"Girang sekali kamu sehabis bertransaksi? Apa si Miguel tau kalau kamu suka jualan daging mentah di sini?"
Si mulut mercon kembali beraksi.
Seruni tidak langsung menjawab. Ia memikirkan posisinya. Setiap kalimat yang ia keluarkan pasti akan berimbas pada pekerjaannya. Makanya ia masih berusaha bersabar bagai hatinya panas menahan amarah. Bagaimanapun ia membutuhkan pekerjaan ini. Ya Tuhan, panjangkanlah sabarku.
"Saya tidak seperti--"
"Sudah. Tidak perlu susah-susah membantah. Saya telah melihat dengan mata kepala saya sendiri, kalau kamu menerima uang dari staff saya," Antonio bersedekap. Ia sangat menikmati keterkejutan dari wajah sang waitrees. Pasti si waitress cacat ini tidak menyangka kalau transaksinya ia pergoki.
"Saya tidak bisa membayangkan, bagaimana reaksi Miguel kalau ia tau bahwa salah satu staffnya bertransaksi lendir di sini?"
Seruni masih saja diam. Ia tidak tau harus menjelaskan mulai dari mana, kesalahpahaman yang semakin lama semakin meruncing ini. Kalau ia membantah tuduhan Antonio, CCTV restaurant pasti akan menunjukkan kebalikannya. CCTV hanya bisa memperlihatkan gambar, namun tidak bisa memperdengarkan percakapannya dengan Bian. Kalau hanya berdasarkan visual, tuduhan Antonio memang beralasan.
"Tuan mau apa sebenarnya?" guman Seruni lirih. Ia lelah terus diancam-ancam dan disalahpahami. Makanya ia menanyakan secara blak-blakan saja tujuan utama Antonio.
"Tuan ingin saya dipecat? Kalau pun itu terjadi, apa keuntungannya bagi, Tuan? Jangan menilai sesuatu hanya dari satu sisi, Tuan. Saya tidak seperti yang Tuan pikirkan. Percayalah. Saya hanya mencari makan di sini. Tolong jangan mempersulit posisi saya." Seruni memohon dengan suara bergelombang. Ia tidak mengerti mengapa Antonio sangat membencinya. Masa hanya karena sepotong jas, Antonio sampai sedendam itu padanya?
Antonio tercekat. Sungguh, ia sendiri juga tidak mengerti, mengapa ia sangat terganggu dengan profesi sampingan waitress cacat bername tag Seruni Arkadewi ini. Padahal biasanya ia tidak pernah peduli pada profesi orang lain. Mau mereka itu penjual narkoba, penjual senjata, penjual rahasia negara bahkan penjual daging mentah sekali pun. Selama mereka semua tidak menyenggolnya, ia tidak akan mengusik kehidupan mereka. Tapi tidak dengan penjual daging mentah yang satu ini. Ada rasa tak rela di hatinya setiap kali melihat si Seruni-Seruni ini beraksi.
"Saya mau kamu mengembalikan uang staff saya tadi, karena saya mau membookingmu malam ini. Dan saya tidak sudi memakai barang bekas anak buah saya sendiri. Sekarang jelas 'kan apa maunya saya?"
Seruni termangu. Kesalahpahaman tentang pekerjaan sampingannya sudah melebar ke mana-mana. Sepertinya ia sudah harus mengambil sikap. Antonio yang melihat Seruni kehilangan kata-kata, mengeluarkan bilyet cheque dan pena dari balik saku jas. Menjadikan telapak tangan kiri sebagai alas, ia menandatangani selembar bilyet cheque.
"Ini. Kamu tulis saja sendiri angka yang kamu mau." Antonio menyobek selembar cheque yang sudah ia tandatangani, dan menggenggamkannya pada telapak tangan Seruni.
"Pikir baik-baik, mana yang harus kamu prioritaskan. Rakyat jelata seperti si Bian, atau anak sultan seperti saya. Hidup itu pilihan dan kamu telah memilih jalan yang salah. Tapi setidaknya dalam kesalahanmu, kali ini kamu bisa memilih yang benar. Saya akan menjemputmu nanti malam di mess." Antonio membalikkan tubuh sambil menyumpah-nyumpah dalam hati.
Astaga, Ton. Lo ngapain sih? Masa lo mau melepas perjaka lo sama ayam jadi-jadian ini? Rugi dong lo, Ton!
"Ini, ambil kembali cheque, Tuan. Saya bukan ayam jadi-jadian seperti yang Tuan tuduhkan. Tuan tadi bilang kalau hidup itu pilihan. Dan Tuan telah memilih memandang saya dengan cara yang salah."
Seruni mengejar langkah-langkah panjang Antonio secepat yang ia mampu. Kali ini ia tidak mau kecolongan dan disalahpahami lagi. Ia capek terus dijadikan objek pelengkap penderita. Kali ini ia akan melawan!
"Tuan ingin mengatakan kalau saya adalah waitress yang tidak sopan? Terus sikap Tuan sebagai seorang tamu restaurant, sopan tidak? Tuan ingin mengadukan saya pada Senor Miguel? Silahkan saja. Saya--saya---"
Seruni memegangi dadanya yang berdebar kencang dengan tangan gemetaran. Ia adalah type orang yang tidak kuat berseteru dengan orang lain. Semenjak kecil, bila ia bertengkar dengan teman-temannya, ia pasti akan berada dipihak yang kalah. Di saat teman-temannya lancar jaya memuntahkan makian, ejekan hingga semua kalimat paling buruk yang pernah ia dengar, ia hanya bisa menangis alih-alih balas memaki. Terkadang ia ingin melawan. Hanya saja tubuhnya malah gemetaran dan mulutnya jadi mogok mengeluarkan kalimat. Ia memang tidak bisa berkelahi. Begitu pula dengan kejadian saat ini. Ia hanya memandangi Antonio dengan mata berapi-api tetapi tidak kuasa memaki. Air mata kemarahan menganak sungai di mata beningnya. Ia sakit hati.
"Ada apa ini?" Kemunculan tiba-tiba Pak Sofyan di depan toilet membuat Seruni menghapus jejak-jejak air mata dengan cepat. Apa yang terjadi, terjadilah.
"Tidak ada apa-apa, Pak Sofyan. Saya hanya menanyakan soal menu-menu terbaru pada Seruni. Bapak kembali saja ke depan," usir Antonio terang-terangan pada sang manager. Tanpa banyak cincong, sang manager segera berlalu. Jika anak sultan telah bersabda, sebaiknya ia menurut saja. Ia masih memerlukan jabatan ini. Anak dan istrinya di rumah, sangat bergantung pada pekerjaannya ini.
"Maaf," Antonio kaget sendiri saat kalimat maaf tercetus begitu saja dari bibirnya. Dengan cepat ia menerima cheque yang disodorkan Seruni dan berlalu. Ia takut kalau mulutnya akan kembali mengeluarkan kata-kata aneh, kala melihat air mata Seruni.
Aduh, ngomong apa sih gue?!
Seruni yang ditinggalkan oleh Antonio termangu. Maaf, kata si anak sultan tadi? Telinganya tidak salah mendengar bukan? Tumben orang seperti Antonio ini meminta maaf? Tapi apapun itu, hatinya sedikit terhibur. Setidaknya si anak sultan menyadari kalau sikapnya salah. Mudah-mudahan setelah ini, Antonio tidak akan membullynya lagi. Insya Allah.
***
"Bawa semua barang-barangmu keluar, dan pastikan tidak ada satu pun jejakmu yang tertinggal!"
"Maafkan saya, Pak Xander. Saya berjanji, saya tidak akan mengulangi perbuatan saya lagi. Saya sungguh-sungguh menyesal. Saya mohon, jangan usir saya. Saya ini tulang punggung keluarga, Pak."
Seruni yang baru saja pulang dari restaurant, disambut oleh pemandangan yang tidak biasa. Di teras mess, ia melihat Xander melempar dua buah koper dan satu tas travelling besar ke halaman rumah. Sementara itu Vina menangis histeris sembari memegangi kedua kaki Xander. Tak putus-putus Vina menggumankan kata maaf dan ampun secara berulang-ulang.
Seruni menyurutkan langkah. Memilih bersembunyi dibalik rimbunnya tanaman hias dan tidak jadi masuk ke dalam rumah. Setelah mengetahui jati diri Xander yang sebenarnya, ia jadi takut menghadapi Xander. Lihatlah, terhadap Vina yang nota bene adalah pekerjanya saja perlakuannya sekasar itu. Bagaimana terhadap dirinya bukan? Saat Seruni memindai keadaan rumah. Ada beberapa kepala yang mengintip-intip dari balik tirai jendela. Salah satunya adalah Mayang. Mayang sepertinya juga telah melihat bayangannya. Makanya Mayang berulang kali mengibaskan tangannya. Isyarat agar ia menjauhi rumah.
"Apakah penyesalan kamu ini bisa mengembalikan nyawa istri Pak Bahruddin?" sembur Xander geram. Kalimat Xander membuat Seruni yang tengah bersembunyi kaget. Mengembalikan nyawa istri Pak Bahruddin? Masa sih Vina berani membunuh orang?
"Kamu ingat 'kan peraturan-peraturan yang saya tetapkan sebelum kamu bergabung di Astronomix Girls?" Vina mengangguk.
"Sebutkan!"
"Astro Girls dilarang keras menghubungi client secara pribadi. Saling bertegur sapa di luar club apalagi ma-- masuk ke dalam kehidupan pribadi client. Hubungan Astro Girls dan clientnya hanya sebatas bisnis." Vina menjawab dengan suara yang semakin memelan diakhir kalimat.
"Jadi kamu sebut apa perbuatan kamu yang menyebarkan photo-photo panas kamu dengan Pak Badruddin, hingga istrinya bunuh diri karena malu? Jawab!"
Jangankan Vina, Seruni yang sedang bersembunyi dalam jarak yang cukup jauh saja nyaris berteriak karena terkejut, apalagi Vina. Bahu Vina sampai bergetar karena kaget mendengar suara bentakan Xander. Xander walau dingin-dingin begitu ternyata kalau marah menyeramkan!
"Saya--saya hanya bermaksud mendapatkan sedikit uang lebih dengan mengirimkan photo-photo itu. Hanya saja, saya tidak menyangka kalau saat itu istri Pak Bahruddinlah yang sedang memegang ponsel. Saya--"
"Mari kita sederhanakan saja kalimat kamu. Kamu bermaksud memeras Pak Badruddin dengan ancaman photo-photo syur kalian berdua. Begitu 'kan?"
"Benar, Pak," cicit Vina gentar.
"Yang kuat suaranya. Saya tidak dengar?" bentak Xander lagi.
Astaghfirullahaladzim.
"Benar, Pak!" Vina mengeraskan suaranya.
"Kalau begitu, enyahlah dari sini, sekarang juga!" Gelegar suara Xander membuat Seruni mengelus dadanya sendiri. Tidak lama lagi, pasti akan tiba gilirannya yang gantian dieksekusi. Semoga saja, nanti jantung akan tetap berada di tempatnya.
Dari tempat persembunyiannya, Seruni melihat Vina membetulkan letak koper yang tadi dilempar sembarangan oleh Xander. Satu koper lain, handlenya bahkan patah. Ketika sebuah taksi online menghampiri, Vina segera menyeret koper dan tas travellingnya ke dalam taksi. Setelahnya taksi melaju dan meninggalkan mess. Hari ini penghuni mess nomor 4B telah berkurang satu.
"Anda yang bersembunyi dibalik tanaman hias, kemari."
Yang bersembunyi dibalik tanaman hias? Jangan... jangan...
Seruni menunjuk dirinya sendiri
"Iya, kamu yang sedang menunjuk diri sendiri."
Waduh benar! Ia ketahuan.
Sembari merapal doa, Seruni keluar dari tempat persembunyiannya. Ya sudahlah. Terlanjur basah, mandi saja sekalian. Masih dengan seragam trainning berupa kemeja putih dan rok span hitam, Seruni muncul dari balik rimbunannya tanaman hias. Kakinya yang memang tidak sempurna, makin terasa kian berat saat dipaksa melangkah. Melihat kehadirannya, Mayang yang sedari tadi mengintip-intip dari balik jendela, tergopoh-gopoh keluar. Pasti Mayang takut kalau Xander akan membantainya.
"Saya mohon jangan mengusir Seruni, Pak. Tolong berikan waktu sampai besok pagi saja. Saya akan segera mencarikan tempat tinggal baru untuknya. Saya mohon, Pak." Melihat Mayang sampai memohon-mohon pada Xander demi dirinya, mata Seruni menghangat. Mayang benar-benar melindunginya.
"Nanti akan ada giliran kamu untuk berbicara." Kalimat singkat Xander membungkam Mayang. Ia sangat mengenal sifat Xander yang tidak suka mengulang kalimat hingga dua kali.
"Ambil barang-barangmu,"
Selesai sudah. Nasibnya ternyata sama saja dengan Vina.
Tanpa perlu disuruh dua kali, Seruni bergegas masuk ke dalam rumah. Mayang membuntuti dalam diam. Ia sudah berusaha. Tapi apa mau dikata. Xander memang tegas dalam masalah peraturan.
Seruni mengeluarkan satu tas ransel hitam. Memasukkan beberapa potong pakaian yang diberikan Mayang dan juga peralatan mandinya. Setelah menarik resleting tas, Seruni menyandang tas ranselnya di punggung. Bersiap-siap pindah dari mess ini. Sebelum ia keluar rumah, Mayang terlebih dahulu menghampirinya.
"Kamu tunggu Mbak di perempatan jalan saja ya, Uni? Nanti setelah semua aman, Mbak akan menyusulmu. Mbak akan mencarikan kamu hotel sederhana untuk malam ini saja. Besok baru kita bersama-sama mencari tempat kost. Kalau bisa kita akan mencari yang dekat-dekat dengan restaurant saja. Sabar ya, Uni?" Mayang mengelus pelan punggungnya.
"Iya, Mbak. Uni nggak apa-apa kok. Uni akan menunggu Mbak di perempatan jalan ya, Mbak?" Seruni tersenyum kecil. Ia tidak ingin membuat Mayang khawatir. Secepat ia masuk tadi, secepat itu juga ia keluar. Xander masih berdiri kaku di teras rumah. Sepertinya Xander ingin memastikan bahwa ia memang benar-benar telah keluar dari mess.
"Saya permisi, Pak Xander. Maaf karena telah tinggal di mess tanpa sepengetahuan, Bapak." Seruni menundukkan sedikit kepalanya sebelum membalikkan tubuh. Dengan langkah tertatih-tatih, ia berjalan menjauhi mess.
"Mau ke mana kamu?" Kalimat Xander menghentikan langkah Seruni. Bingung mendengar kalimat kontrafiktif Xander, Seruni membalikkan tubuh. Bukannya tadi ia disuruh pergi? Mengapa sekarang malah ditanya mau ke mana? Aneh!
"Mau pergi, Pak. 'Kan tadi Bapak menyuruh saya pergi?"
"Kalimat saya yang mana yang mengatakan bahwa saya menyuruh kamu pergi? Saya hanya menyuruh kamu mengambil barang-barangmu? Kamu mengerti bahasa indonesia 'kan?"
Seruni dan Mayang saling beradu pandang. Bingung dengan kalimat Xander yang saling bertolak belakang. Apa sebenarnya tujuan si Xander ini?
"Tapi tadi--"
"Saya menyuruh kamu mengambil barang-barangmu karena kamu memang tidak boleh tinggal di sini. Mess ini khusus diperuntukkan bagi para Astronomix Girls. Yang artinya semua penghuni di mess ini bisa dibooking oleh siapa saja sesuai dengan kesepakatan bersama. Apakah kamu ini bisa dibooking, Seruni?" Seruni dengan cepat menggelengkan kepalanya. Ternyata Xander sudah tau namanya.
"Oleh karena itulah kamu tidak boleh tinggal di sini. Tapi kamu boleh tinggal di rumah baru saya."
Seruni dan Mayang kembali berpandangan. Bingung dengan kalimat sepotong-sepotong Xander. Mengapa ia diperbolehkan tinggal di rumah barunya? Lagi pula ada statusnya tinggal di rumah itu? Jangan... jangan... ia akan dijadikan pemuas nafsu Xander! Dugaannya sepertinya juga sama dengan Mayang. Karena Mayang dengan cepat menggelengkan kepala. Isyarat bahwa ia harus menolak keinginan Xander.
"Hentikan pikiran ngawurmu itu. Saya menempatkan kamu di sana sebagai ART baru untuk menemani Mbok Yem. ART saya yang sudah sepuh. Jadi bagaimana, kamu bersedia tinggal di rumah baru saya?" Seruni memandang Mayang sebelum menjawab pertanyaan Xander.
"Sebagai bahan pertimbangan. Rumah itu rencananya akan saya tempati dengan calon pasangan saya secepatnya, kalau ia bersedia menerima lamaran saya tentu saja." Kalimat terakhir Xander membuat Seruni lega. Ternyata Xander telah mempunyai calon istri. Hal itu juga sepertinya yang dipertimbangkan Mayang. Karena Mayang kini menganggukkan kepalanya. Mayang setuju kalau ia tinggal di rumah baru Xander.
"Kalau kamu sudah setuju, ayo sekarang kamu akan saya antar ke sana," lanjut Xander sembari berjalan ke arah mobil. Dengan langkah ringan Seruni membuntuti Xander. Ia tidak menyangka kalau kecemasannya seharian ini berakhir menggembirakan. Semesta memang adil bukan? Karena setiap kesulitan pasti pada akhirnya akan diberi kemudahan. Yang penting kita sudah berikhtiar sambil berusaha. Aamiin.
Dari kejauhan saja Seruni sudah sangat mengagumi rumah baru Xander. Ia seperti melihat rumah di film-film Eropa kuno ada di depan matanya. Rumah Xander sangat luas dan bergaya klasik. Seruni merasa seperti sedang masuk ke dalam mesin waktu zaman victorian era, begitu pintu ruang utama dibuka.Pada bagian ruang tamu, terdapat sofa letter L berwarna krem yang mewah. Mejanya terbuat dari kaca penuh ukiran, disertai hamparan karpet bulu berwarna senada yang terhampar di bawahnya. Pada bagian dinding, dipenuhi dengan ornamen-ornamen antik abstrak yang tersusun rapi dari bebatuan marmer. Kemegahan lain terlihat dari tirai yang menjulang tinggi pada bagian jendela kaca berukir. Sebuah lampu hias spiral berbahan kristal, semakin melengkapi kemewahan ruangan. Satu hal yang paling menarik perhatian Seruni adalah,
Sudah seminggu ini Seruni tinggal di rumah baru Xander. Dan selama itu juga hatinya gundah gulana. Sejak ia tinggal di rumah mewah ini, ia selalu merasa bersalah terhadap keluarganya di kampung setiap kali ia akan mengisi perut. Bayangkan saja, saat di kampung dulu, lauk sehari-hari mereka begitu sederhana. Tempe, tahu, telur, kerupuk dan sayur bening, adalah menu utama mereka. Bila ia gajian, barulah ada menu ikan atau ayam di meja makan. Kalau daging, mereka hanya bisa berharap pada jatah pembagian daging kurban dari masjid setempat.Dan kini saat ia dihadapkan dengan berbagai macam menu-menu lezat menggoda selera, rasa bersalahnya kian merajalela. Di sini ia bisa makan enak hingga kenyang, sementara ibu dan adiknya di kampung entah bisa mengisi perut mereka dengan layak atau tidak. Dilema ini selalu muncul di kala ia dihadapkan pada makanan kesukaan adik kecilnya, yaitu rendang daging. Bayangan adiknya yang selalu berangan-angan bisa menikmati menu kesu
Ponsel Seruni bergetar saat ia baru saja menyentuh pintu mobil. Seruni urung membuka pintu mobil. Ia justru membuka pengait tas dan mengeluarkan ponsel dengan terburu-buru. Ia yakin kalau yang menelepon adalah Mayang untuk mengabarkan kondisi terkini ibunya. Setelah mengecek ponsel ternyata dugaannya salah. Nama Xanderlah yang terlihat di layar ponselnya. Seruni menepuk kening. Astaga, ia lupamengabari Xander kalau ia akan pulang ke Banjarnegara. Untung saja Xander meneleponnya."Ya P-- Mas Xander. Ada apa?" Seruni hampir terpeleset kata memanggil Xander dengan sebutan bapak. Ia lupa kalau posisinya sekarang adalah pacar Xander. Akan terasa ganjil kalau ia memanggil pacar sendiri dengan sebutan bapak bukan?Jeda sejenak. Xander pasti menyadari kalau dirinya sedang bersama dengan orang lainmakanya ia memanggilnya dengan sebutan mas. Perjanjian mereka berdua memang begitu. Tidak boleh ada orang yang mengetahui soal sandiwara yang
Seharusnya setelah mobil berguling, akan terdengar suara benturan-benturan keras yang disertai dengan serpihan kaca-kaca yang berterbangan. Tetapi kali ini tidak. Wajahnya yang menghantam keras dashboard pun tidak sakit sama sekali. Kakinya juga tidak terasa nyeri. Padahal saat itu ia melihat pintu mobil terbuka sesaat sebelum mobil terbalik dan menjepit keras kaki kanannya. Aneh bukan? Alih-alih merasa sakit luar biasa, ia malah seperti berada dalam buaian. Hangat, aman dan nyaman. Atau jangan-jangan ini hanya mimpi? Padahal sudah lama sekali ia tidak pernah memimpikan kejadian ini."Tidak apa-apa, Seruni. Tidak ada apa-apa. Tenang saja. Bersama saya kamu akan aman. Percayalah." Seruni mengerjap-ngerjapkan mata. Ia heran mengapa seperti ad
"Memangnya kamu polisi bisa memenjarakan orang seenaknya? Kamu ini sebenarnya siapa sih?" Pak Herry kesal melihat seorang anak muda yang terus menghalang-halanginya mendekati Seruni. Padahal gara-gara anak tiri tidak tau diri inilah hidupnya kumpal kampil tidak jelas selama seminggu ini. Pak Nyoto benar-benar ingin memenjarakannya karena kaburnya Seruni."Oh, jangan-jangan kamu ini backingnya Seruni ya?" cetus Pak Herry. Melihat betapa protektifnya pemuda ini pada Seruni, membuatnya menyadari sesuatu. Seruni berani pulang karena membawa bodyguard rupanya. Pak Herry mendengus. Pemuda kota pesolek ini sedang menggali kuburannya sendiri karena sudah berani mengusik incaran Pak Nyoto."Kalau iya, kenapa? Ada masalah?" tantang Antonio santai."Kalau iya, berarti kamu sudah mencari masalah dengan Pak Nyoto. Kamu harus tau kalau Seruni itu akan segera menjadi istrinya Pak Nyoto. Bisa habis kamu di tanga
Antonio membolak balik tubuhnya dengan gelisah. Ia merasa begitu sengsara saat harus tidur di kursi kayu keras seperti ini. Belum lagi kakinya lebih panjang daripada kursi. Ia jadi terpaksa harus menekuknya atau membiarkan kakinya menjuntai begitu saja melewati batas kursi. Kerasnya kayu membuat punggungnya sakit, walau Seruni telah melapisinya dengan sprei kain sederhana. Penderitaannya itu masih ditambah dengan serangan nyamuk yang begitu beringas keroyokan ingin menghisap darahnya. Ia sedikit menyesal karena menolak dibakarkan obat anti nyamuk oleh Seruni. Bukan apa-apa. Ia seolah-olah merasa seperti sate yang akan diasapi. Belum lagi aromanya membuat kepalanya pusing tujuh keliling. Menghirup asapnya bukan hanya nyamuk yang akan lari. Tapi ia juga bisa mati. Antonio kembali menepuk nyamuk yang hinggap di pipinya. Astaga, ternyata menjadi orang miskin itu sengsara luar biasa!Antonio membalikkan tubuhnya sekali lagi. Ia benar-benar kesulitan untuk memej
"Nggak ada apa-apa kok Tu--""Anda siapa?" Widuri memotong kalimat Seruni dengan tidak sabar. Ia penasaran dengan laki-laki gagah yang tiba-tiba berdiri di belakang Seruni. Widuri memindai Antonio dari atas ke bawah. Berbagai dugaan melintasi kepalanya. Laki-laki ini boleh juga. Dan kalau ia mau jujur laki-laki ini terlihat menarik justru karena gaya songongnya."Anda sendiri siapa?" celetuk Antonio seraya merangkul bahu Seruni santai. Widuri terkesima. Kedua bola matanya nyaris menggelinding dari rongganya, melihat intimnyalaki-laki songong ini memperlakukan Seruni. Siapa sebenarnya laki-laki sombong ini? Mengapa ia berani sekali merangkul-rangkul Seruni?Sementara Seruni sendiri tak kalah kaget. Ia bingung. Apa maksud si tuan besar ini merangkul-rangkul bahunya seperti ini? Biasanya Antonio ini jijikan orangnya. Ia bahkan pernah mengatakan kalau ia alergi bila berdekatan dengan orang-orang miskin seperti dirinya.
Seruni gelisah. Semakin jarum jam bergerak ke arah kanan, debaran jantungnya juga semakin kencang. Hari ini adalah hari ulang tahun ayah Xander. Dan Xander akan menjemputnya pada pukul tujuh tepat nanti. Sementara waktu sekarang telah menunjukkan pukul 18.30 WIB. Itu artinya setengah jam lagi Xander akan segera tiba. Jujur, ia tidak percaya diri. Bayangkan saja, ia yang hanya seorang gadis kampung sederhana, dengan fisik yang kurang sempurna pula, harus berperan sebagai pacar Alexander Delacroix Adams. Putra kebanggaan mafia berdasi negeri ini, Axel Delaroix Adam. Bagaimana ia tidak panas dingin karenanya?Satu jam yang lalu ia tidak setegang ini. Karena pada saat itu ia belum tau seperti apa keluarga Xander yang sebenarnya. Tetapi setelah ia iseng mencari informasi tentang keluarga besar Delacroix Adams di internet, nyalinya ciut seketika. Ia sedang bermain-main dengan seorang mafia internasional rupanya. Ia khawatir kalau ia akan dilenyapkan, apabila san