Share

Jangan Sampai Andra Bertemu Rehan

Tak terasa, jam kantor sudah habis. Alana kini menunggu sebuah taksi di pinggir jalan.

Namun jam sembilan malam begini, angkutan umum sudah tidak ada. 

Terpaksa Alana harus merogoh kocek lebih agar bisa pulang menggunakan taksi. 

Namun, lagi-lagi tak ada!

Sementara itu, Andra yang baru akan pulang dengan mobilnya, menaikkan sebelah alis saat mendapati tubuh ramping Alana hanya berdiri resah di samping jalan. 

"Kenapa dia belum pulang? Pasti dia sedang menunggu taksi. Ah! Untuk apa aku peduli! Terserah, mau dia berdiri selama berjam-jam pun di sana. Itu bukan lagi urusanku!" ujar Andra sambil mengangkat dagunya. 

Ia lalu kembali menjalankan mobil, mencoba tak peduli terhadap Alana yang dilewatinya begitu saja. 

Tentu saja melihat mobil Andra yang berlalu di hadapannya membuat hati Alana sakit. 

Alana menunduk saat langit mulai muram dan menjatuhkan titik-titik airnya yang menderas. 

"Aku lupa kalau saat ini kamu sudah menjadi orang asing, Ndra. Seharusnya aku sadar dengan siapa diriku bagimu," bisik Alana lirih. 

Hanya hujan yang mendengar bisikannya. Sebab Alana berdiri di tempat yang senyap. Dan sunyi. Tak ada seorang pun menemaninya.

Andra yang menyadari hujan kian bertambah deras, berdecak di dalam mobilnya. 

"Sial! Kenapa hujannya malah semakin lebat? Alana mungkin akan kedinginan dengan pakaian seperti itu. Hhh.. Lagi pula, taksi tidak akan lewat di tempat ini jika sudah pukul delapan lewat," ucap Andra sambil menyetir tapi tangan satunya memijat kepalanya yang terasa sedikit berdenyut. 

Sebab lebatnya hujan sudah meluluhlantakkan perasaan teganya terhadap Alana. Dan Andra sangat membenci hatinya yang lemah. 

Meski kebencian pada Alana tetap menyatu dalam darahnya, tapi rasa iba dan sayang itu masih ada. Hanya saja Andra tidak mau menyadarinya. 

"Baiklah. Aku akan putar balik. Terpaksa aku harus mengantar Alana pulang." 

Andra memutar kembali mobilnya. Segelintir perasaan di hatinya, menolak untuk membiarkan Alana begitu saja. 

Begitu Andra kembali, Alana masih ada di sana. Dia tetap berdiri, namun kali ini sambil menggosok-gosokan kulit lengannya yang mulai kedinginan. 

Tubuh Alana makin membeku, ketika netranya melihat mobil Andra berdiri tepat di hadapannya. Alana sempat bingung karena Andra memilih kembali lagi, padahal jelas-jelas pria itu tadi sudah pulang dan mendahuluinya.

Andra menurunkan kaca mobilnya, lantas menatap Alana dengan lurus dan dalam. Tanpa senyum sedikit pun. 

"Cepat masuk ke mobilku! Aku akan mengantarmu pulang!" pinta Andra yang lebih terdengar seperti perintah. 

Alana segera menggeleng. 

"Terima kasih. Tapi tidak perlu repot-repot. Aku akan tetap berdiri di sini saja, mungkin sebentar lagi taksi akan lewat di depanku." 

Andra mendengus, lalu bibirnya melengkungkan senyum penuh ejekan. 

"Taksi? Apa kamu tidak tahu, Alana? Jika taksi yang melewati tempat ini, hanya sampai pukul delapan malam. Sekarang sudah mau pukul sepuluh. Kamu masih ingin keras kepala dan bersikukuh menunggu sesuatu yang tidak akan datang? Apalagi dalam keadaan sepi juga hujan lebat seperti ini. Nanti bukannya taksi yang kamu dapat, tapi para preman kota yang malah mengganggumu," kata Andra yang membuat Alana sedikit bergidik ngeri. 

Bagaimana jika para berandalan tiba-tiba saja datang dan melakukan tindakan kejahatan pada dirinya? Alana menelan ludah memikirkan itu. 

Andra melirik sebentar pada arloji di tangannya. Lalu ia beralih menatap Alana. 

"Terserahmu saja kalau kamu memang mau berdiri di sini sepanjang malam. Sebagai atasanmu, setidaknya aku sudah menawari tumpangan. Waktuku terlalu berharga jika hanya untuk menatapmu yang membisu seperti patung!" ketus Andra kesal, karena Alana tak juga menjawabnya. 

Alana terhenyak saat Andra mulai menyalakan mesin mobil, lelaki itu hendak pergi. 

Dengan segera Alana mendekat, sebelum Andra meninggalkannya seorang diri. 

"Andra. Tunggu! Engh.. Aku akan pulang denganmu," putus Alana akhirnya. 

Kakinya langsung berlari menerobos lebatnya hujan, lantas masuk dan duduk di sebelah Andra. 

"Jangan berpikir yang tidak-tidak, Alana. Aku mengantarmu hanya karena kamu adalah bawahanku. Jika kamu tidak bekerja denganku, maka kamu bukan siapa-siapa. Dan mungkin aku juga tidak akan peduli padamu!" cetus Andra begitu Alana baru saja menutup pintu mobil. 

Alana mengangguk pelan, sembari tersenyum miris. 

"Iya, Andra. Aku tahu siapa diriku. Aku rasa kamu tidak perlu mengingatkanku tentang hal itu," balas Alana sambil meremas roknya dengan kuat. 

Andra memang menolongnya dengan mengantar pulang. Namun laki-laki itu tak bisa mengunci bibirnya untuk tidak merendahkan Alana. 

"Syukurlah kalau kamu sadar diri." 

Andra menghentikan laju mobilnya sejenak, ketika lampu merah menyala di atas rambu-rambu lalu lintas. 

Kini mereka disiksa oleh kesenyapan yang menyelimuti suasana di mobil itu. Alana memilih menatap ke arah jendela di sampingnya. Tapi kemudian bibirnya melengkungkan sebaris senyum tipis, saat matanya menangkap pemandangan seorang wanita sedang menciumi pipi gembil balitanya di dalam mobil. 

Dan Alana tidak menyadari jika bola mata Andra ikut berlari ke arah yang sama. 

Tapi kemudian Andra mendengkus masam. 

"Kamu tahu, Alana? Apa yang membuatku bersyukur saat ini?" pertanyaan Andra memantik perhatian Alana untuk menoleh padanya. 

"Aku sangat bersyukur karena kamu tidak hamil saat dulu kita masih menikah. Jadi, tidak ada anak yang akan tersakiti akibat perbuatan kamu. Coba kamu bayangkan, seandainya saat itu Tuhan memberi kita seorang anak. Akan bagaimana perasaan anak kita, jika ia tahu tentang kebusukan ibunya, yang memilih pergi meninggalkan ayahnya saat tengah sekarat di ruang operasi, hanya demi seorang laki-laki kaya?!"

Alana merapatkan bibir. Ia meneguk salivanya yang terasa berat. 

Andra seakan tidak puas mengusik ketenangan hatinya. Andra seolah tidak ingin membiarkan Alana bernafas barang hanya sejenak. Kata-katanya pasti selalu terdengar menusuk ke dalam hati. 

'Andai kamu tahu, Ndra. Kalau Tuhan memang telah menghadirkan seorang anak di tengah-tengah kehidupan kita. Namanya Rehan. Dia sangat tampan. Dan wajahnya nyaris mirip denganmu. Dia anak kamu, Ndra. Darah daging kamu.' Alana menjerit dalam batinnya. 

Alana sangat sedih mendengar sindiran Andra, tetapi karena ia tidak bisa mengatakan yang sebenarnya, ia menelan sendiri semua kebenaran bersamaan dengan perkataan Andra yang menyakitan itu.

"Jika mengucapkan kata-kata yang menyakiti hatiku membuatmu merasa baik, maka teruskanlah. Aku harap kamu tidak akan menyesalinya,” kata Alana.

Andra tertegun. Ada perasaan asing yang menyentil hatinya setelah mendengar perkataan Alana, tetapi Andra mengabaikan perasaan itu.

Hujan sudah berhenti, namun jarak rumah Alana masih cukup jauh. Kesepian di dalam mobil membuat Alana tidak ingin berlama-lama dengan Andra. Selain itu, Alana juga tidak ingin Andra mengetahui rumahnya. 

“Bisakah aku berhenti di depan?” tunjuk Alana pada jalanan di depan, yang memang sepi dan biasa dipakai penumpang untuk turun.

Andra tidak menjawab, tetapi ia tetap menjalankan mobilnya sampai tempat yang ditunjuk Alana terlewat.

Alana melebarkan matanya. Permintaannya tak didengar dan pria ini seolah-olah menganggapnya tak kasatmata.

“Kalau kamu tidak berhenti, aku akan melompat keluar sekarang."

Namun, Andra lagi-lagi mengabaikannya. Ia bahkan menaikkan sebelah alisnya, berpikir bahwa Alana tidak akan mungkin melakukan itu.

Melihat itu, Alana meremas kedua tangannya. Pikirannya takut, kalau-kalau anaknya sedang berada di luar rumah dan Andra akan bertemu dengan anaknya. 

Alana membuka pintu mobil dengan paksa. Andra terkejut saat Alana melompat keluar dari mobil sambil menutup matanya.

"Alana!"

Andra langsung menginjak rem, wajahnya kini tampak muram dan menakutkan.

“Apa kamu sudah gila, Alana?!” teriak Andra.

Ia segera turun dari mobil untuk memeriksa kondisi Alana. Untungnya, kecepatan mobilnya tadi tidak terlalu cepat, jadi Alana tidak terluka dan berhasil berdiri, meski tadi dalam keadaan tersungkur.

Melihat Alana tampak baik-baik saja, Andra menyembunyikan kekhawatiran dan menatap Alana dengan kemarahan. “Apa maksudmu melakukan ini?”

"Maaf. Tapi aku mau diturunkan di sini dan kamu tidak usah mengantarku,” cicitnya.

Alana teringat akan Rehan yang terbiasa menyambutnya di depan rumah setiap kali Alana pulang bekerja. 

Bila Andra melihatnya, apa yang harus dia katakan?

Andra merasa perilaku Alana mencurigakan. “Memang, di mana rumahmu?” tanyanya sembari memicingkan mata, menatap pada sekelilingnya yang terdapat banyak sekali rumah kumuh serta gang-gang sempit. 

Banyaknya gang sempit, membuat Andra menduga-duga, di mana Alana tinggal. 

"Rumahku letaknya jauh sekali masuk ke dalam gang yang sangat sempit. Mobilmu tidak akan bisa masuk ke dalamnya. Jadi, sebaiknya aku turun di sini saja," bohong Alana.

Rumah sewanya memang terletak di dalam sebuah gang, tetapi tidak sejauh seperti yang Alana katakan pada Andra. 

"Ya sudah."

Akhirnya, Andra mengizinkannya.

Alana tersenyum lega. Meski jarak ke rumahnya masih cukup jauh, tak apa. 

Demi keselamatan Rehan, Alana tak merasa keberatan jika harus berjalan sejauh apa pun. 

"Terima kasih banyak atas tumpangannya, Andra."

"Hmm..." Andra hanya menjawabnya dengan dehaman malas. 

Alana mengelus dadanya seraya menarik napas lega.

"Syukurlah. Andra langsung pulang tanpa banyak bertanya-tanya tentang diriku. Atau mungkin dia memang benar-benar sudah tidak peduli lagi dengan kehidupanku. Aku saja yang terlalu percaya diri." Alana menggeleng samar, mengenyahkan pikirannya tentang Andra. 

Yang terpenting baginya sekarang ini adalah, Andra tidak tahu tempat tinggal Alana yang sebenarnya. 

Jadi, kecil kemungkinan untuk Andra bertemu dengan Rehan!

***

Di sisi lain, Andra yang baru saja pulang ke rumah, menghela napas ketika disambut dengan senyum masam di wajah ibunya.

Nita sudah berdiri di ruang tamu dengan berpangku tangan menatapnya penuh kesal. "Andra! Kenapa kamu tidak pernah bilang sama Mama, kalau kamu sudah bertemu lagi dengan wanita murahan itu?" desak Nita dengan intonasi suara yang tinggi. 

Andra tidak perlu bertanya tentang siapa wanita murahan yang Nita maksud. Sudah pasti Alana. 

"Iya, Ma. Andra memang sudah bertemu lagi dengan dia."

"Dan kamu malah seenaknya memberikan dia pekerjaan? Sebagai sekretaris kamu, lagi. Ingat, Ndra. Dia itu wanita ular! Dia wanita penghianat. Dia yang sudah meninggalkan kamu saat kamu sedang berjuang untuk kembali berjalan. Kenapa kamu malah mempekerjakan dia di perusahaan?" 

Andra tak langsung menjawab pertanyaan Nita yang bertubi-tubi.

Mengingat Alana, membuat Andra menjadi gerah. Ia butuh minum untuk sejenak membasahi tenggorokannya. 

"Andra! Kamu mau ke mana? Mama belum selesai bicara!" Nita berdecak gemas saat Andra berjalan melewatinya begitu saja. 

"Mama gak terima ya, Ndra. Kamu pekerjakan wanita ular itu di perusahaan kita. Bisa-bisa dia menjebak kamu dan menggerus semua kekayaan perusahaan!" Nita masih mengoceh, sementara kakinya mengekori Andra yang melangkah lebar di depannya. 

Pria itu lalu berhenti di meja makan. Tangannya menuangkan air putih ke dalam gelas, lalu meneguknya seperti seorang musafir yang kehausan. 

"Andra! Kamu dengar Mama gak, sih?" 

"Aku dengar, Ma," sahut Andra malas. 

"Kalau begitu, segera pecat wanita murahan itu dari perusahaan. Mama tidak sudi kalau kamu harus bertemu terus-terusan dengan Alana," perintah ibunya tegas. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status