Share

Chapter 3

“Yaampun. Aku nggak ngerti kenapa temenku yang sempurna ini jadi bego.”

Fernan menggumam pelan di samping Haikal yang berdiri menghadap jendela. Pandangan Haikal terpaku pada sosok wanita yang baru berlari keluar dari ruangannya. Yang sekarang ada di depan klinik untuk menghampiri sang kekasih.

Lima menit lalu Yasmin bergegas keluar dari ruang konseling. Ia mendapat telepon dari Rezza yang berkata sekarang sedang berada di depan klinik Haikal. Sepertinya pria itu hendak mengajak kekasihnya untuk makan siang bersama. Yasmin bergegas keluar dan turun menuju Rezza yang menunggu di dalam mobil depan klinik. Tepat setelah Yasmin keluar, Fernan yang baru selesai makan siang masuk ke dalam ruang konseling Haikal. Ia melihat temannya itu yang mengamati Yasmin dari lantai dua gedung klinik berada.

“... Sampai kapan kamu mendam perasaanmu itu, Haikal? Kamu pikir Yasmin bakal tahu perasaanmu dengan cara kayak gini?” lanjut Fernan merutuk. Laki-laki berkacamata yang tingginya tidak jauh berbeda dari Haikal itu merasa prihatin melihat temannya yang mengenaskan.

Haikal menghela napas ke dalam perut. “Apa pentingnya itu? Yasmin kelihatan bahagia sama laki-laki itu,” ucapnya. Ia melihat Yasmin yang baru saja melesat pergi bersama Rezza menggunakan mobil.

“Itu yang buat kamu makin ngenes. Senang lihat orang yang kamu sayang bahagia sama orang lain? Omong kosong!” Fernan lanjut berkata. Kemudian ia menyedot ice americano yang ia beli setelah makan siang beberapa waktu lalu.

Melihat temannya yang begitu memprihatinkan, Fernan mengembuskan napas panjang. Lalu bergumam pelan, “Aduh. Haikal yang malang. Seandainya saja kamu kembali ke Indonesia lebih cepat. Yasmin pasti sudah ada di pelukanmu. Atau paling tidak kalo kamu menuntaskan pendidikan profesimu di Indonesia sama aku, Yasmin nggak bakal pacaran sama atlet renang itu.”

Benar. Semua itu tergantung pada waktu.

Andai saja Haikal menyelesaikan pendidikan profesinya di Indonesia, saat ini Yasmin akan berada di dalam pelukannya. Atau mungkin, andai saja Haikal satu tahun lebih awal tiba di Indonesia. Mungkin saat ini Yasmin tidak akan pacaran dengan seorang atlet renang bernama Rezza itu.

Tapi, apa gunanya menyesali semua itu? Pergi ke Amerika untuk menyelesaikan pendidikan adalah keputusan yang diambil Haikal dengan sadar dan pertimbangan yang matang. Pria itu ingin menyelesaikan pendidikan dokternya di Amerika sekaligus memiliki pengalaman bekerja di sana untuk menjadi dokter spesialis. Lalu kembali ke Indonesia sebagai spesialis kejiwaan dan menyadang nama yang tinggi sebagai psikiater. Ituah kenapa klinik yang dibangun Haikal sekarang telah berkembang. Dokter Haikal telah dikenal banyak orang sebagai dokter kejiwaan yang terampil dalam menangani pasien. Tidak heran jika kliniknya pun tidak pernah sepi. Orang-orang terkenal dari golongan artis, aktris, bahkan konglomerat sekalipun selalu mencari Haikal untuk berkonsultasi mengenai masalah kejiwaan.

Namun karena semua itu, sejenak Haikal melupakan tujuan awalnya. Tujuan awal Haikal pergi ke Amerika bukan semata-mata untuk ambisinya menjadi dokter spesialis kejiwaan yang sukses dan berketerampilan tinggi dalam menangani pasien. Tujuan awal Haikal pergi ke Amerika adalah untuk menjadi layak. Haikal ingin menjadi dokter yang sukses. Haikal ingin menjadi dokter yang baik agar ia layak menjadi pendamping seorang wanita yang ia sayangi. Ia ingin menjadi layak untuk wanita itu. Ia ingin menjadi pria mengagumkan untuk wanita yang ia sayangi sejak lama; Yasmin. Namun siapa sangka jika Haikal terlambat satu langkah. Begitu ia kembali ke Indonesia, wanita yang ia sayangi telah pacaran dengan seorang atlet nasional. Yang kemudian keterlambatan itu menjadi satu penyesalan yang sampai saat ini tidak dapat Haikal atasi.

“Aku nggak tahu gimana ceritanya atlet itu bisa pacaran sama Yasmin. Tapi Rezza cukup terkenal di kalangan anak muda. Dia peraih medai emas kan? Popularitasnya tergolong tinggi di kalangan anak muda. Melihat Yasmin yang hubungannya sama Rezza bertahan tiga tahun sampai saat ini, mereka sama-sama punya komitmen.” Fernan berucap panjang lebar sambil menatap wajah temannya yang menyendu. Ia menyayangkan Haikal yang sepertinya belum bisa melupakan perasaannya terhadap Yasmin.

Haikal tersenyum getir. Senyumnya terasa hampa dan menggambarkan kegetiran.

“Aku tahu itu. Nggak mudah mempertahankan hubungan selama tiga tahun. Tapi mau bagaimana lagi? Bukan berarti perasaanku padanya bisa hilang gitu aja. Pelan-pelan aku bakal lupain Yasmin. Itu cara terbaik untuk aku sendiri dan juga Yasmin.” Haikal berkata dengan bijak. Ia menghabiskan americano-nya. Lalu membuang gelas kosong yang ada di genggaman dan lanjut berkata, “Aku nggak bisa nyatain perasaanku karena tak ingin merusak hubungan kami selama ini. Yang bisa aku lakukin cuman lupain Yasmin pelan-pelan sampai aku nggak sadar kalo aku sudah lupa,” lanjut Haikal.

Sebetulnya Fernan merasa tak enak pada wanita yang ia panggil Sania. Karena Fernan-lah yang mengenalkan jaksa itu kepada Haikal yang hatinya masih dikuasai orang lain. Meski Sania atau yang sering orang panggil dengan Sania itu sempat pacaran dengan Haikal—seperti yang dikatakan Haikal sebelumnya; untuk formalitas. Tetap saja hubungan mereka berakhir setelah pacaran selama dua musim.

Dua musim memang bukan waktu yang sebentar. Tetapi dua musim hubungan perkencanan antara dua orang yang sama-sama sibuk terasa begitu cepat. Saat pacaran dengan wanita itu, Haikal tetap menyibukkan diri dengan pekerjaannya sebagai dokter. Sementara wanita itu juga disibukkan oleh banyak kasus yang setiap harinya masuk ke kejaksaan. Menggunakan alasan kesibukan itulah Haikal memutuskan Sania—yang ternyata setelah dua musim berlalu perasaan Haikal tidak berubah. Haikal sempat berpikir dengan pacaran dengan wanita lain ia akan dapat melupakan Yasmin. Walau kenyataannya melupakan Yasmin menggunakan wanita lain sangatlah mustahil untuk Haikal. Haikal memutuskan Sania karena tak ingin terus-terusan menjadikan wanita itu sebagai pelampiasaannya. Haikal tidak ingin berlama-lama menjadi pria jahat yang memanfaatkan perasaan wanita lain dan akhirnya memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan Sania.

Kini pria itu akan melupakan Yasmin dengan caranya sendiri. Dengan cara yang begitu alami dan tidak dipaksakan. Seiring berjalannya waktu, dengan mengatur perasaannya terhadap gadis itu, Haikal pasti akan bisa melupakan Yasmin yang telah menjadi milik orang lain. Benar. Haikal pasti akan melupakannya.

Suara ketukan pintu membuat Haikal mengalihkan pandangan dari dinding kaca ruang. Ia menoleh pada pegawai kliniknya yang baru masuk membawa berkas pasien. Sementara itu, Fernan telah melangkah pergi menuju ruangannya karena jam istirahat siang sudah berakhir.

“Dokter, pasien untuk sesi konseling selanjutnya sudah menunggu. Anda bisa memulai konselingnya sekarang?” tanya pegawai tersebut yang telah masuk ke ruangan Haikal. Haikal pun berjalan menuju meja kerja sambil menganggukkan kepala.

“Tentu saja. Katakan pada pasien untuk segera masuk,” kata Haikal sambil beranjak duduk di kursi kerja.

“Baik, Dok.”

Pegawai itu pergi setelah menyerahkan berkas pasien kepada Haikal. Tidak lama setelah itu, seorang pasien wanita bertubuh tinggi kurus masuk ke dalam ruang konseling. Wanita itu memakai masker hitam untuk menutupi wajah dan juga topi.

“Siang, Dokter Haikal.” Wanita itu membungkukkan tubuh kepada Haikal.

“Hera?” Haikal bertanya ragu karena tak bisa mengenali wajah dari pasiennya yang merupakan seorang public figure. Wanita yang ia panggil Hera itu merupakan member dari salah satu aktris terkenal yang saat ini sedang naik daun.

Wanita bertubuh tinggi kurus itu segera melepaskan topi dan masker hitamnya. Ia kembali membungkukkan tubuh kepada Haikal sambil berkata, “Maaf, Dok. Saya harus pakai masker agar nggak ketahuan paparazi.”

“Ah, tidak apa-apa.” Haikal segera menyahut. Ia melihat Hera yang telah duduk di seberang meja dan sedang merapikan rambut yang sedikit berantakan.

Selagi menebarkan senyum hangat Haikal membuka pembicaraan.

“Pasti berat untuk seorang aktris terkenal seperti Hera datang ke klinik dan menerima konseling. Kebanyakan dari pasien saya yang seorang aktris berhenti melakukan konseling setelah dua atau tiga pertemuan. Tetapi Hera masih bertahan sejauh ini. Itu pastinya tidak mudah.”

Senyum manis tersungging di bibir Hera. “Saya akan terus menghadiri konseling sampai agorafobia saya sembuh, Dok. Dengan begitu saya bisa tampil lebih baik saat syuting.”

“Keputusan yang bagus.” Haikal menyambung dengan seutas senyum yang ia sunggingkan. “Saya akan melakukan yang terbaik untuk menyembuhkan fobia kamu. Kamu tinggal menghadiri konseling secara rutin dan menjalani beberapa terapi,” lanjut Haikal berkata.

“Baik, Dok”

**

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status