Ketika pintu rumahnya dibuka dari dalam, Mentari sempat terlonjak, kemudian bersikap normal kembali.
Cewek itu bahkan tidak menyadari bahwa mobil bosnya masih berada di tempatnya, di depan pagar rumahnya. Dia menurunkan jaket milik bosnya itu dari atas kepala, kemudian mengeringkan tubuh dan pakaiannya dengan menggunakan tangannya.
“Kenapa nggak minta dijemput sih, Tar?” tanya Samudra Pratama dengan nada heran. Dia mengambil alih kantung belanjaan yang dipegang oleh sahabatnya sejak SD itu, kemudian menatap jaket yang sedang dipegang oleh Mentari. “Terus, itu jaket siapa? Itu jaket cowok, kan? Gue juga tadi ngeliat dari jendela lo turun dari mobil sedan.”
“Gue kan nggak tau kalau lo lagi main ke rumah. Masa iya gue nelepon dan nyuruh lo untuk jemput gue di supermarket, di saat lo mungkin lagi santai-santai di rumah atau lagi nge-date sama cewek?” Mentari kemudian memperlihatkan jaket di tangannya. “Ini jaketnya bos gue di kantor. Tadi gue nggak sengaja ketemu dia di supermarket dan dia juga yang nganterin gue pulang barusan.”
Samudra mengikuti Mentari masuk ke dalam rumah bagaikan anak anjing yang mengekori majikannya. Sesampainya di dalam, Mentari melempar jaket milik Senja ke sofa dan langsung menuju ke arah kulkas. Dia mengambil jus jeruk dalam kemasan kotak dan langsung meminumnya.
“Mentari, lagi hujan-hujan begini kamu malah minum minuman dingin,” tegur Gerhana Quill, kakak dari Mentari. Cowok berusia tiga puluh lima tahun itu menggeleng dan melanjutkan kembali pekerjaannya di laptop. Orang tua Gerhana dan Mentari memang menyukai nama-nama yang berbau alam.
“Haus, Kak,” sahut Mentari kalem. Dia lantas membuang jus kemasan tersebut ke tempat sampah dan menatap Samudra yang sedang mengeluarkan belanjaan dari dalam kantung plastik, kemudian merapikannya di atas meja. Senyuman tengilnya muncul, membuat Samudra menaikkan satu alis. “Lo cocok buat jadi asisten rumah tangga, Sam. Berniat untuk jadi ART di rumah gue?”
“Sialan,” gerutu Samudra. Dia hampir saja melemparkan salah satu bungkusan camilan ke arah Mentari kalau saja tidak mengingat keberadaan Gerhana yang memang sangat protektif terhadap adik ceweknya itu. “Udah gue bantuin gratis, bukannya bilang terima kasih, malah ngatain gue.”
“Hehe. Maaf.”
“Omong-omong, Kak Gerhana,” panggil Samudra, membuat Gerhana mendongak dari laptopnya. Tujuan Samudra ke rumah Mentari, selain karena ini weekend dan rumah sahabatnya itu dekat dari rumahnya, Samudra juga ingin menanyakan sesuatu mengenai game sekaligus ingin mengajak kakak dari Mentari itu untuk bermain game online. “Kak Gerhana tau nggak kalau barusan Mentari diantar pulang sama om-om? Tuh, itu juga jaketnya si om-om, loh.”
Mendengar itu, singa di dalam diri Gerhana langsung terbangun. Cowok itu menoleh cepat ke arah Mentari yang mengerjap dan melongo. Dia memberikan tatapan tajam sekaligus menuntut, meminta penjelasan. Sementara itu, Mentari mengutuk Samudra di dalam hati karena tidak menyangka sahabatnya itu akan membalasnya dengan cara seperti ini.
“Can you explain that, little sister?” tanya Gerhana dengan nada tegas. Dia berdiri dari sofa dan bersedekap, kemudian mendekati Mentari yang langsung menggeleng sambil menggoyangkan kedua tangannya.
“Bohong, Kak! Itu tadi bukan om-om! Dia bos aku di kantor. Nggak sengaja ketemu di supermarket dan berbaik hati nganterin aku pulang karena hujan deras tadi.” Mentari kemudian menunjuk Samudra yang menyembunyikan senyuman gelinya sambil memalingkan wajah. “Emang sialan lo, ya!”
“Bos? Itu berarti dia udah om-om, kan?” kejar Gerhana, tidak mau kalah. “Bos kamu pastinya udah tua, kan? Mentari Chrysalis! Berani-beraninya kamu main api sama om-om yang udah tua—“
“Whoa! Whoa! Kak!” Mentari memotong kalimat Gerhana dengan berapi-api. “Don’t go there! Kakak pikir aku ini cewek apaan mainannya sama om-om tua bangka? Enak aja! Meskipun dia bos aku, tapi dia belum setua itu. Dia masih tiga puluh lima tahun, sama kayak Kak Gerhana. Masih muda, kan?” Mentari kini meminjam kata-kata Senja Abimana, di saat cowok tersebut membalas ucapannya di supermarket tadi.
“Tiga puluh lima tahun itu udah tua, Mentari! Dia udah mau kepala empat!” gerutu Gerhana. Kali ini, Gerhana meminjam kata-kata Mentari yang tadi cewek itu gunakan untuk menyerang Senja.
Mentari mengerang dalam hati. Memang ya si Samudra Pratama ini minta dirajam! Bisa-bisanya cowoknya itu membuatnya berada dalam posisi tidak mengenakkan seperti ini. Sudah begitu, sampai membuat kakak tersayangnya itu marah-marah karena salah paham, pula. Karena tenaganya sudah habis terkuras akibat berdebat dengan Senja di supermarket tadi, Mentari jadi tidak punya kekuatan lagi untuk berdebat dengan sang kakak. Pokoknya, dia akan meminta pertanggungjawaban Samudra nanti.
“Bodo ah, Kak. Aku pusing! Aku ke kamar dulu, ya. Mau mandi air hangat.” Mentari memberikan tatapan betenya untuk Samudra, sebelum akhirnya dia berlari meninggalkan ruangan tersebut. Tak lupa, Mentari membawa serta jaket milik Senja. Karena, kalau tidak begitu, kemungkinan besar jaket itu akan berakhir di tempat sampah, atau yang lebih parah lagi, dibakar oleh sang kakak.
“Mentari! Mentari, kamu dengar Kakak, ya! Sampai kapan pun, Kakak nggak akan kasih restu kalau kamu sama bos kamu menjalin hubungan! Pokoknya nggak boleh sama orang yang udah tua, Mentari! Nanti kamu masih umur tiga puluhan, dia udah jadi kakek-kakek peyot!”
Mentari menanggapinya dengan membanting pintu kamarnya. Heran, deh. Bisa-bisanya Gerhana berpikir dirinya akan menjalin hubungan dengan bos galaknya itu? Sampai neraka berubah dingin pun, Mentari ogah banget kalau harus terikat sama Senja Abimana.
###
Minggu pagi.
Setiap hari Minggu pagi, Mentari akan lari pagi di sekitar kompleks perumahannya, kemudian berakhir di taman kompleks, tempat di mana banyak penjual makanan berjejer rapi. Di taman kompleks itu pula, banyak anak-anak bermain bersama orang tua mereka. Dan, Mentari tentunya ditemani oleh kakaknya yang selalu memiliki tulisan tanpa wujud di keningnya, namun berhasil dibaca dengan sangat baik oleh cowok-cowok yang punya niat untuk mendekati Mentari.
‘Awas kakak galak’.
“Kamu mau sarapan apa, Tar? Biar aku beliin.” Gerhana menyeka keringat di keningnya dengan menggunakan handuk kecil yang memang selalu dibawanya jika sedang olahraga. “Aku mau ketoprak.”
Mentari menatap jejeran makanan di tepi taman. Dan pilihannya jatuh pada bubur ayam.
“Kayak biasa, kan? Cuma bubur, pakai cakwe yang banyak, daun bawang, sama kerupuk?”
Kening Mentari mengerut. “Sambalnya?” tanyanya dengan nada dan tatapan memelas. Mentari pecinta pedas. Sudah sejak kecil dia menyukai makanan tersebut. Hidup tanpa makanan pedas adalah hal yang membuat Mentari bersedih.
“Kamu baru aja kena maag seminggu yang lalu. Jadi, berhenti dulu makan makanan pedas. Kamu juga tentunya nggak mau aku laporin ke bunda, kan?” ancam Gerhana, membuat Mentari cemberut. Cowok itu kemudian tersenyum dan mengacak rambut sang adik. “Ingat, Mentari, jangan pernah mengikuti orang asing, oke?”
Setelah Gerhana pergi untuk membeli sarapan, Mentari yang bete karena diperlakukan seperti anak kecil barusan, menunggu di bangku taman sambil memainkan ponselnya. Sedang asyik bermain, tiba-tiba dia merasakan lututnya dipegang. Otomatis, Mentari mengerjap dan mengalihkan pandangannya dari ponsel, dan menemukan sesosok anak kecil berjenis kelamin perempuan yang sangat cantik, lucu dan menggemaskan sedang berdiri di hadapannya sambil memegangi lututnya. Senyuman Mentari pun langsung terbit.
“Halo, anak manis,” sapanya. Dia mengusap pipi si anak yang terlihat gembil dan putih. Sangat menggemaskan. “Siapa nama kamu? Hm?”
Bukannya menjawab, mata bulat besar si anak mendadak berkaca. Kemudian, air mata itu mengalir, diikuti dengan isak tangisnya.
“Hiks. Mama....”
Seketika itu juga, Mentari memucat di tempatnya.
Mati! Kenapa dia nangis?! Gimana kalau gue disangka mau nyulik ini bocah?!
Suara kasak-kusuk di sekitarnya membuat Mentari mati kutu. Cewek itu memasukkan ponselnya ke saku celana olahraga dan buru-buru menyeka air mata yang berjatuhan di kedua pipi gembil si anak. Dia meringis dan menggeleng ke arah orang-orang di sekitarnya, yang seolah menuduhnya sudah membuat si anak menangis. Mentari memberitahu mereka secara tersirat kalau dirinya tidak tahu apa-apa mengenai anak yang menangis ini. “Hei, sst,” bujuk Mentari. Dia tersenyum dan menangkup wajah si anak. “Ada apa, hm? Kenapa kamu nangis? Kamu kepisah sama mama kamu? Ingat nggak terakhir kali kamu sama orang tua kamu ada di mana?” tanya Mentari bertubi-tubi. Setelahnya dia sadar, dia sudah menanyakan berbagai macam pertanyaan kepada anak berusia sekitar empat sampai lima tahun yang sedang menangis, yang pastinya tidak bisa anak itu mengerti. “Mama... hiks....” “Iya, Sayang. Aku tau. Tapi, mama kamu di—“ Belum selesai Mentari berbicara, suara benda
Reaksi dan raut wajah Mentari Chrysalis saat ini membuat Senja Abimana mengulum senyum. Memangnya ada yang salah dengan dirinya yang seorang duda dan sudah memiliki satu anak? Atau, Mentari menganggap dirinya belum menikah karena wajahnya ini? Lantas, semua orang yang memiliki wajah tampan seperti dirinya itu sudah pasti belum menikah, begitu? Lucu sekali pemikiran Mentari ini. “Duda?!” teriak Mentari kemudian dengan mata terbelalak. Senja berdecak dan mendekati Mentari. Dia menarik tangan Mentari, membawa tubuh Mentari mendekat ke arahnya hingga Senja bisa menghirup aroma parfum Mentari yang begitu manis dan memabukkan. Untuk sesaat, pikirannya mendadak konslet karena tahu-tahu saja, dia berpikir seperti apa rasanya jika dia mendaratkan hidungnya pada leher jenjang dan putih yang mengeluarkan aroma manis itu.&n
Teriakan Mentari itu membuat Senja mematung. Posisinya masih sangat dekat dengan Mentari. Mereka bisa dibilang berbagi hela napas bersama. Jarak bibir keduanya mungkin hanya satu hingga dua senti saja. Kekesalan Senja seketika terbit. Sebagai cowok dewasa yang sangat percaya diri pada penampilan dan wajahnya, Senja tidak terima karena kalimat Mentari barusan. Jika Senja mau, dia bisa menjentikkan jari dan semua cewek pasti akan berkumpul untuk mencium bibirnya. Tapi, Mentari? Cewek tengil itu seolah-olah memiliki alergi terhadapnya. Karena kekesalannya itulah, Senja langsung mencium pipi Mentari. Mengenai sudut bibirnya. Memang niat awalnya hanyalah mencium pipi Mentari, bukan bibir. Tapi, Mentari sudah salah mengambil kesimpulan dan seenaknya saja berteriak. Ciuma
“Nggak bisa, Sen! Lo harus tau kalau Pak Surya itu orang yang peka. Dia juga benci sama pembohong. Hanya dalam satu kali lirikan, dia bakalan langsung tau kalau lo sama sekretaris mungil lo ini bukanlah sepasang suami-istri.” Awan Bagaskara, sahabat dekat Senja sejak keduanya masih duduk di bangku SMA sekaligus pemilik perusahaan keluarga besarnya yang sudah lama menjalin kerjasama dengan perusahaan Senja, berkomentar. Dia sedang berkunjung ke kantor Senja untuk mengajaknya makan siang, kemudian tidak sengaja mendengar percakapan di antara Senja dan Mentari sang sekretaris. Dari situ, Awan tahu bahwa Surya Sanjaya, pria berusia enam puluh lima tahun, seorang pengusaha sukses yang selalu muncul di majalah bisnis, televisi dan sebagainya, mendapatkan banyak penghargaan dari pencapaian-pencapaiannya, ingin bertemu dengan Senja untuk membicarakan pekerjaan. Ada kemungkinan, Surya Sanjaya juga ingin melakukan kerjasama dengan Senja. Sialnya, pria itu tahu bahwa Senja sudah memi
Suasana canggung dan tegang itu tercipta, membuat Mentari panas-dingin di tempatnya. Dia menyesal karena sudah menyuarakan isi pikirannya, walaupun Mentari sendiri tidak sadar sudah melakukannya. Cewek itu berdiri dari duduknya, lantas menunduk. Tidak berani menatap Senja yang terlihat sangat marah kepadanya. Awan yang juga menyadari kemarahan Senja, langsung ikut berdiri dan buru-buru mengambil alih situasi. Dia mendekati sahabatnya, kemudian menepuk pundaknya beberapa kali. Senyumnya muncul ke permukaan. “Sen, udah. Dia pasti nggak sengaja ngomong kayak tadi dan gue yakin, dia nggak punya maksud buruk.” Senja menepis tangan Awan dari pundaknya dan tidak menggubris ucapan sahabatnya itu. Dia masih saja memberikan tatapan tajam dan dinginnya untuk Mentari yang semakin menciut di tempatnya. Mentari yang sadar bahwa dia belum meminta maaf, buru-buru melakukan hal tersebut. “Mm, maaf Pak Senja. Saya benar-benar nggak bermaksud ngomong kayak
Mentari terkesiap, ketika dia menyadari apa yang baru saja dia ucapkan di hadapan bos galaknya itu. Cewek itu meringis dan berdeham. Dia jadi salah tingkah. Mentari bingung harus bersikap bagaimana, hingga yang dilakukannya hanyalah mengajak Angelica mengobrol dan sesekali melirik ke arah Senja yang sejak tadi hanya diam saja. Menatapnya bak hewan buruan. Bak seorang kelinci. Di tempatnya, Senja mendesah berat dan berkacak pinggang. Cowok itu menunduk dan nampak berpikir. Mungkin benar kata Awan, dia sudah bersikap sangat keterlaluan kepada Mentari, hingga sekretarisnya itu sangat terkejut akan permintaan maafnya barusan. Senja juga menyadari kedua mata Mentari yang memerah, yang menandakan bahwasannya, mungkin saja, Mentari sempat menangis akibat ucapannya sebelum ini.&
“Honeymoon?!” seru Mentari, ketika kekagetannya sudah mereda. Sungguh, mereka hanya akan menjadi pasangan suami-istri pura-pura di hadapan Surya Sanjaya. Lantas, kenapa bos galaknya ini justru membicarakan masalah bulan madu segala? Apa... apa sebenarnya Senja Abimana ingin memiliki tubuhnya? Menggerayanginya? Benar-benar ingin menaruh janin di dalam rahimnya?! Serius?! Bos galaknya itu punya hasrat seksual terpendam untuknya?! Sadar jika pikiran di dalam kepala mungil Mentari itu sudah melantur ke mana-mana, ditambah pula dengan tatapan bak pisau yang dilemparkan oleh cowok bernama Samudra yang mengaku sahabat dari Mentari, Senja buru-buru berdeham. Dia juga tahu, dia sudah salah mengucapkan kalimat, hingga membuat Mentari salah paham. Tapi, Senja juga tidak ingin memperbaiki ucapannya atau menjelaskan maksud perkat
“Gini-gini, Pak, saya juga tau soal teknik-teknik bikin anak dari novel-novel romansa dewasa yang saya baca!” Alis Samudra terangkat satu ketika dia mendengar hal tersebut. Kemudian, Mentari sadar jika dia sudah mengucapkan rahasia gelapnya. Bahwa dia senang membaca novel romansa dewasa. Wajahnya memanas dengan cepat dan rona merah itu mulai menguasai wajah cantiknya. “Hm....” Senja bergumam. Wajahnya menunjukkan betapa dia sangat serius memikirkan kalimat Mentari barusan. Cowok itu mengusap dagunya dan memberikan tatapan ingin tahu kepada sekretarisnya tersebut. “Berarti, kalau saya mau bikin anak sama kamu dan minta dengan teknik—“ “Don’t you dare, Sir,” geram Mentari, memotong ucapan Senja yang