Share

Ke Kuburan

Bagian 4

Ke Kuburan

Aku terbangun ketika merasakan ada yang hangat di dahiku. Refleks hal pertama yang aku cari yaitu ponselku. Ternyata hari sudah menunjukkan jam tujuh pagi. Aku bolos lagi shalat Shubuh. Ah, betapa diri ini terlalu main-main dengan ibadah. Kapan seriusnya?

Eh, bukannya tadi malam Om Andi ke kamarku, ya? Terus kenapa dahiku dikompres? Aku berusaha mengingat-ingat kejadian tadi malam. Oh, iya, aku didatangi oleh Bang Angga. Atau mungkin lebih tepatnya lagi sosoknya. Karena Bang Angga, kan, sudah meninggal.

Aku beranjak karena merasa tubuhku sudah baik-baik saja. Apa artinya tadi malam Om Andi menjagaku? Duh, gawat kalau begini. Bisa-bisa timbul fitnah luar biasa antara calon menantu dan mertua.

Lekas aku ke luar kamar dan berjalan ke dapur.

“Sudah bangun, sudah enakan badannya?” tanya Om tiba-tiba dan membuat jantungku hampir copot.

“Iya, udah Om. Ehm, btw, makasih, Om.”

“Makasih untuk?” Dia menatapku sambil memegang mangkok kaca yang mengepulkan asap beraroma sedap.

“Untuk apa, ya, ya, ya, semuanya. Indah mandi dulu, Om.” Aku gugup menghadapi sosok Om Andi. Seharusnya dia tahu aku berterima kasih untuk apa, tapi dia malah bertanya balik.

Air yang aku gunakan untuk mandi ternyata dingin sekali. Gigiku sampai hampir gemeretakan karena sensasi sejuk yang ditimbulkan. Dan satu lagi kebodohanku, aku pikir ini di kamar kos-kosan. Aku lupa membawa handuk. Ah sial! Mana bajuku sudah telanjur basah kuyup. Aku harus bagaimana?

Dengan menarik napas panjang dan berat sekali rasanya, terpaksa aku meminta bantuan pada satu-satunya orang di dalam rumah ini.

“Om, bisa tolong ambilkan handuk di kamar Indah, Om?” Dengan tak tahu malu aku bilang begitu. Karena tidak ada jalan lain lagi.

“Iya, sebentar.” Jawaban Om menenangkan batinku.

Beberapa detik kemudian pintu kamar mandi diketuk dan Om bilang handuk disangkutkan di dekat paku. Aku buka pintu dan menyambar handuk yang akhirnya robek tersangkut paku.

Bertambah rasanya perasaan maluku. Handuk yang aku bawa bukannya yang model kimono, tapi hanya yang pendek saja. Duh, aku jadi enggak enak sama sekali. Buru-buru aku keluar dari kamar mandi dan rupanya mata Om Andi melihatku berbalut handuk. Beliau langsung berpaling dan aku pun lekas masuk ke kamar dengan jantung berdegup tak keruan.

Aku mencari baju kemeja panjang dan celana jeans. Masih ingat aku rencananya hari ini akan ke makam Bang Angga. Mungkin pagi hari. Tidak ada salahnya juga aku bersiap sedia. Aku harus tahu diri tidak mungkin merepotkan Om Andi untuk mengurus makanku setiap hari selama di sini. Aku ke dapur dan ternyata Om sudah menungguku di meja makan.

“Ini ada sup, tapi bukan ayam, hanya telur dan kol saja. Di sini pasar tidak setiap hari.” Aku terlambat lagi. Om Andi sudah lebih cepat membuatkan makanan. Aku cicipi sup telor buatannya, rasanya ya ampun enak sekali walau airnya bening.

“Kamu mau ke mana dengan baju seperti itu?” tanya Om Andi ketika aku memotong telur rebus.

Aku memperhatikan diri sendiri. Rasanya tidak ada yang salah dengan kemejaku. Panjang menutupi bagian belakang. Ya, jeans memang pas body.

“Salah, ya, Om?” Aku balik bertanya.

“Dengan dua kancing dibuka seperti itu, hampir tiga malah, di sini kamu bisa dibilang lonte, Nora. Kalau di kota ya terserah. Di depan Om juga tidak masalah. Tapi kalau ke luar rumah ya jangan.”

Reflek aku langsung memasang kancing baju. Di kota aku sudah biasa seperti ini. Bahkan Bang Angga tidak melarang sama sekali.

“Kalau dipikir-pikir pantas saja anak Om yang dulunya rajin ibadah, jadi tergoda sama kamu.”

“Tapi saya nggak goda Bang Angga, Om.” Aku tidak terima dituduh seperti itu. Aku tidak pernah merayu Bang Angga, bahkan dulu responku dingin sama dia.

“Merayu itu tidak perlu dengan kata-kata manis. Cukup pakai baju tertutup tapi terkesan membentuk semua lekuk tubuhmu. Nora, jangan bilang kamu tidak paham kalau godaan laki-laki itu wanita. Kamu, kan, sudah besar, sudah dewasa. Bahkan sudah hampir jadi ibu.” Lagi-lagi Om Andi membuatku malu.

“Iya, Om, maaf. Indah nggak ada niat buat merayu siapa pun.”

“Om juga laki-laki, Nora, Lebih baik kamu jaga penampilan di sini. Sudah Om suruh bawa baju panjang dan tebal, kan?”

“I-iya, sih, om, bajunya memang panjang semua.”

“Panjang dan ketat, bahkan ada yang tipis?” Aku mengangguk saja ketika tebakan Om Andi tidak ada yang salah sama sekali.

“Maaf, Om, harusnya Indah lebih tahu jaga diri.”

“Sudah tidak apa-apa, habiskan saja supnya.” Om Andi beranjak ke kamarnya.

Aku habiskan semangkuk sup plus nasi yang disediakan juga tidak lupa teh hangat yang membuat napasku jadi tidak terasa dingin lagi. Lalu Om Andi keluar dengan membawa beberapa baju perempuan di tangannya.

“Ini baju-baju istri Om dulu. Masih bagus dan wangi, boleh kamu pakai selama di sini, dan ganti baju sekarang, hari masih pagi lebih baik untuk ziarah.”

Aku mengambil baju-baju yang sepertinya jaman dulu sekali ke dalam kamar. Aku gelar satu-satu di atas kasur. Aroma kapur barus jelas sekali tercium. Ya ampun, tidak ada celana jeans atau rok. Adanya hanya baju terusan atau baju yang aku tidak mengerti apa namanya. Panjang menutupi seluruh badan sampai ke mata kaki, malahan ada selendangnya.

Aku memandang diri sendiri di depan kaca. Aku jadi terlihat seperti ibu-ibu qasidahan di kaset pita zaman dahulu. Selendang hanya aku lilitkan saja. Aku belum ada rencana memakai jilbab atau apalah itu namanya.

“Om, Indah sudah siap,” ucapku pada Om Andi. Seketika beliau menoleh ke arahku dan matanya tidak berkedip sama sekali. Lalu dia sadar dan lekas berpaling. Apa ada yang salah denganku?

“Ini pakai sepatu boot. Jalan tidak akan ada bagusnya sama sekali. Apalagi kena guyur hujan tadi malam.”

Lekas aku memakai sepatu boot pemberian Om Andi, beliau juga memakai sepatu yang sama. Om andi menutup dan mengunci pintu. Kupikir akan pergi pakai motor, ternyata jalan kaki dan katanya kuburan cukup jauh.

“Beginilah kalau di kampung, Nora. Makanya di telpon, Om tanya sama kamu apa benar ingin ke sini. Ya seperti ini kalau hujan becek, kalau kering berdebu.”

“Ya nggak apa-apa, Om. Ini pertama sama terakhir kali Indah ke sini. Sekalian ziarah.” Aku agak kesulitan melewati jalanan yang licin dan berlumpur. Hingga terpaksalah aku memegang tangan Om Andi yang kulitnya terasa keras dan agak kasar. Tanda kalau beliau pekerja keras.

“Terakhir kali? Kalau ternyata kamu balik lagi ke sini, bagaimana?” Dia menoleh dan menyunggingkan senyuman padaku. Astagah, jantungku jadi berdetak tak keruan.

“Ya, lihat nanti aja, Om. Mungkin kalau rezeki dan jodoh nggak ke mana.” Aku hampir jatuh, Om Andi menahan tangan dan pinggangku. Gila, jalanan licin ini seperti hampir membunuhku.

“Jodoh? Semoga saja, ya.” Ah, semoga Om Andi nggak salah tangkap sama maksud perkataanku.

“Masih jauh, Om?”

“Sekitar dua kilometer lagi palingan di dalam hutan.” Tautan tangan kami sudah terlepas. Jalanan sudah berbatu dan tidak terasa licin lagi.

“Dua kilometer kalau pakai kereta yang nggak jauh, Om, kalau jalan kaki ya jauh,” gerutuku dan beliau tertawa saja. Aku haus dan sialnya tidak membawa beka air minum. Warung pun tidak ada yang buka, atau tepatnya tidak ada warung sama sekali.

“Kamu masih muda jangan banyak mengeluh. Jalan kaki itu juga bagus, Nora. Bagus untuk meredam hasrat kamu kalau merindukan Angga.” Aduh, kenapa tiba-tiba Om Andi bicara seperti ini. Mungkin ada benarnya. Atau mungkin dari pengalaman beliau menduda selama puluhan tahun.

“Om, boleh Indah tanya?”

“Silakan.”

“Tante meninggal karena apa?”

“Sakit, waktu itu Om miskin dan tidak punya uang untuk membawa istri Om ke kota. Jadi, ya, sudah terima takdir.”

“Oooh.” Hanya itu responku. Sekarang saja suasana di sini masih kampung banget, bagaimana puluhan tahun lalu, kan?

“Om sangat mencintai dia. Istri Om tidak bisa digantikan oleh perempuan mana pun.” Dia bicara tanpa aku bertanya.

“Tapi, Om, kata orang, biasanya lelaki itu nggak kuat menduda lama-lama. Tujuh jam kemudian juga bisa kok nikah lagi.”

“Jangankan tujuh jam, istri masih hidup saja laki-laki boleh menikah lagi. Tapi tidak semua seperti itu, Nora. Om berbeda. Kebetulan pula di desa ini perempuan cantik tidak banyak. Jadi Om bisa tahan godaan, dan Om tidak berencana keluar dari desa. Berbahaya, karena Om yakin perempuan cantik seperti kamu ada banyak lagi.”

“Wah, Om hebat banget.”

“Angga juga Om yakin sama. Kalau sudah cinta dengan satu perempuan ya satu itu. Hanya saja kalian berdua terbawa perasaan terlalu jauh. Justru Om khawatir dengan kamu. Om sarankan lebih baik kamu cepat menikah. Jangan ulangi lagi dosa besar itu. Semoga saja dosa Angga diampuni. Berzinah itu bukan perkara mudah, Nora.”

“Iya, Om, maaf lagi-lagi Indah minta maaf.”

“Tapi ada dosa yang lebih besar dari berzinah, Nora. Meninggalkan sholat, dan Om sudah puluhan tahun melakukannya. Jadi ya begitulah. Apa mau dikata lagi.” Om Andi seperti memiliki trust issue dengan Alllah SWT. Ya udah aku tidak mau ikut campur. Dosaku saja banyak.

“Om, boleh tahu nama tante nggak?” Entah kenapa aku iseng bertanya.

“Kuburan sedikit lagi sampai, Nora.” Dia menunjuk dengan telunjuk. Aku paham dia tidak mau menjawab.

“Nama istri Om, Nora Syafitri. Dia Om nikahi ketika berusia 16 tahun. Di sini sudah biasa seperti itu. Usia Om waktu itu 20 tahun. Kami menjadi suami istri yang saling melengkapi dalam suka dan duka, walau lebih banyak dukanya.”

Nora Syafitri. Hah, apa aku tidak salah dengar. Itu, kan nama panggilan untukku. Jadi Om sengaja memanggilku sama dengan istrinya. Aku boleh suudzon tidak?

“Jangan takut Nora, Om tidak menganggap kamu istri Om. Hanya saja Om sudah lama tidak menyebut nama Nora. Kalau kamu tidak nyaman tinggal bilang saja. Om akan ganti nama panggilan.”

“Ehmm, nggak apa-apa, kok, Om. Kan, cuman nama.” Aku tersenyum. Segan bilang tidak suka.

“Ayo kuburan Angga di dalam sana.” Om Andi menarik tanganku.

Aku seperti tersihir untuk terus mengikuti langkahnya. Di dalam hutan di dekat semak belukar, pandangan mataku tiba-tiba saja terasa berat.

Bersambung …

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status