Share

2. Bukan Pilihan

Suara hujan menyamarkan isak tangis Elena. Ia meringkuk, duduk di atas sofa merangkul lututnya. Matanya yang memerah menatap ke arah meja, memperhatikan foto pernikahan mereka beberapa tahun yang lalu. Pernikahan penuh cinta yang saat ini telah ternoda oleh pernikahan kedua.

“Austin, aku kira hatiku kuat. Ternyata rasanya begitu sakit,” gumam Elena.

                Buliran airmata terus mengalir tanpa henti. Elena takut mendengar petir yang bergemuruh, tapi ia lebih takut kalau suatu saat ia tersingkir dari posisinya sebagai Nyonya Austin. Gelar yang selama ini ia jaga dengan sangat baik.

“Elena!”

                Suara teriakan yang cukup keras, bersamaan dengan pintu yang dibuka kasar membuat Elena menoleh ke arah sumber suara. Pria yang seharusnya tidak menemuinya, datang dalam keadaan basah kuyub. Ia terlihat sangat khawatir.

                Elena turun dari sofa. Berdiri tegap, menatap tidak percaya. Austin berlari ke arahnya. Langsung memeluk Elena sangat erat. Apa yang harus Elena lakukan? Haruskah ia membalas pelukan Austin?

“Maaf! Maafkan aku, Elena. Aku mohon, maafkan aku. Seharusnya aku datang lebih cepat. Kau pasti sangat ketakutan karena aku meninggalkanmu sendirian,” ucap Austin.

“Austin, lepaskan aku,” pinta Elena.

“Tolong Elena, balas pelukanku. Aku tahu kau sedang menahan diri. Jangan berusaha membohongiku,” gumam Austin.

                Elena harus menjauh dari Austin demi tujuannya tercapai. Akan tetap, perasaan tidak dapat diputus dalam waktu singkat. Ia mencintai Austin. Ia inginkan Austin menjadi miliknya. Ia tidak ingin berbagi. Itulah keinginannya yang tersembunyi.

“Austin, jangan tinggalkan aku,” ucap Elena. Pada akhirnya Elena dikalahkan oleh perasaannya yang sangat kuat.

“Aku tidak akan meninggalkanmu. Kau tidak perlu berpikir yang tidak-tidak, oke.”

                Austin menggendong Elena sangat romantis. Membawa Elena masuk ke dalam kamar dan menurunkannya di atas ranjang. Austin mengambilkan baju tidur yang baru karena pakaian Elena ikut basah karenanya.

“Elena, gantilah pakainmu. Aku tidak ingin kau sakit,” ucap Austin sembari mengusap lembut ujung kepala Elena.

                Elena mengganti pakaiannya. Ia menoleh saat Austin membuka kemejanya yang basah. Elena berjalan pelan dan memeluk Austin dari belakang. Austin mengusap tangan Elena yang melingkar di pinggangnya.

“Ada apa?” tanya Austin.

“Austin, apa kau akan membuangku setelah Anne bisa mengandung anakmu?” tanya Elena.

                Austin tersenyum pahit. Apa yang harus ia jawab? Pernikahannya bersama Anne bahkan bukan keinginannya. Pernikahan keduanya hanya seperti pedang tajam yang menyakiti hati siapa saja.

“Elena, dengarkan aku,” pinta Austin sembari memutar tubuhnya. “Kau adalah satu-satunya wanita yang aku inginkan. Siapa Anne, sampai-sampai mengancam posisimu?” lanjutnya.

                Elena tertunduk lesu. Austin berusaha meyakinkan Elena kalau cintanya tidak akan goyah meski Anne memberikan segalanya yang tidak bisa Elena berikan untuknya.

“Elena, aku menikah karena kau memaksaku. Kalau kau memintaku untuk menceraikannya, aku akan lakukan sekarang juga,” ucap Austin.

“Austin, bagaimana bisa kau mengatakannya begitu mudah? Anne, dia baru saja kau nikahi,” kata Elena. Ia sedikit terkejut dengan penuturan Austin. Sorot matanya bahkan tidak memperlihatkan keraguan sedikitpun.

“Anne hanyalah wanita asing bagiku. Selamanya, aku hanya akan mencintaimu, Elena.”

*

                Anne duduk di samping jendela. Tirainya sengaja ia buka. Setidaknya, ia tidak terlalu merasakan kesepian dengan melihat keindahan lampu kota. Gemericik gerimis menambahkan luka lara. Anne terlelap dengan membawa kesepian ke dalam mimpinya.

                Anne mengernyitkan keningnya. Suara berisik terdengar dari arah dapur, bersamaan dengan mentari pagi yang menyorot matanya. Berapa lama ia tidur? Pikir Anne.

“Siapa yang pagi-pagi datang? Ah!” pekik Anne. “Mungkinkah Austin?”

                Anne berusaha tenang. Seorang wanita paruh baya sedang sibuk menyiapkan sarapan. Anne terpaku dan membisu. Bertanya-tanya di dalam benaknya siapa wanita tersebut. Bahkan lantai licin karena terkena gaunnya yang basah semalam, sudah dibersihkan.

“Nyonya muda.” Wanita tersebut langsung menghampiri Anne. Ia sedikit membungkuk memberikan salam.

“Jangan lakukan itu,” pinta Anne. Ia tidak terbiasa dengan kehidupan kelas atas.

“Nyonya muda, nama saya Anh. Saya yang akan menemani Anda di sini,” jelasnya.

“Baiklah, Bibi Anh. Apa Austin yang meminta Bibi untuk bekerja di sini?” tanya Anne.

“Maaf, Nyonya. Saya bekerja atas permintaan Nyonya besar.”

                Anne tersenyum menyembunyikan lukanya. Luka yang semakin membesar karena terus bertambah. Rumah seluas itu tidak membuat Anne bisa bernapas lega. Selalu saja merasa sesak.

“Nyonya, saya sudah menyiapkan sarapan untuk Anda.”

“Bibi Anh, terima kasih, tapi aku sedang tidak ingin makan sekarang.”

                Anne memalingkan dirinya. Ia keluar dari rumah itu, berharap bisa menghirup udara segar. Akan tetapi, langkahnya berhenti. Ia melihat Austin dan Elena sedang bercengkerama dengan sangat harmonis. Rasanya begitu menusuk. Mengingatkan Anne pada statusnya yang tidak lain hanyalah orang ketiga.

                Rumah Anne dan Elena bersandingan tanpa sekat pagar. Anne buru-buru pergi sebelum mereka melihatnya. Akan tetapi, sudah terlambat. Elena menyadari kehadiran Anne.

“Anne, kemarilah. Austin mau berangkat bekerja,” teriak Elena sembari melambaikan tangannya.

                Mau bagaimana lagi? Anne tidak bisa mengelak. Ia benar-benar datang tanpa persiapan. Bahkan ekspresi Austin menjadi masam ketika Elena memanggil namanya. Ke mana perginya senyum yang indah dari bibirnya? Pikir Anne.

“Ha—hai,” sapa Anne. Suaranya terbata-bata.

“Bukan aku yang harus kau sapa, tapi Austin. Anne, kau harus terbiasa dengan tugas sebagai Istri,” kata Elena.

                Anne memalingkan pandangannya. Ia merasa sangat canggung setelah melihat beberapa tanda merah di leher Elena. Tugas sebagai istri? Ucapan itu terdengar sangat konyol. Bagaimana mungkin Anne berani mendekati Austin jika Austin memandang jijik padanya?

“Sayang, aku berangkat dulu.”

                Seperti biasa, Elena mengecup punggung tangan Austin dan Austin akan mencium keningnya. Anne berpikir untuk melakukan hal yang sama. Namun, ketika Anne mengulurkan tangannya bahkan belum mengucapkan sepatah kata, Austin pergi melewati Anne tanpa menoleh ke arahnya.

                Anne menarik kembali tangannya yang terasa kosong. Elena juga hanya terdiam. Anne tersenyum getir. Senyum yang sangat pahit.

“Anne, apa kau—“

                Anne menepis pelan tangan Elena yang hendak menyentuh bahunya. Anne menggeleng pelan. Embun bahkan berbisik menertawakan penderitaannya.

“Kak Elena, aku baik-baik saja. Iya. Aku sungguh baik-baik saja.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status