Sejak pertengkaran malam itu, Rindu tidak lagi menginjakkan kaki di rumah milik Radit. Meskipun sang ibu berkali kali mengirimkan chat serta menelepon untuk membujuknya pulang, tapi Rindu sudah tidak ingin lagi kembali ke sana.
Selama beberapa hari ini pula, Rindu membuang semua rasa malunya dengan menginap di rumah Eca sampai tanggal gajian tiba. Atau, mungkin sampai Rindu mendapatkan kosan yang murah, hingga ia bisa membagi uang gajinya untuk membayar cicilan motor, dan menyisihkan untuk kuliahnya.
Jika tidak dapat juga, mau tidak mau Rindu akan mengorbankan kuliahnya terlebih dahulu. Mengambil cuti untuk sementara, dan fokus pada pekerjaannya saat ini. Yang menjadi dilema adalah, jika Rindu tidak meneruskan kuliah dan tidak mendapatkan gelar diplomanya, nasibnya mungkin akan begitu-begitu saja. Karena jika Rindu ingin melamar kerja dengan jabatan yang lebi
Manik sipit Dewa itu mengerjab cepat, saat mendengar penjelasan dari Riko dengan seksama. Cukup membingungkan, tapi, itulah fakta yang telah disampaikan oleh asisten pribadinya. “Jadi, dia pindah ke kos dan ambil cuti kuliah tiba-tiba?” tekan Dewa sekali lagi untuk lebih memastikan semua ucapan Riko. Riko hanya mengangguk, karena sudah menyampaikan informasi sesuai dengan apa yang didapatnya. “Dan sampai sekarang, kamu masih belum tahu alasan sebenarnya Rindu keluar dari rumah itu?” tanya Dewa lagi. “Ya, sama seperti yang kemarin, Pak, jawabannya,” ungkap Riko menjelaskan sekali lagi. “Menurut info yang terima, Rindu mau hidup mandiri.” Dewa yang sedari tadi berdiri di samping jendela kaca ruang tamu apartemennya, menoleh pada Riko yang tengah duduk di sofa. “Nggak masuk akal, Rik. Kalau mau hidup mandiri, seharusnya sejak keluar dari rumah itu, dia langsung pindak ke kosan, tapi ini nggak, dia numpang dulu di tempat temannya, kan?” Ri
Rindu menghela berat, ketika melihat nama sang ibu kembali tampil di layar perseginya. Kembali, Rindu langsung merejectnya dan mengembalikan ponsel tersebut ke dalam tas. Hatinya sudah benar-benar terluka, karena sebagai ibu, Tiara sama sekali tidak pernah membelanya di depan keluarga Radit.Rindu sangat mengerti kalau sang ibu memiliki trauma mendalam, akan kehilangan di masa lalu. Hanya saja, Rindu benar-benar tidak bisa terima kalau dirinya diperlakukan seperti anak tiri.“Dengan Mbak Rindu, kan?” tanya seorang pria yang berhenti tepat di depan Rindu, yang baru keluar dari pintu lobi kantornya.“I … ya, saya Rindu, dengan Mas siapa dan ada keperluan apa?” Rindu balas bertanya seraya melirik satpam yang tengah duduk santai di posnya.&ldq
“Mbak Rindu!” sang pria yang diberi tugas untuk mengantar Rindu itu keluar dari mobil secepat mungkin. Menghalangi jalan Rindu dengan merentangkan kedua tangannya. “Mbak Rin, tolong masuk sebentar, Mbak,” mohon pria itu sembari memegang ponselnya yang terus saja berdering.“Nama Mas siapa, sih?” decak Rindu sudah terlampau kesal tapi tidak tega ketika melihat tampang memelas pria itu.“Dani, Mbak,” jawabnya masih dengan merentangkan kedua tangannya.“Mas Dani, saya—”“Saya bakal dipecat, kalau Mbak Rindu nggak masuk ke dalam,” putus Dani memasang wajah yang benar-benar panik. Ia mempersempit jarak sembari menunjukkan ponselnya yang terus saja berdering. “Nih, Mbak. Bang Riko nelpon, pasti mau mecat saya.”“Bukan urusan saya,” sahut Rindu dengan semua rasa sakit hati yang sudah menumpuk sesak di dalam dada.“Istri saya lagi hamil, Mbak.
Kedua orang itu duduk berhadapan dan sama-sama saling melipat tangan di depan dada. Tidak ada ekspresi apapun yang ditunjukkan di wajah Dewa. Sementara Rindu, sorot matanya sudah tersurat tajam penuh kekesalan.Sedangkan sang dokter yang sudah memeriksa Rindu beberapa waktu lalu, telah diminta keluar ruangan oleh Dewa, karena ada hal yang harus dibicarakannya dengan Rindu.“Katanya sibuk, banyak kerjaan,” sindir Rindu bernada malas. Ia sudah tidak ingin lagi memperpanjang masalah yang ada di antara mereka. “Kenapa masih nahan saya di sini?”Dewa tidak menjawab. Ia masih sibuk memperhatikan Rindu dari ujung rambut, hingga ujung flat shoes yang dipakai gadis itu. Begitu sederhana, tanpa ada satu pun barang bermerek melekat di sana. Mungkin karena itulah, Rindu sempat mendekati Dewa, agar gadis itu bisa mengubah hidupnya.Rindu berdecak. “Pak Dewa, kan, sudah tahu sendiri dari dokter tadi, kalau saya nggak hamil. Lagian cuma sem
“Mbak Rindu!” Rindu yang baru membuka pagar kosannya untuk memasukkan motor, segera menoleh. Sepulang kerja barusan, ia sama sekali tidak memerhatikan, kalau ada mobil yang menjemputnya siang tadi, tengah parkir bersebrangan dengan kosannya. Rindu lantas menutup pintu pagarnya kembali, lalu menghampiri pria yang siang tadi telah mengantar jemputnya untuk memeriksakan diri di dokter kandungan. Ternyata, Rindu sudah salah sangka kepadan Dewa. Pria itu sudah berada di dalam klinik dan menunggu Rindu untuk memeriksakan kehamilan yang akhirnya tidak terjadi. Sebenarnya, ada sedikit rasa sesal karena telah menolak ajakan Dewa untuk pergi ke rumah pria itu sepulang kerja. Padahal, pria itu membuka satu kesempatan lagi pada Rindu untuk lebih dekat dengan impiannya. Namun, karena rasa gengsi, harga diri, serta rasa sakit hati Rindu pada Dewa yang tidak mengacuhkannya, maka ia menolak semua itu. “Mas Dani ngapain sampai datang ke sini?” tanya Rindu yang
“Bapak nggak tokcer kali.” Satu kalimat itu, selalu terngiang di kepala Dewa sejak Rindu meninggalkannya siang tadi. Dewa sangat mengerti kalau mulut Rindu itu memang tidak bisa direm sama sekali jika berucap. Hanya saja, dari sekian banyak kalimat yang dimuntahkan gadis itu setelah Dewa mengenalnya, baru kali ia merasa tersinggung dan harga dirinya sebagai seorang pria seolah diobrak abrik oleh Rindu. Perasaan kesal itu pun bertambah ketika ia melihat undangan Hening yang masih tergeletak di sofa. Dewa mengingat ucapan Riko yang mengatakan, bahwa mantan tunangannya itu akan pindah ke rumah yang lebih besar, karena tengah mengandung kembali. Itu berarti, jika Dewa menghitung kembali ke belakang, Hening sudah hamil sebanyak tujuh kali. Sekali keguguran, lima kali melahirkan dan ditambah, satu lagi yang masih berada di dalam perut wanita itu. Sungguh tidak bisa dipercaya, jika Dewa tidak mengetahui hal tersebut secara langsung. Memangnya, harus berapa k
Suara ketukan di daun pintu kamar kosannya, membuat Rindu langsung beranjak malas dari kasur lalu membuka pintu."Ada cowok yang nyari di bawah," ujar pria yang setiap hari ditugaskan untuk menjaga kosan tempat Rindu berada. "Namanya Dewa."Rindu mengetatkan dagu dengan bibir yang mengerucut maju. Untuk apa lagi pria itu datang menemui Rindu. Bukan … bukan itu yang seharusnya menjadi pertanyaan Rindu. Akan tetapi, kenapa pria itu datang sendiri dan tidak meminta orang suruhannya untuk menemui Rindu.Apa mungkin, pria itu marah karena Rindu sengaja tidak mengangkat telepon darinya?Ah … tapi, masa' sampai seperti itu?"Iya, Mas, tolong bilang tunggu sebentar, ya," pinta Rindu lalu keduanya sama-sama berbalik arah dengan tujuan yang berbeda.Rindu buru-buru melihat pantulan dirinya di depan cermin. Mengambil lip gloss untuk menyapu bibirnya yang kering. Lalu, sedikit parfum yang ia labuhkan pada leher, tepat di bagian bawah
“Loh … ini bukannya jalan ke rumah Pak Dewa?” tanya Rindu menegakkan tubuh seraya menoleh ke sekeliling untuk memastikan dengan benar. Setelah, sepanjang jalan tidak dihiraukan dan hanya didiamkan oleh Dewa, Rindu akhirnya kembali membuka suara untuk melayangkan protesnya.Sampai akhirnya mobil yang dikendarai Dewa berhenti di depan pintu pagar, pria itu tetap mengunci rapat mulutnya. Karena jika sekali Dewa membuka mulut untuk menanggapi ocehan Rindu, sudah bisa dipastikan kepalanya akan bertambah pusing.Ternyata, berdebat dengan Rindu lebih merepotkan, daripada saat Dewa berdebat dalam rapat kerja ataupun sidang paripurna di Senayan dengan rekan seprofesinya.“Diam di situ,” titah Dewa lalu keluar dari mobil untuk membuka pintu pagar rumahnya. Sebenarnya, Dewa bisa saja meminta salah satu dari bodyguard sang ayah untuk menjaga rumah agar ia tidak perlu repot-repot untuk membuka dan menutup pagar seperti sekarang. Namun, setelah