Share

Chapter 3

Sesampainya di kamarku, aku langsung melangkah ke lemari dan mengeluarkan beberapa pasang pakaian. Setelah itu, kulangkahkan kakiku memasuki kamar mandi. Kutanggalkan pakaianku yang basah kuyup lalu menyalakan keran bak mandi.

Sambil menunggu airnya penuh, aku mencuci mukaku di wastafel. Kutatap pantulan diriku di cermin. Penampilanku berantakan sekali, terutama rambut hijau gelap yang basah dan acak-acakan ini.

Manik hijau emerald-ku mengarah ke mantra sihir yang berupa seperti tato putih melingkar di leherku. Kusentuh leherku dengan ujung jariku.

"Kalau saja 'kontrak' ini tidak pernah ada, aku tidak akan hidup seperti boneka mereka." Jariku menggaruk leherku hingga muncul bekas merah yang terasa perih.

Aku teringat akan air di bak mandi, untunglah airnya tidak kepenuhan. Kumatikan keran agar airnya tidak meluap ke lantai. Kucelupkan badanku ke air lalu menyandarkan punggungku pada dinding ubin putih. 'Ah, nikmatnya berendam dalam air hangat.'

Beberapa menit berlalu, aku selesai dari mandiku dan mengenakan pakaian yang kering dan nyaman. Kulangkahkan kakiku menuju lemari kecil yang ada di samping ranjangku.

Sebuah benda pipih berwarna hitam berada di atas perabotan berbahan kayu itu. Kuambil ponselku dan mencoba menyalakannya. Alat komunikasi ini tidak mau menyala walau sudah kutekan tombol power berkali-kali.

"Sial, pasti karena kemasukan air." Kuletakkan kembali benda itu di atas lemari yang hanya setinggi lututku.

Aku memutuskan untuk beristirahat sejenak. Kurebahkan badanku di atas ranjang lalu memejamkan kedua mataku.

***

Ruangan yang berisikan perabotan antik bernuansa putih-emas. Tampak seorang anak laki-laki berambut hijau gelap dan wanita berambut ungu magenta duduk berhadapan. Secarik kertas terletak di atas meja persegi di depan mereka. Tulisan bertinta hitam tertulis rapi pada permukaan kertas itu.

"Tempelkan jari jempolmu di atas sini." Wanita itu menunjuk bagian kosong di sudut kiri bawah. Anak itu menganggukan kepalanya dan melakukan apa yang diinstruksikan oleh wanita itu.

Warna tulisan itu berubah menjadi putih lalu terlepas dari permukaan kertas, terbang ke arah bocah itu dan melilit lehernya. Dia terjatuh dari kursinya dan meronta-ronta di lantai. Tangan kecilnya menggenggam erat lehernya.

Manik emerald-nya menatap wanita yang hanya menatap anak yang kesakitan itu dari kursinya. Mata biru cerah wanita itu memandang rendah anak malang itu. Bibir merahnya melengkung ke atas membentuk sebuah senyuman.

"Inilah harga atas nyawamu. Kamu harus hidup menaati perintah kami, jangan gunakan kekuatanmu untuk membunuh orang lain tanpa seizin kami, dan jadilah kaki tangan Treis." Dia bangkit dari kursinya, pergi meninggalkan anak yang menderita kesakitan di atas keramik putih yang dingin itu.

***

Terdengar suara ketukan sebanyak 3 kali, suara itu membuatku terbangun dari kenangan buruk itu. Aku terduduk di tepi ranjang sambil mengumpulkan nyawa setelah bangun tidur. 'Tidak biasanya ada orang yang datang ke kamarku. Siapa itu?'

Kuturunkan kakiku dari ranjang lalu berjalan ke arah pintu. Tanganku memutar kunci yang menempel pada lubang di gagang pintu lalu membuka papan kayu hitam ini.

Tampak seorang pria yang wajahnya kukenal berdiri di balik pintu ini. Air mukanya tampak mencemaskan sesuatu. Dia membuka mulutnya berkata, "Trystan, Layla disandera oleh penyusup." 

Mataku terbuka lebar mendengar perkataannya. Kukepalkan erat tanganku hingga urat-urat timbul di permukaan kulit. Rahangku mengeras mendengar berita itu. 'Beraninya mereka menyandera Layla!'

 "Apa mau mereka?" tanyaku dengan nada rendah.

"Dokumen yang berhubungan dengan kasus 13 tahun yang lalu," jawab Kapten.

Aku terdiam dan berpikir untuk sejenak, 'Kasus 13 tahun yang lalu? Untuk apa mereka mencari-cari dokumen itu?' Seketika ingatan tentang 13 tahun lalu terlintas di kepalaku. 'Masa sih ...?'

Kapten lanjut berkata, "Trystan, saya ingin agar kamu tidak ikut campur dalam masalah ini lagi. Ingat, tugas kamu di sini bukan untuk menginvestigasi.

"Cukup 2 'tikus' itu saja yang telah mengetahui tentang keberadaanmu di sini, jangan sampai para 'anjing' itu mengendus tentang hal ini," tambahnya, aku menganggukan kepala mengerti.

Kapten membalikkan badannya dan pergi meninggalkanku. Kutatap punggungnya yang semakin menjauh hingga tak terlihat lagi. 'Maaf, Kapten, sepertinya aku tidak akan mengindahkan laranganmu. Aku tidak mungkin tinggal diam saja jika ini menyangkut Layla, orang yang paling berharga bagiku.'

Setelah kurasa Kapten sudah jauh, aku berjalan menyusuri lorong untuk keluar dari asrama. Saat hendak berbelok ke kanan, aku merasakan sesuatu yang mengancam. Kuhentikan langkahku dan memperhatikan sekelilingku.

Sunyi dan sepi. Tidak terlihat ada orang lain di tempat ini. Padahal aku yakin jika aku merasakan 'Arte' milik orang lain di sekitar sini, tetapi karena begitu lemah, aku jadi tidak tahu darimana tepatnya itu berasal.

"Aku tahu kamu ada di situ, tunjukkanlah dirimu," gertakku. Hening, tidak ada jawaban yang kuterima. 'Ha, kamu ingin bermain petak umpet denganku? Oke, akan kuladeni permainanmu.'

Bayangan di bawah kakiku meluas meliputi seluruh lantai di tempat ini. Permukaan datar yang berwarna putih berubah menjadi hitam. Kukonsentrasikan kekuatanku untuk melacak keberadaannya. 'Ketemu.'

Kakiku beranjak dari tempatku berdiri dan bergerak ke sebelah kanan. Kuhantam dinding abu-abu muda dengan tinju kananku.

Sosok yang bersembunyi itu menghindari seranganku dan menampakkan dirinya. Orang itu adalah wanita berambut cokelat yang waktu itu kutemui di ruang referensi.

"Akhirnya kamu menampakkan dirimu juga." Aku mengusap buku-buku jariku yang sakit setelah memukul dinding. Dia terkesiap mengetahui aku dapat menemukan persembunyiannya.

Dia mencoba kabur dariku, tetapi kutahan pergelangan tangannya. "Dimana Layla?"

"Ba-bagaimana kamu bisa tahu aku ada di sini?" Dia bertanya balik kepadaku yang membuatku berdecak kesal.

"Itu tidak penting. Sekarang jawab pertanyaanku. Dimana. Layla?" Aku mengulangi pertanyaanku dengan penuh penekanan.

"A-aku menguncinya di ruang G, dia kuborgol di teralis jendela. Jadi, seharusnya dia masih ada di sana," jawabnya memberitahuku dimana dia menyandera Layla.

Cengkraman tanganku semakin kuat setelah mendengarnya mengatakan jika dia memborgol Layla. Terdengar suara tulangnya yang retak dan diikuti oleh suara pekikan kesakitannya. Kulepaskan genggaman tanganku darinya, dia langsung terduduk di lantai.

"Berikan kuncinya." Aku mengulurkan tanganku kepadanya. Wanita itu menyerahkan 2 buah kunci ke telapak tanganku. Kusimpan kedua kunci itu di dalam saku celanaku lalu menjentikkan jariku.

Bayangan di lantai mencuat dan melilit tubuhnya. Dia menghilang dari pandanganku ketika bayangan itu lenyap. Aku menggunakan 'Arte'-ku untuk memindahkannya ke dalam sel tahanan bawah tanah yang gelap. 

Kuhilangkan bayangan yang menutup seluruh lantai. Permukaan yang tadinya berwarna hitam kini kembali menjadi putih. Tanpa menunggu lama, aku segera beranjak menuju tempat Layla dikunci.

Tibalah aku di depan ruang G. Napasku tersengal-sengal karena berlari menuruni 2 lantai sekaligus tanpa berhenti. Kumasukkan salah satu kunci itu ke dalam lubang di gagang pintu lalu menggenggam kenop pintu dan mendorongnya.

Aku disambut oleh sosok wanita berambut perak yang terduduk di lantai dan bersandar pada dinding. Kedua tangannya terangkat ke atas dengan borgol yang mengikatnya di teralis jendela. Aku melangkah ke arahnya dan memeriksa keadaannya.

Dia tidak sadarkan diri, tetapi untunglah sepertinya tidak ada luka apapun padanya. Kemudian mataku mengarah ke pergelangan tangannya. Kedua alisku berkerut setelah melihat ada bekas merah yang tampak pada kulit putihnya akibat benda metal itu.

Kubuka borgol itu dengan kunci yang berukuran lebih kecil lalu kuturunkan kedua tangannya ke atas perutnya kemudian menggendong Layla yang terkulai lemah dengan kedua tanganku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status