"Runa … bangun sayang. Tolong buka matamu."
Aruna samar-samar mendengar suara Bagas. Dia perlahan membuka mata, lalu melirik Bagas yang duduk di sampingnya."Bagas?" lirih Aruna. Memanggil nama suaminya.Bagas tersenyum melihat istrinya yang sudah siuman. Dia pun mengecup tangan Aruna yang digenggamnya."Syukurlah sayang … kamu sudah sadar."Aruna mengernyit begitu mencium bau desinfektan yang sangat menyengat. Matanya menyapu sekeliling. Dilihatnya ruangan serba putih yang kini ditempatinya. Aruna terkesiap saat sadar selang infus terpasang di tangan kirinya."Dimana aku?" tanya Aruna dengan suara parau."Kamu ada di rumah sakit, sayang. Semalam, kamu mengalami kecelakaan.""Kecelakaan?" lirih Aruna. Dia memegang kepalanya yang terasa nyeri. Aruna pun sadar ada perban yang melingkar di kepalanya.'Apa yang terjadi padaku?' batin Aruna seraya berusaha mengingat kejadian yang dialaminya.Aruna buru-buru menarik tangannya dari Bagas, begitu ingat dengan pengkhianatan yang dilakukan pria itu. Air matanya menitik. Aruna menatap Bagas dengan penuh rasa kecewa."Kamu pembohong, Bagas. Kamu– Argh!"Belum sempat Aruna meluapkan emosinya pada Bagas. Dia mengerang kesakitan karena rasa nyeri yang menyerang bagian bawah perutnya.Aruna meringis kesakitan, karena semakin lama rasa sakit diperutnya datang semakin kuat."Runa … kamu kenapa sayang? Apa yang sakit?" Bagas panik melihat istrinya kesakitan. Dia pun bangkit dari duduknya. "Dokter! Aku akan memanggil dokter."Aruna meremas perutnya dengan kuat. "Perutku sakit Bagas. Sakit sekali!"Mendengar keluhan Aruna, tanpa membuang waktu Bagas berlari keluar dari ruang rawat. Dia berteriak memanggil dokter dan perawat. Meminta mereka agar segera memeriksa keadaan istrinya."Nyonya, apa yang anda rasakan?"Seorang dokter wanita bertanya sambil memeriksa keadaan Aruna. Terlihat dokter tersebut menyingkap selimut yang Aruna kenakan, lalu memeriksa bagian bawah perutnya."Apa anda merasakan sakit di bagian ini?" tanya dokter seraya menekan perut Aruna.Aruna mengangguk lemah. Air matanya pun terus mengalir akibat rasa sakit yang dialaminya."Iya dokter. Bagian itu sangat sakit.""Tidak masalah. Anda mengalami kram perut akibat kuretase yang anda jalani.""Apa dokter, kuretase?!"Aruna kaget mendengar penuturan dokter. Dia menatap dokter wanita di hadapannya dengan bingung."Kapan saya melakukan kuret dokter? Kenapa?"Dokter wanita yang Aruna tanya melirik Bagas. Menyadari itu, Aruna pun segera melirik suaminya."Bagas, apa yang terjadi? Kenapa aku harus sampai melakukan kuret?" tanya Aruna dengan suara parau. Dadanya bergemuruh menunggu jawaban dari Bagas."Sayang …. Kamu harus tabah."Bagas menghampiri Aruna. Dia memegang tangan Aruna seraya mengecup keningnya.Aruna bingung melihat reaksi suaminya. Tiba-tiba Aruna pun memiliki firasat buruk dengan kecelakaan yang dialaminya."Apa yang sebenarnya terjadi padaku, Bagas?""Sayang …," Bagas menatap Aruna dengan mata berkaca-kaca. "Kamu mengalami keguguran. Benturan keras yang kamu alami saat kecelakaan membuat bayi kita tidak tertolong.""Bayi? Maksudmu … aku hamil?"Aruna tersentak mendengar jawaban Bagas. Refleks, dia menarik tangannya yang Bagas pegang, lalu menyentuh perutnya yang masih terasa sakit."Aku hamil? Benarkah, aku hamil Bagas?" tanya Aruna. Mempertegas jawaban suaminya.Bagas mengangguk. "Ya sayang, kamu hamil. Tapi kini, kamu sudah kehilangan bayi kita.""TIDAAAK!"Aruna menjerit kencang. Tangisnya pecah. Aruna merutuki diri yang tidak sadar dengan kehamilannya."Bagaimana bisa aku tidak mengetahui keberadaan bayiku. Maafkan mamah, sayang. Maaf…," lirih Aruna di tengah tangisnya.Selama tiga tahun ini, Aruna memang tidak menggunakan kontrasepsi. Dia ingin segera memiliki keturunan, meski Bagas sering berkata untuk menundanya. Aruna bahkan diam-diam melakukan konsultasi dengan dokter agar bisa hamil. Dia juga mengkonsumsi obat herbal untuk kesuburan. Namun, Tuhan belum juga menitipkan anugrah padanya.Dan saat Anugrah itu datang, Aruna malah harus kehilangan janinnya, tanpa mengetahui keberadaan janin itu sebelumnya."Bayikuuu!"Aruna terpukul karena kehilangan bayinya. Tangan kanan Aruna pun meremas perut. Berharap bisa menemukan keberadaan janin yang beberapa lalu sempat bersemayam dalam rahimnya."Kenapa Engkau begitu cepat mengambil bayiku kembali Tuhan? Kenapa?!"Bagas tidak tahan melihat kesedihan istrinya. Dia memeluk Aruna seraya ikut meneteskan air mata. Bagas membelai kepala Aruna seraya membisikkan kata-kata penenang."Sabar sayang. Tidak perlu bersedih. Yakinlah, ini yang terbaik untuk kita. Tolong jangan menangis."Aruna tidak mengindahkan kata-kata Bagas. Dia pun terus menangis.Bagaimana bisa Aruna tidak bersedih saat kemalangan mendatanginya dengan bertubi-tubi?Beberapa jam lalu, Aruna mendapati suaminya berselingkuh. Dan dalam waktu tidak lama dari itu, Aruna kehilangan bayi yang selama ini sangat didambakannya.Sungguh! Aruna merasa hancur. Kesedihan memporak-porandakan hatinya."Bayikuuu," lirih Aruna.Dokter dan perawat menatap iba pada Aruna. Mereka terdiam, menyaksikan kesedihan yang dialaminya.Brak!Pintu kamar rawat tiba-tiba terbuka. Nampak, Dewi dan Dimas Birendra, orang tua Bagas, masuk ke dalam ruang rawat."Bagas, sebaiknya kamu ceraikan saja istri tidak berguna mu itu!" ucap Dewi seraya menarik Bagas yang masih memeluk Aruna.Aruna terkesiap mendengar kata-kata Dewi. Meski dia sempat berpikir untuk berpisah dari Bagas, jika pria itu berkhianat. Tapi pada kenyataannya, Aruna sangat mencintai suaminya. Dia tidak siap berpisah dari Bagas, apalagi dalam keadaan baru saja kehilangan kandungan."Jaga bicara Mamah! Bagas tidak akan pernah menceraikan Aruna," ujar Bagas dengan tegas. Menentang kata-kata ibunya.Dewi menatap tajam putranya. "Jangan bodoh kamu, Bagas! Untuk apa kamu mempertahankan wanita miskin tidak berguna itu? Dia bahkan tidak bisa memberimu keturunan.""Apa?!" pekik Aruna. Kaget mendengar penuturan ibu mertuanya. Aruna pun menatap Dewi dengan nanar. "Apa maksud mamah, Aruna tidak bisa memberikan keturunan?"Dewi tersenyum miring. Mencemooh menantunya yang terbaring lemas di atas brankar."Asal kamu tahu. Karena kecelakaan yang kamu alami, kamu bukan hanya kehilangan kandungan, tapi juga kehilangan kodratmu sebagai wanita. Kamu tidak akan bisa hamil lagi Aruna. Kamu mandul!""Mandul?"Mata Aruna membulat saking kagetnya. Dia melirik Bagas meminta penjelasan. Tapi, pria itu hanya menggelengkan kepala. Aruna pun melirik dokter yang menanganinya."Dokter, apa benar yang dikatakan ibu mertua saya barusan? Saya mandul? Saya tidak akan bisa lagi mengandung?"Dokter menghampiri Aruna. "Maaf Nyonya … karena benturan keras yang Anda alami, rahim anda mengalami masalah. Kemungkinan besar, anda akan sulit untuk mengandung lagi.""Tidak mungkin."Aruna memejamkan mata. Tidak kuasa mendengar vonis dokter terhadapnya. Aruna merasa lemas. Tidak bertenaga. Air mata pun kembali mengalir di wajahnya.Hati Aruna hancur. Hidupnya seketika terasa gelap gulita. Bayi yang Aruna nantikan sudah tiada dan kesempatan untuk memiliki keturunan lagi pun sirna. Ditambah lagi, suami yang sangat Aruna cintai tega berkhianat. Aruna tidak memiliki semangat hidup lagi. Rasanya, dia ingin mati menyusul anaknya.'Tuhan, kenapa Engkau begitu kejam mengambil segalanya dariku? Mengapa Engkau tidak mencabut nyawaku saja?' batin Aruna dalam tangisnya."Pergilah! Kami ingin membicarakan masalah pribadi," titah Dewi pada dokter dan perawat yang mengobati Aruna. Dokter dan perawat pun bergegas pergi dari ruang rawat. Meninggalkan Aruna yang masih terpukul dengan kabar buruk yang baru saja di terimanya. "Kamu dengar kata dokter kan Aruna? Saat ini kamu mandul. Kamu tidak bisa memberikan keturunan untuk Bagas. Jadi, lebih baik kamu dan Bagas bercerai saja. Bagas anak kami satu-satunya, kami harus mendapat penerus darinya," ujar Dewi. Menyadarkan Aruna dari pikirannya. Aruna menatap sendu ibu mertuanya. Meski dia sudah terbiasa mendengar kata-kata pedas dari Dewi yang selalu menghina dan merendahkannya, tapi perkataan Dewi kali ini membuat hati Aruna tambah terluka. Sebagai seorang wanita dan ibu, Dewi sungguh tidak berperasaan. Dia tidak sedikitpun menaruh iba pada Aruna yang baru saja kehilangan kandungan. Wanita itu malah memanfaatkan musibah yang menimpa Aruna untuk memisahkan Bagas darinya. "Berapapun uang yang kamu inginkan, ak
Tanpa memikirkan perasaan Aruna, kesepakatan antara Bagas dan orangtuanya tercapai. Dewi dan Dimas setuju akan memenuhi syarat yang diajukan oleh putra mereka. Orang tua Bagas pun memberitahu, bahwa pernikahan Bagas dan Carissa akan dilaksanakan tiga hari lagi. Mereka meminta Bagas untuk fokus mempersiapkan pernikahan. "Ingat Bagas … Nanti sore, kamu dan Carissa harus pergi ke butik untuk fitting baju pengantin. Kamu tidak boleh terlambat. Jangan permalukan kami di depan orang tua Carissa," ujar Dewi, tanpa mengindahkan keberadaan Aruna yang mendengar perkataannya. Bagas tidak memiliki pilihan. Dia setuju melakukan permintaan orang tuanya. "Bagas akan pergi tepat waktu, asal ada orang yang menemani Aruna di rumah sakit. Bagas tidak tenang meninggalkan Aruna sendirian." "Itu urusan Mamah. Kamu fokus saja pada pernikahanmu dan Carissa," tukas Dewi. Karena tidak ada lagi hal yang harus dibicarakan, Dewi dan Dimas pun bergegas pergi dari kamar rawat. Mereka pergi tanpa sedikitpun bic
Siang beranjak malam, Aruna termenung seraya mencengkram ponsel. Baru saja, Aruna mendapat pesan dari Bagas bahwa pria itu tidak bisa kembali ke rumah sakit. Bagas beralasan harus menghadiri pesta bujang yang diadakan oleh teman-teman calon istrinya. Aruna pun tersenyum getir. Belum apa-apa, Bagas sudah melupakan janjinya. Padahal sebelumnya, Bagas berjanji akan langsung pulang ke rumah sakit setelah acara fitting baju pengantinnya selesai. 'Rupanya ... pesta lajang itu lebih penting bagimu dari pada aku, Bagas. Sungguh terlalu, kamu lebih memilih pergi berpesta dari pada menemaniku yang sedang terbaring sakit,' batin Aruna. Merasa kecewa pada suaminya. "Nyonya … sudah larut malam. Sebaiknya, anda istirahat." Aruna melirik Lastri yang dari tadi duduk disampingnya. Terlihat wanita itu menatap sendu padanya. Meski Aruna belum terlalu mengenal Lastri, tapi Aruna bisa menilai Lastri adalah wanita baik. Dari semenjak Lastri bersamanya, wanita itu tidak banyak bicara. Dia diam menemani
"A-apa maksud kamu?" Bagas menatap bingung Aruna yang malah terlihat semakin marah. Aruna pun menatap tajam suaminya. "Bukan hanya perhatian pada calon istrimu, tapi Kamu juga sangat perhatian pada teman-temannya. Tidak perlu menyembunyikan apapun lagi dariku, Bagas. Aku hanya ingin tahu sudah berapa lama kamu menjalin hubungan dengan wanita itu?" "Aruna. A-Aku-," "Berapa lama?" tegas Aruna. Tanpa menurunkan tatapan tajamnya terhadap Bagas. "Satu bulan? Dua bulan atau tiga bulan? Sudah berapa lama kamu berselingkuh?" Bagas terhenyak. Dia menatap sendu istrinya. Bagas meraih tangan Aruna, lalu menggenggamnya dengan erat. "Maafkan aku, Runa. Lima bulan lalu, mamah mengenalkannya padaku. Saat itu perusahaan kami sedang kolaps. Dan hanya keluarga Carissa yang bisa membantu kami. Aku hanya menjalin hubungan pertemanan dengannya, aku sungguh tidak mengkhianatimu." "Teman selingkuhan maksudmu?" dengus Aruna seraya menghempas tangan suaminya. Dia menatap Bagas dengan nyalang. "Mana ada
Mobil yang Aruna dan ibu mertuanya tumpangi sampai di pekarangan rumah keluarga Birendra. Aruna turun dari mobil dengan dibantu oleh Lastri. Dia pun bergeming melihat rumah besar milik mertuanya. Aruna merasa takjub dengan kemegahan rumah tersebut. Aruna pun kini sadar, alasan orang tua Bagas tidak mau menerimanya sebagai menantu. Dia tersenyum getir menyadari perbedaan antara dirinya dan Bagas. 'Ternyata kita memang beda kasta, Bagas. Kehidupan kita jauh berbeda, bagai langit dan bumi. Namun walau begitu, aku tidak mau menjadi bumi yang bisa kamu injak-injak," batin Aruna. Dewi tertawa melihat Aruna yang melongo. Dia pun mencibir menantunya. "Dasar udik! Pasti kamu baru pertama kali berkunjung ke rumah sebagus ini kan? Lihat, air liurmu sampai menetes. Ck!Ck!Ck! Dasar orang miskin!" Aruna terperanjat mendengar cibiran Ibu mertuanya. Baru sadar Dewi memperhatikannya. Aruna pun hanya bisa diam. Tidak menimpali. Aruna sadar memang baru pertama kali berkunjung ke rumah mewah dan me
Aruna turun dari taksi dengan di dibantu oleh Lastri.Sejenak, dia berdiri di depan hotel. Memperhatikan banner pernikahan yang memuat foto Bagas dan Carissa. Dalam foto tersebut, nampak Bagas dan Carissa saling beradu kening seraya tersenyum. Mereka nampak bahagia.Aruna menarik nafas dalam-dalam. Meringankan rasa sakit yang menyesakkan dada. Hatinya pedih melihat Bagas bermesraan dengan wanita lain. Aruna pun bertanya-tanya, kapan suaminya mengambil foto pernikahan? Apakah saat dirinya dirawat di rumah sakit ataukah dari jauh-jauh hari sebelumnya?"Ternyata, kamu tidak terpaksa menikahi wanita itu Bagas," lirih Aruna sambil masih menatap foto suaminya. "Kamu memang menginginkan pernikahan ini."Senyum bahagia di wajah Bagas menjelaskan isi hati pria itu pada Aruna. Bertahun-tahun menjalin hubungan dengan Bagas membuat Aruna sangat mengenal suaminya. Hingga dengan sekali lihat saja Aruna mengetahui, senyum bahagia Bagas pada foto pernikahannya tidak palsu. "Nyonya, Apa tidak sebai
"Aruna?"Tepat ketika Aruna dan Lastri keluar meninggalkan ruang resepsi, Bagas tanpa sengaja melihat ke arah istrinya. Bagas pun kaget mengetahui keberadaan Aruna di pesta pernikahannya. Seketika, senyum di wajah Bagas pun menghilang. 'Bukankah mamah bilang Aruna tidak akan datang? Kenapa dia ada disini?' batin Bagas. Mengingat perkataan ibunya yang mengatakan bahwa Aruna tidak jadi datang ke pesta pernikahan, karena ingin istirahat di rumah. Tadi setelah mengetahui Aruna tidak jadi datang ke pesta pernikahan, Bagas yang sebelumnya sempat khawatir pun merasa lega. Karena itu, sekarang Bagas leluasa melakukan peranannya sebagai mempelai pria dengan mengesampingkan rasa bersalahnya terhadap Aruna. 'Aruna pasti tidak baik-baik saja. Dia pasti sedih melihatku bersama Carissa,' batin Bagas. Menyentak pikirannya yang tercenung karena rasa kaget melihat keberadaan istrinya. 'Aku harus mengejar Aruna.'Bagas melangkah hendak menyusul Aruna. Namun, Carissa dengan cepat merangkul lengan
Aruna dan Lastri tiba di rumah. Mereka kaget melihat para pelayan di kediaman keluarga Birendra sedang berkumpul di ruang tengah menyaksikan berita tentang pernikahan Bagas dan Carissa bersama-sama. "Lihat, Den Bagas dan Nona Carissa serasi sekali! Den Bagas tampan dan nona Carissa cantik. Mereka pasangan yang sempurna." "Iya betul. Den Bagas memang cocok bersanding dengan Nona Carissa." Aruna mengepalkan tangan. Kesal mendengar celetukan yang diungkapkan para pelayan. Hatinya pun kembali sakit mendapati banyak orang yang mendukung pernikahan Bagas dan Carissa. Padahal Aruna sudah cukup sakit hati mendengar para tamu undangan memuji-muji Bagas dan istri barunya. Dia tidak menyangka, masih harus mendengar pujian tersebut di rumah. "Nyonya … sebaiknya, kita segera pergi ke kamar. Anda harus minum obat," ujar Lastri. Tidak tega melihat Aruna yang kembali sedih karena melihat berita tentang Bagas dan istri barunya.Aruna diam. Tidak menimpali. Ia takut air matanya kembali luruh saat m