar jomblo nyusahin aja kamu, Yol. Aku kan pingin rebahan seharian. Udah tahu minggu ini kerjaanku sangat menguras energi gara-gara Ezekiel kampret itu.""Noh, kaca .
"Lil, nanti malam kamu gantiin saya mendampingi Pak Ezekiel acara gathering di hotel Rama, ya? Saya ada urusan keluarga yang nggak bisa saya tinggal."Baru saja melangkahkan kaki masuk ke dalam ruangannya, Bu Ana sudah memberinya tugas. Apa tadi, mendampingi Pak Ezekiel acara gathering nanti malam. Artinya dia tidak bisa berakhir pekan dengan tenang."Saya, Bu?" tanya Lila."Iya, kamu."Sementara Yolanda di mejanya senyum-senyum jahil. Lila medesis. "Kenapa nggak Yolanda, Bu?""Aku udah bilang ke Bu Ana mau pulang ke Solo. Mamaku lagi sakit."Lila menghela napas berat. Akhir pekan yang seharusnya dia gunakan untuk bersantai-santai, masih juga harus bertemu dengan bosnya yang menyebalkan itu."Nggak usah protes, Lila. Pak Ezekiel bakal marah nanti kalau nggak ada pendampingan dari dewan sekretaris." Bu Ana berucap, menampik kekesalan Lila."Iya, deh, Bu," sahut Lila berat.Lila merasa canggung saat diberi tugas untuk mewakili Bu Ana, dalam menghadiri acara gathering para pengusaha. Ia
"Hah?" Ezekiel membelalakkan matanya mendengar jawaban Lila. "Kamar apa?" tanyanya."Ya apa kek, kamar hotel, kamar kontrakan, kamar kos," kikik Lila.Ezekiel menggeleng pelan. Lila yanb masih menempel padanya dia dorong masuk ke dalam mobilnya yang terparkir di halaman hotel. "Oke, aku antar kamu ke kamar. Alamat kamu di mana?" tanya Ezekiel begitu dia duduk di belakang kemudi. "Alamat apa ya, Pak?" Lila masih terkekeh-kekeh tak jelas sambil berusaha memeluk Ezekiel. Ezekiel menghela napas dalam-dalam. Cewek kalau sudah mabok memang sangat merepotkan. "Kamu duduk diem di situ!" perintahnya sambil mendorong Lila ke kursinya, dan mengikatkan sabuk pengaman kencang-kencang. "Cepet bilang alamat kamu di mana?""Mmm ... oh, maksud bapak alamat kosku?" kikik Lila. "Ya terserah lah yang penting alamat kamu tinggal.""Oh, di ... mmm ... sebentar aku inget-inget dulu." Lila menggaruk kepala. "Jalan Cempaka daerah__," Lila menyebutkan nama daerah tempat dia tinggal.Ezekiel membuka map di
Hari senen adalah mimpi buruk bagi Lila, sebab dia harus masuk kantor dan bertemu dengan Ezekiel. Mau ditaruh di mana mukanya. Parah sekali apa yang dilakukannya pada Ezekiel. Lebih parahnya lagi, Lila benar-benar memepermalukan dirinya sendiri. "Lil, kenapa sih? Mukanya kaya orang pingin berak gitu?" ucap Yolanda. "Pak Ezekiel di ruangannya nggak, ya?" tanya Lila harap-harap cemas. Dia sungguh berharap hari ini Ezekiel tidak datang ke kantor, jadi Lila punya waktu untuk menyiapkan mentalnya. Ada dua hal yang harus dia lakukan pada bosnya itu. Pertama, mengembalikan dompet, kedua, meminta maaf atas perbuatan tidak senonohnya malam itu. "Kayaknya tadi aku lihat dia udah berangkat, deh.""Aduh, mampus aku!" Lila memegangi kepalanya frustrasi. "Kenapa sih, Lil? Kamu bikin masalah lagi sama Pak Ezekiel?" "Lebih parah dari itu." Seketika Lila ingin berubah menjadi kertas-kertas di atas meja saat mengingat peristiwa memalukan malam itu. "Coba cerita," pinta Yolanda penasaran. Dan saa
Ezekiel membaringkan tubuh Lika ke atas kasur. Gadis itu masih bicara tak jelas sambil berusaha untuk menyentuh pipi, dada dan kepala Ezekiel. Diraihnya kedua tangan Lila dan dia tahan dengan satu tangan. Sementara tangan yang lain menarik selimut untuk menutupi tubuh Lila. "Pak Ezekiel, bapak ganteng banget, sih," kekeh Lila. "Kamu mabok berat. Sebaiknya kamu tidur," perintahnya seraya beranjak dari duduknya. Namun lengannya tiba-tiba dicekal oleh Lila. Gadis itu menariknya cukup kuat sehingga dia rebah ke atas kasur. Ezekiel terkesiap saat Lila menimpa sebagian badannya dari samping. "Sini aja, Pak. Temenin aku," rengek Lila seraya memeluknya erat. Bahkan bagian dada gadis itu terasa kenyal menyentuh lengan bagian atas. Sedang lutut Lila menimpa area pribadinya di bawah sana. Parahnya lagi, gadis itu menggesek-gesekkan lututnya di sana. Laki-laki mana yang tidak tergelitik nalurinya saat diperlakukan semacam itu oleh seorang perempuan cantik dan cukup seksi."Lila, hei!" Ezekiel
"Nggak salah lihat, nih?" ujar Yolanda saat Lila baru tiba di kantor pagi itu. Lila memakai pakaian yang cukup tertutup. Tidak seperti biasanya yang selalu mengenakan rok pendek setinggi di atas lutut, blazer dengan daleman yang agak sedikit menurun di bagian dada, kini Lila mengenakan celana panjang dipadu blazer yang melapisi kemeja berkerah tinggi."Kenapa, sih?" tanya Lila seraya menarik kursinya. "Nggak pake hijab sekalian, Lil?" Kikik Yolanda. "Belum dapet hidayah," timpal Lila asal. "Aku tahu nih kenapa kamu pake pakaian tertutup kaya gini. Pasti ....""Hush! Diem kamu, Yol!" Yolanda malah meloloskan tawa. "Percumah pake baju ketutup gitu, Lil. Ingatan Pak Ezekiel pasti masih fresh malam itu," godanyanya. "Nyebelin!" gerutu Lila seraya menyalakan laptop. "Gila, ini kita nyiapin berkas buat rapat direksi sebanyak ini?" tanyanya seraya menatap layar."Iya, kan dapet tender gede. Kata Bu Ana harus selesai jam sepuluh pagi, tadi dia nelpon."Lila melirik jam di lengannya. "Hah
"Saya tunggu di mobil sekarang"Pesan yang muncul di layar ponsel membuat Lila terkejut. Pesan dari Ezekiel yang membuat Lila buru-buru menghabiskan mangkuk baksonya. "Kenapa sih, Lil? Makan kaya orang kesetanan gitu?" tanya Yolanda keheranan."Ini nih, aku udah ditunggu Pak Ezekiel," jawab Lila dengan mulut penuh."Ditunggu? Mau ke mana? Cieh! Kencan, ya?" "Kencan gundulmu! Nemenin dia ngecek proyek.""Wah, modus itu, Lil. Dia cuma mau deket sama kamu." Lila memutar kedua bola mata jengah. "Udah deh, Yol. Nggak usah mulai!" Lila menyambar tas jinjingnya dan meninggalkan Yolanda makan sendiri di kantin. Buru-buru dia masuk ke lift untuk turun ke lobby. Setelah itu dia berlarian keluar kantor lalu mencari-cari mobil Ezekiel. Setelah melihat mobil sedan mewah milik bosnya itu, dia berlarian mendekat. Tepat saat dia hendak membuka pintu belakang, pintu itu sudah dibuka dari dalam. Ezekiel sudah duduk manis di kursi sebelah. Sopir juga sudah siap melajukan mobil. "Lama banget? Kamu s