Ucapan Pangeran Nanggala Seta tidak sekadar omong kosong, melainkan benar adanya. Sebulan setelah pengukuhan para Senopati dan beberapa Tumenggung baru, Prabu Dananjaya mengadakan pertemuan agung lagi.
Barangkali itu yang dibilang anugerah, hadiah terbesar bagi orang-orang yang bisa menahan diri tidak terbawa amarah. Jabatan Senopati memang lepas dari angan-angan. Tapi siapa sangka, aku justru dikukuhkan menjadi prajurit pengawal pribadi raja, bersama tiga orang lainnya.
Kedudukan yang paling tinggi tentu saja, kehormatan tersendiri bisa selalu dekat dan bertanggung jawab penuh atas keselamatan Sang Prabu.
Jika punggawa lain yang memiliki kepentingan dengan raja harus melalui pemeriksaan prajurit jaga, maka tidak bagi kami. Aku dan ketiga orang teman terpilih itu bebas keluar masuk ruang pribadi raja.
Namun, kegembiraan hari pengukuhan itu tidak bertahan lama. Takdir benar-benar menyukai kesedihan dan air mata. Tepat menjelang sesi akhir pertemuan agung,
Hingga di hari ke tiga, aku baru berani mengutarakan pertanyaan itu."Ampun, Gusti Dewi. Ampun, Pangeran Nanggala. Bolehkah hamba menanyakan sesuatu?"Wanita cantik berkebaya jingga itu tersenyum ramah. "Sejak kita melarikan diri dari istana, sudah berapa kali kubilang untuk tidak membatasi diri antara kawula dan junjungan, Mahesa?"Aku menunduk. "Maafkan, Gusti Dewi. Tetapi ....""Ini bukan istana, Kakang. Melainkan hutan belantara. Aku, Ibunda, kau, dan Tantri sama derajatnya. Makanan, minuman, maupun alas tidur kita tidak dibedakan." Pangeran Nanggala menengahi. Tubuh ringkihnya yang bersandar di tonggak kayu, sesekali butuh ditopang sang ibu."Tanyakan, Mahesa. Mumpung kita belum melanjutkan perjalanan," lanjut Dewi Gayatri.Memang, selama masa pelarian, kami berempat saling bahu membahu dalam segala hal. Pangeran Nanggala yang sedang sakit pun tidak mau hanya berpangku tangan.Meski begitu, rasa canggung kepada ratu junjungan ter
Pov NayaAku tidak bisa meneruskan pertanyaan. Tiba-tiba otak dipenuhi bayangan seorang wanita bertubuh setengah manusia setengah ular, dengan mahkota emas di kepalanya.Mahkluk siluman dalam film itu, ternyata masih ada di era modern. Bahkan hampir mengambil alih ragaku untuk kepentingan tuannya. Hii."Benar, Naya. Dialah Tantri." Kaivan menjeda bicara, mengambil satu nastar dan dimakan sedikit. "Maka dari itu, dia tidak berani menyerang aku. Setengah ingatannya masih berfungsi baik, sedang setengah lagi tidak bisa mengingat kebaikan.""Kenapa begitu?""Entahlah, mungkin dia salah jalan dan tidak bisa mengendalikan diri. Sehingga yang dominan adalah watak jahat."Aku lalu teringat satu kata di tengah cerita Kaivan tadi. "Oh iya, moksa itu apa?"Laki-laki dari alam lain itu tersenyum simpul. "Moksa terbagi dalam dua pengertian.Pertama: seseorang yang melepaskan keduniawian, untuk mencari tujuan hidup sesungguhnya. Dia seperlunya
Sialnya yang menjawab malah Eva. Sok pede pula."Ya bawa ke kamarlah, Nay. Namanya juga lam--"Tring!Sebelum Eva selesai bicara, lampu tidur itu berkedip-kedip. Cahaya emasnya sontak membuat Eva melepaskan benda itu sambil menjerit histeris.Tidak jatuh, Kaivan sengaja membuat lampu tempat tinggalnya terbang berputar-putar mendekatiku.Hap!Aku berhasil menangkap dengan selamat, langsung mati cahaya lampunya.Eva mundur teratur, wajah cantiknya pias ketakutan."N-nay, itu lampu ada apanya sih? Kok tiba-tiba nyala sendiri, terus tanganku kesetrum. Bisa terbang lagi!" curhat Eva dengan suara gemetar."Rasakan akibatnya!" jawab Kaivan, tentu hanya aku yang bisa mendengar."Ini rumah listrik, Va. Jangan macam-macam lagi kamu!" Aku berusaha mencari jawaban lain yang masuk akal.Tentu saja orang kalau ketakutan, jawaban apa saja menjadi masuk akal."Rumah listrik?""Udah, sana sana tidur. Besok aku
"Kamu tidak ingin membalas sindiran wanita rambut keriting tadi, Naya?"Aku terpaksa berhenti sebentar menata sayuran di kulkas, saat Kaivan tiba-tiba bicara.Dia sejak tadi diam saja, ternyata diam-diam perhatian."Tante Astrid memang begitu, Van. Jago ngomporin orang," jawabku berusaha tidak peduli.Aku tidak ingin terbawa emosi, sampai gagal berpikir waras menata situasi.Laki-laki itu melipat tangan di dada, tatapan matanya menyiratkan sesuatu yang tidak menyenangkan."Sesekali dia harus diberi pelajaran!" ucapnya penuh penekanan."Aku tidak ingin ribut!" bantahku."Memberi pelajaran kepada seseorang bukan berarti harus turun tangan!""Van, tapi aku--""Naya, dengar." Kaivan bicara semakin serius. "Orang tertindas adakalanya harus cerdas. Seperti Eva tadi, selama ini kamu pasti terlalu baik, minta apa saja iya. Jadinya begitu, dia seolah ratu bersamamu."Benar juga. Tapi, mau bagaimana lagi. Aku tidak e
Pulang dari rumah anaknya Tante Astrid, aku tidak boleh diantar asistennya lagi. Kaivan tidak suka ada laki-laki terlalu good looking mendekatiku. Begitu katanya.Di jalan ternyata dia menagih penjelasan apa arti antisipasi, baper, dan julid. Biar tidak disangka orang gila karena ngomong sendirian sepanjang jalan, aku terpaksa memutar otak, pura-pura menelpon untuk memberi penjelasan.Sampai di rumah kukira sudah, rupanya masih ada pertanyaan lagi."Nay, greentea itu apa?"Baru satu detik duduk, sudah ditodong jawaban."Teh hijau!" jawabku langsung.Kaivan terlihat berpikir. "Teh? Kok anak tadi nggak makan teh, ya ..."Aku yang hendak membuka Instagram jadi urung, memilih mengintrogasi jin tampan ini. Jangan-jangan ada yang salah."Emang kamu tadi liat apa, Van?" tanyaku serius. Langsung menaruh handphone di meja."Anak kecil makan sesuatu yang bungkusnya ada tulisan greentea, tapi bukan teh," jawabnya bingung."M
Selesai dengan pakaian butik, Kaivan mengajak aku ke toko musik. Di sana dia memilih sebuah gitar warna putih, tanpa menerima kata 'kenapa'Aku terpaksa menyimpan banyak pertanyaan, termasuk gerutuan soal hemat uang. Kalau ke toko musik hanya membeli sebuah gitar, yang ada di rumah kan bisa di 'tring' jadi lebih mahal."Sudah siap warna baru untuk rambut?" tanyanya menirukan artis iklan shampo. Sesampainya kami di rumah."Emangnya mau disemir sekarang?" Aku membalikkan pertanyaan."Cuma tanya, sih!"Aku hendak memukulnya dengan gagang gitar, kalau satu detik saja jin tampan mirip Indra Brugman itu tidak menghilang.°°°°Malam minggu yang sempurna. Aku akan memberi apresiasi untuk diri sendiri dengan kalimat itu, jika berhasil melaksanakan slogan andalan 'semua baik-baik saja'Menjadi bintang tamu dalam acara ulang tahun sebuah band terkenal, bukan sesuatu yang mudah. Apalagi, semua dipersiapkan dan diyakinka
Setelah aku berhasil tampil beda di sebuah acara ulang tahun band terkenal, Eka semakin menjadi-jadi julidnya. Mengatakan hal buruk, memprovokasi para hatters baru, dan berbagai macam cara lain untuk mencemarkan nama baikku. Selalu terjadi perang antar netizen, baik di postinganku maupun Eka. Parahnya, orang tidak tahu diri itu juga enggan disalahkan. Aku klarifikasi, dia ikuti. Aku diam, justru ucapannya kian menjadi-jadi. Hinaan, sindiran juga olok-olok kasar terpaksa membuatku berhenti upload konten YouTube. Bukan tidak berani menghadapi, yang memiliki solusi cerdas sedang menjadi penengah perang saudara di alamnya. Iya, aku belum sekuat wonder woman tanpa Kaivan. Sekarang saja justru sakit terbebani pikiran. Cling! Wangi parfum citrus yang sudah tidak asing memaksa mata ini terbuka, mendapati seorang laki-laki tampan mendekat. Baju zirah dari besi yang dalam perang sangat berfungsi untuk melindungi tubuh dari keganasan senjata lawan, masih
"Naya, aku tidak lama di sini. Mungkin sepuluh sampai lima belas hari saja. Menemani proses penyelesaian kasus kamu pun, sepertinya tidak mungkin." Dengan sabar Kaivan coba menjelaskan."Jadi, kamu akan ke dunia jin lagi?""Harus! Sebab, kata damai yang disepakati baru tahap awal. Aku belum menemukan siapa dalang adu domba yang kemudian meruncing perang saudara.""Lantas, kenapa tadi bisa pulang?"Kaivan menghela napas, barangkali menyabarkan diri untuk memberi jawaban kekepoanku."Di sana aku tidak tenang, selalu kepikiran kamu. Dan, ternyata firasatku tidak meleset, kamu ada masalah bahkan sampai sakit." Kaivan berujar lirih sambil menyentuh pundakku."Sudah, jangan mencemaskan aku. Rapikan dirimu, aku tunggu di depan," tukasnya, kemudian meninggalkan dapur yang sekaligus berfungsi ruang makan.Tidak lupa dia meminta handphoneku, untuk mengumpulkan bukti-bukti yang diperlukan nanti sebagai bahan laporan.Sekarang tinggalah ak