Share

Bab 2. Menikah demi Keturunan

Acara sederhana yang hanya dihadiri oleh keluarga dan kerabat dekat itu selesai setelah jamuan makan. Satu persatu, tamu meninggalkan kediaman Hanan Pramudya, pengusaha kuliner yang baru saja resmi beristri dua itu.

"Han, nanti aku pulang ke rumah Mama dulu, ya. Besok aku kembali lagi ke sini.” Aida meminta izin pada suaminya.

Mendengar ucapan itu, Hanan berpaling dengan tatapan protes. Dia tidak habis pikir dengan jalan pikiran istrinya. Setelah memintanya untuk menikahi wanita lain, Aida malah akan pergi ke rumah orang tuanya.

"Nggak! Kamu tetap di sini!" larang Hanan. Lelaki itu paham, apa tujuan sang istri mengungsi ke rumah orang tuanya.

"Tapi, Han. Ini adalah hari pertama kamu dan Rumi menikah. Aku nggak mau ganggu malam pertama kalian. Kamu ingat tujuan pernikahan ini, kan?" tutur Aida sambil memiringkan kepala dengan sudut bibir yang terangkat.

Lisan Aida memang bisa mengucapkan kalimat itu dengan lancar. Namun, percayalah bahwa wanita tersebut memiliki kemampuan berakting yang luar biasa. Senyum di bibirnya adalah sandiwara semata. Jangankan melontar kata, membayangkan malam pertama antara Hanan dan Rumi saja sudah berhasil mengoyak hati Aida. Bayangan sang suami yang akan berbagi ranjang dengan wanita lain, adalah momen kelam yang tidak ingin dia rekam dalam ingatan. Karena itu pula, Aida berniat untuk menginap di rumah orang tuanya.

"Kalau kamu mau ke sana, aku akan pergi sama kamu!" ujar Hanan dengan netra mengarah lurus pada kedua manik istrinya.

"Han–"

"Cukup!" Hanan mengangkat telapak tangan. "Aku ini suami kamu, Da. Kalau aku bilang enggak, ya enggak!" tegasnya.

Lelaki itu merasa kesal pada Aida. Memang sekarang status Rumi sudah sah menjadi istrinya. Namun maaf, untuk menjalankan kewajiban sebagai suami di malam pertama mereka, Hanan merasa belum siap. Lelaki itu tidak sampai hati melukai perasaan sang istri pertama.

Aida menundukkan kepala dengan raut kecewa. Jika suaminya melarang, dia bisa apa? Mau tidak mau, Aida harus mengurungkan niat untuk menginap di rumah sang ibu.

"Ya sudah, aku mau kasih tahu Mama dulu kalau aku nggak jadi menginap di sana," kata Aida dengan nada lesu.

Masih dengan raut kesal, Hanan mengangguk kecil dan membiarkan istrinya pergi. Lelaki itu lantas membalik badan dan tak sengaja melihat Rumi yang masih mengenakan kebaya putih, baru saja muncul dari arah dapur.

Gadis muda itu terlihat canggung dan sedikit bingung. Jika boleh jujur, Rumi sudah gerah memakai kebaya tersebut. Namun, dia tidak tahu di mana dia bisa membersihkan diri dan berganti pakaian. Parahnya lagi, Rumi tidak tahu di mana tas pakaian yang kemarin malam dia bawa dari panti asuhan itu disimpan.

"Kenapa kamu masih pakai kebaya itu?" tegur Hanan sedikit ketus.

Sebenarnya, lelaki itu tidak bermaksud kasar. Hanya saja, rasa kesal terhadap Aida membuat nada bicaranya terbawa tinggi saat menegur istri barunya.

Rumi bahkan tak berani bersitatap dengan sang suami. Gadis itu mengarahkan pandang pada kaki Hanan dengan perasaan yang tidak keruan.

"Saya ... tidak tahu di mana Bu Salma menaruh tas pakaian saya, Pak," jawab Rumi yang terdengar kaku dan sedikit menggelikan.

Hanan menghela napas keras mendengar cara Rumi berbicara, apalagi cara gadis itu memanggil dirinya.

"Tas kamu ada di kamar itu," ujar Hanan seraya menunjuk kamar tamu yang ada di dekat tangga. "Tenang saja. Itu hanya kamar sementara. Nanti kalau rumah sudah beres, kamu bisa menempati kamar yang di atas," imbuhnya datar.

Menilik pintu kamar yang tertutup rapat di samping kanan tangga, Rumi lantas menganggukkan kepala. Tidak masalah kamar mana yang akan dia tempati, asalkan dia diperlakukan dengan baik di rumah ini.

"Terima kasih, Pak. Kalau begitu, saya permisi," ucap Rumi atas informasi yang Hanan beri.

Gadis itu segera mengayun kaki untuk meninggalkan sang suami. Namun, suara Hanan membuat langkah kaki Rumi terhenti. Gadis itu pun memutar badan, menunggu apa yang hendak Hanan ucapkan.

"Kalau ngomong sama aku tuh biasa saja. Nggak usah kaku begitu. Dan satu lagi," kata Hanan yang sengaja menjeda ucapannya, "jangan panggil aku 'Pak'. Aku suami kamu, bukan bapak kamu," tandas lelaki itu.

Rumi melongo melihat Hanan yang langsung memutar badan dan meninggalkannya usai berkata demikian. Gadis itu pun bertanya-tanya di dalam hati, apakah Hanan marah karena dipanggil "Pak"?

"Lalu aku harus memanggilnya apa?" gumam Rumi sambil menggaruk kepala.

Mengesampingkan masalah panggilan untuk Hanan, Rumi lantas pergi ke kamar yang dimaksud sang suami. Dia menarik tas pakaian yang ada di atas ranjang lalu membukanya. Dia ambil satu setel pakaian ganti yang modelnya sudah ketinggalan zaman. Jujur saja, Rumi merasa khawatir jika penampilannya akan membuat keluarga itu malu.

Rumi mendudukkan diri di tepi ranjang. Lalu, dia edarkan pandangan ke sekitar. Semalam dia masih bisa bercerita panjang lebar dengan Salma–Ibu pantinya. Namun, usai acara ijab qabul, Salma harus segera kembali ke panti asuhan karena ada acara lain yang harus dihadiri. Pikiran Rumi pun berkelana, membayangkan apa yang akan terjadi padanya malam nanti.

Tetiba saja jantung Rumi berdegup kencang. Telapak tangannya yang menggenggam pakaian, terasa sedingin es. Gadis itu menggigit bibir, memikirkan bagaimana dia akan melakukan malam pertamanya dengan sang suami. Orang-orang bilang, pertama kali melakukannya akan terasa sakit, dan doktrin itu berhasil membuat Rumi merasa gelisah setengah mati.

Rumi tidak akan lupa dengan kata-kata Aida waktu melamar dirinya untuk sang suami.

"Menikahlah dengan suamiku dan berikan keturunan untuknya."

Itu adalah kalimat yang tak akan pernah Rumi lupakan. Gadis itu bahkan sempat berpikir, bahwa setelah nanti dia berhasil memberikan anak untuk Hanan, dia akan segera diceraikan. Sehingga, makin cepat mereka berhubungan badan, akan semakin cepat pula ikatan ini terlepas.

Namun sayangnya, yang Aida pikirkan tidak sejalan dengan yang ada dalam kepala Rumi. Aida ingin mereka mengasuh anak tersebut bersama-sama.

"Menikah itu sama artinya dengan kita tanda tangan kontrak sama Allah. Nggak boleh dimain-mainin. Jika kamu mau menikah dengan Hanan, maka kita akan menjalani rumah tangga ini bersama-sama." Begitulah yang dikatakan Aida.

Rumi menggeleng kepala, berusaha mengenyahkan pikiran-pikiran buruk yang menghampirinya. Dia lantas pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Berharap dengan begitu otaknya bisa berpikir dengan jernih.

Tepat saat Rumi baru saja keluar dari kamar mandi, terdengar pintu kamarnya diketuk. Dengan sedikit kepayahan, Rumi meneguk saliva. Gadis itu mengedarkan pandangan ke penjuru kamar, mencari keberadaan jam dinding dalam ruangan tersebut.

"Seprtinya masih sore. Apa iya Pak Hanan sudah mau melakukannya?" gumam Rumi dengan perasaan gugup sambil menggenggam erat handuk di tangan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status