Share

Nunu Hampir Saja Mengenaliku

Bab 6

Akhirnya sampai juga di rumah Tulang. Tulang adalah sapaan untuk saudara laki-laki dari Mak. Abang atau adiknya, maka dipanggil Tulang. Ya, namanya orang Sumatera Utara, sudah pasti memiliki sapaan khas karena juga memiliki marga dalam suku.

Sepupu perempuan yang sebaya denganku, mengajak untuk pergi ke rumah temannya. Masih capek sebenarnya, tetapi demi dia aku menerima ajakan itu. Bosan juga dengan berbincang pada penghuni rumah.

Kendaraan sepeda motor matic berwarna merah dilaju dengan kencang. Dina seorang gadis yang berprofesi sebagai dokter sangat ramah dan rendah hati. Tak pernah merasa kaya dan sok hebat karena telah menjadi seorang dokter muda cantik. Gadis sepertiku sangat dia hormati. Terlihat dari gerak-gerik bila bersamanya.

Rumah mewah telah di depan mata. Mobil juga banyak yang terparkir di halaman. Sudah pasti bukan mobil biasa. Ada Fortuner, Pajero sport, dan lainnya yang tidak kuhapal dengan nama semua mobil mewah.

Dina berjalan mendahului menuju pintu yang terbuka lebar.

"Assalamualaikum," ucap sepupuku, dengan salam.

Tak lama seseorang datang sembari menjawab salam. Aku terkejut dengan sosok pria yang ada di hadapanku. Dia adalah calon tunangan Naya, sahabatku. Hati bertanya-tanya, kenapa pria itu kutemukan di sini? Aku hanya berpura-pura tidak kenal karena itu tidak penting bagiku.

"Ehh, dokter Dina. Masuk." Pria itu mempersilakan kami.

"Nunu, keknya udah lama aku gak ke mari. Jadi canggung pun," ucap Dina.

"Kamu, sih. Gak mau ke mari lagi," balasnya dengan senyuman mengembang.

"Kemaren aku telepon mau datang. Ehh, gak diangkat. Ya, gak jadi, deh," sahut dokter cantik itu.

"Owh, iya. Kemaren aku ke Rantau Prapat. Berkunjung tempat calon tunangan. Ya, cuma beberapa hari saja. Bosen di sini terus. Sesekali ke kota biar otak fresh," ledeknya, sembari tertawa.

Seorang wanita datang dari dapur membawa tiga gelas teh manis dengan talam.

"Kapan tunangan? Gak bilang-bilang," tukas Dina.

"Nanti kukabari, Bu dokter cantik .... Ehh, ini siapa? Temen?" tanya pria bernama Nunu, dengan melihat ke arahku.

"Owh, ini sepupuku, anak bou. Baru sampai dari Rantau Prapat," jelas Dina.

"Rantau Prapat? Di mananya?" tanyanya heran.

"Mau tau aja, ah. Gak perlu, nanti kamu godain. Secara udah punya tunangan juga kamu," sahut Dina sebelum aku menjawabnya.

Mereka berbicara tentang pekerjaan dan pendidikan lanjutan yang sedang mereka tempuh saat ini. Aku hanya diam dan mendengarkan cerita itu. Jadi kepingin untuk bisa kuliah seperti mereka. Namun, Ayah tidak mampu lagi. Sekarang saatnya memikirkan bagaimana bisa diterima oleh beberapa lamaran yang diberikan.

Enak juga bila kita memilih pekerjaan. Ketika bertemu dengan teman-teman bisa diceritakan apa keseharian yang dilakukan. Tidak seperti aku yang pengangguran. Bisanya hanya raun ke sana ke mari. Segala keperluan masih Ayah yang menanggungnya. Memalukan sekali diriku ini.

Wajah pria itu sesekali mengarah padaku. Tentu saja bingung atas pandangan yang tak biasa terjadi. Meski sering bergabung dengan para cowok dalam kumpulan geng Vespa.

"Tapi--, sepertinya aku pernah bertemu dengan sepupumu ini, Din," kata Nunu, sembari mengerutkan keningnya.

Ucapannya membuat jantung berdegup kencang. Padahal sudah berusaha untuk tidak mengenalku dengan alasan dia adalah calon tunangan sahabatku sendiri.

Tidak mengapa bila aku dan pria itu saling mengenal. Lagian tidak bakalan mungkin kalau ada rasa. Toh, dia sudah punya wanita idaman. Hanya saja Naya paling tidak suka bila aku atau siapa pun dekat dengan kekasihnya, dia akan marah.

Pernah waktu itu, aku berbicara dengan pacarnya, padahal bercerita tentang pekerjaan yang aku cari. Tidak ada canda di sana, apalagi membicarakan hal yang spesial, tetapi sudah membuat Naya cemburu buta. Sejak saat itu, mulai menjaga jarak dengan pria yang dekat dengan Naya.

Hubunganku dengan Naya pernah retak dan susah untuk diperbaiki. Hampir enam bulan tidak ada saling komunikasi atau berbicara meski sebatas melalui ponsel. Semua demi kebaikan, agar tidak terjadi kesalahpahaman meskipun telah menjelaskannya pada wanita cantik yang berprofesi sebagai dokter juga.

Jujur saja, bagiku sahabat itu seperti saudara sendiri. Apalagi mengerti dengan keadaan yang ada dalam diri ini. Namun, bila sudah menyangkut perasaan, dia susah untuk mengerti terutama tentang kedekatan dengan calon tunangannya.

"Aku, keknya, kenal. Tapi di mana, ya? Benar-benar lupa, deh," ucap pria itu, mencoba mengingat siapa aku dan di mana pernah bertemu.

"Jawab, dong, Zeyn. Nggak apa-apa, kok," sahut Dina.

"Aku nggak kenal. Maaf, ya, Bang," elakku, seraya merapikan dudukku.

Pria itu hanya mengangguk sembari memberikan senyum termanis yang dia miliki. Dina dan Nunu kembali membahas permasalahan mereka. Mulai dari cerita pekerjaan hingga tentang pendidikan yang sedang mereka geluti saat ini.

Memang enak jadi anak orang kaya, bisa kuliah dan tentunya bisa cerdas. Walaupun begitu, tidak pernah memaksa dan mengharapkan Ayah. Bagiku membahagiakan orang tua lebih baik dari pada berada di pendidikan yang lebih tinggi, tetapi melupakan perjuangan kedua orang tua.

Mencintai kedua orang tua itu lebih berarti dalam kehidupan. Terutama membahagiakannya.

Hari hampir Maghrib, Dina berpamitan pada Nunu untuk pulang. Kunci sepeda motor yang dipegangnya, dimasukkan ke lubang. Kami berlalu pergi meninggalkan rumah mewah itu.

Sibuhuan masih banyak ditumbuhi oleh berbagai macam tumbuhan. Sawah terbentang luas, pepohonan yang masih saja menjadi salah satu mata pencaharian di daerah itu. Terlihat asri dan nyaman dipandang mata. Hanya saja gedung agak sedikit berubah. Perubahan itu sebenarnya tidak begitu terlalu banyak, karena masyarakat asli pribumi. Itulah kenapa aku suka berada di Sibuhuan. Cara berbicara masyarakatnya pun lembut, masih ada sopan santun dan tata krama dalam berbicara dan sikap.

Terdengar suara azan berkumandang dari sebuah masjid yang tak begitu jauh. Seperti biasa, aku bersegera ke kamar mandi membersihkan badan sekaligus berwudu. Pasang niat sambil menyiram air ke wajah. Segar dan hati terasa nyaman.

***

Rumah sudah disapu, dapur juga sudah beres. Nantulang--istrinya Tulang--telah menyiapkan sarapan pagi. Teh manis dan segala sesuatunya sudah terhidang rapi di atas meja makan. Nantulang sangat baik. Beruntung sekali keluarga terdekatku bisa menikahinya. Berharap, semoga beliau tidak pernah berubah.

Beliau mau membantu keluargaku. Saat Ayah butuh bantuan keuangan, dia turut membantu tanpa berpikir panjang, termasuk jumlahnya.

"Harta adalah titipan Allah," ucapnya kala itu. Sungguh berhati mulia. Mungkin itulah sebabnya mengapa rezekinya lancar dan terus bertambah.

Ayah kelihatan bahagia sekali. Tampak dari raut wajahnya ketika kupandangi dari pintu dapur. Sepertinya sedang menikmati rasa kekeluargaan bersama adik Mak. Bersama keluarga Tulang memang nyaman. Tak pernah sekali pun berkata kasar atau menyinggung perasaan.

Mereka benar-benar orang baik. Tanpa berharap dibalas dengan embel-embel pujian. Itu membuat aku dan Ayah betah di rumah itu. Meski pun tanpa ada Mak bersama kami. Sepeninggal Almarhumah, tidak ada perubahan bagi keluarganya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status