Suara Aisyah saat di telepon terus terngiang di telinga Melati. Dia benar-benar merasa menjadi seorang penjahat. Melati melihat foto yang dikirimkan Reina ke HP-nya. Foto Adam dengan seorang wanita berjilbab, serta bocah perempuan kecil. Mereka tampak seperti keluarga bahagia. Kemudian, Melati mengirimkan pada Adam.
“Mas, lihatlah, kalian seperti keluarga bahagia. Bagaimana perasaan istri pertamamu jika tahu kamu di sini berselingkuh?” Air mata Melati menetes saat mengirimkan pesan itu pada Adam.Kebetulan Adam belum pulang ke Sidoarjo, dia sekarang masih di kantor cabangnya yang ada di Surabaya. Adam memang sudah berjanji akan menemani Melati sekitar dua bulanan.Kemudian, ponsel Melati bergetar, sebuah notifikasi pesan dari Adam masuk di ponsel Melati.“Sayang, kamu ngomong apa, sih? Itu cuma sebuah foto. Foto yang diambil diam-diam oleh sahabatmu. Asal kamu tahu, aku lebih bahagia bersama kamu, Melati. Aku nggak nyaman dengan Aisyah,” balas Adam.“Sudahlah, Mas, jangan membuatku semakin bersalah. Pastinya sebelum ketemu aku, kamu dan istrimu itu sangat bahagia. Dan kamu sangat nyaman dengannya,” balas Melati lagi.“Aku pulang sekarang. Aku tahu kamu sedang emosi.” Melati hanya tersenyum kecut saat mendapat pesan tersebut.Mas, kamu egois, sangat egois dan serakah, batin Melati.Kemudian, Melati menelepon Reina, dia ingin berbagi kisah dengan Reina.“Halo, Mel, ada apa? Tumben telepon jam segini? Lagi nggak kerja?” Terdengar suara Reina saat telepon sudah tersambung.“Aku lagi nggak mood, jadi nggak masuk kerja,” sahut Melati.“Wah, sahabatku ini kenapa?” Terdengar Reina terkekeh.“Rei, kamu masih di Surabaya apa sudah balik?” tanya Melati.“Kebetulan aku masih di Surabaya, Mel. Besok baru balik, ini masih packing. Sebenarnya aku masih pengen di sini, tapi gimana, Dani harus sudah masuk kerja. Dia nggak bisa cuti lama-lama.” Terdengar suara Reina kurang bersemangat.“Emm, kita bisa ketemu nggak?” tanya Melati.“Sekarang? Kamu nggak apa-apa, kan, Mel?” tanya Reina balik.Bukannya menjawab, Melati malah menangis.“Mel, kamu kenapa? Ok, kita ketemu sekarang. Aku yang ke rumah kamu, apa gimana?” tanya Reina.“Kita ketemu di tempat biasa saja, Rei. Aku langsung berangkat sekarang, takut Mas Adam keburu balik dari kantor,” sahut Melati.“Ok.” Setelah itu sambungan telepon pun terputus.Melati segera pergi sebelum Adam datang. Melati langsung memacu sepeda motornya, meskipun hatinya sedang tidak baik-baik saja, tetapi Melati masih bisa fokus mengendarai motor.Tak lama kemudian, sampailah Melati di sebuah kafe tempatnya janjian dengan Reina. Ternyata Reina sudah ada di sana dan sudah memesan minuman serta makanan ringan kesukaan Melati.“Cepat sekali kamu, Rei, sudah datang dan makanan sudah siap.” Melati tersenyum.“Ya, kan, lebih dekat rumahku,” sahut Reina sambil tersenyum.Melati kemudian duduk di hadapan Reina. Dia menghela napas panjang. Melati bingung memulai dari mana untuk bercerita. Reina menatap Melati yang kebingungan.“Ada apa, Mel? Apa yang kamu pikirkan? Meskipun kamu tersenyum, tapi aku tahu kamu sedang bersedih,” ucap Reina.Melati menarik napasnya dengan panjang. Lalu, dia mengaduk-aduk minuman di hadapannya dan menyeruputnya. Setelah sedikit tenang, Melati pun mulai bercerita.“Ternyata benar, Mas Adam sudah menikah, Rei. Foto yang kamu kirim ke aku itu memang sedang bersama keluarganya. Kemarin istrinya telepon saat Mas Adam sedang bersamaku. Awalnya, Mas Adam mengelak, tetapi setelah aku desak, akhirnya dia jujur kalau sudah berkeluarga.” Melati langsung menangis setelah bercerita pada Reina.“Nah, sudah kuduga dari awal, pasti ada yang nggak beres dengan si Adam itu. Kalau dia memang masih single, nggak mungkin dia cuma ngajak nikah siri. Apalagi sampai keluarganya nggak tahu. Bahkan, kamu belum dikenalkan ke keluarganya, kan?” Reina menatap Melati.Melati mengangguk.“Aku memang bodoh, Rei, langsung percaya begitu saja dengan rayuan Mas Adam. Dia bilang menunggu waktu yang pas untuk mengenalkan pada keluarganya. Tapi, ternyata itu hanya alasan saja. Sampai kapan pun aku nggak akan pernah dikenalkan ke keluarganya. Dia memang egois, Rei.” Lagi, Melati tersedu-sedu.“Mel, yang sabar. Sudah jangan menangisi pria brengsek seperti itu. Sekarang kamu maunya gimana?” tanya Reina.“Aku ingin pergi, Rei. Aku nggak mau dianggap pelakor, aku bukan Pelakor, karena aku nggak tahu kalau Mas Adam sudah beristri. Seandainya tahu kalau Mas Adam sudah berkeluarga, aku nggak mungkin mau menikah dengannya.” Melati menarik napas dalam.“Aku nggak punya saran untukmu, Mel. Hanya saja aku akan mendukung apa pun keputusan yang kami ambil.” Reina menatap Melati.“Tapi, jujur, aku bingung, Rei. Aku terlalu mencintai Mas Adam. Sulit bagiku untuk melepasnya, tapi biar bagaimanapun aku harus melepasnya. Aku nggak boleh egois. Sebelum semuanya terlambat dan aku makin sulit lepas dari Mas Adam.” Melati mengusap sudut matanya sambil tersenyum kecut.“Yang sabar, ya? Semoga masalah kamu segera terselesaikan. Aku nggak bisa bantu apa-apa, hanya dukungan saja yang bisa kuberikan.” Reina menggenggam tangan Melati untuk menenangkan.“Ibuku juga memintaku untuk pulang, dia mau menjodohkanku. Tapi, aku menolak. Hanya saja aku belum bilang kalau aku sudah menikah siri. Aku nggak tahu gimana perasaan ibuku kalau tahu aku menikah dengan pria beristri,” ucap Melati.“Kamu turuti aja kemauan ibumu, Mel. Seorang ibu hanya ingin yang terbaik untuk anaknya.” Reina tersenyum.Melati hanya diam, dia tIdak tahu harus bagaimana.Saat mereka sedang asyik, tiba-tiba ponsel Melati berdering. Sebuah panggilan dari Adam. Melati malas menerimanya, dia mengabaikannya. Berkali-kali sampai akhirnya mati sendiri.“Siapa, Mel? Adam?” tanya Reina.Melati mengangguk.“Kenapa nggak kamu terima?” tanya Reina.“Malas, Rei.”Reina hanya manggut-manggut. Kemudian, dia melihat ponselnya, dan mengeceknya.“Mel, maaf, aku harus pulang ini. Dani memintaku untuk pulang, kami harus persiapan untuk besok.” Reina menatap Melati dengan sendu. “Aku jadi nggak tega harus ninggalin kamu dalam keadaan terpuruk begini, Mel,” lanjut Reina.“Nggak apa-apa, Rei. Aku nggak apa-apa.” Melati mencoba tersenyum.“Jangan lupa selalu kabari aku kalau ada apa-apa. Kalau kamu butuh teman curhat, kamu telepon saja,” ucap ReinaMelati hanya mengangguk. Kemudian, Reina berpamitan pada Melati.Sepeninggal Reina, Melati kembali merasa sedih dan kesepian. Dia masih tak habis pikir bisa menjadi istri kedua. Sungguh tak pernah terpikirkan oleh Melati sebelumnya. Padahal Melati sangat membenci seorang pelakor, sedangkan dirinya sekarang menjadi seorang pelakor.“Melati, kamu di mana? Jangan buat aku khawatir dan bingung. Aku sampai rumah, kamu nggak ada.” Sebuah pesan dari Adam.Melati hanya membacanya, tanpa berniat membalas.“Sayang, ayolah jangan ngambek. Balas pesanku, jangan cuma dibaca. Atau angkat telepon aku.”Kemudian, terdengar ponsel Melati berdering. Adam menelepon Melati. Dengan malas, Melati menerima panggilan dari Adam. Dia tak mau bunyi ponselnya mengganggu pengunjung kafe lainnya.“Akhirnya, diangkat juga. Kamu di mana Sayang? Biar aku jemput,” ucap Adam.“Sudahlah, Mas, nggak usah pedulikan aku. Nggak usah nyari aku.” Melati menjawab dengan singkat.“Sayang, jangan gitu. Aku tahu kalau aku salah, tapi jangan kayak gini. Kita bicarakan baik-baik di rumah, ya? Kalau kamu nggak mau pulang sendiri, aku yang jemput kamu. Kita selesaikan semuanya baik-baik,” ucap Adam.Sesampai di rumah, Melati langsung disambut oleh Adam. “Sayang, aku nggak mau kamu kayak gini. Anggap saja aku hanya milikmu.” Adam meraih tangan Melati dan hendak menciumnya, tetapi Melati menolak. “Nggak usah pegang-pegang, Mas! Aku muak sama kamu! Talak aku, Mas! Bebaskan aku! Aku nggak mau menjadi pelakor!” sentak Melati. “Melati, aku nggak akan pernah menalakkmu! Aku sangat mencintaimu.” Adam terus membujuk Melati. Melati menatap Adam dengan tajam. “Kamu jangan egois, Mas! Jangan serakah!” sentak Melati. “Mel, beri aku waktu untuk mengatakan hubungan kita ini pada Aisyah. Aku akan menceraikan dia. Aku nggak bahagia hidup dengannya. Aku lebih nyaman denganmu, Mel.” Adam merengkuh Melati. Melati berusaha melepas pelukan Adam, tetapi tak bisa. “Mel, jangan pernah memintaku untuk pergi. Aku nggak bisa kehilangan kamu, Sayang. Aku begitu mencintaimu,” ucap Adam. Lalu, dia mencium kening Melati. Melati akhirnya hanya bisa pasrah. Jika boleh jujur, Melati memang tak mau berpisah
Setelah Adam dan Melati berdebat, lagi-lagi Melati luluh. Adam pun pergi ke kamar mandi untuk membersihkan badan. Saat Adam masih di kamar mandi, ponsel Adam yang diletakkan di atas meja berdering. Melati mengernyit saat melihat nama yang tertera di ponsel Adam. Sama seperti beberapa waktu lalu. Awalnya, Melati ragu untuk menerimanya, tetapi karena tak kunjung berhenti, Melati pun menerimanya. “Halo,” ucap Melati, tapi tak ada jawaban. “Halo, ada yang bisa saya bantu?” tanya Melati lagi. Namun, tak ada jawaban. Melati yakin orang yang ada di telepon itu pasti syok karena mendengar suaranya, Melati ingin mengatakan yang sejujurnya, tetapi dia masih punya hati. Saat Melati ingin mengatakan sesuatu, tiba-tiba Adam mengambil ponselnya yang masih di telinga Melati. Dan langsung mematikan sambungan teleponnya. “Kenapa kamu ambil paksa teleponnya Mas? Oh, kamu takut kalau istri sahmu tahu kelakuan suaminya di sini?” tanya Melati dengan tatapan tajam. “Melati, nggak gitu. Tapi, bukan saa
Keesokan harinya, Adam pun pergi meninggalkan Melati. Meskipun Melati tak rela Adam pergi, tapi dia tak bisa menuntut lebih. Melati sadar dengan statusnya. Toh, Adam pulang ke Sidoarjo karena Anindya. Andai bisa, Melati ingin ikut ke Sidoarjo, toh Sidoarjo dan Surabaya tak terlalu jauh. Melati bisa juga PP dari tempat kerjanya ke Sidoarjo. Sayangnya Adam melarangnya. Mungkin dia takut Aisyah tahu.Adam pun meninggalkan Melati dengan rasa bersalah. Selama dalam perjalanan, pikiran Adam terpecah. Berkali-kali ponselnya berdering, tapi Adam abaikan. Karena Adam yakin itu telepon dari Aisyah.“Aisyah ini nggak sabaran banget, sih, jadi orang! Udah tahu aku nyetir, lagi di perjalanan. Udah tahu perjalanan dari Surabaya ke Sidoarjo berapa lama. Harusnya nggak usah telepon-telepon terus!” Adam terus menggerutu.Setelah berkali-kali berdering, akhirnya ponselnya pun berhenti. Adam merasa lega.Setelah kurang lebih 1 jam perjalanan, Adam sampai juga di rumahnya. Dia segera turun dari mobilnya.
“Siapa, Pa? Kenapa harus sembunyi saat telepon?” tanya Aisyah.Tentu saja Adam gelisah. Dia langsung mematikan sambungan teleponnya.“Ini lo orang perusahaan, tapi nggak penting-penting banget, kok, Ma. Udah, yuk nggak usah bahas yang lain. Bahas kita aja.” Adam mencoba tersenyum dan bersikap biasa.Aisyah pun menurut apa kata Adam. Mereka kembali ke balkon kamar dengan bergandengan tangan. Aisyah hanya berharap apa yang dikatakan Adam memang benar adanya, tidak berbohong.“Pa, aku hanya takut apa yang dibilang Bude benar adanya.” Aisyah menatap Adam ketika sudah berada di balkon.“Memang apa kata Bude, Ma?” tanya Adam.“Ya, kamu di sana punya selingkuhan, makanya betah di sana. Tapi, aku yakin kamu nggak kayak gitu. Kamu sangat mencintaiku dan menyayangi Anindya, jadi nggak mungkin kalau punya selingkuhan.” Aisyah tersenyum menatap Adam.“Nggak usah didenger apa yang dibilang Bude, Ma. Papa di sana itu kerja, ngurus perusahaan cabang.” Adam tersenyum.“Tapi, bisa nggak, kalau misal p
Sementara Melati, semenjak tahu kalau dirinya hanya istri simpanan, dia tak banyak menuntut. Meskipun Adam lama tak mengunjunginya, Melati pun tidak protes. Dia sadar diri. Melati juga merasa bersalah pada Aisyah. Seperti sekarang ini, jika Adam tidak menghubunginya, Melati tidak menghubunginya seperti dulu saat belum tahu status Adam. Sekarang, Melati harus bisa menghargai istri sah Adam. Meskipun hatinya teramat sakit jika mengingat Adam bersama istri sahnya. Akan tetapi, dia tak bisa berbuat banyak.“Mas, sampai kapan kita akan menjalani hubungan secara sembunyi begini? Aku istrimu juga,” ucap Melati pada dirinya sendiri.Melati menarik napas dalam, air matanya mengalir membasahi pipinya. Hati Melati begitu nyeri. Napasnya terasa sesak, tak sanggup lagi rasanya menjalani pernikahan ini. Berkali-kali Melati ingin menyerah dan pergi dari kehidupan Adam, tetapi pria itu selalu melarang. Dia tak mau kehilangan Melati, tapi juga takut berpisah dengan istri sahnya. Pria memang makhluk
Waktu terus berjalan seperti biasa. Melati masih belum menemukan titik terang. Saat dia sedang meratapi nasibnya di balkon kontrakannya, terdengar suara klakson mobil. Melati mengerutkan keningnya, mungkinkah itu Mas Adam? Melati bertanya dalam hati.Melati pun segera menghapus air matanya dan segera keluar untuk melihat siapa yang datang. Ternyata benar Adam datang. Satu bulan waktu yang begitu lama bagi Melati. Saat melihat Adam, Melati langsung menghambur ke pelukan Adam. Adam pun mengeratkan pelukannya. Dia begitu merindukan Melati.Melati terus terisak di dekapan Adam. Meskipun dia merasa ditipu oleh Adam. Namun, entah kenapa wanita itu tak bisa marah pada Adam. Apa mungkin karena rasa sayangnya yang begitu besar pada Adam?“Mas … aku lebih baik menyerah dan pergi dari hidupmu.” Melati tiba-tiba mengurai pelukan dan menatap Adam.“Hei, apa maksudmu? Aku baru saja nyampe kamu udah ngomong yang tidak-tidak.” Lagi, pria berambut hitam lurus ini merengkuh dan mencium kening Melati de
Semenjak pertemuan dengan Dion beberapa waktu lalu, pria berkulit putih pekat itu sering menghubungi Melati. Entah, Melati jadi merasa memiliki teman untuk mengisi kekosongan jiwa. Di saat Adam tak pernah datang mengunjungi Melati, bahkan menanyakan kabar lewat telepon pun tak pernah. Sudah hampir satu bulan. Jiwa Melati benar-benar resah, mungkinkah dia sudah lupa kalau memiliki istri lain? Walaupun hanya menikah siri.Dion masih belum mengerti perihal Melati seorang istri simpanan boss besar. Dia tahunya Melati seorang yang masih jomlo. Ya, Melati memang tak pernah bercerita. Buat apa juga membongkar rahasia, toh Dion juga tak pernah bertanya. Jadi, biarlah Melati simpan rapat rahasia besar ini. Toh, ini tak penting untuk Dion.Malam ini, Melati benar-benar merindukan Adam. Beberapa hari tak ada kabar. Melati bingung ke mana Adam. Nomornya beberapa kali dihubungi, tapi tak pernah diangkat. Bahkan chat dari Melati pun tak dibalas. Pria kulit kuning langsat itu benar-benar tega. Terak
[Hallo, Mbak masih di situ? Apa maksud Mbak, kalau istrimu? Apa Mbak kenal dengan suami saya, Mas Adam?] Suara dari seberang. Melati tetap membisu. Tak tahu harus menjawab apa. Kemudian, samar-sama terdengar seorang pria berucap. Sepertinya suara Adam. “Ma, ayo makan dulu. Ini buburnya sudah siap.” “Pa, apa kamu punya istri lain selain Mama?” “Apa maksud kamu, Ma? Sudah jangan tanya macem-macem, Mama lagi sakit. Ayo makan dulu, papa suap.” Hati Melati teramat sakit mendengar percakapan Adam dengan istrinya. Sakit apakah Mbak Aisyah, sampai makan pun harus dilayani? Batin Melati. Dia terus mendengarkan lewat telepon yang masih tersambung. “Pa, jawab jujur! Apa Papa selingkuh? Barusan ada yang menghubungi Papa dan bilang istri Papa!” Suara wanita itu terdengar bergetar diiringi isak tangis. “Mama ngomong apa, sih? Nggak ada wanita lain di hati papa. Jangan pernah berpikir macem-macem.” Mendengar jawaban Adam, segumpal daging dalam dada Melati berdenyut nyeri. Melati langsung mem